6. The Heart that You Broke

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buat nemenin kalian baca part ini☝️

Malam menjelang, aku masih terngiang dengan ucapan mama Bela tadi sore.

"Kita senang kamu di sini, itu lebih baik daripada kamu keluyuran sendirian. Carissa, tapi kamu juga harus ingat, Eithar suami kamu. Istri seharusnya ada di rumah, walaupun lagi bertengkar, coba ngomong baik-baik."

Ya, aku memang sadar sudah melakukan kesalahan. Rasanya memang ingin pulang, tapi mengingat luka yang Eithar torehkan itu tetap saja menyakitkan. Dia membuatku bernapas dengan tidak normal. Debar jantungku dibuat tidak teratur, tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.

"Carissa, ngapain duduk di luar sendiri?"

Aku menoleh dan ternyata Richi yang menyapa. Ingin mengumpat atas kedatangannya, karena aku berniat untuk menghindari. Mata dan hatiku sedang tidak ingin dihadapkan pada opsi lain cara mendapat hangat kasih laki-laki.

"Enak duduk di rumput gini, adem juga."

Dia lantas ikut duduk di sebelahku, tanpa bisa kucegah agar lebih menjaga jarak. Entah mengapa, aku mulai canggung dengannya.

"Aku kirim banyak pesan, bilang kalau mau cari kamu ke sini, tapi nggak kamu balas."

"Oh, iya, HP aku senyapin dari tadi, lupa cek," kilahku. Karena sebenarnya aku sengaja tidak membalas pesannya. Ternyata dia sendiri nekat datang ke sini.

"Oke, nggak apa-apa. Tadi aku telepon Bela sebelum ke sini, mastiin kamu belum pergi. Kamu nginap di rumah aku aja, ya?"

Kubuang napas secara perlahan. Sejenak menatap langit malam yang menawan, lalu kembali menjatuhkan pandangan pada Richi. Laki-laki berkumis tipis di sisiku tersenyum, juga memberikan tatapan menenangkannya.

"Chi, kenapa baru sekarang kamu mau jadi lebih dari sekedar teman?"

Pertanyaan itu memang menggelayuti pikiranku sejak Richi mengajukan proposalnya. Dan aku tidak bisa lagi menunda, karena semakin berusaha menghindar, Richi juga kian gencar mendekat. Jadi, harus aku selesaikan malam ini.

"Nggak tahu. Saat kamu nikah sama Eithar, hatiku rasanya sakit. Makanya aku nggak dateng." Richi menjawab sambil memegang tanganku, lalu meletakkan di dadanya. "Berat rasanya liat kamu hidup sama laki-laki itu. Kamu juga suka aku, 'kan?"

Dia ini sedang jujur atau berbohong? Kalau memang menyukaiku, kenapa tidak menunjukkan tanda-tanda di awal?

"Aku bersuami, Chi. Dan ... aku merasa hubungan lebih dari sekedar teman di antara kita cuma bakal bikin kacau keadaan."

Perlahan kulepaskan pegangan tangan Richi. Dia menatap jarinya sendiri, kemudian mengerutkan kening ke arahku.

"Kalau aku menyanggupi apa yang kamu tawarin, itu namanya gila, Chi. Sorry, I can't."

Wajah Richi tampak memerah dan tegang, jarinya yang tadi menyentuh rumput juga terkepal. Tanpa bicara dia membuang wajah, lalu bangkit. Aku mengulum bibir saat melihat tubuhnya masuk ke dalam rumah Bela, entah apa yang mau dia lakukan.

"Ris, Richi kenapa?" tanya Bela yang memegang mangkuk. Dia lalu duduk. "Bilangnya mau pinjam kamar mandi, tapi wajahnya kayak pengen nonjok orang."

Bela menyodorkan mangkuk yang ternyata berisi pisang goreng. Ah, pasti buatan mamanya. Kuambil satu, lalu mengunyah sampai habis, mengabaikan Bela yang kesal karena tidak kuberi jawaban.

"Ihh, jawab dulu, Ris!" Bela memprotes.

"Richi pengen jadi selingkuhanku. Lucu, 'kan?"

"Serius?" Aku mengangguk. "Gila tuh anak. Kayak nggak bisa cari yang single aja."

Benar yang Bela katakan. Kenapa harus aku? Kenapa dia menyatakan keinginannya setelah aku resmi jadi milik Eithar? Ah, mungkin keputusanku dengan menolaknya sudah benar.

"Tapi udah aku tolak, kok. Aku juga masih mikir punya suami."

Jempol Bela terangkat naik, menandakan dia juga setuju atas keputusanku. Untuk mengusir hampa yang menguasai hati, aku memakai headset di telinga kanan dan mulai mendengarkan lagu. Satu telinga aku biarkan bebas, berjaga-jaga kalau Bela mengajak bicara di sela-sela makan pisang goreng ini.

"If I don't need you then why am I crying on my bed?

If I don't need you then why does your name resound in my head?

If you're not for me then why does this distance maim my life?"

Mataku seketika membelalak, saat lirik dari Daniel Bedingfield melintas lembut di gendang telinga. Hati terenyuh, merasa kalimat-kalimat itu sesuai untuk menggambarkan rasaku sekarang. Wajah Eithar terlihat jelas di depanku, meremas hati semakin kuat karena nyatanya jarak ini menyiksa kian dalam.

Ya! Aku memang harus pulang! Apa pun keadaan kami, rumahku telah ditentukan di sana. Ke mana pun aku berlari, sejauh apa pun jarak yang terbentang, tetap saja hatiku ingin kembali pulang.

"Bel, aku mau pulang."

Mata Bela menyorot indah, tanpa kata lagi dia menyeretku masuk, meninggalkan mangkuk berisi pisang goreng di rerumputan. Sesampainya di dalam, aku menemukan Richi yang baru saja keluar dari toilet tamu, sedangkan orang tua Bela tampak asyik bercengkerama di sofa.

"Maaf nyela, tapi ada berita penting, Carissa mau pulang!"

Semua orang menolehku ke arahku akibat suara lantang Bela. Orang tua Bela tersenyum lepas mendengarnya. Tapi, mimik wajah Richi tiba-tiba berubah. Dia melangkah cepat, lalu menyeretku pelan ke halaman depan rumah.

"Kenapa?" tanyanya dengan napas yang terdengar sedikit berat.

"Apa?"

"Kenapa kamu pulang, Ris?"

"Eithar tetap suamiku dan aku udah salah ada di sini."

Richi mengepalkan tangannya lalu memukul tangan satunya. Aku tersentak, tak percaya melihatnya begitu. Dia juga mendengkus kesal.

"Aku anterin kamu pulang."

"Aku bisa pulang sendiri, Chi," tolakku cepat.

"Oh ayolah, Ris. Kamu mencoba menghindari aku?"

Jarak di antara kami kian terpangkas. Aku melangkah mundur, tapi pegangan Richi di pergelangan tanganku menghentikan pergerakan kaki. Tanda-tanda waspada sudah menyala dalam diriku. Aku akan menendang bagian inti Richi kalau dia berani menyentuhku lebih dari ini.

"Lepasin, Chi!"

Tanganku terus bergerak, mencoba melepaskan pegangan Richi yang kian menyakitkan. Tatapan sepasang mata itu sungguh tajam, berbeda dengan sebelumnya. Kehangatan yang biasa aku lihat dari sorot mata cokelat Richi, kini terbang entah ke mana. Dia tampak seperti predator yang ingin mencabik makanan kecilnya. Sialnya, posisiku saat ini adalah si makanan kecil tadi.

"Bukannya kamu selama ini suka sama aku? Terus kenapa kamu tolak aku? Kenapa kamu sekarang tiba-tiba mau balik ke rumah sialan itu dan nggak mau nginap di rumahku?"

Ada amarah yang Richi coba tekan di setiap kata yang dia keluarkan. Dia lalu mengempaskan tanganku dan kembali memberi tatapan aneh. Richi serasa asing. Bahkan ketika aku terus mengusap pergelangan tangan yang memerah, dia tidak bertanya. Sungguh jauh dari Richi yang pernah menjemputku ketika hujan deras dan bersikap lembut.

"Aku emang suka sama kamu dan aku rasa itu hanya sebatas karena tampang kamu yang menarik. Aku jadi nggak nyesal nolak kamu, Chi. Kamu kasar."

Wajah Richi semakin tegang. Dia sudah mendekat lagi, tapi kakinya kemudian tertahan. Aku juga membalas tatapan menyeramkannya dengan menyipitkan mata. Carissa tidak gentar jika harus berdebat dengan laki-laki, itulah yang aku ingin beri tahu pada Richi. Jangan kira hanya karena tubuhnya tinggi dan berotot, aku lantas ciut nyali dan menerima saja perlakuan kasarnya padaku.

"Tegang banget, sih!"

Suara Bela memutus tatapanku dan Richi. Laki-laki itu mendengkus, lalu menuju pagar rumah begitu saja tanpa berpamitan. Tak lama kemudian, deru motornya terdengar menjauh. Rasanya aku baru bisa bernapas lega sekarang. Dekat-dekat dengan Richi membuatku cukup takut sekarang.

"Richi kenapa, sih?"

"Mulai nggak waras kayaknya, Bel. Ya masa' dia marah-marah karena aku mau pulang."

"Hah?"

Bela tampak tidak percaya, lalu mengajakku masuk dan berpamitan pada orang tuanya. Tadinya ingin pulang sendiri saja tanpa harus diantar Bela, tapi mamanya memaksa. Ingin memastikan bahwa aku pulang ke rumah katanya. Dan sekarang aku bersama Bela berada di mobilnya.

Hatiku merasakan sesuatu yang tidak biasa ketika semakin dekat dengan sangkar emas Kakek. Dulu, aku begitu membenci rumah itu. Lalu entah bagaimana bisa, kini aku merindukan untuk beraktivitas di dalamnya.

Rasanya ... benar-benar seperti aku hendak pulang, kembali ke sebuah bangunan yang tengah menantiku.

"Ris, ngerasa Richi itu pendendam nggak?" Bela bertanya sembari memperhatikan jalan di depan.

"Dendam gimana? Cuma gara-gara aku nggak mau selingkuh, nggak mungkin dia jadi dendam, 'kan?"

Bela tampak resah. Dia lalu berkata, "Tadi itu dia kayak emosi banget. Kelihatan jelas kalau dia marah. Tapi ya, semoga aja apa yang aku pikirin nggak kejadian."

Aku mengangguk, semoga memang tadi Richi hanya emosi sesaat. Karena memang seharusnya tidak ada dendam di antara kami. Lagi pula yang selama ini memendam rasa suka adalah aku, sedangkan Richi sejak awal malah bersikap biasa saja.

Tiba di depan pagar tinggi yang menjulang, mobil Bela berhenti melaju. Aku mengajaknya untuk mampir, tapi Bela bilang lain kali saja. Aku turun sendiri, lalu melambaikan tangan pada Bela yang tersenyum dari balik kemudi. Ketika mobilnya sudah melaju, aku baru melangkah memasuki rumah.

Keadaan rumah ini selalu sama, sepi. Bangunan seluas ini hanya diisi oleh senyap. Tapi kini aku mulai nyaman di sini. Kuhela napas panjang, sebelum akhirnya mendorong pintu. Seseorang ternyata berdiri tegak di hadapanku. Tatapan matanya tajam, serasa siap menusuk.

"Tidur di mana semalam? Dianterin siapa tadi? Laki-laki itu lagi?" cecar Eithar.

Aku mendengkus malas, lalu mengabaikannya begitu saja. Seharusnya dia tidak perlu pura-pura perhatian padaku. Tidak usah sok-sok ingin tahu bagaimana malam kelamku terlalui, kalau pada akhirnya dia akan menyakiti lagi.

"Aku ngomong sama kamu, Carissa!"

Suaranya menggelegar dari arah belakang. Langkah lebarnya juga seperti tengah menyamai langkahku yang menaiki tangga. Aku terlalu malas untuk menoleh, juga berdebat. Jadi aku memilih diam, sampai tiba di kamar. TV langsung kunyalakan setelah duduk di sofa. Tapi, sedetik kemudian Eithar merebut remote dan membuat benda layar datar lebar di depanku mati.

"Kamu ada di rumahku, Carissa! Jangan seenaknya pergi dan datang kapan pun yang kamu mau tanpa mikirin perasaan orang-orang di rumah ini!"

Aku berdiri, sengaja agar posisi kami sama. Lalu kutekan dada Eithar dengan telunjuk, sampai-sampai dia sedikit mundur karena aku memberi tekanan yang kuat.

"Harusnya kamu tanyain sama hatimu sendiri kenapa aku bisa bersikap kurang aja kayak gini." Lalu kulepaskan sentuhan di dadanya dan kini menyentuh dadaku sendiri dengan telunjuk. Eithar mengamati dalam diam. "Ini sakit, Eithar, dan kamu penyebabnya. Aku nggak lupa ada di mana, aku ingat statusku makanya aku pulang. Tapi kamu harusnya ingat, kamu juga menyetujui pernikahan ini, dan sekali lagi kamu juga jadi penyebab aku terluka."

"Kita nggak punya pilihan lain selain setuju sama pernikahan ini, Carissa."

Jawaban Eithar membuatku tertawa. Kalau Eithar menolak, tentu kami tidak akan terlibat sejauh ini. Sayangnya dia lebih memikirkan harta warisan Kakek dan takut semua itu jatuh ke tangan orang lain. Sementara, dia sendiri memilih terjebak dalam sebuah pernikahan tak diimpikan bersamaku.

"Sebenarnya kita punya pilihan. Aku bisa cicil utang orang tuaku asalkan Kakek setuju. Dan kamu, harusnya nolak, karena kamu sendiri nggak menganggap aku sebagai pendamping kamu. Satu lagi, kamu juga bisa memilih untuk jangan kasih aku harapan, kalau pada akhirnya kamu nggak berminat untuk meniti masa depan sama aku."

Mataku panas, cepat-cepat kubalik tubuh dan merebahkan diri di ranjang. Kudengar Eithar menggumamkan namaku. Hatiku sakit, tanpa bisa mencegahnya untuk berhenti berdenyut perih. Malam saat kami pertama kali berciuman telah membangkitkan sisi kewanitaanku yang mengharap lebih atas pernikahan ini. Bodoh memang, hanya dengan sebuah ciuman, aku terpikat pesona Eithar.

🌹🌹🌹

"Pagi, Carissa," sapa seseorang yang samar-samar terdengar.

Aku memfokuskan penglihatan, ingin tahu siapa yang sudah menyapa dengan lembut. Eithar? Kuraih jam beker dari nakas, lalu berdecak saat tahu ini baru pukul 5 pagi.

"Joging, yuk. Udara segar bagus buat kamu." Ajakannya penuh kesungguhan.

Sikapnya yang seperti ini membuatku jatuh berkali-kali. Lucu, hatiku masih saja meneriaki namanya dalam diam. Sebenarnya, rasa apa yang sudah tercipta? Dia mampu membuatku luluh lantak dalam seketika. Namun, dengan seketika pula dia bangun kembali kepingan itu. Baru semalam kami berdebat dan pagi ini dia menyapaku hangat. Ketidakpastian ini membuatku seperti hidup dalam halusinasi. Jadi, seharusnya aku bagaimana? Bertahan atau ikut membeku?

Malas untuk memberi penolakan, aku menutup wajah dengan selimut. Sedetik kemudian, wajahku kembali bebas, karena Eithar menarik selimut itu. Aku memprotes, sedangkan dia kini melakukan sesuatu di luar dugaan. Otomatis aku memekik dan meronta-ronta ketika tubuhku dia bopong ke kamar mandi.

"Cuci muka sana. Ganti baju juga," suruhnya sambil menurunkanku di depan wastafel. Setelahnya dia keluar dan menutup pintu.

Sudah kubilang masih mengantuk, tetap saja dipaksa. Dasar menyebalkan!

Tidak memerlukan banyak waktu, aku sudah berganti pakaian dan kami berlari kecil meninggalkan rumah menuju taman kompleks perumahan. Dingin membelai lembut kulit, kesegaran pun menyeruak. Kuhirup udara dalam, membiarkan oksigen memenuhi dada yang dipenuhi rasa setelah berhenti berlari, dan kini berjalan biasa.

"Eithar."

Setelah hening panjang di antara kami, aku menyebut namanya. Ada hal yang harus aku tanyakan. Dahaga akan kepuasan atas pertanyaan ini harus dituntaskan.

"Ya."

Langkah kami terhenti, kini saling berhadapan ditemani embusan mesra sang angin. Kubuang napas pelan, lalu berkata, "Kamu aneh, Eithar. Aku nggak bisa ngertiin kamu sepanjang kita jadi suami-istri. Kamu ... kamu kasih aku harapan, abis itu buat aku jatuh."

Wajah Eithar menegang. Dia berusaha berkata, tapi aku lebih dulu melanjutkan kalimat. Eithar sekarang harus tahu apa yang aku pikirkan. Sikapnya yang sering berubah itu telah menyiksaku, hingga rasanya aku ingin berteriak sangat kencang. Karena sebelum ini, belum pernah ada yang membuatku terempas dari hasrat membumbung. Dan Eithar, laki-laki pertama yang mencecap manis bibirku harus tahu bagaimana seorang Carissa telah dia kecewakan.

"Kamu sebenarnya punya kepribadian ganda atau gimana, sih?" Mungkin kaget atas pertanyaanku, mata Eithar terlihat membesar. Wajahnya juga kian menampakkan ketegangan. "Kamu sebentar baik, sebentar cuek. Aku nggak bisa diginiin terus, Eithar. Aku bingung sama sikap kamu."

Kuusap wajah secara kasar, Eithar lalu menggenggam tanganku. Dalam gelapnya langit dini hari, aku berharap menemukan cahaya terang di antara kami berdua. Tapi harapanku patah ketika dengan suara pelannya Eithar memberi jawaban.

Kalimat-kalimat itu terus bergaung di telinga dan menyadarkan posisiku selama ini di hidupnya. Di mata Eithar, aku hanyalah kertas putih yang dia abaikan meski sudah diberi tumpahan noda tak berarti. Sementara, mungkin dia sudah punya kertas lain, tempatnya melukiskan warna dengan kesungguhan.

Tanganku mengepal kuat dalam genggamannya. Sampai aku benar-benar tidak tahan, akhirnya kusentak dengan kasar. Ingin kupukul dada Eithar, tapi tetap saja percuma. Yang ada aku hanya membuang tenaga melampiaskan kemarahan yang bahkan sama sekali tidak dia mengerti. Dan itu jelas-jelas hanya kembali mengingatkan bahwa aku hanyalah hati yang dia hancurkan tanpa belas kasih.

"Aku nggak gitu, Carissa, sama sekali nggak mengidap kepribadian ganda atau yang lainnya. Aku cuma belum bisa sentuh kamu sebagai suami."

Sialan! Aku bahkan tidak bisa menghentikan suara Eithar di telinga. Kalimat-kalimatnya sangat sialan!

Tbc

Menurut kalian, kenapa Eithar belum sentuh Carissa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro