7. An Angel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak awal, pernikahan kami memang salah, parahnya lagi aku terjerumus ke dalam rasa yang juga salah. Adakah cara menghapus secara total keinginan untuk mendapat sedikit perhatian Eithar? Dia membangkitkan sisi penasaranku tentang kenapa harus sesulit itu untuk memperlakukanku sebagai istrinya.

Sepanjang hari menghabiskan waktu di rumah dengan Eithar yang berlari di kepalaku sungguh membosankan. Hubungan kami masih saja dingin selepas pengakuannya pagi itu bahwa dia belum bisa menyentuhku. Sejak hari itu aku juga tidak pernah lagi menanyai apa pun, meski aku masih ingin tahu banyak hal. Sedikit pun juga tidak berusaha mengikis jarak panjang yang ada. Aku lebih banyak diam, mengerti kalau hangat bibirnya yang menyapa saat itu mungkin hanya pelampiasannya semata. Dan aku mencoba meredam segala perasaan di dada agar tidak berdesakan untuk dimuntahkan.

Ponselku terus berdenting sejak tadi. Grup pesan diisi oleh mantan teman-teman sekantorku yang tengah sibuk membicarakan perayaan ulang tahun Richi. Karena tidak peduli lagi pada laki-laki itu, aku bahkan lupa bahwa hari ini usianya bertambah. Sayangnya, aku sama sekali tidak berminat untuk ikut acara makan-makan mereka di sebuah klub malam. Bukan tidak ingin mendatangi tempat seperti itu, hanya saja Richi yang akan mengadakan acara. Oh, aku sungguh malas bertemu dengannya.

Masih hanya menjadi pembaca dalam obrolan mereka di grup, sebuah pesan pribadi masuk. Richi yang mengirimkannya, mengatakan kalau kehadiranku sangat dia tunggu. Baru ingin memberi penolakan, pesannya kembali datang. Dia bilang, anggap acara nanti malam sebagai tanda kami masih baik-baik saja, meski sempat mengalami perbedaan pikiran. Baiklah, itu masuk akal. Pertanda Richi dan aku masih jadi teman adalah hal yang baik.

"Haaahhh ...."

Suara desahan lagi! Aku tidak mengerti mengapa hantu ini selalu saja mendesah sebelum menampakkan diri? Apakah sebelum mati dia mengeluarkan seperti itu?

"Keluar, deh!" suruhku.

Tak berselang lama, dia sungguh muncul di hadapanku. Sudut bibirnya sedikit tertarik, cukup untuk menunjukkan bahwa dirinya sebenarnya sangat cantik. Jujur saja, aku penasaran, ingin tahu kenapa dia sering menemaniku. Bahkan seperti ikut merasakan apa yang kurasakan. Itu terbukti dari ekspresi sedihnya setiap kali aku selesai berdebat dengan Eithar.

Aku meletakkan ponsel, lalu merebahkan diri di gazebo. Siang ini matahari tidak terlalu terik, karena langit agak mendung. Jadi, menikmati waktu di lantai tiga adalah pilihanku. Dan bersama si hantu pucat, suasana hati jadi sedikit lebih baik. Setidaknya aku bersama teman di sini.

Tengkukku meremang ketika menyadari bahwa si hantu juga ikut merebahkan diri di sisiku. Tapi aku hanya menatap langit, tanpa menoleh. Wangi melati kemudian mengisi indra penciumanku, ini sudah beberapa kali terjadi. Jadi, aku tidak lagi terkejut. Aku sendiri mengartikan bahwa hantu ini dalam suasana menyenangkan, karena saat sedih, tubuhnya berbau anyir.

"Viona," gumamku, setelah melihat awan membentuk lima huruf itu.

Dahiku mengerut selama beberapa detik, lalu menyadari sesuatu. Sontak aku menoleh ke sisi kiri, menemukan dua sudut bibir yang tertarik lebar. Melihatnya, mau tidak mau senyumku juga terkembang. Ah, ternyata dia bernama Viona.

"Hei, Viona. Kenapa kamu masih ada di rumah ini? Ini bukan tempatmu yang seharusnya, 'kan?"

Tidak ada sahutan darinya. Mencoba memahami mungkin dia perlu waktu untuk bicara, aku kembali menatap langit. Lalu menghabiskan waktu hingga senja di sini, bahkan sempat tertidur dan tidak menyadari kalau Viona pergi.

Setelah memberi tahu Kakek tentang janji bersama teman-teman, dengan cepat aku bersiap. Gaun hitam selutut dengan lengan panjang jadi pilihanku. Rambut juga sengaja digerai agar lebih menarik. Puas mematut diri di cermin, aku segera turun. Tapi, langkah sempat tertahan di pertengahan tangga ketika melihat Eithar juga sedang menaiki tangga. Alisnya langsung mengerut dan tatapan matanya tajam.

"Mau ke mana?" tanyanya datar.

"Party sama teman-teman. Ada yang ulang tahun."

"Oh."

Jawabannya begitu singkat! Dia juga kembali melanjutkan langkah tanpa bertanya lebih. Aku hanya menarik satu sudut bibir, lalu meneruskan tujuan menemui Pak Sobri. Memangnya aku berharap Eithar akan mencecarku dengan segudang pertanyaan perihal pesta yang akan kudatangi? Ah, tentu saja tidak. Mengharapkan Eithar sama saja memberi kesempatan untuk hati tersakiti lagi.

Menempuh perjalanan sekitar satu jam, aku sampai di sebuah klub malam. Pak Sobri kusuruh beristirahat saja di mobil atau berjalan-jalan di area sini kalau mau. Legian, nama kawasan klub yang aku datangi memang sangat ramai. Di sini para wisatawan bisa berjalan santai sembari menikmati alunan musik dari restoran atau klub di pinggir jalan.

Sebelum melewati bagian pemeriksaan, aku lebih dulu memeriksa ponsel untuk memastikan yang lain sudah datang. Sialnya, hanya aku yang terlambat tiba, hingga kuminta siapa saja untuk menjemput di bawah. Karena, aku tidak ingin tersesat di gedung berlantai empat dan ramai ini. Beberapa menit setelahnya, Richi menghampiriku dengan senyum semringah.

"Happy birthday, Chi. Wish you all the best," kataku saat kami sudah berdiri begitu dekat.

"Thanks, Ris. Yuk, masuk. Anak-anak udah pada nunggu."

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya, hingga ke lantai empat. Musik yang begitu keras sampai-sampai membuatku memijat pelipis beberapa kali. Getaran di lantai pun serasa gempa yang membuat cemas. Aku memang tidak terbiasa dengan semua ini. Keadaan yang terlalu asing sebab baru pertama kali menjejakkan kaki di klub malam. Dan aku terlihat terasingkan melihat teman-teman yang lain asyik menenggak minuman keras yang tersedia di meja. Banyak juga yang menari ala-ala anak gaul.

"Chi, aku bingung kasih apa. Cuma aku harap kamu nggak bakalan nolak ini."

Akhirnya aku menyerahkan sebuah kotak dari dalam tas, lalu menyerahkannya pada Richi yang duduk di sampingku sejak tadi. Tadi aku membelinya saat perjalanan ke sini. Tanpa penolakan, Richi segera mengambil benda itu dan mengucapkan terima kasih. Sayangnya, kalimat yang dia ucapkan selanjutnya agak mengejutkan.

"Thanks, Ris. Ini emang jam yang aku mau beli. Tapi sebenarnya, ada hadiah lain yang bisa kamu kasih tanpa perlu keluarin uang."

Lalu dia mengedipkan satu mata sebelum kembali asyik tertawa dengan yang lain. Hatiku jadi terasa aneh, mengingat apa yang sebelumnya kami lalui. Richi memang tidak lagi menuntutku untuk membalas perasaannya, tapi kata-kata yang dia ucapkan tadi seperti menyimpan makna lain.
"Jus jeruk kamu udah abis, Ris. Mau pesan minum apa lagi?"

Ah, aku bahkan tidak menyadari minumanku sudah habis. Terlalu sibuk memperhatikan bagaimana orang-orang di sini terlihat menikmati hidup dengan menari riang. Bahkan yang aku perhatikan, semakin malam, tempat ini semakin ramai. Orang-orang juga kian menggila, seperti menari di bar panjang sembari menggenggam gelas penuh minuman.

"Aku mau jus jeruk lagi, sama tambah camilan, deh."

"Oke, aku pesanin, sekalian mau ke toilet."

Richi pergi, aku menyibukkan diri dengan mengobrol teman-teman. Sayang sekali Bela tidak ikut, karena ada acara keluarga. Kalau dia di sini, pasti akan lebih seru.

Sedang asyik berbincang-bincang, sekilas mataku menangkap sosok yang baru saja melintas di antara ramainya lalu-lalang orang. Samar-samar barusan kulihat laki-laki dengan celana berwarna krem, juga jas broken white. Seperti ... Eithar. Ah, tapi itu mustahil. Ck! Mataku sepertinya mulai bermasalah.

Pelayan datang membawakan pesananku, Richi menyusul di belakangnya. Lalu kami kembali berbincang dan aku menikmati jus jeruk. Sekali lagi minumanku tandas, tapi terasa ada yang aneh, karena mataku berkunang-kunang. Kepalaku agak berdenyut dan melihat sosok di sebelahku adalah Eithar. Aku tersenyum lebar, lalu meletakkan kepala di lengannya. Nyaman sekali. Sakit kepala yang kian bertambah ini juga jadi menyenangkan karena Eithar ada di sisiku.

"Kamu ada di sini? Kok, bisa?" tanyaku penasaran.

Dia tidak menjawab, hanya mengajakku berdiri lalu berjalan entah ke mana, meninggalkan teman-teman yang memanggil di belakang sana. Aku terus melekat pada Eithar, menggenggam erat jemarinya, dan berjalan atas tuntunannya. Karena aku tidak cukup fokus untuk memperhatikan jalan, jadi bergerak mengikuti Eithar adalah satu-satunya pilihan. Tapi, tidak lama setelah kami tiba di lorong yang sepi, jariku terlepas paksa dari Eithar.

Kepalaku berdenyut semakin parah, mataku benar-benar tidak bisa melihat dengan baik. Aku menyandar pada dinding sambil berusaha melihat ke mana Eithar pergi. Kenapa tadi genggaman kami terlepas? Yang aku dengar hanya suara dentuman musik dan entah suara gaduh apa lagi.

Di tengah-tengah ketidakberdayaan, aku melihat sesosok berpakaian putih mendekat. Lalu merangkul dan mengajak berjalan. Ah, sayang, aku tidak bisa melihat jelas seperti apa wajah malaikat yang menjemputku.

🌹🌹🌹

Perut terasa mual. Kupaksa membuka mata yang seperti terisi lem, lalu segera menuju kamar mandi. Hanya cairan yang keluar saat desakan di perut tidak bisa lagi ditahan. Kupandangi diri di cermin, berantakan sekali. Dengan langkah gontai aku kembali ke ranjang, lalu bersandar dengan bantal sebagai penyangga punggung.

Kulirik jam di dinding, pukul 12.00 siang. Ingatan kembali datang. Bukankah semalam aku ada di pesta Richi? Kenapa aku sama sekali tidak ingat saat pesta berakhir dan kembali pulang bersama Pak Sobri? Dan gaunku ... aku ingat memakai gaun hitam, lalu kenapa sekarang dengan piama satin? Siapa yang menggantinya? Kenapa aku tidak mengingat kejadian semalam?

"Bangun juga akhirnya." Aku menoleh ke arah suara. Eithar baru saja datang dari luar.

"Nggak kerja?" tanyaku.

"Nggak." Jutek sekali! "Laki-laki berengsek itu harusnya nggak berani ganggu kamu lagi," lanjut Eithar.

Seketika aku membelalak, lalu menatapnya lebih serius lagi. Eithar yang duduk di sofa juga memberi tatapan tidak suka padaku. Sebenarnya apa yang terjadi?

"Richi kenapa?"

"Tubuh kamu mengandung salah satu narkotika jenis terbaru yang kalau berbaur dengan air nggak akan ketahuan. Efeknya beda-beda di setiap orang. Tubuh kamu sendiri merespons dengan berhalusinasi, juga rasa sakit kepala, dan pusing. Kata dokter, kemungkinan terbesarnya kamu bisa mengonsumsi obat terlarang itu karena dicampur dalam minuman." Eithar memberi penjelasan yang membuatku terdiam.

Narkotika dalam minuman. Berhalusinasi. Ah, tunggu, aku mulai ingat. Jadi saat aku mengira yang di sisiku adalah Eithar, itu salah? Dia adalah Richi, yang membawaku meninggalkan teman-teman, lalu sosok berpakaian putih datang menjemput. Dan sosok itu adalah ... Eithar. Dialah malaikatku semalam, yang telah menyelamatkanku di saat kesadaran menguap entah ke mana.

"Jadi menurutmu, siapa yang kasih obat terlarang itu?"

"Kamu masih tanya aku? Nggak punya otak buat mengira-ngira?"

Aku mendengkus. Lalu memejamkan mata sambil menahan kesal. Dia ini menyebalkan sekali. Apa susahnya jika memberiku jawaban secara langsung? Tadi malam aku tidak sadar dan hanya ingin memastikan bahwa yang melakukannya adalah Richi.

Seseorang mengetuk pintu kamar, aku memperhatikan ketika Eithar bangkit dan membukanya. Ternyata, Bik Marni datang dengan nampan berisi makanan lalu meletakkan di nakas. Dia berlalu setelah menyapa dan kembali menutup pintu.

"Makan, biar punya kekuatan buat gunain otak," ucapnya sambil melirik nampan.

Mataku mendelik, benar-benar kesal atas perkataannya. Dia yang duduk di sofa juga hanya menatap tajam tanpa berkata lagi. Baiklah, aku mengalah atas perintahnya. Meski sebenarnya pengar ini masih mengganggu.

"Kenapa kamu nggak kerja?" tanyaku di sela-sela menikmati sup ayam.

Tanpa menatapku, Eithar berkata, "Oh, tentu karena istriku lagi terbaring lemah dan sebagai suami yang baik nggak mungkin aku tinggalin."

What?! Makananku serasa ingin keluar mendengarnya. Bisa dia berkata seperti itu? Menjijikkan sekali! Memang pandai berpura-pura agar terlihat sempurna. Ck!

Makananku sudah tandas, Eithar juga tidak berkomentar apa-apa ketika tatapannya tertuju pada nampan kosong. Baru saja aku hendak memejamkan mata, tapi sebuah pertanyaan muncul. Oh, tidak! Tepatnya dua.

"Eithar, siapa yang gantiin aku baju?"

Entah mengapa, jantungku berdegup kencang menanti jawabannya. Seringai yang tiba-tiba muncul di bibir itu juga kian mendebarkan dada. Apa itu? Ekspresi Eithar mengapa jadi aneh?

"Akulah," jawabnya santai lalu menatap TV yang baru dia nyalakan.

Astaga, Tuhan! Benarkah itu? Jadi ... dia melihat semuanya? Astaga! Tubuhku serasa kaku sekarang. Kedua telapak tangan juga basah. Tanpa berpikir lebih, aku beranjak dari ranjang lalu menghampiri Eithar. Dia menyeringai sambil memandangiku yang tengah memeluk diri sendiri.

"Eithar, kamu ... kamu ...." Duh, lidah kelu untuk melanjutkannya. Apakah Eithar memanfaatkanku semalam?

"Aku apa?"

"Beneran kamu yang gantiin aku pakaian?"

"Kamu ngarepin Pak Sobri yang gantiin?"

Ugh! Si menyebalkan! Si dingin! Si si si paling jahat!

"Aku serius, Eithar," desisku menahan kesal.

"Ya, aku juga serius."

"Dan kita nggak ngapa-ngapain, 'kan?"

Hening. Aku menanti dengan gelisah, tapi yang terjadi selanjutnya adalah seringai memuakkan Eithar.

"Di matamu mungkin aku emang jahat karena pernah nyakiti kamu. Tapi aku bukan laki-laki berengsek yang ngemanfaatin perempuan dalam keadaan nggak sadar. Terutamanya istriku sendiri."

Ada lega sekaligus kecewa. Bibirku mengulas senyum terpaksa. Apakah aku tidak semenarik itu bagi Eithar? Ketika tubuh polosku terekspos sempurna di hadapannya, tidakkah dia ingin memilikiku secara utuh?

"Kenapa kamu ngikuti aku semalam?"

Bukannya menjawab, Eithar hanya menatap layar besar di hadapannya. Masih belum puas, aku kembali mengajukan pertanyaan yang sama, hingga mata kami kembali bersirobok. Ekspresi Eithar yang biasa saja, mengempaskan harapanku kalau semalam dia memang sengaja mengikuti. Juga membuang jauh rasa syukur atas kehadirannya semalam ketika dia mengatakan bahwa sedang menghabiskan waktu bersama teman perempuannya di sana. Oh, bagus sekali! Denganku tidak mau berduaan, tapi dengan yang lain mau.

"Harusnya biarin aja Richi bawa aku ke mana pun dia pergi!" sindirku sembari membalik tubuh dan kembali ke ranjang.

"Maunya gitu? Oke, kapan-kapan kalau dia berniat jahat lagi ke kamu, aku bakal biarin."

Kucengkeram selimut dengan kuat. Dasar Eithar tidak peka!

Tbc

Horeee siapa yang bahagia Eithar menyelamatkan Carissa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro