27. Temporary

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DELETED SOON.

Ponsel Eithar berdering. Karena posisinya ada di nakas sebelahku, aku mengambilkan untuknya. Sempat kulihat nama Dyra yang tertera di layar. Aku berdeham, menyamarkan reaksi apa pun yang ada di wajahku.

"Siapa?" tanya Eithar saat kuulurkan ponselnya.

"Dyra."

"Nggak pentinglah buat diangkat. Weekend nggak seharusnya ada yang dia laporin soal kerjaan. Decline aja."

Aku segera menuruti perintahnya. Selang beberapa detik, ponsel itu kembali berdering. Kali ini Eithar meraihnya, lalu yang kutahu ponsel itu dia non-aktifkan. Sungguh sesuatu yang langka. Eithar mana pernah dengan sengaja melakukan itu.

"Penting kayaknya. Kok matiin HP? Kenapa nggak diangkat aja?"

"Nggak. Paling dia cuma basa-basi."

Yah, bukan urusanku juga, sih.

"Carissa, aku free seharian. Mau jalan-jalan? Belanja? Atau ngapain aja yang kamu mau."

Oh? Biasanya weekend pun dia ada kegiatan di luar rumah setengah hari. Ketemu si inilah, si itulah.

"Aku malas, sih. Panas banget juga di luar. Enakan di kamarlah."

Sebelum lanjut men-scroll layar ponsel, aku melirik Eithar yang garuk-garuk kepala.

"Kamu mau makan ice cream yang waktu itu, nggak? Enak, 'kan? Kita ke sana, gimana?"

"Lagi nggak pengen, Eithar."

"Aku pengen. Kamu temenin aku, gimana?"

Ya Tuhan. Eithar dari tadi sangat cerewet. Kenapa dia ngotot agar kami pergi keluar? Kalau dia mau, dia bisa pergi sendiri, 'kan?

"Kamu kenapa, sih, Eithar? Maksa banget, deh."

Kuletakkan ponsel karena sudah tidak fokus lagi. Eithar menarik tanganku dengan tiba-tiba. Kepalaku membentur pelan dadanya. Aku bisa mendengar degup jantungnya yang tidak normal. Bergemuruh, seperti perasaan aneh karena tahu telah berbuat kesalahan besar. Tapi mustahil Eithar sadar, 'kan?

"Kamu yang kenapa, Carissa?"

"Aku? Aku baik-baik aja, kok."

"Kamu berubah."

"Nggak, kok. Aku gini-gini aja."

"Kalau gitu aku mau buktiin sesuatu."

Secara tiba-tiba Eithar mendorong tubuhku, hingga aku telentang di kasur. Lalu dia membayangiku dari atas, satu tangannya menaikkan kedua tanganku dan menekannya. Wajahnya merunduk, menjilati leherku dengan gerakan pelan. Kecupan-kecupan basah juga dia berikan. Kalau soal menggoda, kemampuan Eithar makin hari makin mahir. Kadang aku merasa benar-benar tidak berdaya dalam kuasanya.

Mataku memejam, membiarkan Eithar jika memang ingin mengambil haknya meski sekarang ini hari masih siang. Aku adalah istrinya yang harus menuruti kemauannya, 'kan?

"Lihat, kamu berubah," bisiknya tepat di telingaku.

"Aku nggak ngerti maksudmu."

"Kamu selalu mendesah setiap aku sentuh. Beberapa minggu ini kamu nggak lagi kayak gitu. Aku kayak bercinta sama patung."

Tubuh Eithar tidak lagi menindihku, kedua pergelangan tangan juga tak lagi dia tahan. Aku membuka mata, menemukan Eithar duduk bersila lengkap dengan ekspresi datarnya.

"Yang kamu mau istri penurut, 'kan? Aku udah jadi yang kamu mau, kenapa kamu masih juga nggak puas?"

Aku ikut duduk sambil mengusap-usap leher yang terasa basah. Setiap gerakanku rasanya diperhatikan secara rinci oleh Eithar.

"Tapi kamu yang sekarang kayak orang lain, Carissa. Kamu beda, nggak lagi sama kayak Carissa yang aku tahu."

"'Cause everything is temporary, Eithar. Jangan tanya aku, tapi tanya ke diri kamu sendiri. Kalau kamu nggak tahu harus tanya apa, cukup diam dan jalani hari-hari kayak biasa."

"Shit! Kepalaku jadi sakit!" umpatnya seraya mengacak-acak rambut.

Tanpa bilang apa-apa lagi, Eithar turun dari ranjang. Dia berjalan cepat keluar kamar, lalu menutup pintu dengan keras. Aku menghela napas panjang. Rasanya lelah, tapi tidak yakin seperti apa aku harus mengakhirinya. Aku dengan sikap kekanak-kanakanku dan Eithar dengan egoismenya. Aku sering berkompromi, tapi rasanya tak pernah dihargai.

Aku berubah, tapi Eithar tidak paham apa sebabnya. Aku sudah pernah menjelaskan sebelum aku memilih diam, tapi dia tidak juga paham. Artinya aku hanya perlu melanjutkan kebungkaman ini.

Tengkukku meremang, perasaan yang tidak asing. Segala pikiran tentang Eithar kuhentikan, tahu karena sosok itu akan penasaran jika ekspresi wajahku tidak bagus.

"Nggak perlu pura-pura kelihatan baik, aku udah tahu, Carissa."

Untung saja aku mulai terbiasa atas kedatangannya yang tiba-tiba. Jadi, saat dia sudah duduk di sampingku, aku tidak lagi terlalu terkejut.

"Hahaha. Tahu apa, sih?"

"Kamu lelah ya sama Eithar?"

Aku diam.

"Carissa ...."

Sial. Mataku panas, padahal aku mulai lupa caranya menangis.

"Kadang aku mikir mau nyerah beneran. Aku nggak sanggup mengimbangi Eithar."

Aku menutup wajah, menahan agar tidak ada air mata yang jatuh.

"Aku paham, Carissa. Maaf udah pernah nyuruh kamu untuk terus bertahan. Aku juga udah lihat Eithar gimana. Dia sayang kamu, tapi dia nggak paham cara menjaga hatimu."

Ya, ya, aku paham. Tapi aku tidak harus selalu menerima perlakuannya yang menyakitkan itu, 'kan? Sudah sepantasnya dia berjuang, belajar memahami keinginanku jika aku memang penting untuknya.

"Istirahat dulu, yuk, Carissa. Sendiri, tanpa Eithar."

"Ke mana?"

"Liburan ke mana aja, terserah kamu."

Liburan? Tanpa Eithar? Ah, kami bahkan belum pernah liburan bersama. Bulan madu pun tidak sempat.

"Apa Kakek bakal ngijinin?"

"Pasti."

Perlahan-lahan kuturunkan tangan dari wajah. Senyum Viona mengembang, ada banyak ketulusan yang bisa kulihat di sana.

"Ngomong-ngomong, kamu semakin jarang nemuin aku, Viona."

"Mungkin nggak lama lagi aku pergi dari sini, Carissa. Eithar ... dia mulai mengikhlaskan aku. Dia udah mulai berpikir itu bukan salahnya. Kalau terus begini, aku bisa cepat ke tempat seharusnya aku berada, karena nggak akan ada lagi yang menahanku."

Ah, berita bagus, ya. Syukurlah. Aku turut senang. Tapi ... mengapa sisi hatiku yang lain keberatan? Bukan dalam artian tidak rela Viona pergi, hanya saja aku bertanya tidak bisakah Eithar memikirkan ulang apa yang salah dalam hubungan kami sekarang ini.

"Eithar balik," kata Viona. Lalu dia menghilang begitu saja.

Selang beberapa detik pintu kamar terbuka. Eithar muncul, di tangannya ada sekotak es krim. Alih-alih duduk di sofa sesuai dengan yang aku perkirakan, Eithar malah duduk di sampingku.

"Kalau kamu malas keluar, kita makan es krim di rumah aja."

Aku tidak menyahutinya, juga tidak menolak saat sendok yang telah berisi es krim dia arahkan ke mulutku. Aneh, mengapa suasana hatinya cepat sekali berubah?

"Nanti malam nggak mau dinner di luar juga?"

Eithar menyuapiku lagi, bergiliran dengannya yang menyuap es krim untuk diri sendiri.

"Aku nggak ada ide dinner di mana."

"Aku yang atur, gimana?"

"Terserah."

Biasanya kalau Eithar bertanya aku mau makan apa dan di mana, lalu kujawab terserah, dia akan berdecak. Tapi kali ini tidak. Dia terus tersenyum sepanjang menyuapiku. Setiap kali ada es krim di sudut bibir, Eithar dengan segera membersihkannya. Entah hanya perasaanku atau bukan, sepertinya Eithar hari ini lebih perhatian. Benar-benar manusia dispenser yang tidak bisa ditebak.

Es krim kami sudah habis. Aku berniat rebahan dan kembali bermain ponsel, sedangkan Eithar bilang akan mereservasi restoran untuk kami. Mendadak saja saran dari Viona melintas di benak. Liburan sendirian. Haruskah aku mencobanya?

"Carissa, aku keluar dulu."

Eithar baru saja mematikan panggilan entah dengan pihak restoran mana. Lalu sekarang bilang mau pergi, padahal tadi dia bilang seharian free. Ck!

"Ya udah. Sanalah. Kamu kan orang sibuk."

"Jangan ngambek." Bibirku dia kecup. "Sebentar aja, nggak lama."

Lama. Aku pernah menunggunya begitu lama di bawah hujan, tanpa dipedulikan. Hah! Sudahlah, Carissa. Jangan ingat hal menyakitkan lagi.

"Iya, iya, aku nggak ngambek. Sana deh.

"Bye, Sayang."

Kali ini telingaku dia gigit pelan, sempat menciptakan perasaan merinding. Rasanya ... aku memang merindukan sentuhan panas yang menggetarkan seluruh tubuhku. Sayang, aku sepertinya sangat sulit untuk menerima sentuhan Eithar dengan perasaan senang dan tulus seperti sebelumnya.

DELETED SCENE

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro