30. One More

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

EITHAR

Kali ini aku tidak bisa menahan diri. Tinjuku melayang pada kaca wastafel. Bunyi nyaring mengisi ruang sunyi ini. Kaca-kaca itu berserakan dan darahku menetes di atasnya.

Segalanya jadi kacau. Aku tidak seharusnya melakukan itu pada Carissa. Amarahku tak bisa dikontrol, sampai-sampai aku tidak berpikir apa pun sebelum bertindak. Harga diriku terinjak-injak, hingga yang kutahu Carissa harus merasakan akibat ucapannya.

Berengsek! Kamu berengsek, Eithar!

Buku-buku tanganku perih, terasa lembap dan tidak nyaman. Aku segera mencuci tangan, tapi darahnya tetap saja keluar. Sialan! Peningku bertambah karena darah ini. Beberapa lembar tisu kutarik, kugunakan sebagai penyerap darah untuk sementara. Bukan luka ini yang harus aku pikirkan, tapi Carissa. Aku harus meminta maaf dengan berlutut padanya setelah ini. Aku harus segera membawanya pulang.

Aku kembali untuk menemuinya. Langkahku melambat saat yang aku temukan adalah kekosongan. Carissa tidak ada di sini. Dahiku mengerut sambil mengamati sekitar. Benar-benar kosong. Tasnya masih ada. Lalu ke mana Carissa pergi? Toilet?

Kakiku semakin dekat dengan meja. Mungkin saja dia ke toilet dan aku akan menunggunya di sini. Baru saja kutarik kursi, mataku terpaku pada benda berkilau yang berada di meja. Jantungku seketika bergemuruh, memahami bahwa masalah ini telah sangat besar.

Cincin yang kuberikan tadi serta cincin pernikahan kami, Carissa meninggalkannya di sini. Dia melepas benda yang sejak kami resmi menikah selalu dipakai. Artinya Carissa bukan di toilet. Dia pergi dari restoran ini. Dia melarikan diri.

Apa yang sudah kamu lakukan, Eithar?!

Aku mengerang, lalu menyambar kedua cincin itu dan memasukkannya ke saku. Beberapa lembar uang pecahan seratus ribu aku letakkan di meja, pengganti kaca yang aku pecahkan tadi. Tas Carissa kuraih, kugenggam erat seraya melangkah menuju pintu utama restoran.

Melihat dari keadaan Carissa, harusnya dia tidak jauh. Tapi aku sama sekali tidak bisa menemukannya di pelataran restoran. Bagaimana bisa Carissa menghilang sangat cepat? Argh!

Aku berlari ke mobil. Kutekan klakson supaya rantai besi melintang di jalan masuk area restoran dibuka. Seorang pria berlari dari samping bangunan, segera melaksanakan tugasnya tanpa aku bilang lagi.

Ke mana Carissa? Dengan siapa dia pergi? Bagaimana dia bisa keluar dengan keadaan berantakan seperti itu?

Kamu pecundang, Eithar!

Rumah. Bisa saja Carissa pulang. Benar. Aku harus menghubungi ke rumah. Ponsel aku keluarkan dari saku, lalu memberi perintah pada asisten pintar untuk melakukan panggilan ke rumah. Sementara menunggu panggilan diangkat, aku menyetir dengan pandangan ke mana-mana. Sangat berharap sosok Carissa tampak.

Bodoh, Eithar! Mana mungkin dia ada di jalanan saat pakaiannya sobek!

"Halo?"

Kakek?

"Kek, ini Eithar."

"Ada apa?"

"Carissa udah sampai rumah?"

"Kenapa tanya Kakek? Dia pergi sama kamu, Eithar."

Hah! Bodoh! Bodoh! Kalaupun Carissa menuju ke rumah, mana mungkin dia sudah tiba. Tadi aku di toilet bahkan tidak sampai sepuluh menit.

Berpikir, Eithar, berpikir!

"Kek, tahu rumah Bela? Temannya Carissa itu."

"Kalian bertengkar dan Carissa kabur?"

"Kek, tolonglah. Aku butuh alamatnya sekarang."

"Menikahkan kalian ternyata emang kesalahan. Kakek merasa berdosa sama mendiang orang tua Carissa."

Panggilan diputuskan sepihak. Kepalaku berdenyut parah. Kupukul setir sembari mengerang. Dadaku berdentam-dentam, memberikan tanda badai besar sudah datang. Aku tidak bisa bernapas lega membayangkan Carissa yang kacau melarikan diri dariku.

Ponselku berdenting dua kali. Segera kutepikan mobil saat melihat nomor Kakek sebagai pengirimnya. Kakek memberikan alamat, tapi ada pesan lain yang tertulis.

Kalau Kakek yang lebih dulu menemukannya, jangan harap kamu bisa melihat wajahnya lagi, Eithar.

Kakek sedang mengancam. Dan aku tahu itu bukan hanya sekadar untuk membuatku takut. Aku harus menemukan Carissa lebih dulu, harus!

Mobilku segera melesat menuju rumah Bela-berdasarkan alamat yang Kakek beri. Kuhela napas panjang setelah mengemudi seperti di jalan tol. Malam ini semesta memihakku, jalanan tergolong sepi. Tapi rumah Bela yang sunyi sedikit menyurutkan semangatku untuk bertemu Carissa. Aku merasa dia tidak di sini, entah bagaimana aku yakin.

Kuketuk pintu rumah yang tertutup. Tidak sampai lima menit, seorang wanita berdaster batik muncul. Keningnya berkerut, tapi cepat digantikan oleh senyum ramah.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu?"

"Permisi, Bu. Saya Eithar, suami Carissa. Carissa temannya Bela. Apa Bela ada?"

"Oh, suaminya Carissa. Ya, ya. Saya baru ingat. Pertama dan terakhir ketemu saat resepsi soalnya."

Aku bahkan tidak ingat kalau wanita ini datang ke resepsiku.

"Eh, nyari Bela, ya? Tapi dia lagi mandi. Masuk aja dulu."

Aku tidak bisa membuang banyak waktu. Carissa harus segera aku temukan.

"Begini," kuembuskan napas perlahan-lahan, "saya mencari Carissa. Apa istri saya ada di sini? Maaf saya to the points, karena saya harus segera ketemu Carissa."

"Carissa? Nggak ada, Nak."

Dilihat dari mimik wajahnya, seharusnya wanita ini tidak berbohong.

"Bel, udah selesai mandi? Coba ke sini!"

"Ya, Ma!"

Setelah itu seorang perempuan muncul. Ada handuk merah muda yang menggantung di pundaknya. Matanya melebar saat melihatku. Aku tersenyum, seramah yang aku bisa.

"Eithar, 'kan? Suaminya Carissa."

"Benar. Saya suami Carissa."

Betapa bodohnya aku selama ini. Orang-orang di sekitar Carissa bisa mengenaliku, tapi aku tidak tahu apa pun tentang mereka. Bahkan tidak ada yang aku tahu tentang Carissa.

"Ya udah. Ngobrol berdua deh ya, saya tinggal. Di dalam aja biar enak, Nak Eithar."

"Terima kasih, Bu."

Wanita yang kuduga sebagai ibunya Bela, berlalu. Bela mengajak masuk, tapi aku memilih tetap berdiri di sini karena ingin buru-buru.

"Ada apa, ya?" tanyanya.

"Saya mencari Carissa."

"Carissa? Dia nggak ada di sini. Dan hari ini kami nggak ada ketemu."

Kuletakkan kedua tangan di pinggang, menunduk, kemudian mengatur napas. Jadi, ke mana Carissa pergi?

"Kamu bisa cek kalau nggak percaya."

"Saya percaya," sahutku setelah kembali menatapnya. "Saya pamit. Maaf mengganggu malam-malam."

"Kalian bertengkar lagi?"

Langkahku terhenti.

"Carissa emang sering kekanak-kanakan. Dia nggak pernah pacaran, dia belum paham gimana seharusnya hubungan berjalan. Tolong maafkan kalau ada sikapnya yang bikin kamu kesal. Sebenarnya, Carissa sayang banget sama kamu. Dia cuma nggak tahu gimana mengontrol rasanya yang menggebu-gebu. Kamu sandarannya, Eithar."

Kupejamkan mata, membayangkan wajah semringah Carissa, membayangkan senyumnya setiap kali melihatku pulang. Lalu tangisan-tangisannya melenyapkan bayangan indah tadi, mengingatkan betapa sering aku melukainya. Dadaku tersayat.

"Terima kasih udah menjadi teman curhat Carissa selama ini."

Kali ini aku hanya bisa mengandalkan satu tempat, berharap Carissa ada di sana. Tapi nihil. Ketika sampai di rumah mendiang orang tuanya, pagar itu masih tergembok, sedangkan bangunannya gelap gulita.

Aku melayangkan tinju pada setir. Sialan. Sialan. Sialan. Kamu sialan, Eithar!

Ke mana harus kucari Carissa? Ini sudah lima jam sejak dia menghilang. Orang-orang yang kusuruh untuk mencarinya belum juga ada kabar. Membuat laporan orang hilang ke polisi juga belum bisa. Ha!

Sejak tadi aku berputar-putar, menyusuri jalanan tanpa arah. Aku tidak tahu tempat favorit Carissa, tidak tahu kemungkinan ke mana lagi dia mencari tempat berlindung. Sedikit pun ternyata aku tidak mengerti dirinya.

Aku menepikan mobil saat mataku berkunang-kunang. Perasaanku berkecamuk, menginginkan Carissa segera ditemukan. Apa yang harus kulakukan demi bertemu dengannya?

Ponselku berdering. Segera kuangkat saat melihat nomor Kakek yang memanggil.

"Pulang sekarang, Eithar. Dasar cucu kurang ajar!"

Leherku sontak seperti dicekik hanya karena ucapan Kakek. Apakah Kakek sudah menemukan Carissa dan mengetahui perbuatan bejatku tadi? Mati! Kengerian mendekapku, layaknya ajal sedetik lagi menjemputku.

🌹🌹🌹

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Aku bergeming, siap jika harus mendapatkan dua atau tiga tamparan lagi. Bukan rasa sakit ini yang aku khawatirkan. Tapi aku ketakutan mendengar apa yang akan Kakek sampaikan.

"Kamu hidup harusnya untuk membahagiakan Carissa, bukan sebaliknya!"

Belum pernah aku mendengar Kakek murka seperti ini. Kakek pasti sudah menemukan Carissa dan mengetahui ulah bejatku tadi. Hatinya pasti benar-benar tersakiti.

"Kakek boleh tampar aku lagi, tapi kasih tahu Carissa ada di mana."

"Berani kamu ngomong kayak gini setelah kamu sakiti dia abis-abisan?!"

Kerah bajuku ditarik Kakek, kepalan tangannya di udara, siap menyentuh wajahku. Pak Sobri dan Bik Marni berusaha melerai, mengingatkan agar jangan sampai darah tinggi Kakek naik.

"Aku tahu aku salah. Aku mau minta maaf sama Carissa. Kakek tolong aku kali ini. Sekali lagi aja kasih aku kesempatan. Aku akan turuti semua mau Carissa."

"Cucu nggak tahu diri! Di saat kayak gini baru kamu memohon-mohon?!"

Pak Sobri menyuruh Kakek duduk, Bik Marni menyuruh minum agar Kakek lebih tenang. Aku tetap berdiri, menunggu kemurahan hati Kakek untuk memberi tahu di mana istriku.

"Kek, aku salah. Aku nggak bisa kontrol emosi."

"Seharusnya pernikahan ini nggak pernah terjadi, Eithar. Kamu yang pertama menyanggupi saat surat wasiat itu akan ditulis. Kamu! Kamu yang bilang akan menemani Carissa seumur hidup sebagai tanda balas budi. Tapi apa yang kamu lakukan? Mana janjimu di hadapan orang tua Carissa, hah?!"

Aku masih diam, tidak mengelak kata-kata Kakek. Benar, aku yang pertama kali menyanggupi pernikahan ini. Harta warisan yang ingin aku kuasai hanyalah dalih di depan Carissa.

Dari awal aku menyukainya, tapi tidak berani mengaku karena takut pada bayangan masa lalu.

Sejak awal aku tahu akan terjebak selamanya dalam pernikahan ini. Tapi aku pun tahu, bersama Carissa hari-hariku akan berwarna.

Semua tingkah kekanak-kanakanku padanya hanyalah kedok untuk menutupi rasa yang ada. Hatinya sangat takut kulukai, maka dari itu mati-matian aku menepis perasaan itu. Sialnya, aku kini malah mematahkan hatinya tanpa iba.

"Sebaiknya kalian berpisah."

Panca inderaku mati sesaat. Lalu dada yang bergemuruh hebat mengembalikan kesadaranku. Kehilangan Carissa adalah bencana. Dia adalah satu-satunya alasan aku masih menapak di bumi. Hanya karena dia aku membekukan hati untuk gadis-gadis lain setelah surat wasiat itu resmi ditulis.

Hanya karena Carissa, aku belajar mencintai.

Aku berlutut di dekat kaki Kakek. Kepalaku menunduk dalam. Aku juga menyentuh kaki Kakek, memohon pertolongannya untuk kali ini saja.

"Kekuranganku banyak banget, aku sadar itu. Aku bersumpah kali ini bakal belajar mengerti Carissa dengan sungguh-sungguh. Kakek juga tahu, pisah itu mustahil. Kami udah terikat sumpah sampai mati. Di mata Tuhan kami adalah suami-istri sampai napas terakhir biarpun pengadilan berhasil mengeluarkan surat perceraian untuk kami."

Sumpah yang kami buat di altar, senyum Carissa di balik veil putihnya yang anggun, dan kecupan singkat pertama kami di antara gemuruhnya sorak-sorai tamu undangan. Aku tidak bisa merelakan semua itu.

"Carissa juga tahu itu, Eithar. Tapi berpisah lebih baik daripada tinggal satu rumah dan menyiksa hati. Carissa tahu bahwa seumur hidupnya dia harus hidup tanpa laki-laki. Dia nggak keberatan. Karena kamu juga akan melakukan hal yang sama."

Lalu ponsel di sakuku berdering. Aku berniat mengabaikan tapi Kakek menyuruhku mengangkatnya. Dahiku mengerut saat melihat nomor asing yang tertera di layar.

"Angkat dan selesaikan," titah Kakek.

Lagi, dadaku berderu setelah mengartikan ucapan Kakek. Aku memejamkan mata saat menempelkan ponsel ke telinga. Dan suara itu benar-benar yang kudengar. Suara yang baru lima jam tidak mengisi pendengaranku, tapi sudah kurindukan setengah mati.

"Ris, Carissa, pulang, ya? Aku jemput," kataku setelah dia menyebutkan namanya barusan.

"Eithar ...."

Ya Tuhan. Aku sangat merindukannya.

"Ya, Sayang. Maafin aku, ya? Aku minta maaf. Sekali lagi kasih aku kesempatan. Aku akan jemput kamu. Bilang kamu ada di mana sekarang, Carissa."

"Eithar, perpisahan yang terbaik. Terima kasih buat semuanya."

Air mataku jatuh begitu saja saat panggilan berakhir sepihak. Aku menatap Kakek, berusaha meminta bantuannya. Tapi Kakek mengalihkan pandangan, menandakan bahwa tidak ada lagi jembatan yang bisa menghubungkanku dengan Carissa.

Aku hancur.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro