28. Losing Control

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

EITHAR

Tangan kananku mengepal, siap meninju kaca lebar yang ada di hadapan. Nyaris saja aku lakukan, tapi tiba-tiba akal sehatku ikut campur. Sialan! Aku benci darah. Jika kupukul, otomatis tanganku terluka. Belum habis kesalku, akan sangat konyol jika tubuhku bereaksi pada darah.

Sekali lagi kucuci wajah, kutatap pantulan diri di cermin. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Dengan kerendahan hati aku menyiapkan kejutan untuknya, berharap setelah ini hubungan kami membaik.  Bagi Carissa aku kurang peka, sudah kucoba perbaiki, tapi dia merusak suasana dengan pandai. Makan malam romantis, tiba-tiba memberi hadiah, demi Tuhan, itu adalah hal yang tidak pernah kulakukan pada siapa pun sebelumnya.

Dia masih istriku, tapi dia berubah. Setiap bercinta aku merasa hambar. Setiap kucium, Carissa tidak akan membalas. Apa masalahnya? Di mana letak salahku? Sudah kubilang agar jelaskan padaku, tapi Carissa malah mengambil sikap yang membuat kepalaku sakit. Aku hanya ingin kami kembali normal. Kenapa sulit sekali?

Argh! Apakah semua perempuan seribet Carissa? Tinggal bilang mau apa, tidak perlu pakai acara diam-diaman. Kalau belum aku turuti keinginannya, bilang saja lagi, ingatkan aku. Tidak sulit, 'kan?

Kira-kira sepuluh menit aku berdiam di depan cermin wastafel. Kesalku mulai reda. Otakku mulai bisa diajak kerja sama menyusun rencana. Sudah sangat jelas kalau Carissa menyembunyikan sesuatu. Aku penasaran apa yang mengubahnya, apa yang membuat kami berjarak. Dia perempuan keras kepala, aku juga sama. Cara kekerasan tidak akan mempan untuknya. Berarti yang harus aku lakukan adalah merendahkan hati sekali lagi, menanyainya dengan lembut.

Aku kembali ke meja, Carissa sedang memangku dagu dengan tatapan menerawang. Kuhela napas panjang seraya duduk di kursi. Tersadar dari lamunan, Carissa menarik kedua sudut bibirnya melihatku telah datang. Entah sejak kapan, senyum itu tidak lagi sama. Seperti bukan untukku, seperti tidak ada ketulusan di sana.

"Aku mau makan. Kamu mau makan sesuatu? Ada koki dan pelayan di dapur. Mereka bisa siapin yang kamu mau," beri tahuku.

"Nggak ada. Aku bakal tunggu kamu selesai makan."

Dia tidak lagi sama. Ke mana perginya nada ceria setiap kali kuajak bicara atau tawarkan sesuatu?

Aku mulai makan, sesekali kulirik Carissa yang sedang menatap cincin pemberianku tadi. Cincin itu memang sangat pas untuknya, kubeli secara dadakan tadi siang. Ekspektasiku melihat wajah bahagianya saat diberi kejutan ternyata kacau.

Selesai makan aku menyuruh pelayan membereskan meja. Kami masih bergeming, kembali tinggal berdua dalam keadaan temaram dan hening. Carissa tidak bermain ponsel, tapi perhatiannya juga sama sekali tidak untukku.

"Carissa ...."

"Ya?"

"Bisa duduk di sini?"

Aku menepuk paha. Carissa gegas berdiri, lalu pindah ke pangkuanku dengan posisi duduk menyamping. Aku melingkarkan tangan di pinggangnya, menariknya ke dekapanku selama beberapa waktu ke depan. Aroma ini, tubuh ini, aku merindukannya.

"Apa yang salah, Carissa?"

"Nggak ada."

"Ada," bantahku.

Kalau tidak ada apa-apa, kami akan baik-baik saja. Kenyataannya kami retak, entah sudah seberapa parah. Aku tidak menyadarinya, juga tidak tahu apa sebab pastinya.

"Kamu mau apa, sih, Eithar? Aku udah jawab, tapi kamu ngeyel. Lihat, aku tuh senyum. Aku nggak apa-apa."

Carissa mendorong badanku, kami bertatapan. Dia tersenyum, tapi ... tidak ada perasaan. Kenapa sangat sulit membuatnya mengaku?

"Ini masalah tentang apa? Tentang siapa? Sial. Jangan bikin aku harus menebak-nebak di saat kamu bisa bilang secara langsung, Carissa. Nggak semua orang paham dikodein. Nggak semua laki-laki tahu kenapa istrinya mendadak dingin. Aku manusia biasa, bukan dukun atau sejenisnya yang bisa nebak perasaan kamu dengan benar."

Carissa mengembuskan napas kasar.

"Tapi kamu punya otak, 'kan?"

"Aku pakai otak, Carissa. Aku sedang berusaha mengerti kamu. Nggak kamu pertimbangkan usahaku bikin kamu senang malam ini? Aku berusaha bikin langkah kita sama, tapi kamu malah diam tanpa ngasih tahu alasan kenapa langkah kita berbeda."

Carissa menundukkan wajah. Aku menyentuh dagunya, menariknya lebih dekat, lalu mengecup bibir itu. Tatapan sendu Carissa tidak bisa dibantah. Dia hanya terdiam saat aku juga mengecup kedua pipinya.

"Aku nggak tahu salahku di mana, tapi aku minta maaf. Kalau kamu marah karena aku minta maaf tanpa tahu kesalahan, seharusnya kamu melihat dari sudut pandangku. Aku cuma mau kita baikan dan aku mengalah untuk minta maaf duluan."

Carissa tetap diam.

Akan sulit menyelesaikan masalah jika kami berkomunikasi seperti ini.

"Carissa, tolong—”

"Aku benci kamu, Eithar."

Aku mengernyit.

"Kamu nggak ngerti perasaanku sama sekali. Kamu egois."

Kubuang napas perlahan-lahan. Laki-laki memang selalu egois di mata perempuan.

"Kamu jahat, Eithar."

Aku sedang menghitung berapa banyak kesalahanku bagi Carissa. Dia benci aku, tidak mengerti perasaannya, egois, aku jahat. Cukup banyak.

"Kamu bikin aku sakit hati."

"Kapan? Tentang apa?"

"Dyra, Calvin, semuanya. Kamu nggak mikirin perasaanku."

Calvin. Siapa dia? Aku mengingat-ingat, satu adegan kemudian muncul di kepala. Calvin, laki-laki yang duduk di kedai kopi bersama Carissa tempo hari.

Dyra? Ada masalah apa lagi? Aku sudah jelaskan kami tidak punya hubungan di luar pekerjaan.

"Oke, Sayang. Sekarang jelasin lagi ke aku. Aku akan dengar."

"Kamu nggak mikir gimana perasaanku saat baca pesan-pesan Dyra. Perhatiannya sebagai sekretaris itu udah berlebihan. Aku kecewa kamu nggak ambil tindakan lebih. Kamu harusnya berbuat sesuatu biar dia nggak bablas. Kamu itu laki-laki beristri, Eithar."

Satu masalah mulai jelas. Ini sudah sering kami bahas. Carissa di luar dugaanku, dia memikirkan hal yang tidak kuanggap penting. Dyra begitu adanya, jadi aku bisa apa? Aku tidak meladeni godaannya, hanya membicarakan pekerjaan saja.

"Calvin. Kamu bikin aku malu hari itu. Bisa-bisanya kamu nggak nyapa dia, padahal dia ngajak kamu kenalan dengan sopan. Kamu keterlaluan, Eithar."

Aku bukan laki-laki yang senang berbasa-basi dengan orang tidak dikenal. Dan dia itu sedang duduk bersama istriku. Pandangan serta ekspresi wajahnya saat menatap Carissa, hanya dia yang tahu apa maknanya. Penjelasan Carissa ini kurang bisa aku mengerti. Susah-susah memikirkan sikapku pada laki-laki lain, tapi dia tidak memikirkan perasaan tidak senangku akan hal itu.

"Kamu egois. Kamu boleh cemburu sama Calvin, tapi aku nggak boleh cemburu sama Dyra."

"Nggak gitu, Sayang."

Kali ini aku menyahut. Kesalahpahaman ini harus diluruskan. Carissa boleh cemburu, tapi aku dan Dyra memang tidak punya hubungan aneh. Dan soal Calvin ... ya ya baiklah. Aku akan mengalah, walau aku masih tidak terima Carissa protes akan hal itu.

"Terus gimana? Aku protes soal Dyra, tapi kamu bilang aku berlebihan, kekanak-kanakan. Itu ngelukai hatiku banget."

Kesedihan di wajah Carissa tidak bisa kuanggap remeh lagi. Dia tidak sedang main-main. Sefatal itu ternyata salahku padanya. Sikap dinginnya berasal dari kekecewaannya terhadap sikapku.

Aku menyentuh pipinya, membelai pelan, mengusap bibirnya, kemudian mengecup. Ekspresi Carissa masih tidak bersahabat. Pandangannya padaku seperti sedang melihat penjahat.

"Aku minta maaf, ya? Semua emang salahku."

"Nggak, kamu nggak ngerti kenapa harus minta maaf. Iya, 'kan? Kamu cuma mau masalah kita cepat selesai," tuduhnya.

Ya, benar aku begitu. Seharusnya bukan masalah lagi.

"Kamu maunya aku gimana, Sayang?"

"Sadari salah kamu di mana. Ngertiin aku. Jangan ulangi lagi."

"Oke."

"Oke? Kamu cuma jawab oke?"

Ya Tuhan! Ada apa dengan Carissa? Aku sudah menyanggupi, tapi tetap saja salah baginya.

"Jadi gimana?"

"Nggak tahu! Kamu pikir aja sendiri!"

Dadaku berdebar kencang, terpancing oleh nada tinggi Carissa.

"Jangan menguji kesabaranku, Carissa. Kamu tahu aku nggak peka dan aku udah belajar buat mengerti yang kamu mau."

"Tuh, 'kan! Kamu malah kesel balik sama aku. Harusnya aku yang kesel!"

Kepalaku berdenyut. Setelah ini aku tidak menjamin apa yang bisa aku lakukan pada Carissa. Di matanya aku masih saja salah.

"Carissa ...."

"Aku capek, Eithar! Aku capek! Selalu aku yang harus mengerti kamu! Harus aku yang berkompromi sama sikapmu! Kamu anggap aku apa sebenarnya?! Istri?! Nggak mungkin! Kamu anggap aku kayak pelacur! Sesukanya kamu tidurin tanpa tanya perasaanku gimana!"

Aku tersentak. Kalimat-kalimat Carissa menyerang akal sehatku. Dadaku kian berderu, merasa darahku mungkin saja saat ini sedang mendidih. Seluruh tubuhku panas, memberontak terhadap kata-kata kasar Carissa.

"Ya. Aku anggap kamu pelacur."

Carissa melebarkan mata, lalu air matanya meluncur. Dia memukul dadaku, mengatakan aku jahat berulang-ulang.

Kesabaranku habis. Logikaku tidak bisa ditahan. Maka, aku mengangkat tubuh Carissa dan mendudukkannya di meja. Aku memegang kancing dress-nya, lalu menarik paksa hingga terdengar dentingan ringan di lantai. Carissa melebarkan mata, tangannya menutupi bagian dada yang kini cukup terlihat.

"Eithar, kamu mau ngapain?"

Ada kegugupan dalam suaranya, membuatku bergairah untuk terus menggiringnya pada rasa takut. Aku menyeringai melihat kecemasan di wajahnya saat kedua kakinya kubuka lebar.

"Eithar, jangan gila!" pekiknya.

Carissa mencoba melarikan diri, tapi gagal karena kakinya masih kupegang kuat. Dia meneriakiku tidak waras saat satu tanganku mulai menurunkan celana.

"Di sini ada koki sama pelayan! Jangan gila, Eithar!"

"Kenapa kalau ada mereka? Mereka mau jadi penonton? Silahkan."

"Astaga, Eithar! Aku nggak mau dipaksa gini!"

Aku merobek dalaman Carissa. Sesuatu yang tersembunyi kini terlihat malu-malu. Aku memajukan wajah untuk mencium bibirnya, tapi Carissa meludahi wajahku. Aku tertawa, mengabaikan penolakannya.

"Eithar, berhenti!"

Ujung kejantananku telah menyentuh Carissa, sedang mencari jalan untuk memasukinya lebih dalam. Carissa memukul tanganku yang sedang memegang kakinya. Yah, tentu saja percuma.

Carissa memekik ketika aku berhasil memasukinya. Aku bergerak liar, tanpa perasaan, tanpa pikiran apa yang sedang dirasakan Carissa saat ini. Air matanya jatuh, menggoda sisi kemanusiaan serta nuraniku. Tapi kembali terngiang-ngiang ucapannya tadi, dadaku kian terbakar. .

Aku memberinya seluruh hati, merendahkan diri untuk memperbaiki hubungan kami sekarang, tapi yang aku dapatkan adalah sisi kerasnya saja. Ada yang menggores dadaku, yang memunculkan sisi kejamku, dan Carissa seharusnya mulai malam ini tahu bagaimana seharusnya kami berkomunikasi.

"Kamu jahat, Eithar," bisiknya di antara isak tangis.

"Ya, aku jahat. Aku egois. Aku anggap kamu pelacur. Apa lagi, Carissa?"

Hanya tangis Carissa yang menjawab pertanyaanku. Hanya amarah yang kurasa meski berhasil menyentuhnya. Hanya perih yang kutahu meski aku mendapatkan pelepasan di dalam dirinya.

To be continued

Eh gimana gimana? Ini dapat nggak sih feeli sebagai Eithar?🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro