10. To be Honest

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sisa waktu yang ada sebelum Eithar pulang kugunakan untuk berpikir. Jika benar yang Viona katakan, berarti aku dan Eithar memiliki harapan untuk menjalin hubungan normal. Bukan aku tergesa-gesa ingin menikmati malam pertama, tapi aku mau disayangi selayaknya pasangan sungguhan.

Waktu bergerak lambat, menemani kebosananku yang semakin tidak terkendali. Lalu terbayang olehku, bagaimana kalau pada akhirnya aku dan Eithar bisa menjadi suami istri yang normal? Artinya mungkin kami akan sering menghabiskan waktu di luar rumah agar aku tidak bosan. Astaga! Memikirkannya saja sudah membuatku tersenyum tiada henti.

“Aku pulang, Carissa.”

Seketika jantungku jadi menggila. Eithar pulang, tapi yang jadi perhatianku adalah kalimatnya barusan. Aku pulang, Carissa. Oh, astaga! Dia tidak pernah berkata seperti itu sebelumnya.

“Banyak kerjaan di kantor?” tanyaku berbasa-basi, berusaha menyembunyikan kegugupan.

Eithar mengangguk. Lalu meletakkan tasnya di sofa. Dia berjalan ke arahku sambil melepas dasi, disusul membuka tiga kancing teratas kemejanya, dan terakhir menggulung lengan kemeja hingga siku. Debarku kian menggila saat Eithar duduk di sisiku dan menatap intens.

“Kamu udah makan malam?” Aku mengangguk. “Maaf aku pulang telat.”

Apa ini? Apa ini? Eithar minta maaf? Yang benar saja! Jelas itu adalah hal langka. Bahkan saat menceburkanku ke kolam, dia sama sekali tidak merasa bersalah.

“Nggak apa-apa. Aku ngerti kamu sibuk.”

“Aku mau mandi dulu. Kalau kamu udah ngantuk, tidur duluan aja.”

Dia sudah bangkit dari ranjang, tapi lengannya sengaja kutahan. Eithar menoleh, lalu memperhatikan bagaimana jari-jariku masih setia menyentuh kulitnya.

“Tunggu, aku mau ganti baju tidur dulu.”

Eithar mengangguk tanpa kata, masih memperhatikan tanganku yang memegang lengannya. Senyumku terkulum, mungkin benar kalau Eithar sebenarnya tidak memiliki kelainan.

Aku segera menuju ruang ganti yang berhubungan langsung dengan kamar mandi. Pilihan baju tidurku kali ini jatuh pada lingerie yang pernah Eithar berikan. Sebenarnya aku bisa saja berganti pakaian setelah Eithar masuk ke kamar mandi. Tapi, aku ingin melihat reaksinya.

“Aku udah selesai. Mandi, gih,” suruhku.

Eithar yang tadi sibuk dengan ponselnya kini menatapku. Dia diam, tidak berkata apa-apa. Tapi, matanya tak putus naik-turun memperhatikan penampilanku. Lalu dia buru-buru meletakkan ponsel di nakas dan segera melewatiku untuk menuju kamar mandi. Jujur, aku tidak tahu reaksinya barusan karena terpesona padaku dan dia tergoda atau malah sebaliknya, tidak merasakan apa-apa dan malah tidak suka.

Kubaringkan tubuh perlahan-lahan sambil menunggu Eithar selesai mandi. Sengaja, aku tidak menutup tubuh dengan selimut. Ingin kulihat bagaimana reaksi Eithar. Tapi, hingga hampir dua jam berlalu, Eithar belum juga keluar dari ruangan itu. Aku jadi sedikit cemas. Mandi tapi kok lama sekali?

Akhirnya aku turun dari ranjang, lalu memasuki ruang ganti. Terlihat pintu kamar mandi masih tertutup dan bunyi shower terdengar. Gila, Eithar sungguh mandi selama ini? Aku tidak pernah tahu itu.

Terlalu sibuk berpikir, aku tidak menyadari bahwa Eithar kini sudah berdiri di ambang pintu. Dia tampak terkejut saat mendapati aku di sini.

“Carissa, kamu ngapain di sini?”

“Hemmm, itu. Aku khawatir sama kamu. Mandi masa' hampir dua jam.”

Eithar dan aku salah tingkah. Dia menggaruk-garuk kepalanya, sedangkan aku berdiri dengan gelisah. Lalu aku menyadari, bahwa Eithar hanya menggunakan  handuk untuk bagian bawah tubuhnya. Sementara, dadanya terekspos begitu saja di depanku.

“Yaudah, kamu ganti baju dulu. Nanti ngobrol lagi.”

“Ya, kalau kama lama-lama di sini, aku mungkin harus mandi selama dua jam lagi.”

Otomatis langkahku tertahan, padahal tadi sudah berjalan menuju pintu. Dengan cepat aku membalik tubuh dan menghampiri Eithar.

“Maksudmu gimana? Kamu mandi lama apa hubungannya sama aku?”

Kudengar Eithar mendengkus. Lalu berjalan lebih dekat, hingga aku merasa kehabisan oksigen. Tangannya bergerak mengusap punggungku seraya mencondongkan wajah.

“Penampilanmu selalu menggoda, Carissa. Aku harus nenangin juniorku setiap lihat kamu,” bisiknya penuh kelembutan.

Bisikan yang berhasil membuatku meremang dan tegang. Usapan di punggungku juga kian intens, lalu berakhir saat Eithar mengusap lembut bibirku dengan ibu jarinya.

“Ja-jadi kamu normal?” tanyaku gugup.

“Siapa yang bilang aku ada kelainan?”

Kaki Eithar maju, yang mana membuatku mengambil langkah mundur. Terus mundur diiringi kegugupan, hingga akhirnya tubuhku menyentuh lemari. Aku tidak bisa lari, karena Eithar mengurungku dengan kedua tangannya yang berada di sisiku.

“Kamu waktu itu nggak berkilah saat aku bilang kamu ....”

Ah, mendadak aku jadi tidak bisa mengucapkan kata itu lagi.

“Homo?” Eithar memastikan. Rasanya malu melihat seringai Eithar. “Itu hanya pemikiranmu sendiri, Carissa.”

“Jadi nggak ada masalah?” Lagi, aku memastikan.

“Ada.”

Lalu satu tangan Eithar meraih jemariku dan meletakkan di dadanya. Mataku mengarah pada dada terbuka Eithar, melihat bagaimana dia menggenggam tanganku.

“Masalahnya di sini, Carissa. Karena masih ada sebuah nama di sini.”

Cepat, aku menatap matanya, lalu merasakan panas itu kembali hadir. Ternyata ... sakit. Rasanya sakit!

“Jadi karena itu. Karena ada yang lain di hati kamu,” gumamku pada diri sendiri.

Kemudian memilih memalingkan wajah dan berusaha melepas tangan dari Eithar. Sayangnya, Eithar kian erat menggenggam. Aku semakin sesak. Ternyata ini alasannya, ini! Eithar bukannya tidak tergoda untuk menyentuhku, tapi karena dia memiliki yang lain di hati. Seseorang yang dia jaga dengan baik rasa sayangnya, hingga tak mampu berkhianat meski dengan istri sendiri.

“Dia gadis di foto itu.” Mataku terpejam erat. Awalnya aku sudah menduga, tapi pikiranku teralihkan dengan hal lain. “Dia cinta pertamaku.” Tuhan, ini sakit. “Dan sejujurnya dia alasan kenapa aku nggak sentuh kamu, meski aku ingin.”

Ingin. Ya, sebagai laki-laki normal dia menginginkan seks. Dan aku bersyukur kami belum melakukannya. Karena jika aku tahu fakta ini setelah kami berbagi kehangatan di ranjang, jelas rasanya akan lebih pedih.

“Dia—”

Stop it, Eithar. Enough for tonight,” kataku pelan.

Sebuah sentuhan terasa di pipiku dan sekali lagi Eithar berbisik, “Maaf, Carissa.”

🌹🌹🌹

Sendiri kususuri jalanan. Suasananya begitu menyenangkan, daun-daun berjatuhan mengiringi langkah. Kendaraan sepi, hanya satu ada dua saja yang melintas. Jalan ini seperti tidak asing. Ah, aku ingat. Ini adalah jalan menuju daerah pegunungan. Biasanya hanya ramai saat akhir pekan.

Angin memeluk mesra, dingin mulai menjalar. Sunyi ini mulai menelusuk ke dalam jiwa. Menuju ke mana kakiku ini? Rasanya tidak ingin berhenti, meski tanpa tujuan jelas.
Tiba-tiba melintas sebuah mobil dengan kencang hingga dedaunan ikut beterbangan. Aku heran, kenapa harus seperti itu mengendarainya? Terlalu buru-burukah? Tapi, tidak lama kemudian, terdengar suara yang memekakkan telinga.

Astaga, suara apa itu? Begitu keras bunyinya. Aku segera berlari menuju sumber suara karena panik. Ya Tuhan, kakiku bergemetar ketika mendapati pemandangan di luar dugaan. Mobil tadi mengalami kecelakaan, tebing baru saja dia hantam.

“Tolong, tolong, tolong!” Aku berteriak sebisanya, tapi tak ada orang.

Kucoba membuka pintu, tapi tak bisa. Berkali-kali mencoba untuk memecahkan kaca, tetap juga tidak berhasil. Harus bagaimana sekarang? Ya Tuhan, aku sungguh takut.

“Tolong, tolong, tolong!” teriakku lagi.

Harapan muncul ketika sebuah mobil berhenti. Dua orang turun dari sana dan berlari panik menghampiri mobil yang tadi kecelakaan. Seorang pria berusaha memecah kaca mobil dengan palu yang dia ambil dari mobilnya sendiri. Dua orang itu tampak panik, tapi tetap berusaha.

Aku merasa lega, tapi setelahnya kebingungan ketika menyadari bahwa pria dan wanita yang berusaha menolong korban kecelakaan itu adalah orang tuaku. Bagaimana bisa?

“Ibu, Ayah, tolong keluarin orang di dalam mobil itu!” ucapku dengan menggebu-gebu.

Namun, anehnya mereka tak menghiraukanku, seperti tak melihat keberadaan putrinya ini. Mungkin mereka terlalu fokus. Ah, baiklah.
Beberapa menit kemudian, mereka berhasil memecah kaca dan membuka pintu. Terlihat ada beberapa orang di sana yang sudah lemas bercucuran darah. Semuanya tidak sadarkan diri. Hatiku teriris melihat mereka yang tidak berdaya. Semoga saja mereka masih bernyawa.

Pandanganku kemudian jatuh pada sosok remaja laki-laki di jok tengah. Seketika darahku mengalir dengan cepat. Dadaku sesak, seakan-akan oksigen tidak mampu kuhirup. Eithar? Eithar kecelakaan? Eithar yang ada di dalam sana? Astaga! Ini mustahil!

Kuambil jarak lebih dekat untuk memastikan bahwa dia memanglah Eithar. Dan mataku tidak salah. Eithar kecelakaan. Wajahnya dipenuhi darah. Ya Tuhan ....

“Eithar! Eithar! Sadarlah! Aku di sini, buka matamu! Eitharrr!” teriakku.

Tapi, dia tak menjawab. Tubuhnya tetap terkulai lemas. Orang tuaku terlihat begitu khawatir. Mereka juga sepertinya mencoba menghubungi seseorang untuk meminta bantuan.
Aku terjatuh lemas. Eithar-ku tengah tak berdaya. Air mata ini luruh begitu saja dan hati bagai menjadi serpihan dalam seketika. Aku tidak punya kekuatan untuk berdiri. Kepalaku mendadak sakit membayangkan bahwa hal mengerikan baru saja terjadi pada suamiku. Tidak, aku tidak bisa melihat Eithar seperti ini. Aku belum siap untuk ditinggal pergi.

“Eitharrr!” teriakku lagi dengan perih yang membuncah.

“Carissa! Carissa! Bangun!”

Mata terbuka dan mendapati Eithar di sisiku. Seketika aku membelalak melihat keadaan Eithar yang baik-baik saja. Aku duduk dan memeluknya. Napasku benar-benar tidak keruan. Ketakutanku benar-benar menggila tadi.

“Eithar, kamu nggak apa?” tanyaku lirih diiringi tangis yang tak terbendung.

“Aku nggak apa-apa. Kamu mimpi apa? Kamu teriakin namaku dari tadi. Aku jadi panik.”

Pelukanku kian erat, enggan melepaskannya sedetik pun. Eithar mengusap pelan punggungku, hingga isak tangis mulai mereda. Sayangnya aku tidak bisa memudarkan rekaan adegan tadi yang begitu jelas terpampang di mata.

“Aku ambil air.”

“Jangan,” cegahku.

Tidak ingin dia melepaskan pelukan ini. Yang aku butuhkan hanya Eithar. Hanya menyentuhnya yang jadi penenangku saat ini.

“Mimpi buruk?” Aku mengangguk dalam dekapannya. “Jangan dipikirin. Itu cuma mimpi.”

“Tapi yang ada di mimpiku itu kamu, Eithar.” Dadaku kembali sesak.

“Aku baik-baik aja, Carissa.”

Suaranya kali ini berhasil membuatku merasa nyaman. Ya, memang aku ingin dia baik-baik saja. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika sesuatu terjadi pada Eithar.

Aku mendongak pelan, Eithar juga balas menatap. Lalu satu tangannya mengusap mataku. Rasa hangat menjalari hati, hingga terpikirkan sesuatu olehku. Selanjutnya keheningan malam menjadi saksi atas apa yang aku ucapkan kali ini. Dan aku sungguh-sungguh ketika mengatakannya, meski Eithar tetap diam.

“Jujur, Eithar, aku nggak bisa kehilangan kamu. Tetap baik-baik aja dan jadi suamiku selamanya, ya?”

Tbc

Makin jelas ya si Etihar ini. Gagal move on, gaes, ternyata! Wkwkwk!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro