26. Fake Smile(a)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini part pendek banget. Maunya kusambung nanti malam. Baca sekalian sama part b nanti juga bisa ya. Hehee.

🔥

Usahaku untuk menahan diri seminggu lalu tidak sia-sia. Hari itu aku dan Eithar melewati sisa hari dengan damai. Kekesalanku, kecewaku, semua perasaanku tersingkirkan demi mencegah adanya pertengkaran. Mudah? Tentu saja tidak. Sisi egoismeku ingin berontak, tapi aku mengingatkan diri sendiri kalau kami berseteru, memangnya aku dapat apa.

Rumah ini terlalu sepi. Saat Eithar belum pulang dan Kakek senantiasa menghabiskan waktu di kamar, aku merasa terjebak di dunia asing. Sering Kakek menyuruhku datang saja ke kamarnya jika aku bosan dan butuh teman mengobrol. Tapi aku jarang melakukannya, karena paham Kakek ingin istirahat santai. Apalagi saat malam begini, aku tentu sungkan mengganggu Kakek.

Kulirik jam di dinding, pukul 11 malam. Aku tidak bisa tidur, entah karena mulai terbiasa menghirup aroma tubuh Eithar atau apa. Suamiku itu belum pulang. Jam 6 sore mengabari kalau akan diadakan pesta di perusahaannya setelah mendapat proyek kerja sama yang besar. Eithar bilang tidak akan lama di sana, makanya tidak menyuruhku untuk ikut. Tapi apa-apaan sudah hampir tengah malam dia belum juga menampakkan diri di kamar kami. Ugh! Menyebalkan.

Aku berkali-kali mengubah posisi tidur, sayangnya tetap tidak menemukan kenyamanan untuk memejamkan mata. Pikiranku ke mana-mana, membayangkan Eithar entah sedang melakukan apa. Panggilan dan pesanku tidak dibalas. Katanya mau pulang cepat. Katanya tidak akan membuatku menunggu lama. Hih! Gemas!

Ponselku berdenting beberapa kali. Dengan sigap aku duduk dan meraih benda itu dari nakas. Dahiku mengernyit mendapati nomor asing mengirimkan pesan. Karena penasaran, aku membuka pesan itu. Sialnya, aku jadi terkejut setengah mati.

Carissa, apa kabar? Aku Richi.

Maaf mengganggu kamu malam-malam gini, aku nggak bermaksud kurang ajar lagi. Tapi aku nggak yakin punya keberanian untuk bilang sesuatu selain malam ini.

Aku merasa punya utang maaf. Kamu pantas benci sama aku, tapi aku beneran minta maaf atas kejadian saat itu. Kalau bukan karena aku, hubungan pertemanan kita nggak akan rusak. Aku berharap ada kesempatan buat bilang ini secara langsung, tapi aku nggak berani muncul di depan kamu, Ris.

Ini nomor orang papaku, kamu nggak usah khawatir aku ganggu kamu setelah ini. Carissa, aku minta maaf sekali lagi.

Astaga, Richi. Padahal aku sudah melupakan kejadian itu. Kupikir dia juga melakukan hal yang sama. Ternyata dia ingat, dia merasa bersalah. Ini seperti Richi baik hati yang dulu aku kenal. Sayangnya kami memang tidak bisa lagi berteman meski aku sudah memaafkan. Ada hal yang tak bisa diperbaiki, walau telah diusahakan. Aku telanjur takut padanya, takut kalau pertemanan kami kembali hancur setelah kepercayaan itu tumbuh.

Mungkin suatu hari nanti kami tidak sengaja bertemu. Aku akan tetap menyapa, sekadar berbasi-basi. Tapi untuk sekarang ... aku tidak bisa kembali seperti dulu bersamanya. Richi pun pasti memahami itu, 'kan?

Satu pesan kembali datang, bersamaan dengan pintu kamarku yang terbuka. Eithar muncul dengan senyum, lalu berjalan mendekat. Alisnya nyaris bersatu saat tatapannya tertuju pada ponselku yang menyala, serta tampilan ruang obrolan.

"Siapa yang hubungi kamu tengah malam gini? Kamu belum tidur karena sibuk chating?"

"Richi kirim pesan minta maaf."

"Laki-laki berengsek itu? Masih kurang dihajar sampai berani ngehubungi kamu lagi?"

Aku ingin menyanggah, tapi entah bagaimana aku jadinya hanya terdiam. Daripada bertanya apa kabarku, kenapa aku masih terjaga jam segini, dia lebih yakin pada apa yang dilihatnya. Kalau kujawab, kalau aku protes, pasti kamu akan berdebat, 'kan?

"Nggak usah dibahas, nggak penting juga."

Aku meletakkan ponsel setelah mengunci layarnya. Tampaknya Eithar pun enggan membicarakan lebih dalam. Dia hanya mengangguk, lalu mengatakan akan mandi karena badannya lengket.

Kantukku belum juga datang sempurna. Aku hanya duduk, mendengarkan suara TV tanpa menonton, sekaligus menunggu Eithar selesai mandi. Maunya kuambil ponsel untuk membalas pesan Richi dengan sekadar ucapan bahwa aku memaafkannya. Tapi, denting ponsel Eithar mengalihkanku. Urung mengambil milikku sendiri, akhirnya aku meraih ponsel Eithar yang tergeletak di nakas. Aku penasaran, siapa yang menghubunginya di jam segini.

Dadaku tersentak saat melihat nama Dyra mengirimkan foto pada Eithar. Logika saja ... apa ada orang waras yang mengirimkan pesan di tengah malam begini untuk suami orang? Karena aku tahu passcode Eithar, tanpa pikir panjang aku segera membuka ruang obrolan mereka. Dadaku nyeri saat melihat satu foto di mana Dyra duduk di pangkuan Eithar. Jemari lentik perempuan itu bahkan ada di rahang Eithar, seolah sedang memberi sentuhan hangat penuh godaan. Tatapan mereka terajut, tanpa aku tahu apa yang sedang mereka pikirkan.

Ya ampun, Pak, ternyata ada yang fotoin kita tadi. Karena gambarnya bagus, Dyra kirim ke Bapak, deh. Natural banget ya, Pak, ekspresi kita.

Oksigen ... aku butuh oksigen yang banyak! Ya Tuhan, dadaku sesak. Aku tidak bisa bernapas dengan normal. Ponsel Eithar kuggenggam kuat. Bibir kugigit sampai aku bisa merasakan sesuatu yang asing di lidahku. Aku tidak tahu seperti apa situasi yang sebenarnya. Tapi tetap saja aku kesal, aku marah, aku kecewa. Aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.

Kenapa Eithar tidak menjelaskan apa pun tadi? Kenapa bisa ada adegan seperti itu? Kenapa Eithar membiarkan Dyra di pangkuannya? Mengapa mereka harus bertatapan seperti tidak peduli keramaian di sekitar mereka? Aku tidak ingin menjerit, aku ingin menahan. Tapi segalanya nyaris tumpah saat melihat Eithar keluar dari kamar mandi.

"Carissa? Itu HP-ku, 'kan? Ada pesan?"

Aku diam. Eithar sudah dekat denganku. Matanya melebar dan jarinya menyentuh daguku.

"Hei! Kamu kenapa berdarah gini, Carissa?!Kamu gigitin bibir, Carissa?! Darahnya sampai netes ke dagu, kamu sadar nggak?!"

Eithar buru-buru mengambil tisu, memaksaku berhenti menggigit bibir. Dia panik, berkali-kali berdecak dan mengumpat saat melihat luka di bibirku cukup lebar. Aku masih terdiam, tidak mencegah Eithar yang berusaha menekan bibirku agar tidak mengeluarkan darah. Perih dan rasa darah yang asing ini tidak lagi aku hiraukan. Perhatianku terfokus pada Eithar yang menepuk-nepuk pelan pipiku. Ekspresinya jelas khawatir, tapi ... mengapa dia baru menunjukkannya saat aku sudah telanjur terlihat terluka? Kenapa dia baru memberi perhatian saat aku terlihat sangat menyedihkan?

"Kamu kenapa, sih, Carissa? Hei, sadar, Sayang. Ngomong sesuatu. Ini aku panik banget."

Aku menepis tangan Eithar, membuang tisu  di bibirku dan melempar ke arahnya. Eithar terkejut, dia mengulurkan tangan, tapi kembali aku tepis.

"Hei, ada apa? Kamu kenapa, sih?"

"Kamu yang kenapa, Eithar," bisikku.

Ponselnya kulempar, tepat mengenai dada Eithar. Dengan wajah kebingungan dia meraih ponsel itu, memperhatikan ruang obrolan yang belum kututup sejak tadi. Eithar menghela nafas berat, lalu melempar ponselnya ke sisiku secara pelan.

"Cuma karena foto itu kamu nyakiti diri sendiri, Carissa? Ada apa, sih, sama kamu? Kamu mikir apa? Aku selingkuh sama Dyra?"

"Aku berusaha buat nggak bertengkar lagi sama kamu, Eithar.  Aku berusaha nggak teriak-teriak. Tapi bukannya kamu juga harus jelasin bahkan sebelum aku minta?"

"Aku emang nggak suka kamu teriak-teriak, baperan nggak jelas. Tapi nggak harus kayak gini juga, Carissa. Bibirmu sampai luka. Dan itu cuma nggak kesengajaan. Dyra jalan, jatuh di pahaku, terus aku mana tahu ada yang foto kami."

Aku tidak bisa berkata-kata. Aku bingung, sebenarnya aku siapa, Eithar siapa, kenapa kami ada di ruang yang sama? Kenapa kami bersama, tapi luka itu berkali-kali ada?

Tubuhku rasanya menggigil, mulai beku oleh kata-kata yang terngiang-ngiang di telingaku. Eithar sama sekali tidak merasa itu adalah sebuah kesalahan. Eithar tidak suka aku sensitif pada hal remeh semacam itu. Jadi, ini salahku? Seharusnya aku diam saja, pura-pura tidak melihat, pura-pura baik-baik saja. Begitu, 'kan?

To be continued

Capek gak mereka ribut melulu? Aku capek, tapi seneng bikin mereka begitu. Gimana dong?🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro