12. Cold Heart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I like the taste of your lips, Eithar,” bisikku sesaat setelah kami melepaskan lumatan.

Eithar akan menjauhkan tubuh, tapi aku menahannya. Sengaja kupeluk dia, dengan seringai untuk Dyra yang masih setia memandang kami. Mungkin urat malunya sudah putus. Bisa-bisanya dia memperlihatkan pandangan tidak suka itu. Lupa akan statusnya atau apa?

“Kangen kamu. Peluk bentar, ya.”

“Kenapa jadi manja gini?”

Kenapa? Alasannya tentu saja untuk membuat Dyra kesal. Aku bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti maksud pesan-pesan Dyra pada Eithar. Perempuan itu menyukai Eithar. Heh, enak saja mau mendekati suamiku. Jelas-jelas aku yang berstatus istrinya masih kewalahan untuk menggapai hati Eithar.

Dyra mengalihkan pandangan pada laptop di hadapannya. Aku tersenyum puas, lalu melepaskan diri dari Eithar. Sebenarnya tanpa dilihat Dyra aku juga akan tetap memeluk Eithar. Suami ganteng begini, sayang kalau dianggurin, ‘kan?

“Kamu mau makan apa? Biar dibeliin OB.”

“Makan kamu boleh, nggak? Di sini juga nggak masalah.”

Bukannya membalas godaanku, Eithar berdecak, lalu menekan interkom dan menyampaikan pada Dyra untuk memesankan beberapa makanan. Suamiku tidak seburuk yang aku kira di awal. Aku pertama kali mengunjunginya di kantor dan dia memperlakukanku dengan layak.

“Duduk di sofa aja sambil nunggu makanannya datang.”

Aku menuruti ucapannya. Dari sofa, kupandangi Eithar yang sibuk membaca dokumen. Ke mana aku selama ini sampai baru menyadari suamiku ini seharusnya kuikat saja di rumah agar tidak dilirik perempuan lain? Baru satu orang yang aku tahu terang-terangan menunjukkan rasa. Aku yakin ada  perempuan yang lainnya juga.

Muda, tampan, calon penerus bisnis keluarga, siapa yang mau melewatkan Eithar? Aku saja yang bodoh karena sempat murka pada perjodohan ini. Padahal jodohku ini memiliki bibit, bebet, dan bobot unggul. Betapa beruntungnya aku.

“Dyra kesel kayaknya lihat aku.”

“Biarin ajalah. Kamu nggak bisa ngatur pandangan orang lain.”

Sifat menyebalkannya memang sudah melekat. Bagaimana dia berkata sesantai itu tentang perempuan yang jelas-jelas menyukainya? Sebagai istri aku tidak terima. Tapi juga tidak bisa berbuat apa pun pada Dyra, kecuali dia main kasar dengan fisik. Selagi sikapnya masih terkendali, aku tak akan mengusiknya.

“Kok, sekretaris ganjen gitu bisa kerja di sini, sih?”

“Dyra dimasukin sama salah satu pemegang saham perusahaan. Pendidikan dan riwayat pekerjaannya masuk kualifikasi untuk kerja di sini.”

Sebal. Biarpun begitu, seharusnya dia menjaga etika, ‘kan?

“Tapi dia minus attitude, Eithar. Coba lihat sikapnya tadi. Nyapa aku aja nggak, padahal aku istri kamu.”

“Nggak usah dipeduliin. Dia juga nggak ngerugiin kamu.”

Ya Tuhan ... kenapa aku bisa punya suami berhati dingin seperti dia? Dari tadi bicara bahkan tak menatapku. Bukan hanya tidak menatap, dia juga tida menunjukkan empati. Istrinya sedang kesal karena calon bibit pelakor, tapi dia menanggapi dengan santai. Benar-benar menguji kesabaran.

“Aku nggak yakin kamu pernah punya seseorang yang kamu sayang. Kamu itu terlalu dingin, Eithar.”

Eithar akhirnya berhenti menatap dokumen, tatapannya menajam ke arahku. Aku berdiri, menghampirinya, lalu duduk di pangkuannya tanpa permisi. Kedua tanganku mengalung di lehernya. Eithar tak bereaksi apa pun.

“Lupain ocehanku tentang Dyra. Aku mau dengerin cerita kamu, Eithar. Kamu bilang perempuan di foto itu cinta pertama kamu, ‘kan? Terus kelanjutannya gimana? Aku mau tahu.”

Napasnya terhela panjang. Eithar melonggarkan dasi, lalu membuka kancing kemejanya hingga dada itu tampak. Wajahku memanas, tergoda untuk melepas kemejanya dan menyentuh dada serta bagian tubuh Eithar yang lain.

Heh! Sadar, Carissa, sadar!

“Yakin mau denger?” Aku mengangguk. “Nanti tambah sakit hati. Malam itu kamu nggak mau aku ngelanjutin, ‘kan?”

Oh, itu. Saat itu aku terlalu terkejut. Sakit hatiku sangat menusuk karena tidak terima ternyata Eithar masih memikirkan orang lain. Tapi kini, menyentuh usia lima bulan pernikahan, aku mulai belajar untuk menerima dia apa adanya termasuk masa lalunya. Aku mulai mengontrol diri atas sikapnya yang seperti dispenser. Sebenarnya agak mengejutkan, aku jadi punya banyak stok kesabaran untuknya.

Mau bagaimana pun, hari ini aku harus mendengar kisah Eithar tentang cinta pertamanya, gadis yang ada di foto itu. Banyak tanya yang aku simpan, terutama tentang keberadaan gadis itu. Kalau Eithar begitu mencintainya, kenapa mereka tidak menikah? Pasti ada sesuatu yang terjadi, ‘kan?

“Tiga bulan kita tinggal bareng sebelum nikah. Lima bulan usia pernikahan kita sekarang. Kalau akhirnya kamu mau cerita, itu bagus buat perkembangan hubungan kita, ‘kan?”

Kuulas senyum, seraya membelai rambutnya. Entah dorongan dari mana, aku membelai wajahnya ketika Eithar masih membisu. Mungkin dia ragu mengungkapkan hal yang selama enam bulan ini aku abaikan. Sebelumnya aku tidak peduli apa pun tentang dia. Lalu malam itu aku belum siap untuk mendengarnya. Tapi hari ini, akan kukuatkan hati atas fakta masa lalu Eithar.

Kalau ditanya, apakah aku tidak takut hendak mendengar pengakuan suami tentang kekasihnya dulu, tentu saja aku takut. Menjadi tokoh baru dalam kehidupan tokoh utama laki-laki adalah sesuatu yang penuh ketidakpastian. Peranku memang terlihat penting, tapi bagi tokoh laki-laki mungkin itu bukanlah hal berarti. Karena dia memiliki seseorang yang belum juga pergi dari hatinya setelah tahun demi tahun berganti.

“Dia ada di mana? Tinggal di mana?” tanyaku.

“Nggak terlalu jauh dari rumah kita.”

Tidak jauh katanya. Astaga. Apa mereka sering bertemu tanpa aku tahu? Kalau diingat-ingat, aku memang tidak tahu siapa saja lingkup pertemanan Eithar. Siapa yang dia temui, yang dia ajak hang out, aku juga tidak tahu. Mungkinkah perempuan itu salah satu orang yang sering bertemu Eithar?

“Apa dia datang ke resepsi kita?”

Tamu yang datang hari itu sangat banyak. Aku tak sempat memperhatikan adakah seseorang yang menarik perhatian Eithar. Dan sekali lagi aku ketakutan jika benar perempuan itu datang. Artinya dia masih ada di sekitar Eithar. Kata orang-orang, cinta pertama sulit dilupakan. Apakah perempuan itu juga belum melupakan Eithar?

“Nggak.”

“Kenapa nggak?” Aku lega, sekaligus penasaran.

“Aku lapar.”

Beberapa detik setelah itu, Dyra mengetuk pintu ruangan. Eithar mempersilakan masuk. Lagi-lagi aku mendapati tatapannya yang tidak bersahabat. Ada masalah apa, sih, dia denganku? Dia yang mau mendekati suamiku, tapi kenapa jadi aku yang dijutekin?

“Silakan, Pak, Bu,” katanya.

Sebagai sesama perempuan, aku mengerti arti tatapannya itu. Semacam dia ingin mengatakan, “Ngapain, sih, duduk di pangkuan Pak Eithar?”. Aku sengaja tidak mengubah posisi sampai Dyra pergi. Rasanya menyenangkan melihat senyum kecutnya ketika berpamitan. Bagusnya lagi, Eithar mau diajak kompromi. Dia tidak menyuruhku turun dari pangkuannya setelah Dyra datang membawa makanan untuk kami.

Hal lainnya, aku merasa kecewa karena Eithar tadi tampak sengaja mengalihkan pembicaraan. Padahal tadi dia sudah mulai terbuka, yang aku kira akan bisa mengetahui hal-hal pribadi Eithar. Ah, sudahlah. Setelah makan siang akan aku coba lagi.

Khayalanku pudar. Setelah makan siang, boro-boro kembali melanjutkan percakapan, Eithar malah meninggalkanku selama dua jam untuk meeting. Hal menyebalkan lainnya, Dyra menyeringai padaku setelah meletakkan map di meja Eithar. Kurang ajar sekali sikapnya. Terang-terangan dia mengibarkan bendera perang. Maksudnya apa? Mau melawanku yang berstatus istri sah?

Tak tinggal diam, sembari menunggu Eithar selesai meeting, aku menghubungi Kakek. Kalau Dyra bisa masuk ke sini berkat orang dalam, aku juga bisa mendapatkan informasinya lewat orang dalam. Dan setelah Kakek membantuku mencarikan informasi tentang Dyra, aku mengetahui kalau dia adalah seorang janda beranak satu.

Ingin mengumpat, tapi masih bisa kutahan. Bagaimana dia bisa bersikap rendahan seperti tadi dengan statusnya sebagai seorang ibu? Tidak tahu malu. Apa dia tidak memikirkan jika anaknya mendengar kabar bahwa ibunya berusaha menggoda atasan? Ck! Ini tidak boleh dibiarkan. Kalau aku tidak berbuat sesuatu, dia pasti akan bergerak lebih dulu untuk memikat Eithar. Harus ada yang aku lakukan untuk memberinya pelajaran, tapi apa?

“Ngelamunin apa?”

Ah! Eithar sudah datang. Aku berdiri, kembali menghampirinya dan duduk di pangkuannya. Eithar mengernyit, tapi tidak protes. Seperti pasrah saja aku mau bagaimana. Dia yang begini sangat sulit ditebak.

“Ngelamunin kamu. Bosan di sini sendirian. Di rumah juga bosan. Apa aku kerja lagi ya, Eithar?”

Aku menyandarkan kepala di dadanya, bersikap manja yang belum pernah kulakukan dengan laki-laki lain. Menyukai seseorang memang bisa jadi seaneh ini ternyata.

“Kakek nggak ijinin kamu, ‘kan?”

Aku mengangguk pelan. Itu dia masalahnya. Sebagai orang yang tahu diri sudah diberi hidup nyaman, aku tidak punya keberanian untuk membantah. Enam bulan menjadi pengangguran dan hanya menghabiskan waktu di rumah rasanya akaj membunuhmu pelan-pelan.

“Kamu emang nggak bisa ngomong ke Kakek biar aku diijinin kerja? Bosan setengah mati tahu, nggak, aku di rumah? Kamu enak. Kerja, bebas keluar, pulang suka-suka.”

“Kamu juga bisa ngelakuin itu. Nggak ada yang larang kamu.”

Ya, sih, benar. Tapi jelas ada perbedaan sebelum aku tinggal di rumah itu atau tidak. Dulu aku dan Bela sering menginap, bergiliran. Weekend kami sering nonton film sama tengah malam. Pulang kerja kami biasa mampir untuk nongkrong di minimarket sambil makan es krim. Masa-masa itu ... ke mana lagi harus kucari?

Menjadi istri seorang Eithar Sinatria Kavin mengubah seluruh hidupku. Benar, aku masih bisa pergi ke luar, tapi dalam pengawasan Pak Sobri. Aku yang terbiasa bebas, otomatis merasa cukup terkekang. Kakek memberiku perlindungan, tapi rasanya itu agak menyebalakan. Ya, kembali lagi ke poin sadar diri. Aku ini pelunas utang orang tuaku. Sudah selayaknya aku menurut. Begitu, ‘kan?

“Eithar, apa kamu nggak bisa buru-buru jadi suami yang sayang istri?”

“Aku masih ada kerjaan, Carissa. Kamu bisa pulang kalau bosan di sini.”

Mengalihkan pembicaraan lagi.

“Siapa nama perempuan itu? Yang bikin kamu belum bisa kasih hati ke aku. Yang bikin kamu nggak bisa mengambil hak sebagai suami dari istrimu sendiri.”

“Viola.”

Jantungku berdetak lebih cepat, kaget Eithar mau menjawabnya tanpa berpikir.

“Dan kamu masih cinta dia.”

“Kamu salah sangka, aku bukan masih cinta dia.”

Aku mendongak cepat, menemukan wajah Eithar menatapku. Dengan segera kutegakkan kepala. Dadaku berdebar lebih cepat dibanding tadi. Bukan cinta katanya, lalu apa? Lalu kenapa dia mengatakan tidak bisa menyentuhku karena perempuan itu?

“Aku butuh kejujuran kamu, Eithar. Nyatanya kamu nggak bisa lupain dia dan kamu juga nggak bisa sentuh aku. Kalau bukan cinta terus apa?”

Dia hanya menatapku dalam diam.

“Ngomonglah! Jangan bikin aku penasaran!”

Gemas, aku sampai menaikkan suara. Eithar menarik satu sudut bibirnya, mendorong tubuhku agak cepat agar turun dari pangkuannya. Aku berdiri dan dia masih duduk. Ada apa? Kenapa aku disuruh turun?

“Jangan banyak menuntut, Carissa. Aku nggak suka. Dari tadi aku udah kerja sama secara baik sama kamu. Sekarang giliran kamu.”

“Maksudnya?”

Bingung, apa maksud Eithar? Memang dari tadi kami sedang apa? Kerja sama apa?

“Aku balas ciuman kamu, biarin kamu duduk di pahaku, semata-mata biar harga diri kamu nggak jatuh di depan Dyra. Kamu juga sadar, ‘kan, ngelakuin semua itu untuk nunjukin kepemilikan kamu atas aku? Sekarang giliranku untuk minta kamu tutup mulut. Berhenti nanya tentang Viola. Informasi yang aku kasih udah banyak. Seharusnya kamu puas.”

Tidak ada raut wajah bercanda. Eithar mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Aku terkesiap, dadaku tiba-tiba sesak. Kaki mendadak bergetar. Kupegangi dada seraya meraih tas yang tadi kuletakkan di sofa. Lalu meninggalkan ruangan Eithar tanpa pamit dengan tangis tertahan.

Pada akhirnya seperti ini lagi. Ketika kukira kami telah melangkah maju, ternyata itu adalah ilusi. Lagi-lagi aku diingatkan bahwa peranku tidaklah penting baginya.

Pada akhirnya aku sendiri lagi dan rasanya sangat sakit ....

TBC

ATTENTION, YA!

Tiap part Mysterious Hubby minimal adalah 1500 kata. Kalau part-nya tayang itu artinya udah 1500 kata atau melebihi. Please, kerja sama, ya. Jangan ada yang ngeluh part pendek! Yes, kalian bebas berkomentar, tapi kalau aku nemu komen kayak gitu, mungkin aku bakal berubah pikiran untuk membatalkan menamatkan cerita ini sampai puluhan part.

Aku rasa nggak sulit untuk tidak berkomentar pendek banget, ya kan? Masih ada banyak kalimat yang bisa kamu jadikan komentar.

Btw, kamu pasti makin bingung siapa Viona, apa yang terjadi sama Eithar dan Viola dulu. Ya, nggak? Kalau nggak bingung, yoweslah. Biar aku bingung sendiri😌

Lav,
Putrie

Bang Toni jadi visualisasi Eithar cocok kali ya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro