9. The Truth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luka masa lalu Eithar pasti sangat dalam. Yang bisa aku pastikan adalah darah begitu menakutkan untuknya. Masih terekam jelas bagaimana pucat wajahnya ketika melihat wajahku dibersihkan oleh Bik Marni. Begitu juga dengan kegugupannya ketika kembali menatap wajah Richi yang berdarah. Bik Marni dan Pak Sobri pulang tidak lama setelah insiden selesai. Katanya Eithar yang menghubungi sebab khawatir mendengar suaraku cemasku di telepon. Ya, syukurnya mereka cepat datang.

"Kita harus ke rumah sakit ngelakuin pengecekan di kepala kamu. Luka kamu itu juga harus dijahit. Sobekannya cukup kelihatan."

Wajah Eithar berpaling, lalu matanya terpejam. Sedikit yang aku tangkap, Eithar tidak kuat melihat luka terbuka di pelipisku. Tidak ingin membuatnya khawatir lebih banyak, aku menyuruh Bik Marni agar segera menutupi luka ini dengan perban.

Tentu aku akan pergi ke rumah sakit, tapi nanti, saat masalah di sini benar-benar selesai. Aku juga sudah meminum pil pereda nyeri, cukup membuatku bertahan sebelum pendapat penanganan lebih lanjut.

"Pipi kamu memar, Eithar. Kamu harus dikompres."

"Ini nggak sebanding sama kamu. Keadaan kamu yang lebih mengkhawatirkan," jawabnya masih dengan mata terpejam.

Tubuh Eithar bersandar di sofa. Dia tampak kelelahan dengan kejadian beberapa waktu lalu. Kedua tangannya juga aku yakini merasa perih, tapi Eithar menolak untuk dirawat oleh Pak Sobri atau Bik Marni.

"Aku akan tambah asisten rumah tangga tetap di rumah kita. Aku juga bakal cari penjaga di gerbang rumah. Penjaga yang aktif 24 jam buat hindari hal-hal kayak tadi."

Di rumah, Kakek memang hanya menjadikan Bik Marni satu-satunya asisten rumah tangga yang tinggal di sini. Biasanya ada tiga asisten lain yang membantu membereskan rumah, tapi mereka adalah pekerja lepas. Kakek tidak ingin rumah menjadi ramai. Untuk itu juga, hanya ada Pak Sobri sebagai satu-satunya pekerja laki-laki di sini. Alasan lainnya sangat sederhana, Kakek bukan pebisnis kejam yang punya banyak musuh, jadi tidak memerlukan perlindungan ketat.

Tidak pernah mendapat ancaman dari luar, Kakek memang benar akan hal itu. Tapi kali ini aku malah menjadi penyebab kerusuhan di rumah. Yang pada akhirnya membuat Eithar ingin mengesampingkan alasan kakeknya menerapkan aturan tidak perlu ada orang asing di sini. Terdengar manis ketika Eithar mengatakannya, terdengar perhatian, dan juga ... menyenangkan. Kalau saja aku tidak ingat bahwa Eithar tidak akan pernah kumiliki karena kelainannya, mungkin saat ini aku akan berani mengakui dalam hati bahwa dia begitu kuinginkan.

"Kamu perlu bahas sama Kakek."

"Nggak perlu. Aku punya hak di rumah ini."

"Tapi Kakek yang paling tua di sini, Eithar. Jangan Cuma gara-gara aku, Kakek jadi nggak nyaman."

Eithar membuka mata dan menatap tajam. Embusan napas kasarnya terdengar. Detik selanjutnya dia kembali memejamkan mata.

"Aku berhak kasih perlindungan untuk istriku."

Jawaban tegasnya sangat mendominasi. Seolah-olah tidak boleh ada yang membantah apa yang telah Eithar kehendaki. Kalau sudah begini, aku tidak akan menyanggah lagi. Apa yang Eithar katakan memang benar, meskipun kami tidak memiliki hubungan normal sebagai suami istri.

Bik Marni sudah selesai merapikan peralatan P3K, sedangkan Pak Sobri juga sudah berhasil memindahkan tubuh Richi ke sofa. Memindahkannya ke tempat yang lebih layak, dibanding terkapar tidak berdaya di lantai. Ada rasa muak sekaligus pilu yang menyerang dada. Laki-laki itu pernah sangat baik padaku, tapi apa yang dilakukannya hari ini telah menghapus jejak malaikatnya dulu di dalam hidupku.

"Mau ganti baju dulu? Biar Bik Marni bantu kamu," tawar Eithar, yang kujawab dengan gelengan.

Seharusnya sebentar lagi orang tua Richi datang dan aku tidak mau melewatkan sedetik pun pertemuan ini. Ya, Eithar memilih menyelesaikan segalanya di sini daripada membuang tenaga mengantar tubuh Richi ke rumahnya. Melalui ponsel Richi yang tidak memerlukan passcode, Eithar menghubungi ayah Richi dan sekaligus memberi tahu bahwa Eithar tidak cukup baik untuk merawat Richi yang babak belur.

"Eithar, makasih ...."

Laki-laki yang duduk berseberangan denganku tidak memberi jawaban. Bukan masalah, karena aku mulai terbiasa dengan sikapnya. Aku sedikit mulai menerima bahwa dia tidak bisa diprediksi. Sebentar baik, ramah, lalu akhirnya kembali dingin. Eithar memang seperti itu. Tapi hal itu juga yang pernah membuatku menggeram marah sebelum mengerti bahwa pernikahan kami tidak akan jadi normal.

"Carissa? Astaga, Carissa!"

Teriakan itu menggema dari ambang pintu seiring kaki yang berlari menghampiriku. Tubuhku menegang ketika mama Richi memeluk erat. Takut, kalau setelah tahu kondisi anaknya, dia malah memelukku hingga kehabisan napas.

"Maafin anak Tante, Carissa," pintanya yang terdengar penuh kesungguhan. Tangannya membelai kepala belakangku, setelahnya aku meringis. Menyadari hal itu, mama Richi melepas pelukan dan menatapku dengan sorot sedih. "Tante minta maaf, Carissa."

"Sayangnya saya nggak akan minta maaf atas kondisi anak kalian."

Suara itu begitu menakutkan, hingga berhasil menarik perhatian mama Richi. Baru kusadari, bahwa papa Richi juga ikut. Dia berdiri di sisi tubuh anaknya sembari menatap Eithar lekat.

"Kami tahu. Kami yang harus minta maaf," kata papa Richi bernada datar. Lalu kulihat bahunya agak merosot sebelum duduk di tubuh lemah sang anak. "Kami tidak mengawasi Richi dengan baik. Tolong maafkan kami."

Lama tidak bertemu orang tua Richi, ternyata kesempatan membawa kami pada situasi tidak terduga. Isak tangis mama Richi memilukan ketika dia bersimpuh di bawah tubuh sang anak. Tangannya membelai wajah itu berkali-kali sambil menggumam sesuatu yang tidak bisa kudengar.

"Jadi sebaiknya bagaimana kita menyelesaikan masalah ini?"

Ini adalah kali pertama aku mendengar Eithar bernada serius. Sebelumnya yang aku dengar dia hanya bernada datar, bahkan lebih sering terkesan tidak peduli.

"Richi mengalami gangguan. Sikapnya bisa berubah kalau merasa tersakiti atau ketenangannya diusik. Dia bisa memukul dan menyakiti dengan cara yang lain. Ini udah terjadi sejak lama dan kami baru tahu satu tahun terakhir."

Mataku membelalak kaget, tidak percaya atas kebenaran yang baru saja pria itu katakan. Rasanya sangat tidak mungkin kalau Richi memiliki ketidaknormalan seperti itu sejak lama. Benar, tadi aku meneriaki dirinya sakit dan harus pergi ke psikolog atau psikiater. Tapi yang ada di bayanganku tadi adalah kondisi Richi tidak separah itu.

Tubuhku gemetaran mengingat bagaimana kasarnya sikap laki-laki itu. Dadaku sesak saat memutar ulang bagaimana ekspresi senang Richi sebelum menyakitiku. Aku ingin berlari, tapi sebelum bangkit, ada tangan kekar yang memegang lenganku. Lalu merapatkan tubuhku dengan tubuhnya. Aroma woody langsung menyergap hidung ketika kepalaku terbenam di dadanya.

"Aku di sini, Carissa, jangan takut."

Mengangguk pelan, aku tetap bertahan di posisi ini. Kepalaku enggan terangkat demi menatap papa Richi yang masih memberi penjelasan lain tentang kondisi anaknya. Yang aku rasakan saat ini adalah ketakutan itu perlahan menguap. Karena Eithar, ya tentu karena dia. Dekapannya menghantarkan nyaman yang selalu kudamba. Untuk pertama kali sejak kami bertemu, aku bersyukur memiliki takdir yang disatukan oleh Eithar.

"Saya nggak akan membawa kasus ini ke ranah hukum dengan syarat nggak akan ada lagi kejadian seperti tadi. Cukup satu kali nyawa istri saya terancam karena ulah laki-laki itu. Silakan bawa pergi anak kalian."

Lalu yang kudengar hanya erangan penuh kesakitan dari Richi yang mulai sadar. Karena Eithar segera menarikku pelan untuk menuju kamar setelah orang tua Richi mengucap maaf sekali lagi. Dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di lantai bawah.

🌹🌹🌹

Tidak ada luka serius dan tidak perlu rawat inap. Aku bersyukur sekali mendengar kalimat itu dari dokter. Eithar juga tampak lebih lega ketika perawat menangani lukaku. Tapi, dia terlihat tidak tenang ketika hendak pergi bekerja hari ini.

"Aku aman, Eithar. Kamu nggak usah khawatir."

Berkali-kali napasnya terembus panjang sebelum akhirnya menghampiriku yang duduk menyandar di ranjang. Dia duduk, matanya menyorotkan sesuatu yang tidak dapat aku mengerti dengan jelas.

"Hubungi aku kalau ada apa-apa. Jangan kasih Bik Marni dan Pak Sobri pergi dari rumah sebelum aku datang. Kamu juga jangan keluar rumah. Istirahat total. Paham?"

Aku mengangguk pelan. Entah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana. Eithar terdengar perhatian dan agak posesif. Rasa aneh itu tiba-tiba kembali melingkupi dada. Seandainya ... seandainya saja apa yang dikatakan Eithar tadi adalah bentuk dari isi hatinya sebagai seorang laki-laki sejati, pasti aku akan mengharap lebih.

Sayangnya aku harus kembali pada kenyataan perihal hubungan yang tak mungkin memiliki masa depan. Bayangan menjadi perawan tua langsung melintas di benak. Ah, entah sampai kapan Eithar menyembunyikan kebenarannya dari Kakek dan berlindung dalam pernikahan ini. Atau jangan-jangan, Kakek sebenarnya sudah tahu? Ck!

Pikiranmu liar sekali, Carissa.

Selepas kepergian Eithar, tidak ada yang kulakukan selain menghabiskan waktu di ranjang. Makan siangku juga diantar oleh Bik Marni. Katanya Eithar yang memberi titah agar aku tidak perlu berjalan sendiri ke lantai bawah.

"Viona ... kamu di mana?"

Sejak kejadian kemarin, kami belum bertemu lagi. Dia sama sekali tidak muncul, mungkin karena sepanjang waktu Eithar tetap di sisiku. Mungkin karena dia tidak ingin hadir ketika ada orang menemaniku.

Aura yang berubah membuatku tersenyum senang. Viona datang. Hantu cantik itu memenuhi panggilanku. Bahkan dia kini sudah berdiri di sisiku dengan wajah yang menampakkan kesedihan. Matanya terfokus pada perban yang melingkar di sekeliling kepalaku.

"Kamu udah bantuin aku. Jangan sedih, oke?"

Sebenarnya kata-kata barusan muncul hanya dari dugaan bahwa Viona khawatir pada keadaanku. Seolah-olah aku paham maksud dari wajah murungnya itu. Dan tebakanku benar, ketika Viona berkata lirih bahwa dia menyesal tidak bisa membantu lebih banyak.

Anggapannya adalah keterbatasan kemampuan menjadi sebab aku mendapat luka separah ini.


Aku mendesah sedih. Ya, sedih, karena Viona jadi merasa bersalah, padahal dia sudah sangat membantu. Entah apa yang terjadi kalau Viona tidak memperlambat waktu dengan menghilangkan pintu serta jendela-jendela besar itu kemarin. Aku berutang budi pada Viona, karena dia Eithar jadi sempat menyelamatkanku.

"Maaf, Carissa ...."

Sekali lagi dia mengulang kalimat itu. Hatiku jadi tersentuh. Maka, dengan niat tulus, tanganku terulur, ingin meraih tangan Viona. Seketika aku tersentak ketika tangannya tak dapat kuraih. Ah, aku lupa. Kami kan berbeda. Tapi, melalui kejadian barusan, aku jadi bisa melihat senyum di bibir mungilnya.

"Kamu baik banget sama aku, Vio."

"Kamu yang baik sama aku, Carissa. Kamu hadir di rumah ini. Kamu harapanku untuk mengubah kesunyian di rumah ini."

Sungguh, aku tidak mengerti apa yang Viona katakan. Memang apa hubunganku dengan kesunyian yang mungkin lenyap di sini? Aku yakin, sampai sekarang pun ada atau tidaknya aku di sini tidak memiliki pengaruh apa pun. Kakek lebih sering di kamar dan Eithar senantiasa bekerja.

"Aku boleh tanya sesuatu?"

Mumpung kami mengobrol, mungkin bisa kucoba lagi untuk menanyakan sesuatu yang masih jadi pertanyaan. Sayangnya, Viona segera menolak permintaanku barusan. Dia bilang ini belum waktunya aku tahu hal lebih banyak. Baiklah, aku hanya bisa berdecak kecewa dan dibalas dengan tawa ringan Viona.

Tawa dan senyum Viona begitu tulus. Ya, dia tidak akan memberikan ekspresi abu-abu. Sedih ya sedih, senang ya senang. Itu kenapa aku bisa sedikit mengenal tentang dirinya.

"Kamu suka Eithar, 'kan?"

Hah? Pertanyaan macam apa itu? Hantu ini berhasil membuatku mengulum senyum sebelum memalingkan wajah karena merasa malu. Malu? Padahal seharusnya tidak ada yang perlu membuatku merasakan itu. Tapi ya ... nyatanya itu yang terasa, meski harus segera kutepis khayalan manis di benak bersama Eithar.

"Dia nggak normal, Viona. Dan harusnya kamu tahu, 'kan?"

"Eithar laki-laki normal, Carissa. Dia juga tergoda sama kamu, tapi ada hal yang masih menahannya." Apa yang Viona sampaikan barusan berhasil membuatku kembali menatapnya. "Kamu akan tahu kalau nggak tidur duluan tiap malam."

Viona kemudian menghilang begitu saja. Aku sendirian dengan kepala yang dipenuhi banyak pertanyaan. Benarkah Eithar normal? Jadi ... dia tidak mengalami kelainan seksual? Tapi kenapa juga belum menyentuhku meski kami sudah resmi sebagai pasangan sah?

Tbc

Akhirnya yaaa Carissa mulai sadar Eithar itu normal😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro