22. Is it Truly You?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semalam, setelah makan kami memutuskan ke mal terdekat untuk membeli pakaian yang lebih santai. Oh, ya, aku juga membeli make up remover. Bisa gawat kalau tidur dengan full make up, yang ada wajahku akan berjerawat besoknya. Meski hanya menginap di luar rumah semalam bersama Eithar dan jalan-jalan singkat di mal, aku benar-benar kegirangan.

Bangun pagi ada dia sampingku, sarapan bersama di restoran hotel, lalu mandi juga bersama sebelum kami check out. Terdengar seperti honeymoon sungguhan, 'kan? Sayangnya siang ini Eithar harus menemui seseorang atas alasan pekerjaan, padahal aku masih ingin menghabiskan waktu dengannya.

"Kamu bisa stay di sini, Carissa. Malam aku ke sini setelah urusan selesai."

Aku memeluknya dari belakang. Ini rasanya seperti sedang berselingkuh, lalu aku disuruh menunggu di hotel sendirian. Hah, mana maulah.

"Cari waktu, dong, buat honeymoon. Nggak puas cuma semalam, Eithar."

"Kamu mau ke mana?"

"Asal nggak ke jalan menuju kesengsaraan dan neraka, sih. Sisanya bebas."

Eithar membalik tubuh, mengecup bibirku dengan cepat.

"Mulutmu selalu to the points, ya?"

"Itu daya tarikku, Eithar."

"Mau belajar pakai mulutmu buat hal lain, nggak?"

Mataku menyipit.

"Contohnya?"

Wajah Eithar maju. Embusan napasnya terasa di sekitar telingaku. Lalu dia berbisik, seketika wajahku memanas dan tanpa sadar langsung mendorongnya.

"Mesum!" teriakku tidak percaya.

Bisa-bisanya dia punya pikiran semacam itu! Dasar!

"Kenapa? Mulutku juga bisa dipakai buat hal lain, Carissa. Mau tahu, nggak?"

Lihat, lihat! Dia sengaja menggodaku. Aku menutup telinga, tidak mau mendengar omong kosongnya lagi. Ini masih siang dan tanpa tahu malu dia bicara hal seperti itu.

"Dengar dulu, Carissa." Kedua tanganku dia turunkan dari telinga. "Aku bisa—"

"Nggak mau dengar! Kamu mesum!"

Aku menyambar clutch di nakas serta paper bag berisi gaun semalam. Aku mendahuluinya keluar kamar. Sempat kudengar Eithar tertawa sebelum menyusul dan meraih pinggangku agar langkah kami sejajar. Aku menatap Eithar yang kini sedang bicara dengan seseorang di ponsel. Meski kesal dan malu atas ucapannya yang vulgar, tapi aku lega kami bisa sedekat ini sekarang. Aku tidak tahu apa semua dinding tinggi di antara kami telah hilang. Kalaupun masih ada batas yang belum kami lewati, kuharap itu tidak akan berpengaruh lagi.

Hatiku telah dipatahkan beberapa kali. Nyaris saja aku menyerahkan. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika Eithar meremukkan perasaanku lagi. Tapi, seperti yang dia bilang, aku harus percaya bahwa semua akan baik-baik saja.

"Ah, saya kira pertemuannya satu jam lagi setelah makan siang, Pak."

Suara Eithar mengembalikan fokusku.

"...."

"Tidak, saya tidak ada janji. Tentu saya bisa makan siang bersama Bapak."

"...."

"Baik, Pak. Terima kasih."

Ponsel itu kembali ke saku Eithar. Aku menatapnya, menunggu dia mengatakan sesuatu sembari kami menunggu lift terbuka.

"Kenapa?" tanyanya. Satu alis Eithar naik.

"Kamu nggak ngerasa harus bilang sesuatu sama aku?"

"Oh, makan siang, ya. Ternyata orangnya ngajak makan siang bareng. Kamu dari sini naik taksi, ya. Aku nggak bisa ngantar, biar nggak telat ketemu orangnya. Nanti di jalan mampir buat beli makan. Aku transfer uang taksi dan makanmu."

Dengar, dia bicara seolah tanpa beban, seakan-akan aku memang tidak perlu dia pikirkan secara berlebihan. Jangankan bersikeras untuk mengantar pulang, dia bahkan tidak meminta maaf dan bertanya apa aku tidak masalah jika harus pulang sendiri. Dia juga sama sekali tidak terdengar menyesal bahwa janji kami untuk makan siang harus dibatalkan. Uang taksi dan uang makan? Hahaha. Di dalam clutch-ku ada uang cash, ada ATM, dan kartu kredit. Tidakkah dia mengerti kalau ini bukan tentang uang ganti rugi?

"Carissa, kenapa nggak jawab?"

Aku menggeleng, lalu mendahului masuk ke lift.

"Kenapa mendadak kamu diam?" Lagi, dia bertanya.

Ini juga bukan pertama kali untukku. Aku memang tidak pernah menjadi prioritas utama Eithar. Tanpa hati juga dia pernah membiarkanku menunggu di bawah hujan. Sekarang, perasaan tidak dihargai lagi-lagi menyelimuti hati. Ternyata rasanya masih sakit, masih membuatku ingin melampiaskan kesal. Aku banyak berkompromi dengan sikapnya. Tidak bisakah dia sedikit berkompromi denganku? Tidak banyak yang aku minta, hargai perasaanku lebih banyak dari sebelumnya. Sesusah itukah baginya?

"Kamu ada masalah?"

Eithar meraih tanganku ketika aku mendahuluinya keluar dari lift. Lobi hotel ramai, aku harus menekan emosi di sini.

"Masalah? Coba tanya ke diri kamu sendiri."

Kali ini langkahku terhenti, karena Eithar terdiam dan tanganku dalam genggamannya.

"Jangan main kode-kodean. Bicara terus terang kayak kamu yang biasa, Carissa."

"Belajar lebih peka bisa, 'kan? Aku istri yang kamu tidurin semalam, yang kamu janjikan makan siang bareng, dan kamu antar pulang sebelum kamu ngurus kerjaan."

"Masalahnya cuma itu? Gampang, 'kan, solusinya, Carissa? Aku yang panggil taksinya, oke?"

Cuma, katanya? Keterlaluan. Aku melepaskan diri dari Eithar. Keningnya berkerut, berusaha meraihku lagi, tapi aku lebih dulu mundur selangkah.

"Perasaanku bagi kamu emang hanya setinggi kata cuma. Nggak penting buat dipikirin, gitu, 'kan? Masalahnya adalah kamu yang bahkan nggak menyesal sedikit pun, Eithar. Padahal yang aku mau kamu lebih mengistimewakan aku. Sekarang weekend dan kamu masih sibuk dengan kerjaan, aku memakluminya, Eithar. Tapi di mana permakluman kamu saat aku butuh perhatian lebih? Nggak ada, karena aku emang bukan prioritas utama kamu."

Selesai bicara, aku mempercepat langkah menuju front desk. Aku meminta dipanggilkan taksi, tapi Eithar tiba-tiba menyuruh untuk membatalkannya. Pegawai perempuan itu kebingungan saat aku menyuruhnya tetap memanggil taksi.

"Saya suaminya dan istri saya nggak butuh dipanggilkan taksi."

Hahaha! Egois.

Mengalah karena tidak ingin menjadi pusat perhatian, aku mengucapkan maaf pada pegawai itu. Eithar masih harus ada di sana, menyelesaikan administrasi terakhir sebelum meninggalkan hotel. Aku menelepon perusahaan penyedia taksi, menyebutkan namaku, dan nama hotel. Sepuluh sampai lima belas menit katanya taksi baru tiba. Ah, aku baru ingat, harusnya pesan kendaraan on-line, kan lebih cepat tibanya. Tapi ya sudahlah, sudah telanjur, malas harus menginformasikan pembatalan. Sambil menunggu aku juga bisa duduk santai di lobi.

"Aku antar pulang, ayo."

Oh, dia sudah selesai, ya.

"Nggak usah. Aku udah pesan taksi."

"Carissa, kamu nggak niat ngajak aku debat di sini, 'kan? Nurut, ayo aku antar."

Eithar menarikku ke mobilnya yang telah terparkir di pelataran lobi. Dia sampai membukakan pintu mobil untukku. Oh, lucu. Tadi siapa yang menyuruhku pulang sendiri dan sekarang siapa yang kukuh mau mengantar pulang?

"Kenapa nggak masuk?"

"Aku nunggu taksi. Kamu silahkan pergi duluan."

"Astaga, Carissa. Jangan bersikap kekanak-kanakan. Masuk, oke? Aku buru-buru. Jangan malah mengulur waktu kayak gini."

Hatiku terluka lagi. Sial. Apa dia pernah ikut kursus mematahkan hati? Bisa-bisanya dia memberiku rasa sakit tanpa henti sejak tadi.

"Kamu sibuk, ya sana pergi. Aku nggak mau diantar kamu.

Eithar menutup pintu mobil. Wajahnya jelas menunjukkan kekesalan.

"Nggak gini caranya, Carissa. Kamu benar-benar kayak anak kecil. Aku mau antar kamu pulang, tapi kamu nolak. Kamu nyuruh aku peka, tapi kamu sendiri nggak nerima niat baik aku."

Baru semalam kami bersenang-senang dan saat ini hubungan kami terguncang. Apa kami terlalu beda, hingga tidak ada yang namanya hal mulus?

"Maaf. Aku cuma butuh kata maaf saat kamu nyuruh aku pulang sendiri tadi. Tapi kamu nggak ada bilang itu. Dengar, Eithar. Hal sepele itu bisa berdampak besar. Kalau kamu mau serius dalam hubungan kita, belajarlah untuk mengenal aku yang sebenarnya. Pasanganmu butuh dihargai melalui hal remeh kayak kata maaf. Dan kamu ternyata belum paham itu sama sekali."

"Aku minta maaf. Selesai, 'kan? Ayo kita pulang."

Tidak tulus sama sekali. Dia hanya ingin segera pergi dari sini dan bertemu orang yang dia ajak janjian.

"Terlambat. Aku tetap nggak mau pulang sama kamu."

Tidak ada kata yang Eithar keluarkan. Aku tersenyum pahit, lalu meninggalkannya saat satu taksi tiba. Aku mendahului bertanya pada sang sopir apakah orang yang dia jemput adalah Carissa. Untungnya memang ini taksi yang aku tunggu. Segera aku masuk, meski dari sudut mata aku tahu Eithar berjalan ke arahku.

"Jalan dulu, ya, Pak."

"Baik, Mbak."

Aku mendongak seraya menutup mata. Entah, mungkin ekspektasiku terlalu tinggi terhadap Eithar. Dari awal aku tahu dia itu tidak peka, dingin, menyebalkan, tidak punya perasaan, dan bisa-bisanya hari ini aku merasa kecewa lagi dengannya. Karena hubungan kami yang membaik, aku kira dia juga mulai lebih memperhatikanku. Ternyata salah, ya? Hahaha!

Ponselku berdering. Tanpa ragu aku mengangkat panggilan saat tahu Bela yang menghubungi.

"Jalan, yuk! Kalau kamu nggak sibuk sama Eithar."

Ah, tawaran yang sangat bagus.

"Boleh. Mau makan di Excelso, nggak? Aku traktir, nih."

"Serius ditraktir? Ya maulah. Makan sepuasnya sekalian, ya?"

Dasar Bela.

"Iya. Sepuasnya sampai kamu muntah sekalian. Langsung ketemu di Excelso tempat kita biasa nongkrong, ya. Nggak usah jemput aku di rumah, kebetulan aku lagi di luar."

"Oke. Aku jalan sekarang. Bye!"

Suasana hatiku buruk, syukurlah ada Bela yang bisa menemani. Kalau pulang dan di rumah menghabiskan waktu sendiri pasti akan menambah kekacauan hatiku.

"Pak, tolong antar ke Discovery Mall, ya."

"Baik, Mbak."

Ah, iya. Aku harus menghubungi Kakek lebih dulu, memberi tahu kalau mungkin aku akan sampai malam berada di luar. Hemmm. Eithar perlu aku hubungi tidak, ya?  Baiklah, kirim satu pesan saja. Lagi pula, dia tidak terpengaruh pada apa yang aku lakukan, 'kan?

Tiba di mal, aku langsung menuju Excelso. Bela ternyata belum sampai, jadi aku memesan minuman sebagai teman menunggu. For your information, Excelso memilih view pantai. Jadi, saat aku duduk sambil menatap air laut yang tertimpa teriknya sinar matahari.

"Carissa?"

Aku menoleh. Sosok laki-laki tinggi berdiri di Sekali. Wajahnya familier. Siapa, ya?

"Ah, ternyata benar kamu! Sempat mikir salah orang, untungnya nggak."

"Ah, maaf. Apa kita kenal?"

"Wah, aku dilupain? Aku Calvin, Carissa."

Calvin. Calvin. Calvin. Ah! Astaga! Refleks aku berdiri dan memeluknya.

"Ya ampun, Kak Calvin?! Apa kabar?!"

"Wow! Wow! Aku boleh balas peluk, nih?"

Eh? Aku buru-buru melepas pelukan dan meminta maaf atas reaksiku barusan. Aku terlalu terkejut melihat sosok yang selama beberapa tahun tidak pernah lagi kujampai. Kak Calvin juga berubah sangat banyak. Glow up gilaaa!

"Hahaha. Santai. Kamu sendirian? Aku boleh gabung?"

"Ayo duduk, Kak. Temenku belum datang."

"Aku hampir pangling tadi. Makin cantik, Carissa."

"Jangan bikin malulah muji kayak gitu. Aku cewek, makanya cantik ."

"Serius, nih. Berapa lama ya kita nggak ketemu?"

Kami mengobrol sekitar lima belas menit sampai Bela datang. Kak Calvin lebih dulu pergi karena ada janji dengan orang lain. Dia sempat memberiku kartu nama, menyuruhku menghubunginya untuk membuat janji makan siang di lain hari. Jadi, dia itu kakak kelasku dulu sewaktu SMA, kami beda dua tahun. Awal kenal saat aku dipalak preman sepulang sekolah dan Kak Calvin yang menolongku. Dulu kami lumayan dekat, tapi setelah dia lulus sekolah, komunikasi kami putus. Aku maklum, karena dia pasti sibuk kuliah. Dan aku senang tahu dia baik-baik saja.

Baiklah, lupakan Calvin. Karena sekarang aku harus bersenang-senang dengan Bela. Yeay!

"Bel, shopping, yuk? Aku yang traktir juga."

Kami sudah meninggalkannya Excelso, sedang berkeliling mal.

"Kamu kesambet apaan? Tumben double traktir gini."

"Mau nggak? Mumpung kartu kreditku nggak ada limitnya."

"Ya maulah! Gila aja kalau nggak mau!"

Well, sebenarnya ini kartu kredit Eithar. Ya kan sudah diberikan padaku, jadi ini milikku juga, 'kan? Aku mau belanja sepuasnya! Bodo amat kalau Eithar terkejut dengan banyaknya notifikasi pengguna kartu kredit di ponselnya.

🌷🌷🌷

Dari siang ponsel aku matikan, sengaja tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Lagi pula Kakek sudah aku kabari, pasti tidak ada masalah, 'kan?

Belanja sepuasnya, bermain di Timezone, makan malam, barulah Bela menganggapku pulang. Pukul 11 malam aku tiba di rumah.  Tanganku penuh oleh paper bag bertuliskan berbagai nama toko dan brand. Bela melambai dan mengucapkan terima kasih sebelum pergi. Dia kegirangan, karena mobilnya nyaris penuh oleh belanjaan.

Pintu rumah terbuka sebelum aku memencet bel. Tahu siapa yang menyambutku? Eithar. Kupikir dia sudah tidur.

"Dari mana aja jam segini baru pulang?"

Ah, aku dejavu. Suasananya mirip seperti saat aku pulang malam setelah jalan-jalan bersama Richi.

"Harusnya kamu tahu dari banyaknya notifikasi transaksinya kartu kredit itu, 'kan?"

Aku melewati Eithar. Dua tas belanjaanku terjatuh karena mengenai Eithar. Aku merunduk untuk meraihnya, tapi Tanganku malah dipegang Eithar.

"Sadar nggak kamu ngehabisin uang berapa banyak dalam sehari, Carissa?"

Dia tidak membentak, tapi aku tahu dia sedang menahan diri. Raut wajahnya sangat kentara saat marah.

Aku batal meraih tas yang terjatuh. Kutatap Eithar tanpa getar, lalu mengangkat tangan dan menunjukkan tas belanjaanku yang lain padanya.

"Aku dapat barang, bukan judi. Masalahnya di mana? Apa kamu mau perhitungan sekarang, sedangkan kamu tahu kalau ini pertama kalinya aku belanja pakai kartu kreditmu."

"Bukan itu masalahnya."

Semua tas yang di tanganku, didambakan oleh Eithar. Lalu semuanya dilempar sembarangan, berceceran di lantai. Sekali lagi aku dejavu. Oke, aku paham. Dia mau bertengkar sekarang.

"Kamu belanja sampai puluhan juta dan cuma segini barang yang kamu bawa pulang?! Sisanya mana, Carissa?! Siapa yang kamu belanjain sebanyak itu?! Laki-laki?! Kamu pergi sama laki-laki yang mana lagi sekarang?!

Ke mana arah pembicaraan kami sekarang? Bukankah lebih baik dia bertanya apa saja yang aku beli dengan angka puluhan juta, daripada membentak dan melempar barang belanjaanku? Bukankah dia lebih bagus bertanya dengan siapa aku pergi, daripada langsung menuduhku bersama laki-laki lain?

Eithar mendekat. Tubuhku nyaris rapat dengannya, lalu kilat amarah di matanya tiba-tiba kian menjadi. Eithar menjambak rambutnya, terlihat frustrasi yang aku tidak pahami apa sebabnya.

"Sial. Kamu seharian ngapain aja, Carissa?! Kenapa ada wangi parfum laki-laki di bajumu?! Kamu marah sama aku dan senang-senang sama laki-laki lain?!"

Apa ini? Aku tidak percaya Eithar bisa berkata sangat keji padaku. Air mataku jatuh tidak tertahankan.

"Jadi ini kamu yang sebenarnya, Eithar? Kamu yang nggak percaya sedikit pun sama istrimu? Kalau kamu nggak percaya, buat apa kita masih bareng? Lebih baik kita cerai, Eithar."

Tangisku semakin tidak terkendali. Aku berlari ke tangga tanpa memedulikan Eithar. Apa yang sedang aku jalani? Pernikahan macam apa yang tidak ada kepercayaan di dalamnya? Tidak, aku tidak mau disakiti terus. Aku tidak sanggup.

To be continued

Memang ya si Eithar ini nyebelin banget.🤣

Tuh tersangka yang bikin Carissa nangis, Bund

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro