21. Another Secret

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mataku tidak buta untuk melihat kilat meremehkan dari tatapan Viola. Kulitku juga tidak mati rasa untuk merasakan sentuhannya yang terkesan terburu-buru. Hei, dia pikir dirinya sehebat apa sampai berani menunjukkan kesombongan sebanyak ini padaku?

Dia bisa menduga aku adalah istri Eithar. Tidak menutup kemungkinan kalau asal-usulku dan soal perjodohan juga Viola ketahui. Siapa yang peduli? Aku sama sekali tidak gentar dengan tatapannya yang diselimuti kepercayaan diri. Apa yang mau dia banggakan? Dan apa haknya memandangku dengan remeh?

"Ah, mantan Eithar. Iya, aku tahu. Eithar pernah cerita."

Wajahnya berubah ekspresi dalam sekejap.

"Eithar ... cerita? Wah! Wah! Aku kira dia sangat tertutup."

"Kami sangat terbuka, Viola, dalam segala hal. Apa, sih, yang perlu ditutupi pasangan suami-istri? Masa lalu? Badan? Nggak perlulah, ya. Intinya kami sama-sama terbuka, karena buka-bukaan itu emang udah wajar."

Sekali lagi ekspresinya menggambarkan keterkejutan. Mungkin tidak menyangka aku akan memberi jawaban ambigu seperti itu. Bisa juga karena kaget aku berani membalas ucapannya tanpa rasa takut.

"Hahaha. Iya, ya. Suami istri harus terbuka, biarpun awalnya dijodohkan."

Cih! Jadi dia seperti ini? Bisa-bisanya Eithar pernah suka pada gadis tidak tahu etika. Memangnya normal membahas pernikahan orang lain begini? Ck! Yah, walau harus kuakui kalau Viola memang cantik. Wajahnya tidak banyak berubah dibanding foto yang pernah kutemukan di kamar Eithar.

"Sayang, jadi minum?"

Eithar menggenggam tanganku, aku menoleh dan mengangguk. Pasti ada sesuatu, maka dari itu Eithar tidak menanggapi sapaan Viola.

"Jadi, dong. Viola, kami pamit dulu, ya."

Bibirku sedikit tertarik, hanya sebagai tanda kehormatan karena dia sudah repot-repot menyapa. Tapi, baru dua langkah kami melewati Viola, kalimat gadis itu berhasil menghentikan kakiku.

"Kalau bagian Eithar ngebunuh saudaraku, dia nggak cerita, 'kan?"

Sontak aku menoleh Eithar. Wajahnya tegang, seperti yang diucapkan Viola adalah kebenaran. Tangan Eithar bergetar, langsung kugenggam lebih erat untuk menenangkannya.

"Ya, 'kan? Dia nggak cerita masa lalu kelamnya."

Tunggu. Aku butuh berpikir sejenak, walau jantungku sudah berdegup kencang melihat Eithar yang kaku. Tatapannya penuh luka, seolah-olah baru saja diingatkan tentang kejadian paling buruk dalam hidupnya. Ingin aku mendekapnya, tapi otakku harus merangkai sesuatu lebih dulu.

Viola. Saudaranya dibunuh Eithar. Masa lalu kelam. Eithar takut darah. Viona meninggal di mobil yang sama dengan Eithar. Viola, Viona. Astaga! Mungkinkah?

Aku sedikit memutar tubuh agar bisa melihat wajah Viola. Seringai di wajahnya itu tidak bisa kuartikan dengan pasti. Apa dia ini tipe pengacau ketenangan hidup orang lain?

"Maksudmu Viona? Saudara yang kamu sebut dibunuh Eithar itu Viona? Sorry, Viona kecelakaan dan itu bukan unsur kesengajaan Eithar. Harusnya kamu tahu orang tua Eithar juga meninggal di mobil itu. Well, kamu bisa menghadiri makan malam ini tentunya karena punya privilege, 'kan? Harusnya dengan privilege itu kamu tuntut ilmu yang tinggi, belajar memakai bahasa yang benar, dan memilih kalimat yang tepat. Aku nggak perlu jelasin apa arti ucapanku, 'kan?"

"Nggak mungkin dia cerita sama kamu. Laki-laki ini pembunuh. Dia yang bunuh Viona."

Hoi! Ngeyel sekali perempuan ini.

"Kenapa nggak? Aku istrinya, lho, wajarlah dia terbuka masalah apa pun. By the way, kamu siapa ya punya hak bicara kayak gini? Datang-datang menghakimi, sama sekali nggak terlihat berkelas, Viola. Kejadian bertahun-tahun lalu pasti udah diselesaikan antar keluarga, tapi tanpa tahu malu kamu melayangkan tuduhan palsu. Ck. Semoga kita nggak berjumpa lagi."

Mulut Viola sedikit terbuka, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar. Tangannya bergerak, tertahan di udara, lalu dia empaskan di samping paha. Stiletto yang dia kenakan beradu dengan lantai, bergerak menjauhi kami, lalu tubuhnya tertelan oleh keramaian orang-orang.

Aku tahu tata krama dan etika, tapi aku tidak butuh menerapkan semua kesopanan itu pada orang yang secara terang-terangan ingin menginjak aku dan Eithar. Rasa dan sikap hormatku cukup ditunjukkan pada mereka yang tahu cara mengatur lidah. Viola? Oh, aku tidak peduli bagaimana pandangannya terhadapku. Terserah. Lagi pula, bukan dia yang memberiku makan dan tempat bernaung.

Kuhela napas panjang seraya menatap Eithar. Entah bagaimana terguncangnya dia dikatai sebagai pembunuh. Atau entah bagaimana patah hatinya harus mengingat tragedi itu ketika sedang belajar berdamai dengan masa lalunya. Aku memeluknya, Eithar berbisik bahwa kami sedang ada di publik.

"Aku nggak peduli kita lagi ada di mana. Yang aku pedulikan, suamiku sedang nggak baik-baik aja."

"Sebaiknya kita pergi dari sini, Carissa."

Oh, aku sangat setuju ide itu. Dengan segera aku melepas pelukan dan menuntun Eithar keluar dari rumah megah ini. Sesampainya di mobil, aku mengecup bibirnya sekilas. Kubelai pipinya penuh sayang.

"Selama aku masih hidup, siapa pun nggak boleh menginjak harga diri kamu, Eithar."

Urung memakai sabuk pengaman, Eithar mencondongkan tubuhnya. Gerakannya cepat, tidak sempat kubaca. Tahu-tahu bibirku sudah dilumat, sedangkan tangannya menekan tengkukku dengan kuat. Ciumannya penuh emosi, sekaligus hambar. Membingungkan jika harus dijelaskan, tapi aku cukup mengerti bahwa Eithar sedang kalut saat ini.

Ketika bibir kami berjarak dan mata kami bertemu, aku nyaris tidak tahan untuk berteriak bahwa apa pun yang Viola katakan tadi, itu sama sekali tidak penting. Mataku menyaksikan sendiri bagaimana tragisnya tragedi itu dan aku percaya pada apa yang aku lihat serta yakini. Eithar-ku tidak bersalah. Eithar juga merupakan korban yang sampai saat ini masih menghukum diri sendiri dengan duka yang dia dekap.

"Eithar, aku mau nginap di hotel. Malam ini nggak usah pulang, ya?"

Matanya memancarkan gairah sebelum kembali redup oleh keresahan hatinya. Aku tidak memiliki suatu trauma atau ketakutan, tapi melihat Eithar aku sedikit banyak dapat mengerti perasaannya. Dia butuh ditenangkan, butuh dukungan, dan aku akan melakukannya malam ini.

"Sambil cerita-cerita, oke?"

Aku mengecup bibirnya. Eithar tidak menjawab, hanya menarik tubuh untuk duduk dengan benar, kemudian menyalakan mesin mobil. Kami meninggalkan rumah itu, tanpa sempat minum, apalagi makan. Ha! Viola adalah pengacau! Gara-gara dia suasana  hatiku jadi buruk. Ck! Apa sih mau dia sebenarnya? Tiba-tiba datang dan bicara seperti tidak punya otak.

Karena Eithar sejak tadi diam, kukira kami menuju rumah. Ternyata tidak. Jantungku yang tidak tahu malu ini berdebar kencang ketika kami tiba di bagian pemeriksaan sebuah hotel bintang lima. Wow! Apa kami akan menginap di sini?

"Kita nggak reservasi lebih awal, semoga ada kamar available," kata Eithar.

Mobil kami kini terparkir di depan lobi. Eithar melepas sabuk pengamannya, bersiap membuka pintu.

"Kamu tunggu di sini. Aku cek dulu."

Dengan tololnya aku tidak bisa bersuara. Kepalaku saja yang mengangguk. Ekspresiku ini pasti sangat kaku. Astaga! Aku memegangi kedua pipi setelah Eithar turun dari mobil. Mataku mengikutinya, memperhatikan dia yang sedang menghampiri seorang petugas dan berbincang-bincang. Pegawai laki-laki itu tampak sibuk dengan keyboard komputernya. Eithar sedang memastikan ketersediaan kamar. Artinya, kami akan menginap di hotel. Ya ampun!

Setelah menikah, kami tidak mengadakan bulan madu. Malam pertama pun tidak melakukan apa-apa. Jadi, ini adalah pengalaman baru yang mendebarkan. Rasanya senang dan ingin berteriak girang. Anggap saja ini bulan madu sederhana. Ya, 'kan? Kyaaa!

Eithar kembali ke mobil dan menyuruhku turun. Seorang pegawai laki-laki menyapa kami, lalu masuk ke mobil dan segera melajukannya. Oh, valet attendant.

"Kamarnya masih disiapin, lima belas menitlah kira-kira. Kita tunggu di sini dulu."

Kami sedang duduk di sofa lobi. Dua gelas minuman berwarna kuning—kemungkinan jus jeruk—disajikan untuk kami oleh satu pegawai perempuan. Akhirnya kerongkonganku basah. Gara-gara Viola aku sampai lupa kalau sejak tadi aku sangat haus.

Lima belas menit menunggu, kami diantar ke kamar kami. Ketika kakiku melewati pintu, jantungku kian berdegup kencang. Perasaan senang bercampur debar ini bukan karena aku pertama kali menginap di hotel, tapi karena yang akan aku ajak tidur di kamar mewah ini adalah suamiku. Huaaa! Senangnya! Eh, tapi ada hal yang harus dituntaskan sebelum menikmati tidur.

Aku mendekati Eithar, membantunya melepas tuksedo serta dasi kupu-kupunya. Sampai saat ini dia belum bicara apa pun. Godaanku juga tidak dia tanggapi. Kecupan singkat yang aku beri di rahangnya sama sekali tidak berefek.

"Aku udah pesan makan buat kita. Apa perlu aku cari pakaian ganti buat kamu?" tanyanya seraya menggulung lengan kemeja sampai siku.

Ah, iya, ya.

"Mmm. Nggak usah, deh." Aku melingkarkan tangan di pinggang Eithar. "Nanti tidurnya nggak usah pakai baju kan bisa. Ada kamu yang bikin hangat atau yang bikin aku berkeringat sebelum kita tidur."

Mulutmu, Carissa! Astaga! Yah, tapi mau bagaimana lagi? Kemesumanku makin bertambah dan tidak ada yang bisa aku lakukan. Karena mesum itu lumayan menyenangkan. Hahaha!

"Nggak mood, Carissa."

"Ish! Gara-gara Viola, ya? Bisa-bisanya deh kamu nggak mood sama aku gara-gara perempuan nggak tahu etika itu."

Helaan napas panjang Eithar menerpa wajahku. Kedua tangannya membalas pelukanku, melingkar di pinggangku dengan erat. Bibirnya kemudian bertemu dengan bibirku, bercengkerama mesra selama beberapa waktu, saling membelitkan lidah seolah lupa ada hal yang harus kami bahas. Kalaupun Eithar mau bercinta lebih dulu baru bicara, tidak apa. Aku paham dia butuh suasana nyaman untuk memberi tahu apa-apa yang belum sepenuhnya aku dengar.

Ciuman kami semakin dalam. Eithar bergerak mundur, aku mengikutinya dengan hati-hati. Tubuh kami terjatuh di ranjang, sedikit terpelanting tapi tidak sampai menganggu aktivitas bibir. Gairahku mulai naik karena lumatan Eithar. Remasannya di bokongku juga kian menyulut hasrat. Baru kubuka tiga kancing kemejanya, Eithar melepaskan ciuman kami dan menahan tanganku. Bibirku mengerucut sebal jadinya.

"Tahan, Carissa. Makanannya belum datang."

Kalau begitu harusnya jangan pesan makanan. Hah! Apa, sih, Carissa?!

Batal melanjutkan adegan mesra, aku  menegakkan tubuh dan duduk di perut Eithar. Mataku termanjakan oleh dadanya yang sedikit tampak karena kancing kemeja yang terbuka. Lalu pandanganku naik lagi, menelusuri wajahnya dengan detail. Bagian favoritku adalah bibirnya yang merah dan basah itu. Rasanya aku mau mencium dia lagi.

"Oke, sambil tunggu makanan gimana kalau kamu cerita apa maksud Viola tadi?"

Entah berhasil atau tidak, aku meraih tangan Eithar dan menciumnya. Bermaksud mengurangi ketegangan yang dia rasakan. Mengetahui Eithar mencium tanganku sebagai balasan, aku tersenyum sedikit lega.

"Aku mau cerita, kamu jangan nyela dulu, ya. Karena aku nggak tahu apa akan bisa bercerita tentang ini kalau aja ucapanku dijeda."

Aku mengangguk paham.

"Benar yang kamu bilang. Saudara Viola adalah Viona, mereka kembar nggak identik. Viola dan aku putus karena aku tahu dia pacaran sama cowok lain di saat kami masih pacaran. Dari sana juga aku tahu kalau Viola hanya sebatas kasihan dan nggak tega untuk nolak aku. Di hari kecelakaan itu, seharusnya Viola yang ikut, tapi karena kami udah putus dan Viona nggak enak  karena Viola batal ikut, jadi dia yang gantiin."

Sederhananya, seharusnya Viona memang tidak meninggal. Seharusnya perempuan ular itu yang mengalami kejadian tragis tersebut. Sial. Sudah berbuat hal kejam, tapi dia masih memiliki banyak keberuntungan.

"Aku nggak bisa move on bukan karena masih cinta, tapi karena perasaan marah, benci, dan takut. Nama Viola masih ada di hatiku, bukan karena aku nggak bisa lupain dia. Keberadaan namanya di hatiku adalah pengingat kalau aku nggak boleh percaya perempuan dengan mudah . Aku takut memulai hubungan kalau ujungnya perempuan itu sama kayak Viola. Aku nggak butuh kepura-puraan, Carissa."

Tatapan putus asa, ekspresi penuh luka, dan nada lemah nyaris tiada daya. Sayangku .... Aku mengecup tangannya, lalu menggesek-gesekkan pelan ke pipiku.

"Viona meninggal. Orang tuanya menerima dengan lapang dada. Semua orang tahu itu murni kecelakaan. Tapi Viola nggak berpikir begitu. Dia menuduh aku dendam sampai tega ngebunuh Viona. Hubungan kami memburuk. Setiap kali ketemu dia akan bersikap kayak tadi."

Dasar perempuan ular. Ck!

"Eithar, kamu hanya perlu fokus sama masa depanmu sekarang. Dunia tahu kalau bukan pembunuh."

Matanya memejam. Aku menundukkan wajah, lalu mengecup kelopak mata Eithar. Luka Eithar adalah lukaku juga. Karena aku sudah tahu dari mana asal lukanya, sekarang aku akan menyembuhkannya.

"Masih ada rahasia yang belum kamu ceritakan? Kalau masih ada, aku tunggu kamu cerita. Kalau udah nggak ada, aku mau senang-senang sama kamu."

Dengan cepat matanya terbuka, dengan cepat kembali tertutup ketika bibirnya kulumat tanpa permisi. Aku rasa memang ini waktu yang tepat untuk bersenang-senang, 'kan?

Tanganku mulai membuka kancing kemejanya. Eithar juga mulai menaikkan gaunku hingga sebatas paha. Lenguhanku karena bokong yang diremas Eithar tersamarkan karena bibir kami masih bertautan. Aku turun dari ranjang untuk membuka gaun, begitu juga dengan Eithar yang melepas gesper. Tapi sesuatu membuat kami mematung beberapa saat. Lalu bersamaan kami tertawa kecil karena penampilan sudah kacau, tapi di luar sana seseorang beberapa kali menekan bel kamar diiringi kalimat, "Room service, Sir."

Makanannya datang. Astaga!

To be continued

Tuh, dia kedinginan. Ada yang mau angetin😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro