14. Should I?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setiap kali aku ingin menyerah, Etihar seolah tak rela. Kalaupun itu karena dia mulai ada rasa, tapi kenapa tidak membuktikannya dengan benar? Sikapnya dingin, ucapannya menyakitkan. Bagaimana aku bisa berada di sisinya terus-menerus? Ha! Andai saja kami tak berciuman, andai saja dia tak memberi harapan, aku tak akan tersiksa begini.

Keluar dari kamar mandi kupikir tak perlu lagi melihat wajah menyebalkannya. Harapan tinggallah harapan. Dia masih terjaga, sedang duduk bersandar pada headbord dengan kedua tangan terlipat di dada. Kalau tidak ingat dia menyimpan kunci kamar, aku akan memilih tidur di ruang tamu sekalian.

Malam ini aku tidak ingin seranjang dengannya. Hatiku bagai tercabik-cabik jika ingat bagaimana dia merendahkanku. Apa yang salah? Bagian mana yang tidak benar? Pernikahan kami seharusnya tak diisi asa semu, karena akulah satu-satunya yang jadi terluka.

Kuambil bantal, mengabaikan tatapannya yang keheranan. Selimut cadangan di lemari juga kuambil, meletakkan dua benda itu di sofa. Hari ini sangat melelahkan, aku berniat langsung tidur.

“Hanya karena masalah tadi, kamu nggak berpikir untuk tidur di sofa, ‘kan?”

Anggap tidak ada yang bicara, Carissa.
Mataku memejam setelah berbaring dan menaikkan selimut hingga sebatas dada. Tenagaku terkuras, walau air mataku berhasil tidak menetes lagi selama di kamar mandi. Keadaan ini menyakitkan. Sebentar saja aku ingin melupakannya dengan mimpi. Sialnya, si dispenser berniat menjadi pengacau sempurna. Selimutku dia tarik, memampangkan tubuhku yang berpiama pink.

“Ada tempat tidur, ngapain milih di sofa?”

“Nggak mau seranjang sama kamu. Puas?”

Ingin segera tidur, aku kembali menaikkan selimut. Kuubah posisi memunggungi Eithar, serta meringkuk. Baru beberapa detik mataku tertutup, lagi-lagi Eithar memancing emosi.

“Jangan bersikap kekanak-kanakan, Carissa. Kamu tahu dari awal aku kayak gini.”

Ngajak berantem lagi? Oke!

Kusingkap selimut, lantas berdiri. Mungkin karena jarak yang sangat dekat, Eithar mundur tiga langkah. Kedua tanganku berada di pinggang, tak peduli jika itu mengesankan kesombongan.

“Aku kekanak-kanakan? Emang! Terus kamu mau apa? Cerai? Ayoklah! Aku juga udah muak kayak gini! Punya suami yang bersikap semaunya kamu kira enak? Saat kamu mau cium, kamu cium aku. Saat kamu mau nyakitin aku, kamu nyakitin tanpa pikir. Nggak punya otak apa, ya? Gila! Kenapa, sih, harus kamu yang jadi suamiku?!”

Napasku terengah-engah. Marahku tidak tertahan lagi. Pernikahan ini ada karena titah Kakek yang tak bisa aku bantah. Tapi kini, walaupun harus dicap pembangkang, aku rela. Hidup berlama-lama bersama Eithar hanya akan mengikis kewarasanku. Ujung-ujungnya aku bisa depresi.

“Bisa tenang nggak, sih, Carissa? Slow aja ngomongnya. Kamu nggak harus marah-marah kayak gini.”

“Slow katamu? Kalau kamu jadi aku, apa kamu bisa slow?”

Sudah telanjur sampai di titik ini, maka sekalian saja aku keluarkan keluh kesah. Sorot mata datar Eithar berubah, aku melangkah maju dan mendorong dadanya berkali-kali. Dia terus mundur dan aku tetap maju. Sampai dia tiba di pinggir ranjang, aku mendorong lebih keras. Entah karena kekuatanku, atau Eithar memang sengaja, tubuhnya terjatuh di ranjang.

“Aku kurang slow apa nanggapi kamu yang nggak ada hati ini, hah? Aku kurang apa sampai-sampai kamu nggak mikir buat nyakitin aku?”

Aku naik ke ranjang, merangkak di atasnya. Eithar terkejut. Jakunnya bergerak dan tatapannya terfokus padaku. Katanya dia laki-laki normal, ‘kan? Baiklah. Seharusnya dia tersiksa dengan apa yang aku lakukan sekarang. Bokongku menyentuh bagian bawah pusarnya, sengaja duduk di sana, yang seketika membuat Eithar mengangkat setengah badan. Dia bertumpu dengan kedua sikunya.

Aku berusaha tenang dan tak teralihkan ketika merasakan sesuatu yang keras secara tiba-tiba. Benar, dia laki-laki normal. Mungkin otaknya yang mengalami masalah.

“Apa? Kaget?”

“Kamu apa-apaan? Kamu tahu aku bisa jatuhin kamu sekarang.”

“Aku tahu. Tenagamu jauh lebih kuat dari aku. Tapi buktinya kamu diam. Kamu suruh aku slow, ‘kan? Oke. Mari bicara dalam posisi ini.”

Sialan! Aku nyaris berubah pikiran melihat wajahnya yang menegang. Rasanya ingin kusobek baju kausnya, lalu meraba tubuh itu tanpa henti. Sesuatu yang keras di bawah sana juga menyita ketenanganku sedikit demi sedikit. Tanganku sangat gatal untuk tidak menyentuh rahangnya yang ditumbuhi bulu-bulu.

“Aku capek, Eithar. Capek banget. Aku nggak bisa ngertiin kamu sama sekali.”

Suaraku melemah. Lagi, kepiluan melingkupi dada. Melihatnya hanya diam kian meyakinkan bahwa kami memang tidak tercipta untuk satu sama lain. Kami hanya ditakdirkan bertemu untuk berpisah. Tapi aku tak bisa menghentikan perasaan berdebar yang kian menggila. Padanya kuserahkan seluruh hati tanpa pernah mengira akan diremukkan.

Apa yang sedang aku lakukan? Apa tanpa sadar aku mengemis cintanya? Aku menundukkan wajah, tiba-tiba merasa pantas untuk direndahkan karena sikapku sekarang. Bokongku sudah sedikit terangkat, berniat turun dari tubuh Eithar untuk kembali tidur. Percuma saja aku begini, tidak akan ada yang aku dapatkan.

Sebuah tangan melingkari pinggangku, menghentikan gerakanku. Pinggangku dipaksa turun, kembali pada posisi semula aku duduk. Kuangkat pandangan, Eithar menyambut dengan ekspresinya yang dingin. Posisinya kini duduk, membuatku lebih rapat dengan tubuhnya.

“Lepas. Aku mau tidur.”

“Susah buat ngubah pikiran, Carissa. Di kepalaku, kamu bakal nyakitin kalau aku percayakan hati ke kamu.”

Tak terima atas pikiran buruknya, aku mendorong dadanya, lalu kembali mengangkat bokong. Dia berhasil membuatku kembali duduk. Kali ini aku merasa tak nyaman karena terus-terusan bergesekan dengan miliknya.

“Kamu mau aku cerita tentang masa lalu aku, ‘kan? Aku bakal cerita.”

“Nggak usah,” tolakku.

Bukannya mengerti, Eithar kian merapatkan tubuh kami. Bukan hanya itu, kedua tangannya mendekapku. Tubuh kami bersentuhan, kepalanya bersandar di bahuku. Dia yang seperti ini selalu saja menggoyahkan hati.

“Aku lelah, Eithar."

Sekuat tenaga aku menahan diri agar tidak membalas pelukannya. Hatiku mendamba, tapi terlalu lelah karena berkali-kali disakiti. Adakah yang bisa membuatku keluar dari kepelikan ini?

“Namanya Viola, mantan pertama aku, satu-satunya mantanku.”

Dia sungguh bercerita?

“Kami kenal dari awal masuk SMA. Dua setengah tahun kami jadi teman, akhirnya aku minta dia jadi pacarku. Dia terima, aku pikir kami emang saling suka dan sayang. Tapi ternyata aku bertepuk sebelah tangan selama ini.”

Oke. Dia benar-benar bercerita. Jika tadi siang aku hanya dengar nama perempuan itu, kali ini aku tahu awal kisah mereka.
“Dia nggak pernah suka aku lebih dari teman. Dia hanya kasihan lihat usahaku dari pertama kami kenal.”

Benarkah? Seorang Eithar pernah merasa seperti itu?

“Rasanya bodoh banget, Carissa. Selama ini aku anggap kami pasangan serasi. Dengan polosnya aku mengkhayal kami bakal selamanya.”

“Apa yang buat kamu tergila-gila sama dia?”

Bayangkan, seorang Eithar hanya pernah menaruh hati pada satu perempuan. Perempuan itu pasti sangat istimewa untuk Eithar.

“Aku nggak mau bahas bagian itu.”

Oh, oke. Aku paham.

“Kamu masih cinta dia?”

“Nggak.”

“Tapi kenapa kamu nggak pernah bisa kasih hati ke aku?”

“Aku nggak mau dikhianati. Karena dulu Viola diam-diam punya pacar selain aku.”

“Kamu trauma?”

“Bisa dibilang begitu. Tapi yang paling aku rasakan, aku nggak mau sembarangan ngasih kepercayaan ke perempuan.”

Situasinya mulai bisa aku pahami. Eithar patah hati, trauma menjalin hubungan, lalu memilih bersikap dingin padaku. Masuk akal. Cinta pertamanya tak berjalan baik, meninggalkan kesan buruk tentang imej perempuan. Tapi seharusnya dia sadar tidak semua perempuan akan begitu, termasuk aku. Tidakkah dia melihat ketulusanku sebagai seorang istri selama ini?

“Aku membentengi diri dengan semua sikapku. Itu caraku untuk melindungi hati, Carissai.”

Jadi, dia sengaja menjadi pribadi tak tersentuh untuk mencegah orang luar menyakitinya. Yang dia lakukan sangat bagus, tapi sayangnya malah menyakiti orang tak bersalah seperti aku. Walau sudah dijelaskan kesimpulannya tetap sama, kami tak bisa ada untuk menua berdua.

“Kamu sakit hati sama Viola dan kamu nyakitin aku.”

Sekali lagi aku berusaha turun, tapi tetap gagal. Tubuhku dia peluk erat, seolah-olah takut aku akan menjauh dan tak lagi bisa dia sentuh. Apa arti diriku untuknya? Jika tak ada rasa, mengapa dia harus menahanku.

“Aku sering lepas kendali dengan ngasih kamu perhatian. Tapi aku sadar baik kamu dan aku mungkin bakal saling nyakitin nantinya. Setelah sadar aku bakal kembali jadi orang yang sangat menyebalkan di mata kamu. Dengan begitu, kamu nggak bakal berharap ke aku.”

“Saat aku mau nyerah, kamu nunjukkin sikap nggak rela, Eithar. Apa sebenarnya kamu ... mulai jatuh hati sama aku?”

Dia tak menyangkal, tak pula mengiyakan. Aku masih tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan padaku. Kalau memang perasaannya mulai tumbuh, katakan saja. Kenapa dia sangat suka membuat orang jadi bimbang?

“Kita emang nggak bisa sama-sama, ‘kan? Aku juga udah capek perjuangin kamu yang nggak berjuang balik buat aku. Terlepas dari masa lalu menyakitkan kamu, kamu nggak pantas nyakitin aku.”

Dekapannya mengendur, lama-lama jadi sepenuhnya terlepas. Aku menatapnya sekilas, lalu turun dari pangkuannya dan kembali ke sofa. Kutarik selimut dengan luka baru di dada.

Seharusnya kami berhenti tanpa pernah memulai. Semestinya kami berpisah tanpa pernah bersama. Bukannya aku tak mengerti Eithar. Tapi apa yang dia lakukan sangat tidak adil. Karena dia pernah terluka, dia tak memikirkan perasaan orang yang terluka karenanya. Dia egois. Masa lalu telah membutakan dan membekukan hatinya.

Jarak yang tak bisa kami pupus terasa semakin jelas. Mau itu cinta atau tidak, intinya karena Viola Eithar enggan menerima kehadiranku sebagai istri. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.

“Aku mencoba terima kamu, Carissa.”

Setelah diam agak lama, dia akhirnya bersuara. Aku ingin tertawa miris mendengar ucapannya.

“Kenyataannya kamu nggak bisa, Eithar! Kamu masih stuck sama Viola! Berhenti ngasih aku harapan palsu! Kamu nggak mau aku di sisi kamu, ‘kan? Oke! Kita cerai! Cerai! Aku yang bakal urus surat cerainya!”

Emosiku membuncah lagi dan terjadi hanya sekejap. Derap kaki Eithar terdengar, lalu dengan gerakan cepat tanganku dia tarik. Aku membentur badannya, tak bisa bergerak lagi karena sedang dia dekap sangat erat. Jantungnya ... berdebar kencang, aku bisa merasakan itu.

“Satu kali lagi. Kasih aku mencoba satu kali lagi.”

Aku bergeming. Ada sangat banyak kekhawatiran di benakku. Bukan hanya itu, berbagai macam pertanyaan juga menyerang. Haruskah aku percaya padanya? Haruskah aku memberinya waktu? Haruskah aku mengambil risiko?
Takdir sangat pandai mempermainkanku. Hatiku dilanda kebimbangan. Mungkinkah kisah kami akan berbeda jika sekali lagi aku memilih berjuang?

Tbc

lagi malas kasih note panjang karena ngantuk. Wkwk.

Komen yang banyaklah, biar aku senang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro