7. Repotting (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Holla, happy baca ❤️
.
.
.

Pandangannya mengabur kala danau airmata itu tumpah membanjiri kedua tebing pipi.
Isi kepalanya sontak memutar balik penggalan kalimat yang pernah sang ibu ceritakan. Kata demi kata terurai ulang bak kaset recorder yang diputar.

Aisyah pernah mendengar ibu berkisah. Jika dulu, saat mamanya hamil, saking senangnya, ibu yang pada saat itu telah menikah dengan ayah selama sepuluh tahun tapi belum dipercaya membawa titipan-Nya, rela melakukan prosesi injak kaki oleh mama agar ketularan hamil. Konon katanya setiap perempuan telah menikah tapi belum mendapat keturunan, jika melakukan prosesi ini akan segera ketularan mengandung. 

Pada kenyataannya mitos yang berkembang hanya ibarat bunga tidur, karena angan seolah tenggelam dalam mimpi, tapi kenyataan tetap memanggil pulang pada ketentuan Rabb-nya. Sekian tahun menanti, tak pernah putus-asa walau banyak nada sumbang berjejalan menyambangi saraf-saraf pendengaran Lestari maupun Prasetyo.

Biasa-lah. Hidup di tengah keluarga besar dan masyarakat, pasti sedikit banyak menuai pro dan kontra tersendiri. Label jahat yang mendeskriditkan kaum hawa--mengatakan jika seorang istri yang tak kunjung hamil pasti menderita kemandulan.

Padahal dunia kesehatan telah berkembang pesat. Infertilitas bukan hanya menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Bisa jadi laki-laki pun memiliki peluang sama, tapi karena budaya patriarki--seolah apa-apa perempuan yang salah, menjadikan pemikiran orang-orang menitik beratkan sebelah.

Lestari maupun Prasetyo tidak menderita infertilitas atau gangguan kesehatan apapun. Semua hasil pemeriksaan menyatakan keduanya baik dan sehat. Namun kembali lagi, kesabaran masih harus diuji guna menyempurnakan cinta pada Sang Pemilik Semesta. Pasrah adalah pilihan akhir setelah digempur usaha dan doa.

Secercah harapan itu muncul ibarat pelangi usai hujan badai. Di saat penantian tak kunjung mendapat jawaban, Niskala--adik ipar-yang sudah seperti adik kandung baginya memberi kabar mengejutkan. Niskala dan Faris ingin menyerahkan salah satu di antara bayi kembar mereka untuk diasuh oleh Lestari dan Tio. Alasan pasangan suami-istri itu menyarahkan salah satu bayinya karena si sulung keadaannya kurang baik. Setelah diyakinkan oleh Dahlia, agar Niskala dan Faris sementara waktu menitipkan putri bungsu mereka di bawah pengasuhan sang kakak--Lestari dan Tio.

Bayi cantik dengan pipi kemerahan itu benar-benar mendarat di pelukan Lestari tepat saat usianya baru satu minggu. Diajeng Puspa Kirani, adalah nama yang diberikan oleh Dahlia--ibu angkat yang sudah menganggap Tari seperti anak sulungnya sendiri. Terbesit dalam angan Tari untuk menyematkan satu nama yang sejak lama telah dia simpan dan persiapkan andai Tuhan mengabulkan harapnya. Perempuan itu lalu menambahkan nama 'Aisyah' pada tengah-tengah nama putri angkatnya. Jadilah bayi cantik itu bernama lengkap Diajeng Aisyah Puspa Kirani. Sedangkan kembarannya, si sulung mendapat nama Diandra Flora Kirana.

Kenapa Diajeng? Karena menurut Niskala dan Faris, Aisyah adalah bayi kedua yang dilahirkan, dengan selisih tujuh menit dari si sulung Diandra. Makanya diberi nama Diajeng--yang berarti adik perempuan.

Keinginan Lestari tak muluk-muluk. Dia ingin membesarkan Aisyah kecil dengan banyak limpahan kasih sayang serta cinta. Mengajari putri kecilnya tentang tauhid dan akhlak, agar kelak saat bayi perempuan itu bertumbuh dewasa bisa mencontoh keindahan akhlak salah satu istri Rasulullah--Aisyah Radiyallahu-anha.
Menjadi amal jariyah untuknya ketika putri kecilnya merapal doa-doa untuknya dan sang suami. Dia sangat yakin, walau tidak terlahir dari rahimnya, tapi kasih sayang yang dilimpahkan dengan sepenuh hati akan mampu membawa Aisyah menjadi perempuan shalihah-yang kelak akan senantiasa mendoakan ayah dan ibunya.

Batok kepala Aisyah memutar semua cerita yang pernah ibu kisahkan. Sejak tadi isakannya belum mereda akibat didera dentum tak kasatmata yang memukul tepat di ulu hati. Sakit, tapi tak berdarah, ketika mendapati mama dan papa lebih condong pada Diandra.

Canggung dan rikuh. Dua kata yang mendominasi Aisyah saat dia sadar posisinya kini berada dalam dekapan Abyasa. Tenggelam dalam rasa nyaman sampai kesadaran memanggilnya-pulang, sontak beringsut  melepas tautan tangan Aby. Menghindar beberapa senti dari laki-laki itu, sampai menimbulkan kerutan di dahi Abyasa.

"Why?" tanya Aby dengan kedua alis saling beradu.

Aisyah terlihat gigiti bibir bawahnya sendiri akibat diserang deru-deru jantungnya yang tiba-tiba meliar. Gawat, kalau sampai ketahuan Abyasa suara dentuman dadanya berdetak dua kali lebih cepat. Bisa-bisa lelaki itu akan ke-ge-eran sendiri.

Tergagap Aisyah menjawab tanya Aby,
"Sa-saya enggak punya cukup uang buat bayar biaya sewa bahunya Pak Aby." Jawaban spontan-nya memicu ledakan tawa Abyasa.

Kali pertama selama kenal, baru sekarang Aisyah melihat Abyasa tertawa lepas karena omongannya.

"Saya cuma bercanda, Syah. Kamu menanggapi seserius ini? Astaga!"

"Ya, tadi, kan, Pak Aby sendiri yang bilang, biaya sewanya seratus ribu permenit. Kalau sejam, udah berapa duit itu, tekor saya, Pak," pekik Aisyah bernada protes.

Berdeham Abyasa yang berdiri sembari kembali mengantongi kedua tangan di saku memangkas jarak dengan Aisyah. Bibirnya merapal sesuatu tepat di telinga gadis itu, "Iyalah, bahunya orang ganteng kayak saya mahal, Aisyah. Kamu harus bersyukur saya kasih pinjam cuma-cuma hari ini, tapi besok atau lusa, kamu harus bayar kalau membutuhkan-nya lagi." Usai berkata Abyasa berniat melangkah, tapi tertahan sejenak seraya kembali menguarkan kalimat.  "Saya mau mandi, ingus kamu meluber ke mana-mana. Jijik, Syah." Kalimat terakhirnya berhasil memicu warna kemerahan berpendar hiasi kedua tebing pipi Aisyah akibat didera rasa malu serta salah tingkah.

"Ish, PAK ABY! Orang enggak ingusan, kok, tadi." Memercayai kalimat Aby, reflek Aisya mengusap permukaan wajahnya. Tidak ada ingus, hanya sisa airmata yang mulai mengering. Decakan panjang mencuat seraya menggumam dalam hati,  "Dasar Pak Aby, sukanya bikin jantung enggak aman."

Aisyah rebahan di kasur sembari memainkan ponsel pintarnya, memeriksa pesan masuk yang sebagian besar dari Pratiwi, ibu dan beberapa pelanggan florist. Beberapa saat setelah itu Abyasa keluar dari kamar mandi. Bertelanjang dada-masih dengan air yang memercik dari atas rambut basahnya, laki-laki itu dengan santainya melengang ke arah koper-tempat menyimpan baju ganti. Dia tak acuh akan keberadaan Aisyah serta suara teriakan gadis itu ditambah gerakan refleknya menutup wajah dengan bed cover.

"Pak Aby jangan porno, dong!" Protes Aisyah.

"Pikiran kamu yang kotor, Syah."

"Pakai baju di kamar mandi, kan, bisa."

"Ribet!"

"Pak Aby emang ribet!"

"Masih mending daripada kamu, super bawel."

"Bawel itu fitrahnya perempuan, Pak. Jangan mendeskriditkan, deh."

Perdebatan yang baru dimulai harus dipending sejenak saat suara ketukan dari luar pintu terdengar diikuti suara Mbak Asih- asisten rumah tangga yang mengabari kalau pasangan pengantin baru itu sudah ditunggu untuk makan malam di meja makan.

Aisyah sebenarnya malas beranjak dari kamar. Bukannya apa-apa, dia hanya mengantispasi sendiri dari rasa kecewa yang mungkin akan kembali mendera batinnya saat bertatap muka dengan mama atau papa tapi kedua orangtua itu malah tidak menganggap dia ada.

"Kenapa belum bangun?" tanya Abyasa usai laki-laki itu memakai poloshirt.

Aisyah beranjak dari rebahan. Duduk menyandar di kepala ranjang, rautnya memancar tak bersemangat.

"Ini mau keluar, Pak. Kan, nungguin Pak Aby. Lama sih!" Cerocosnya mengalihkan pikiran.

"Kalau enggak mau makan sama yang lain, biar nanti saya suruh Mbak Asih bawakan makan malam ke sini."

"Jangan, Pak!"

Penolakan Aisyah menarik atensi Aby. Laki-laki itu kemudian duduk di sisi ranjang, matanya mengamati ekspresi Aisyah. "Saya tahu, kamu belum siap buat ketemu mama. Iya, kan?" Tebakan yang tepat sasaran. Hanya saja Aisyah enggan mengakui.

"Pak Aby selain ribet ternyata sotoy juga, ya."

"Lalu apa, Syah?"

"Enggak papa, udah ayo keluar, udah ditunggu di meja makan."

Aisyah beranjak dari ranjang, menuruni lantai. Tanpa menoleh Aby dia melangkah lebih dulu menuju meja makan.
Benar ternyata, saat kakinya menjangkau ruang makan di sana telah duduk Oma, papa dan mama.

Aisyah baru menarik kursi yang akan dia duduki saat mama berseloroh, "Syah, lain kali tepat waktu. Jam delapan malam semua orang di rumah ini sudah harus duduk di meja makan. Diandra saja yang tinggal di sini tidak pernah membuat kami semua menunggu."

Baru dipikirkan sekarang kejadian lagi. Aisyah mencelus. Kenapa sikapnya seakan selalu salah di mata mama. Bibir Aisyah bergetar menahan pilu. Sontak rasa lapar yang meruangi lambungnya lenyap saat ini juga.

"Maaf Ma, kami telat keluar soalnya tadi Aby minta tolong Aisyah buat pijitin."

Tak dinyana Abyasa muncul tepat di belakang Aisyah. Lelaki itu sigap memberi pembelaan yang membuat Aisyah sendiri langsung melongo.

"Sudah, sudah, tidak usah dibesar-besarkan Kala, maklumin saja, mereka ini pengantin baru." Oma ikut menimpali. "Ayo duduk, Aisyah, Aby." Lanjut Oma mempersilakan keduanya duduk.

Makan malam lebih hening dari biasanya. Selain tidak ada lagi ayah dan ibu berkumpul di meja makan ini, juga karena seluruh penghuninya memilih menyuap makanan tanpa banyak mengeluarkan kata-kata.

Aisyah menyuap dengan tidak berselera. Rasa panas di perut akibat cacing-cacing yang berdemo tergantikan dengan sesak akibat pisau kalimat sang mama.

"Ma, Pa, Oma, Aisyah pamit undur diri duluan. Kepala Aisyah agak pusing." Menandaskan isi piring-yang memang hanya diisi sedikit makanan, Aisyah ingin segera beranjak dari sana.

"Kalau sakit minum obat, Syah, jangan sampai nyusahin suamimu nanti." Kali ini suara Faris Hutama yang menyambangi telinga Aisyah.

Anggukan Aisyah jawabi kata-kata sang papa. Kakinya terayun melangkah menuju ruang pribadi. Setegar apapun seorang Aisyah, seceria apapun sikapnya di luar sana, jika sudah berhadapan dengan kalimat kurang mengenakkan Niskala dan Faris Hutama, tetap saja dia merasa sangat rapuh dan tidak berharga. Aisyah boleh baper, kan?

Jika kalimat tendensi itu mencuat dari mulut orang lain, Aisyah akan bodo amat. Tapi ini mama papanya lho, orangtua kandungnya sendiri yang terus-menerus memberikan pukulan tak kasatmata lewat tutur katanya yang menyakiti.

Setiap kali rasa kecewa itu datang. Setiap itu juga Aisyah memutar semua kata-kata dan nasihat ibu agar pikirannya tetap bisa positif. Mau seburuk apapun sikap orangtua, seorang anak tetap wajib mengutamakan birrul walidain--bakti pada mereka.

Aisyah berbaring miring di ranjang. Pintu terkuak dari luar, Abyasa melangkah masuk. Buru-buru Aisyah memalingkan wajah ke arah lain menghindari interupsi Aby lewat tatapan mata lelaki itu.

"Syah, are you okey?"

Deheman singkat jawabi tanya Aby.

"Sudah minum obat? Katanya pusing."

"Enggak mau minum obat, Pak." Nada bicaranya melemah menyahuti Aby.

"Terus maunya apa?"

"Pulang ke Surabaya. Pengin dipeluk ibu."

Embusan napas panjang terlepas dari mulut Aby. "Saya sudah bilang, kan, kalau kamu butuh pinjaman bahu buat nangis__"

"Pak Aby enggak usah sok baik," potong Aisyah sebelum Aby tuntaskan kalimatnya.

"Syah, masih tertarik buat ngelakuin proses repotting sekali lagi?" Pertanyaan itu menyambangi kuping Aisyah. Gadis yang sedang berbaring miring membelakangi Aby itu menyahut seraya memutar pandangan, menatap Aby yang duduk persis di sebelahnya.

"Maksudnya, Pak?" Salah satu alis Aisyah terangkat ketika bertanya balik.

"Kemasi barang kamu sekarang juga, kita akan melakukan proses repotting, umh, maksud saya pindahan."

Binar cerah langsung menyambangi kedua hazel Aisyah.
"Pak, maksudnya mau nganterin saya ke Surabay__"

"Ke rumah keluarga saya, Aisyah. Jangan berpikir terlalu jauh. Ayo buruan, biar enggak terlalu malam."

Ragu-ragu Aisyah menjabarkan rasa kuatirnya pada Aby, "Tapi nanti gimana izinnya sama Oma, sama mama-papa, Pak?"

Tangan Aby mengibas ke udara. "Gampang soal itu, kamu siap-siap biar saya yang bicara dan minta izin pada Oma." Aby melengang keluar usai bicara.

Aisyah masih tercenung. Dibuat bingung dengan sikap Aby yang mendadak jadi baik. Memegang dadanya sendiri, dia rasakan ada dentuman aneh yang menjalar di sana. Gelengan-nya mencuat, takut kalau nanti akan merasakan sesuatu yang ganjil terhadap Abyasa. Yang dia tahu, katanya debaran-debaran aneh yang sering muncul tiba-tiba saat berada di jarak dekat dengan lawan jenis merupakan salah satu tanda jatuh cinta.
Oh Allah, Aisyah sama sekali belum siap untuk itu.

⚜️⚜️⚜️

Bab selanjutnya akan ada kemunculan Diandra.

Meet Diajeng Aisyah Puspa Kirani



Meet Diandra Flora Kirana

Lestari dan Prasetyo (Ibu Tari, Ayah Tio)





Bonus penampakan Pak Aby 🤭





Vote sama komen aja dulu yang banyak. Nanti di-update lagi.

09-01-2022
1900

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro