25. Compromise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mataku terbuka terpaksa karena perut yang terasa melilit luar biasa. Aroma tubuh Eithar menyambutku, matanya lalu ikut membuka saat aku melepaskan rangkulan di pinggangnya. Dia ini cukup tanggap saat merasakan aku tak lagi dalam dekapannya ketika tidur. Eithar menyipitkan mata, tampak memfokuskan penglihatan. Dia membelai pipiku, membuatku urung langsung turun dari ranjang.

"Wajahmu pucat? Kenapa, Carissa?"

"Aku harus ke kamar mandi. Aku datang bulan. Sorry bikin kasurnya kotor."

"Oh?"

Eithar terkesiap, lalu menyibak selimut. Matanya memejam sejenak, sepertinya trauma pada darah yang jadi sebabnya. Kebetulan aku memakai setelan piama berwarna merah muda. Jadi, pasti noda merah itu terlibat sangat jelas. Aku buru-buru menutup bagian bawahku dengan selimut, lalu turun dari ranjang saat Eithar masih terpaku. Ah, aku lupa! Seprainya juga jadi berwarna merah. Astaga.

"Eithar, sana panggil Bibik buat beresin ini. Jangan dilihat lagi."

Eithar masih diam.

"Eithar!" jeritku.

Dia buru-buru turun dari ranjang, keluar kamar tanpa menjawab ucapanku. Hah. Haruskah aku mengajaknya berkonsultasi untuk menghilangkan traumanya itu? Tapi ... Kakek pernah bilang kalau kondisi Eithar sudah jauh lebih baik. Dulu dia bahkan bisa pingsan saat melihat darah.

Aku berjalan cepat ke kamar mandi, membersihkan diri lebih dari tiga puluh menit di dalam sana. Saat keluar, kulihat Bik Marni sedang memasang seprai baru.

"Selamat pagi, Non. Bibik udah ganti pelindung kasurnya."

"Oh. Makasih, Bik. Di kamar mandi selimutnya juga kena. Minta tolong langsung dicuci ya, Bik. Maaf ngerepotin. Tumbenan nih aku kecolongan, tanggalnya maju soalnya. Aku jadi nggak nyiapin diri semalam."

"Nggak apa-apa, Non. Nggak usah sungkan."

Tempat tidur sudah rapi, aku membaringkan tubuh saat Bik Marni ke kamar mandi untuk mengambil selimut kotor itu.

"Pakaian kotornya sekalian Bibik ambil. Bibik keluar, ya. Den Eithar udah berangkat kerja. Nggak sarapan dulu tadi, Non."

Aku duduk di tepi ranjang, mengulas senyum, juga berterima kasih atas informasi Bik Marni. Wanita itu meninggalkan kamar, menyisakan aku yang bertanya-tanya sendiri mengapa Eithar buru-buru pergi. Mungkinkah karena dia gugup jadi tidak ingin bertemu denganku lebih dulu? Ah, laki-laki itu selalu saja penuh teka-teki.

Badanku pegal sekali. Aku yakin ini adalah efek olahraga semalam bersama Eithar, juga karena hari pertama menstruasiku. Pinggangku sakit bukan main, ya Tuhan.

Aku turun untuk sarapan setelah memoles pelembap serta tabir surya. Tidak lupa menggunakan liptint untuk mengurangi tampilan pucat akibat nyeri ini. Di ruang makan, lagi-lagi aku sendiri. Kakek sepertinya sudah kembali ke kamar. Sambil menikmati hidangan, aku berpikir mau melakukan apa hari ini. Hemmm.

Massage? Terdengar menyenangkan. Tapi sebelum itu, aku sepertinya harus menyambangi Eithar di kantornya. Membawakannya makan siang, mungkin. Aku tersenyum geli pada pemikiran bahwa kami sudah terlihat seperti pasangan suami-istri yang normal. Yah, setelah semalam, aku yakin kami baik-baik saja. Kami sudah saling memahami bahwa egoisme harus disingkirkan.

Sialnya, darahku mendidih saat tiba di kantor Eithar, karena mendapati Dyra sedang menempel dengan tubuh suamiku. Pantas saja perempuan itu tidak ada di mejanya. Dan apa yang dia lakukan dengan pose seperti itu?

Eithar sepertinya sedikit panik. Dia mendorong Dyra, lalu memperbaiki kemejanya sebelum menghampiriku yang masih berdiri di ambang pintu. Sialan dia. Selesai sarapan aku tadi mencari resep kue di internet, sengaja ingin memberikan sesuatu yang sepesial untuk Eithar walau itu adalah percobaan pertamaku. Aku sampai mengabaikan nyeri pinggang dan rasa melilit pada perut. Aku juga membantu Bik Marni menyiapkan kotak makan siang. Dan apa yang aku lihat barusan? Dia terang-terangan tergoda sekretarisnya? Oh, sia-sia rasanya niat baik dah usahaku.

Ingin kulempar paper bag berisi kue dan makan siang untuknya. Mau kutuang saja semua isi dari paper bag ini ke wajah mereka berdua. Argh! Aku kesal! Emosiku meningkat pesat, salah satu hal yang tidak aku sukai ketika menstruasi.

Huh! Sabar, Carissa! Sabar! Jangan terpancing!

"Carissa, ini nggak kayak yang kamu pikirin."

"Oh? Masa? Kamu mau jelasin kalau tadi Dyra hampir jatuh, eh tahunya malah jatuh di badan kamu?"

Syukurlah aku bisa mengendalikan diri dengan tidak menjalankan rencana di kepalaku tadi; menuang makanan ke wajah Eithar dan Dyra.

"Ya, emang gitu kejadiannya. Nggak sengaja, Carissa."

Di belakang Eithar, Dyra tersenyum miring. Oh, dia pikir menang karena kejadian tadi? Dia pikir berhasil merebut Eithar hanya karena satu tindakan klise? Jangan bermimpi, ya!

"Dyra, kalau nggak bisa pakai heel, pakai yang flat aja, ya. Kasian nih kemeja suamiku jadi lecek kena badan kamu."

Tangan kiriku yang tidak memegangi apa pun seketika bergerak untuk mengusap-usap kemeja Eithar. Gerakanku hampir menyeluruh di bagian depan kemeja Eithar, mengisyaratkan kalau aku ingin melenyapkan debu sekecil apa pun di sana termasuk bekas sentuhan perempuan lain. Dyra menyipitkan mata, senyum kepuasannya berganti cemberut yang sangat menyebalkan di mataku. Heh. Punya hak apa dia berani memasang ekspresi begitu?

"Saya nggak sengaja jatuh. Saya permisi."

Bahkan dia tidak mengucapkan maaf. Benar-benar tidak punya etika.

"Cemburu yang elegan?"

Bukan pernyataan, tapi Eithar lebih cenderung sedang bertanya. Aku menarik tangan, lalu duduk di sofa dan meletakkan barang bawaan. Eithar tersenyum, berjalan menghampiriku, lalu mendaratkan satu kecupan di kepalaku.

"Datang kok nggak bilang-bilang?"

"Kenapa? Kamu kecewa nggak bisa lama-lama nempel Dyra?"

"Kamu berharap begitu? Aku bisa mereka ulang adegannya."

Huh! Sialan! Dia malah menggodaku.

"Makan. Aku udah capek-capek bikinin kamu, nih."

Aku mengeluarkan tiga kotak makanan. Dua berisi makan siang untuk kami, satunya lagi dessert box yang kubikin sendiri atas bantuan internet. Dan kata Bik Marni rasanya enak!

"Carissa, ini nggak isi sianida, 'kan? Kamu nggak berpikir jadi janda kaya, kan?"

Cepat, aku menoleh. Senyum Eithar tertahan. Ya, ya, aku tahu dia sedang bercanda, tapi ini ... menyebalkan. Tidak cukup persoalan Dyra, sekarang dia mau melucu atas hasil tanganku.

Aku setengah membanting kotak yang sedang kupegang, membuat isinya sedikit berceceran di meja. Aku berdiri, lalu berjalan ke arah pintu. Seketika tanganku ditarik Eithar, membuatku membentur tubuhnya dengan posisi membelakangi. Emosiku sedang tidak stabil. Aku yang biasanya cepat kesal, kini bertambah berkali-kali lipat kadar sensitifnya.

"Hei, mau ke mana? Kita mau makan, 'kan?"

"Aku mau pergi. Udah nggak mood makan."

"Cuma gara-gara aku bercanda? Maaf, ya?"

Cuma katanya. Gampang sekali dia bilang begitu. Ah, iya. Baginya semua hal itu tidak perlu diambil sampai ke hati. Bagi dia aku ini mungkin hanyalah tipe perempuan yang suka membesar-besarkan masalah. Aku sadar. Tapi ... apa hanya harus aku yang berkompromi?

"Carissa?"

Aku membalik tubuh. Eithar sedikit memiringkan kepala ke meja di mana makanan tadi sedang kupersiapkan. Sungguh, nafsu makanku hilang. Dia juga tidak maaf atas kejadian Dyra tadi, menganggap cemburuku itu tidak penting.

"Aku nggak mau debat. Sebaiknya aku pergi. Setiap aku datang bulan, aku bakal sangat sensitif. Dan kamu tadi menguji kesabaranku lagi, Eithar."

"Kamu nggak anggap candaan itu serius, 'kan? Kita duduk dulu, ya?"

Tanganku ditarik, tapi aku menguatkan kaki agar tak sampai berpindah posisi. Menyerah, Eithar melepaskan tanganku. Dia meletakkan kedua tangan di pinggang, lalu menatapku seolah dia sedang sangat lelah.

"Oke. Kamu mau apa?"

"Pergi."

"Setelah kita makan."

"Makan aja sama Dyra."

"Carissa ...."

"Eithar, sedikit aja apa kamu nggak belajar memahami hatiku?"

"Aku belajar. Aku salah tadi. Aku minta maaf, ya? Aku cuma niat bercanda, Sayang."

Kuhela napas panjang. Eithar merentangkan kedua tangannya, aku ogah-ogahan membalas kode itu. Tapi dia tampaknya tidak ingin menunggu lama, karena kini dia sudah melingkupi tubuhku dengan kedua lengannya yang besar. Kepalaku menempel di dadanya, membuatku menyembunyikan senyum saat menghidu aroma parfum yang semalam kubelikan untuknya.

"Maaf, ya, Sayang. Jangan ngambek. Kita makan, ya? Aku lapar banget."

Ugh! Kenapa kesalku tiba-tiba hilang? Eithar, kenapa dia jadi lebih ... hangat, sih? Membuatku tidak bisa berlama-lama memasang wajah jutek!

🌹🌹🌹

Eithar bilang akan mengajakku jalan setelah dia selesai bekerja. Jadi, seperti rencana tadi pagi, aku pergi ke spa untuk merilekskan badan. Rasanya jauh lebih baik. Pegal-pegalku berkurang drastis. Selesai mengambil treatment selama tiga jam untuk seluruh badan, aku mampir ke kedai kopi. Tepatnya sih aku nongkrong sambil menunggu jam lima sore. Dan ... surprise! Aku tidak menyangka bisa bertemu Kak Calvin saat sedang mengantre. Laki-laki itu tampak terkejut, tapi tidak menutupi ekspresi senangnya saat menyapaku.

"Nggak nyangka bisa ketemu lagi. Apa kita jodoh?" guraunya.

Kami memutuskan duduk di meja yang sama, memperhitungkan kami saling kenal dan sama-sama datang sendiri. Oh, aku sebenarnya datang bersama Pak Sobri, tapi yang jelas pria itu tidak ikut masuk. Tadi aku hanya mengantarkan minuman dan kue sebagai teman menunggu selagi aku di sini.

"Sayang banget, tapi aku udah taken."

Kuangkat tangan kanan, menunjukkan cincin yang tersemat di jari manis. Kak Calvin memasang ekspresi patah hati sambil memegangi dadanya. Hahaha! Pandai sekali berpura-pura.

"Sorry, sorry. Aku nggak tahu. Kemarin kita cuma ngobrol sebentar dan nggak sempat bahas status. By the way, apa aku harus menyingkir dari sini? Aku sangat menghargai perempuan bersuami, meminimalkan interaksi kalau emang nggak penting. Suami mana pun, akan tetap ngerasa nggak suka lihat istrinya duduk sama laki-laki lain."

Oh? Aku cukup terkejut Kak Calvin punya pikiran seperti itu. Hemm yah, kalau kuingat-ingat, Eithar pasti menunjukkan kecemburuan jika tahu. Sama seperti saat dia cemburu pada Richi meski tanpa mengucapkan kata, atau seperti semalam.

"Cuma duduk kayak gini, salahkah?" tanyaku.

Aku memainkan telunjuk di tepian cangkir, menanti Kak Calvin yang sedang meneguk kopinya. Senyumnya mengembang, aura yang dia pancarkan begitu hangat. Sosoknya yang ramah dan berpikir rasional menambah nilai plus untuknya.

"Ini bukan soal benar atau salah, Carissa. Tapi tentang pantas atau nggak. Sebagian besar perempuan dan laki-laki yang menjalin pertemanan, itu adalah bullshit. Nggak semua, tapi kebanyakan dari mereka menyimpan perasaan."

Aku mengangguk setuju. Dulu aku juga suka pada Richi karena awalnya kami teman dan sering nongkrong bareng.

"Tapi kita 'kan—”

"Carissa."

Panggilan tegas itu menginterupsi percakapan kami. Aku menoleh ke belakang, sosok Eithar yang tinggi berdiri di dekatku.

"Loh, kamu udah pulang kerja, Eithar? Eh, duduk yuk. Kenalan sama kakak kelasku pas SMA. Kami nggak sengaja ketemu di sini."

Kak Calvin bangkit dari duduk, mengulurkan tangan dengan senyum ramah.

"Suami Carissa, ya? Saya Calvin."

Bukannya menjawab serta membalas uluran tangan Kak Calvin, Eithar malah mengajakku pulang. Apa yang terjadi? Kak Calvin diabaikan?

"Eithar? Itu kamu diajak salaman," bisikku.

"Ah, lupain aja, Carissa."

Bisa kulihat raut wajah Kak Calvin sedikit tidak enak. Dia menarik lagi tangannya, meraih cangkir kopi dan meminum isinya dengan cepat.

"Aku harus pergi, Carissa. Makasih udah mau ngobrol. Permisi."

"Kak, sorry," kataku sungguh-sungguh.

"Kamu nggak harus minta maaf. Kamu nggak salah apa-apa, Carissa."

Air mukaku pasti amburadul saat ini. Marah iya, kesal, tidak enak hati. Argh! Eithar ini apa-apaan, sih? Bahkan dia sama sekali tidak menoleh Kak Calvin meski laki-laki itu berpamitan dengan santun.

Aku keluar dari kedai, Eithar menyusul di belakangku sembari memanggil-memanggil. Saking kesalnya, kopi dan kue pun tidak aku habiskan. Tiba di depan mobil, Eithar menahan langkahku. Dengan berat hati aku menatapnya, ingin tahu apa yang hendak dia sampaikan.

"Kamu marah aku bersikap kayak tadi?"

"Menurutmu? Sikapmu tadi keterlaluan, Eithar."

Dadaku berdebar-debar, rasanya darahku berkumpul di satu titik dan nyaris meledak. Tadi itu sangat memalukan. Wajahku dicoreng terang-terangan. Maksudnya apa? Kenapa harus membuatku malu begitu?

"Aku nggak suka, aku cemburu. Aku melakukan hal yang sama kayak kamu. Di depan Dyra, kamu mau ngomong apa dan bersikap apa nggak aku tahan."

Sialan dia! Menyamakan situasi Kak Calvin dan Dyra? Astaga!

"Kamu nggak mungkin ajak aku bertengkar karena laki-laki lain, 'kan, Carissa? Kamu nggak ada pikiran untuk jadiin hal tadi konflik yang harus kita selesaikan sampai harus ngebatalin rencana jalan-jalan kita, 'kan?"

Lidahku kelu, terbungkam oleh pernyataan yang tidak bisa kubantah. Segala kesalku tadi kuredam. Semua kata-kata yang mau aku sampaikan, lenyap begitu saja. Aku tidak paham situasi apa yang sedang aku hadapi. Tapi ada hal lain yang aku tahu, bahwa aku sekali lagi harus berkompromi dengan Eithar.

Bahwa aku harus menyesuaikan diri dengan kemauannya. Kalau tidak, kami akan terlibat pertengkaran yang tidak seharusnya, 'kan?

To be continued

Bisakah kalian menangkap pesan tersirat di bab ini?

Yes, Carissa itu emosian, childish. Lebih memakai hati daripada logika.

Eithar? Sama, egois. Kurang peka. Lebih memakai otak daripada hati.

Mereka adalah pasangan yang nggak sempurna, yang sebenarnya masih mencari tahu makna dan bagaimana pernikahan itu seharusnya.

Kamu boleh cemburu, pasanganmu juga begitu. Kamu pun boleh mengikuti kemauan pasangan, mengalah agar semuanya tetap damai. Tapi, jangan lupa, kalau kamu juga punya hati yang patut pikirkan. 🔥

Selamat malam minggu, dari aku yang sedang mengenang momen berharga lima tahun lalu. Detik-detik aku sedang berjuang antara hidup dan mati demi sah menjadi seorang ibu.

Lav,
Putrie

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro