31. Last Conversation

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Richi mengantarku ke sebuah penginapan semacam vila, yang katanya ini milik salah satu kerabat Bela. Setiap bangunannya terpisah satu sama lain dan cukup berjarak, memberikan perasaan nyaman dan aman untukku yang sedang tidak ingin bersinggungan dengan banyak orang.  Dia juga memperlakukanku dengan baik, mengikis sisa pikiran burukku padanya sejak kami berjumpa tadi. Aku disuruh mengunci pintu kamar selagi mandi dan Richi bilang menunggu di luar sembari menanti kedatangan Bela.

Tanpa melepas dress, aku berdiri di bawah shower yang menyala. Tubuhku sepenuhnya basah, berharap semua sisa-sisa liur ataupun keringat Eithar hanyut. Aku tidak lagi menangis, air mataku sepertinya mengering karena sudah banyak yang aku keluarkan.

Malam ini perasaanku hancur lebur. Eithar, sosok yang aku berikan sepenuh hati bisa-bisanya membuatku kecewa seperti ini. Di saat dunia mungkin saja berpaling dariku, dialah yang kuharapkan ada dan akan selalu mendekapku. Sayangnya semua harapan itu pupus. Apa lagi yang bisa aku harapkan darinya?

Aku berlutut, merenungi lagi apa saja yang sudah kami lalui. Dan dari semua kenangan-kenangan itu, aku rasa tidak ada yang pantas untuk aku pertahankan. Hanya ada air mata dan kesedihan sepanjang pernikahan ini. Hanya aku yang memiliki rasa dan bertahan. Jadi, bukankah perpisahan yang terbaik?

Eithar ... saat ini apakah hatimu perih sepertiku?

Aku tidak tahu pastinya berapa lama ada di kamar mandi. Kulitku sampai memucat dan berkerut. Saat ini perasaanku sedikit lebih baik dibanding tadi, yah hanya sedikit.

Aku memakai pakaian yang Richi beli. Richi sepertinya sengaja mencari  blouse dengan model turtleneck. Celana yang dia belikan juga panjang. Dengan pakaian seperti ini, aku merasa lebih aman. Untuk sementara waktu sepertinya aku akan berhenti memakai dress ataupun rok.

"Ris, udah satu setengah jam. Kamu aman di dalam?"

"Aman! Aku keluar sekarang!"

Aku menaikkan suara supaya Richi mendengarnya. Setelah selesai merapikan rambut, aku segera membuka pintu. Tapi betapa terkejutnya aku saat melihat Bela. Oh, bukan, maksudku pria di sebelah Bela. Aku refleks mundur selangkah, tapi tiba-tiba tidak lagi bisa bergerak. Aku tidak mau menangis, tidak lagi. Sialnya air mataku jatuh tanpa tahu diri saat Kakek melangkah maju lalu memelukku secara tiba-tiba.

Aku pernah merangkai adegan melarikan diri di kepalaku, lalu Kakek dengan uangnya menemukanku dalam hitungan jam saja. Kini itu terjadi padaku, benar-benar terjadi. Hal yang aku syukuri, bukan Eithar yang lebih dulu menemukanku.

"Kamu menderita sekali ya, Carissa? Maafkan Kakek. Maafkan Kakek yang nggak bisa menjagamu."

Aku tergugu. Kucengkeram baju Kakek kuat-kuat. Bela dan Richi undur diri, bilang akan menunggu di tempat lain selagi aku dan Kakek bicara.

"Apa yang kamu alami, Sayang? Eithar mukul kamu?"

Tangisku mereda. Kini kami sedang duduk di sofa. Wajahku menunduk dalam, tidak tahu harus memulai ceritanya dari mana. Aku juga terlalu malu untuk menjabarkan segalanya.

"Carissa, cerita sama Kakek. Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Apa ini udah batasnya?"

Aku sontak mengangguk. Kudengar helaan napas panjang Kakek.

"Kakek ingat tadi kalian makan malam."

Tanganku seperti bergerak sendiri untuk menyentuh leher yang tertutup kerah blouse. Kuusap-usap leher, karena perasaan merinding itu kembali datang.

"Di sini?"

Kakek menyentuh tanganku, lalu menggesernya perlahan. Kerah blouse-ku sedikit ditarik, setelahnya Kakek mendengkus.

"Eithar keterlaluan. Gimana bisa dia kasar begini? Apa lagi yang dia lakuin, Carissa?"

Adegan penyobekan panty kembali terputar. Lalu disusul jeritku karena merasa sakit dan perih ketika Eithar memaksa memasukiku. Setiap hunjamannya menyakitiku. Tatapannya meremehkan sekaligus menertawai ketidakberdayaanku. Seringai itu muncul saat air mataku menetes. Eithar—

"Ya Tuhan, Carissa! Apa aja yang udah anak sialan itu perbuat sampai kamu kayak gini?!"

Kakek sudah mendekapku. Kedua tanganku menutup telinga, kakiku juga naik, dan posisiku kini meringkuk. Kapan aku melakukannya? Kenapa aku tidak ingat apa pun?

"Ya Tuhan. Kakek sangat berdosa, Carissa. Maafkan Kakek. Maafkan Kakek."

Ah, kenapa air mataku mengalir deras? Seingatku tadi tangisku sudah berhenti.

"Kamu boleh berhenti, Carissa. Kamu bisa berhenti dari pernikahan ini. Kakek nggak mau kamu menderita gini. Kamu berhak bahagia."

"Kek ...."

Aku menatap Kakek, air matanya berlinang. Ibu jariku mengusap pipinya, tapi air mata Kakek malah lebih deras. Berkali-kali Kakek meminta maaf, mengatakan semua ini salahnya yang berniat menolong tapi malah menghancurkan. Kakek terus memelukku, sedangkan aku terdiam. Suaraku tertahan karena hati yang melebur bersama duka dalam.

Kukira perasaanku mulai normal. Kupikir tidak akan lagi terguncang. Ternyata aku salah. Tubuhku masih bereaksi atas kejadian tadi dan ide berpisah dari Eithar. Dadaku nyeri, karena sikapnya, karena hendak menjauhinya. Aku bodoh, tapi aku sungguh tidak bisa mengelak fakta bahwa dari semua hal yang dia lakukan padaku, hatiku masih menyayanginya.

Sayangnya ... aku tidak lagi kuat bertahan.

"Besok Kakek akan buatkan jadwal dengan psikiater."

"Tapi aku nggak gila. Aku nggak gila, 'kan, Kek?"

"Nggak, Carissa, nggak. Kamu nggak gila. Kamu hanya butuh penanganan orang yang ahli. Mental kamu hanya sedang terluka dan kamu akan baik-baik aja nanti."

Mentalku terluka? Benarkah? Apakah saat ini keadaanku memang tidak baik-baik saja? Apakah ada yang harus dikhawatirkan lebih dari sekadar kesakitan hatiku?

Bayangan itu datang lagi. Wajah Eithar, senyumnya, tangannya, air liurnya. Aku menjerit. Kakek memelukku erat, mengatakan aku ada di tempat yang tidak akan Eithar datangi. Kakek bilang Eithar tidak akan menemuiku lagi. Kakek juga bilang aku benar-benar boleh meminta perpisahan.

Mungkin karena jeritanku tadi, pintu kamar dibuka tanpa permisi oleh Richi. Bela juga muncul. Dia mengusap mata saat tatapannya bertemu denganku.

"Terjadi sesuatu lagi, Kek?" Richi bertanya. "Maaf lancang, tapi kami khawatir karena Carissa berteriak."

Aku melepaskan diri dari Kakek, lalu berdiri meski terhuyung. Baru dua langkah, Bela lebih dulu menyambar tubuhku. Dia memelukku erat, mengatakan akan selalu ada untukku.

Lama aku terdiam dalam kehangatan yang Bela beri. Jantungku yang sejak tadi berdentam-dentam, kini mulai normal. Napasku mulai beraturan.

"Kita duduk ya, Ris. Minum sama makan juga, ya? Richi bilang tadi abis muntah kamu nggak mau minum."

"Aku menjijikkan, Bel. Mulutku—”

Bela melepaskan pelukan kami, lalu bibirku ditutup dengan telapak tangannya.

"Kamu nggak menjijikkan, Carissa. Kamu butuh tenaga untuk berpikir. Kamu harus ngambil keputusan, 'kan?"

Aku mengangguk. Malam ini aku ingin mengakhiri semuanya, semuanya.

"Gimana kalau aku muntah lagi?"

"Nggak apa-apa. Kami ada di sini, Carissa. Jangan takut sama apa pun, oke?"

Bela menuntunku duduk. Kakek membelai kepalaku selagi Richi bilang mengambil pesanan makanan yang diantarkan kurir. Tidak lama setelah itu Richi kembali. Ada empat styrofoam di meja, Bela membuka satu, mengatakan kalau nasi goreng itu sangat enak. Aku melihatnya membuka air kemasan dan mengarahkan ke bibirku.

"Kamu tadi udah muntah, 'kan? Semua hal yang tadinya ada di mulutmu udah hilang, Ris. Semuanya udah hanyut," kata Bela.

Benarkah sudah hilang? Tidak ada sisanya lagi?

"Percaya sama aku, Ris. Mulutmu udah bersih. Tadi usah gosok gigi juga, 'kan?"

Lagi, aku mengangguk.

"Nah, kalau gitu sekarang kamu minum. Biar tenggorokanmu nggak luka karena kekeringan."

Tepian botol itu sudah menyentuh bibirku. Bela sedikit memiringkan botol, hingga airnya mulai mengalir ke mulutku. Awalnya aku mual, tapi semakin banyak air yang masuk, perasaan tidak nyaman itu mulai berkurang. Sejak kapan air mineral seenak ini? Saking enaknya aku sampai meneguk setengah isi botol.

"Sekarang kita makan, ya?" ajak Bela.

"Aku nggak lapar."

"Ngemil deh kalau gitu. Mau, ya? Richi ada pesan pancake juga ini."

Aku hendak menggeleng lagi. Tapi melihat tatapan memohon Richi yang berdiri serta tatapan kesedihan Kakek, aku mengangguk. Bela membuka styrofoam yang lain, menyuapiku sedikit demi sedikit. Perutku hendak bergejolak, tapi berhasil kuredam dengan air.

"Udah, Bel. Aku nggak bisa lagi," tolakku saat Bela hendak menyuapi pancake lagi.

"Oke, jangan dipaksa. Udah habis setengah, ini lumayanlah."

"Terima kasih kalian berdua membantu Carissa malam ini. Kalau ada yang kalian butuhkan, tolong katakan. Akan saya bantu semaksimal mungkin. Terima kasih juga buat Bela yang mau jujur tentang keberadaan Carissa."

Bela dan Richi menyahut, sudah kewajiban membantuku kata mereka. Aku sangat terharu mereka setia di sini meski tadi aku sudah menyuruh pulang saja. Besok mereka harus kerja, aku tidak ingin perfoma mereka memburuk hanya karena begadang untukku di sini. Tapi mereka enggan beranjak.

"Kamu udah lebih tenang, Carissa?" tanya Kakek.

"Udah. Ini jauh lebih baik dibanding tadi."

"Keputusan ada di tanganmu, Carissa. Kakek nggak akan lagi ikut campur."

"Aku mau pisah dari Eithar."

"Kamu udah yakin, Carissa? Kamu tahu konsekuensinya, 'kan?"

"Yakin, Kek. Aku mau mengakhiri semuanya. Aku lelah."

Bela mengusap-usap lenganku. Semua orang tidak membantah ucapanku. Mereka memilih diam ketimbang memberi saran ataupun mengingatkan apa risiko dari perpisahan ini. Aku tidak keberatan. Lebih baik aku hidup sendiri daripada tercekik oleh semua sikap Eithar yang menyakitkan.

"Baik. Kakek akan dukung kamu. Jangan takut, Carissa. Kakek ada di samping kamu, selalu."

"Boleh aku minta satu hal, Kek?"

"Ya?"

"Aku mau bicara sama Eithar. Aku mau bilang langsung ke dia."

Kakek menggenggam telapak tanganku seraya mengangguk.

Eithar ... apakah kamu akan tersenyum saat aku akhirnya mundur?

🌹🌹🌹

Aku membuka mata, lalu turun menuju jendela. Aku menyibak tirainya, melihat keadaan di luar sana. Rupanya masih gelap. Aku menghela napas lega saat melihat dua orang laki-laki bertubuh kekar terjaga di teras vila. Richi dan Bela tidak menemaniku di sini. Jarak dari sini ke tempat kerja mereka cukup jauh. Jadi, aku memaksa mereka pulang karena merasa terbebani jika mereka terlambat bekerja. Dan orang-orang di luar sana adalah bawahan Kakek, sengaja ada di sini demi membuatku aman.

Kembali ke ranjang, aku meraih ponsel di nakas. Banyak panggilan tidak terjawab dari laki-laki itu. Kuhela napas panjang, berusaha fokus untuk mengetahui jam berapa sekarang. Baru pukul 4 pagi, artinya aku baru terlelap 2 jam 30 menit. Hah.

Ponsel ini baru dibelikan Kakek sebelum meninggalkanku untuk pulang. Ponsel yang jadi penghubung antara aku dan Eithar saat segalanya berakhir tadi.

Kepalaku sedikit sakit, mungkin efek tidur singkat. Aku hendak kembali berbaring dan menutup mata. Ponsel yang sedang kupegang, menyala. Layarnya terang, menampilkan deretan angka yang kuingat jelas siapa pemiliknya. Jantungku berdegup agak kencang.

Dia belum tidur? Kenapa menghubungi lagi? Aku sudah mengakhirinya, 'kan?

Layar kembali mati. Aku iseng membuka deretan pesan yang masuk. Sesuai dugaan, dia mengirimkan begitu banyak pesan. Seharusnya aku tidak lagi ingin tahu apa pun tentangnya. Bodohnya, aku masih saja penasaran walau tidak berniat membalas.

Carissa, aku mohon. Ayo bicara sekali lagi. Yakinkan aku kalau emang perpisahan ini yang kamu mau. Sekali lagi, Carissa. Aku mohon.

Itu adalah pesan terbarunya. Lalu layar kembali menyala. Otakku memberi perintah untuk mengabaikan, tapi entah bagaimana jariku malah bergerak untuk menerima. Kugigit bibir saat menempelkan ponsel ke telinga. Mataku memejam ketika mendengar namaku disebut.

"Carissa, ya Tuhan. Aku mau mati rasanya nyariin kamu, nelponin kamu tapi nggak diangkat-angkat. Aku kangen—”

"Kamu mau bilang apa?" potongku. "Bukannya udah jelas aku mau kita pisah?"

Hening beberapa detik.

"Yakinin aku kalau kamu mengatakan itu dalam keadaan sadar, Carissa. Aku tahu udah berengsek banget. Maaf, Carissa, maaf. Tolong pulang. Sekali lagi aja. Kembali sekali lagi aja, Ris."

Pulang .... Pulang ke mana? Ke tempat aku merasa tertawan setiap hari?

"Aku mau pisah. Aku dalam keadaan sadar saat ini. Cuma itu yang bisa aku bilang."

Hening lagi. Aku nyaris mematikan panggilan saat Eithar tidak kunjung bicara. Suaranya kembali terdengar dan kali ini aku yang terdiam.

"Carissa, dari awal aku suka kamu. Orang tuamu ngasih lihat beberapa fotomu saat mau nulis surat itu. Yang aku rasain jantungku berdebar cepat, sampai-sampai aku mau muntah. Saat itu aku tahu, kamu bisa menggerakkan hatiku. Aku tahu ini nggak ada artinya lagi. Sekarang kamu berhak tahu, kalau dari awal aku setuju atas pernikahan kita tanpa keterpaksaan. Maafkan aku yang bodoh nggak bisa jaga kamu. Aku terlalu egois.

Maaf terlambat mengatakan ini, Sayang. Kamu hari itu cantik banget di hari pernikahan kita. Gaun putihmu, wajah merona di balik veil, dingin bibirmu saat pertama kali aku kecup. Terus ciuman pertama kita karena aku cemburu. Malam pertama kita. Ya Tuhan, Carissa. Aku nggak bisa melupakan semua itu. Maaf kalau seumur hidup aku nggak akan bisa berhenti mikirin kamu.

Aku mengerti kamu udah lelah. Aku menyadari kesalahanku. Kamu boleh berhenti ngasih hatimu buat aku. Kamu nggak lagi mikirin aku, aku juga ngerti itu. Tapi, Sayang, aku akan selalu ada di belakangmu. Siap menangkap kalau jalanmu tiba-tiba nggak stabil. Aku juga akan memastikan nggak ada gangguan di sekitarmu. Selama sisa hidupku, cuma ada kamu di hatiku. Aku bersumpah, sama seperti saat kita membuat sumpah di altar.

Kamu adalah satu alasanku masih ada di bumi. Tapi bisa-bisanya aku berbuat bodoh dan menyia-nyiakan kamu. Maaf terlambat untuk semuanya, Carissa."

Panggilan berakhir, menyisakan aku yang tersedu-sedu sembari menggenggam erat ponsel ini.

THE END

Hahahahaaa! Akhirnya selesai juga loh.

Pada minta Eithar dan Carissa dipisahin, 'kan? Udah nih! Wkwkwk.

Eh tenang dulu. Ada satu bab lagi yang bakal melegakan hati kalian.

Coming soon yaa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro