13. Give Up

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah berapa kali Eithar menjatuhkanku setelah dibawa terbang? Sekali? Dua kali? Tiga kali? Aku bahkan tidak bisa ingat karena dia terlalu sering melakukannya. Bagaimana dia bisa berkata sekasar itu padaku? Kerja sama, katanya? Sialan! Dia bahkan terlihat menikmati bibirku, tapi dia beranggapan itu semata-mata untuk kepentinganku saja.

Kukira hati sudah kuat untuk menerima semua sikap dingin Eithar. Tapi yang tadi itu terlalu menyakitkan. Aku merasa sebagai seorang penggoda yang menawarkan diri. Bagian terburuknya, hanya aku yang menginginkan dia.

Hidup ... kenapa hidupku jadi seperti ini? Aku jatuh hati pada orang yang salah. Berkali-kali aku menyabarkan diri, berusaha terbiasa disakiti. Tapi kadang aku berpikir, untuk apa aku melakukannya, untuk apa aku berusaha keras, untuk siapa aku bertahan. Hanya aku yang menginginkannya. Hanya aku yang mendambakannya. Eithar tak mengharapkan apa pun dari pernikahan ini. Sekalipun dia mengatakan ingin menyentuhku, bukankah itu hanya karena hasratnya sebagai laki-laki normal?

Jadi, apa yang aku cari? Apa yang aku lakukan lima bulan ini? Baru lima bulan, tapi rasanya sangat lama. Karena ciuman berengsek itu aku jadi menyerahkan hati pada orang yang tak tahu cara menghargai orang lain. Rasanya menyesakkan. Aku tidak mau selamanya hidup dalam pernikahan yang menjerat leher.

Dari tadi air mata ini sudah berusaha kutahan, tapi gagal juga. Aku menangis, sembari menyuap gelato dengan perasaan sedih bercampur dongkol. Orang-orang yang juga tengah menikmati gelato beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Terserah mereka mau menilaiku bagaimana, aku tidak peduli. Aku hanya ingin menangis dan menikmati gelato  bersamaan.

“Non Carissa, maaf.”

Pak Sobri datang menghampiriku. Wajahnya terlihat resah. Aku mengernyit. Sepertinya tadi aku sudah memberi uang agar dia bisa mencari makanan.

“Kenapa, Pak? Uangnya kurang buat beli makan?”

“Bukan, Non. Bapak udah makan. Tapi itu, Non, Tuan ada di rumah. Non Carissa disuruh pulang. HP Non Carissa mati, ya? Nggak bisa dihubungi kata Tuan.”

Kakek sudah pulang? Oh, bagus juga. Aku perlu bicara. Mungkin tentang ketidaksanggupanku terikat pernikahan bersama Eithar. Atau bisa juga tentang kebebasan selayaknya masih gadis yang ingin aku dapatkan kembali.

“Disuruh cepat pulang, Non. Udah malam.”

Kulirik arloji di pergelangan kiri, pukul 09.30 malam. Baiklah. Lebih cepat diselesaikan lebih baik. Aku berdiri, lalu berjalan meninggalkan meja dengan tiga gelas gosong. Sebanyak itu aku menghabiskan gelato untuk menyamarkan hancurnya perasaan.

Pukul 10 lewat lima menit aku sudah tiba di rumah. Pertama kali yang kulihat setelah membuka pintu adalah wajah tua Kakek. Di bagian sofa lain, sang cucu kesayangan duduk dengan ekspresi datar.

“Kek, apa kabar?”

Aku mendekatinya, memeluk Kalek dengan tulus. Dari luar Kakek terlihat sehat. Syukurlah.

“Kakek baik. Kepala kamu ada masalah? Udah periksa ke dokter lagi.”

“Oh, nggak ada, Kek. Ini masih pakai perban biar lukanya aman aja, sih, dari rambutku. Semua aman, Kek.”

Aku mengulas senyum. Semua aman, kecuali hatiku. Tidak perlu ditanya, di dalam sana sangat berantakan. Tapi, mungkin aku harus mulai menatanya perlahan-lahan.

“Sini, duduk di sebelah Kakek. Kamu jam segini baru pulang dari siang ke mana aja?”
Tak berniat membantah, aku segera duduk di sisi Kakek. Senyumku selagi tersungging ketika Kakek memberi perhatian lewat pertanyaannya.

“Cuma mampir beli es krim, Kek. Nongkrong di kafe sampai tadi.”

“Pulang telat harusnya bilang,” sela Eithar.

Enggan menoleh dan enggan menjawab, aku kembali bicara pada Kakek.

“Bosan aja, Kek. Tapi Kakek nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja. Kakek nggak capek baru pulang dari luar kota? Mending istirahat, Kek.”

“Apa kamu mau ngomong sesuatu sama Kakek?”

Ah! Apa wajahku sangat jelas menunjukkan niat itu? Kebetulan Kakek bertanya, sebaiknya langsung kuutarakan saja. Aku tidak mau lagi terkurung bagai burung dalam sangkar emas. Cukup sudah total delapan bulan yang kuhabiskan penuh kepatuhan. Aku tidak mau mati pelan-pelan di dalam rumah ini.

“Kek, aku mau kerja lagi. Boleh, ya?”

Raut wajah Kakek berubah, terlebih ketika Eithar kembali menyela.

“Apa-apaan, Carissa? Kamu mau kerja? Tiap bulan uang yang aku transfer kurang?”

Heh, dia mempertanyakan itu atas dasar apa? Suami yang tidak mencintai istrinya? Oh, halo! Maaf saja, kali ini aku tidak akan mendengarkan dia.

“Kek, boleh, ‘kan? Bukan soal uang, aku mau kembali bersosialisasi kayak dulu.”

“Carissa! Kamu sengaja mengabaikan aku?!”

Suaraku urung keluar ketika dari samping Eithar menarik lenganku, hingga aku berdiri secara terpaksa. Mau tak mau aku berhadapan dengannya yang kentara menampakkan kemarahan. Apa alasannya marah? Apa alasannya menyentuhku seperti ini? Kami hanya orang asing yang tak akan bisa mendalami hati masing-masing.

“Kakek nggak paham kalian ada masalah apa lagi kali ini. Kalian ngobrol dulu berdua. Kalau Carissa masih berpikiran untuk kerja, temui Kakek besok pagi.”

Lalu Kakek meninggalkan kami, sengaja memberi ruang untuk bicara tanpa gangguan. Kutarik napas panjang seraya menarik lenganku yang Eithar cekal sejak tadi disertai tatapan tajamnya.

“Maksud kamu apa, Carissa?”

“Maksudnya apa, apaan?” tanyaku balik.

“Jangan pura-pura bodoh. Kamu bilang mau kerja lagi. Itu maksudnya apa?”

Sok peduli, sok bertanya. Harusnya dia tidak perlu capek-capek bicara denganku. Lagi pula tidak ada gunanya. Di antara kami tidak akan ada yang berubah. Aku telah membuktikannya sejak ciuman pertama itu. Kemajuan apa yang kami alami? Tidak ada. Hubungan kami masih terjebak dalam ketidakpastian. Harapan atas hidup bahagia dalam pernikahan ini kian memudar saja.

Melepaskan dan merelakan apa yang tak pernah menjadi milik sendiri itu sangat menyakitkan. Walau begitu, aku harus segera mengakhirinya. Lima bulan ini tak berjalan dengan baik. Mungkin takdir kami tidaklah untuk satu sama lain.

“Kamu bertanya dalam rangka apa? Suami ke istri? Maaf, ya, selain uang bulanan yang kamu kasih dan status baru KTP-ku, kamu nggak memenuhi kategori seorang suami. Jadi, buat apa kamu tanya ini, Eithar? Kita nggak perlu lagi basa-basi. Kita sama-sama nggak ingin pernikahan ini, ‘kan? Tenang. Aku bakal cari cara biar kita segera bebas.”

“Kamu mau pisah?!”

“Kamu maunya juga gitu, ‘kan? Pernikahan kita emang kesalahan. Aku bakal ngomong sama Kakek besok.”

“Apa yang terjadi sama kamu? Mendadak aku nggak ngenalin kamu, Carissa.”

Ingin rasanya aku tertawa. Apa yang terjadi katanya. Lupa dia bagaimana hatiku sekali lagi dipatahkan? Lupakah dia bagaimana harga diriku dilukai tanpa iba?

“Kenapa? Karena biasanya aku bakal luluh sama kamu? Maaf, kali ini aku beneran lelah. Segampang itu kamu nyakitin aku dan bersikap kayak nggak terjadi apa pun. Kamu lebih berengsek dari Richi!”

Tak peduli akan kesiap di wajah Eithar, aku berlari meninggalkannya menuju kamar. Tidak, kali ini aku tidak boleh menangis. Air mataku harus disimpan. Air mataku terlalu berharga untuk Eithar yang tak pernah memberi apa-apa selain luka.

Baru satu langkah aku memasuki kamar, tubuhku terseret untuk masuk lebih dalam. Aku membalik tubuh setelah Eithar berhenti menyeretku. Sengaja aku tak memprotes tindakannya barusan dan aksinya yang sedang memasukkan kunci kamar kami ke saku celananya. Dia mendekatiku bersama aura dingin yang membekukan hati.

“Kamu bilang aku lebih berengsek dari bajingan itu? Dia nyakitin kamu, Carissa, dan aku yang nyelamatin kamu.”

“Kenapa? Harga dirimu terluka? Bagus, dong. Setidaknya sedikit paham perasaanku tadi siang.”

“Ini pembalasan dendam?”

Kami sangat dekat saat ini. Apa pun bisa terjadi. Dan aku tidak mau mengambil risiko. Aku melangkah, tapi tanganku diraih. Lalu secepat yang kuingat, tubuhku didorong ke ranjang. Posisiku telentang, dengan dia berada di atasku. Aku hendak memalingkan wajah, tapi dia menahan rahangku dengan ibu jari dan telunjuknya.

“Ya. Anggap begitu. Apa kita impas? Belum. Tapi bakal aku anggap impas kalau aku berhasil jadi jandanya Eithar Sinatria Kavin.”

“Apa kamu sedang mempertegas niat untuk pisah dari aku?”

Hal yang sangat aku benci darinya, yaitu dia terlalu pintar untuk mempermainkan hatiku. Tadi siang melukai, sekarang berkata dan menyiratkan aku tak boleh pergi. Maunya apa? Mengapa tak dijelaskan secara gamblang tanpa harus membuatku mengambang?

“Ya. Aku mau pisah sama kamu. Buat apa kita bertahan tanpa kejelasan kayak gini? Aku ngejar kamu, tapi kamu anggap aku perempuan apa? Aku siapa? Istri kamu, tapi apa aku dapat hak atas kamu? Nggak sama sekali. Aku jatuh hati sama kamu, tapi apa kamu ngasih balasan? Nggak. Cuma aku sendiri yang berjuang. Kali ini aku capek, lelah, dan aku menyerah.”

Jangan menangis, Carissa, jangan.

“Apa lima bulan ini ada artinya buat kamu?” Aku menepis kuat jarinya yang menekan rahangku. “Apa pelukan dan ciuman kita ada artinya? Pertolongan kamu saat Richi menggila itu apa sebenarnya bukan hal yang penting buat kamu? Semua hal itu bernilai kosong buat kamu, sama kayak aku yang terlalu sering kamu sepelekan."

Kuatkan hatimu, Carissa. Tutup hatimu dari rasa yang sebenarnya hanyalah pembawa penderitaan. Tak ada harapan di antara kalian. Kamu hanya tokoh tidak penting dalam hidupnya.

“Kamu mau pisah? Dan datangin cowok berengsek itu? Kamu mau sama dia makanya milih keluar dari rumah ini?”

Tak ada nada tinggi, tapi setiap katanya mengandung kesinisan. Satu sudut bibirku naik. Kudorong tubuhnya, Eithar berdiri dengan sempurna di lantai. Matanya membulat ketika aku berdiri dan mulai menanggalkan pakaianku.

“Nggak. Aku nggak berniat cari Richi. Aku milih melayani suamiku dengan semua yang aku punya.” Atasan dan celana jeans-ku sudah tergeletak di lantai, menyisakan pakaian dalam berwarna merah. “Aku bersedia ngasih suamiku apa pun. Tapi apa yang aku dapat? Suamiku bahkan nggak mau lihat tubuh istrinya.”

Aku tersenyum miris mendapati Eithar memalingkan wajah. Dia bahkan tak berminat menjelajahi tubuhku dengan matanya. Bukankah tak ada yang lebih rendah dari ini? Bukankah ini membuktikan bahwa aku tak memiliki arti untuknya? Semua kebaikannya palsu. Semua hanya pura-pura. Dia tak mengharapkan aku. Bukan aku yang dia impikan untuk jadi pendampingnya. Lalu apa lagi yang tersisa di antara kami kecuali ingatan sampah yang hanya memenuhi memori otakku?

“Aku menyerah, Eithar.”

Aku berjalan ke kamar mandi, mengunci pintu, dan mengguyur tubuh di bawah shower selama berjam-jam.

Aku lelah dan kali ini yang aku inginkan hanyalah menyerah.

TBC

Huaaaa seneng bisa update 😍

Akulah hati yang telah kau sakiti🎶

Dia hanya terdiam 😩

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro