Batin_Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Seminggu sudah Tiwi dan Yuda menjalani hari sebagai suami istri. Mereka masih tinggal di rumah orang tua Tiwi. Rencananya, dua minggu lagi mereka akan pindah ke rumah kontrakan yang dekat tempat kerja Yuda. Namun, uang sewa belum dibayarkan. Tiwi masih enggan keluar dari rumah masa kecilnya. Padahal, jika tetap tinggal di rumah mertuanya, jarak ke toko tempat suaminya bekerja pun tidak jauh, hanya setengah jam saja.

"Yuda ngotot ngontrak?" tanya Noni seraya menyerahkan putrinya ke Tiwi yang baru datang ke rumahnya. Tanggal merah, kantor tempat bekerjanya tutup.

Tiwi mengangguk pelan. Ia mulai sibuk mengecup gemas keponakannya yang baru berusia tiga bulan itu.

"Padahal uang sewa bisa ditabung, kan, Non." Tiwi sudah berpikir ke depan.

"Tabungannya udah banyak kali dia."

"Enggak juga."

"Tapi, aku setuju sama Yuda. Kalau udah nikah lebih enak tinggal di rumah sendiri. Ngontrak lebih baik. Daripada ada banyak kepala, loh, Wi."

"Gitu, ya?" tanya Tiwi yang baru paham. Ia tentu saja senang jika tetap di rumah orang tuanya. Dirinya akan terbebas dari pekerjaan rumah. Apalagi ia juga wanita pekerja. Tentu sangat melelahkan jika harus mengurus rumah juga.

"Iya, apalagi kalau udah punya anak. Beuh, bisa adu mulut sama neneknya."

"Masa sampai segitunya?"

Noni menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Eh, bukannya kalian habis bulan madu ke Batu? Kok, nggak ada foto di tempat wisata? Makanan melulu yang di posting di Instagram."

Tiwi menghela napas panjang. Ia teringat beberapa hari yang lalu. Memang, sangat indah untuk pengantin baru, apalagi kejutan yang diterimanya saat masuk hotel. Namun, tidak sesuai bayangannya.

"Harusnya bulan madu itu kan, jalan-jalan ke tempat yang spot fotonya Instagramable. Nah, Mas Yuda enggak mau."

"Loh, terus?" tanya Noni penasaran. "Kalian di hotel terus, nih."

Tiwi manggut-manggut. Ia lalu mendesah pasrah. "Udah kayak minum obat frekuensinya."

"Hah?" Noni pun tergelak. "Aduh aku maklum, deh. Maklum pengantin baru. Kejar setoran kali si Yuda."

"Tapi, nggak harus sesering itu juga kali. Gimana bisa cepat punya anak?"

Tiwi akhirnya mengungkapkan kegelisahannya. Ia memang ingin sekali segera hamil. Sebelum menikah, ia sudah sering mebaca info tentang kehamilan, baik dari merencanakan maupun saat sedang terjadi.

"Bener, kalau mau program hamil memang harus terjadwal. Kalau terlalu sering dikeluarkan bisa-bisa nggak berkualitas," ungkap Noni.

"Nah, itu. Kelewatan sehat kayaknya adikmu itu. Kalau keterusan kayak gini terus gimana?" Tiwi mulai khawatir. Usianya sudah kepala tiga. Ia ingin segera punya anak.

Noni kembali terbahak mendengar celetukan Tiwi. Hal itu membuat Quin, putrinya terbangun.

Tiwi sibuk menenangkan Quin. Hanya sebentar saja menangis, gadis kecil itu kembali terlelap.

"Nggak usah cemas, Wi. Suamimu nanti setelah beberapa bulan bakal capek juga. Nggak akan sesering ini. Apalagi kalau kamu langsung hamil. Trimester pertama harus puasa dulu. Omong-omong, kondisimu baik-baik aja, 'kan? Maksudnya, nggak ada masalah karena aktivitas itu?"

Tiwi menggelengkan kepala dengan pelan. "Untungnya aku bisa ngimbangi. Masalahnya, aku capek keremas tiap hari, Non. Itu kalau pas sehari sekali. Pernah lebih tau. Mana rambutku panjang gini."

Tiwi menyisir rambutnya dengan jemari tangan kanan. Ia enggan memotong rambut yang panjangnya hampir menyentuh pinggang itu.

"Hemm, kayaknya alasan mau ngontrak aku tau, deh." Noni mengusap dagunya dengan tatapan penuh selidik.

"Maksudnya?" Tiwi mengernyit.

"Biar nggak ketahuan orang-orang kalau kamu keramasnya keseringan," jawab Noni kembali terbahak.

"Enak aja!" Tiwi memukul lengan Noni. "Jangan keras-keras. Nanti Quin bangun lagi."

Noni segera menutup mulutnya. Ia senang bisa menjaili pengantin baru.

Ponsel Tiwi bergetar. Tampak nama Suami Tercinta di layar ponsel. Ia segera menggeser tombol hijau ke atas.

"Iya, Mas. Kenapa?"

"Aku udah di rumah, Dik."

"Loh, kok, cepat pulangnya? Bukannya jam lima sore?" Tiwi melihat waktu yang ada di dinding ruang tamu Noni. Masih pukul satu siang.

"Iya. Aku izin pulang bentar pas makan siang. Nggak kuat, Dik. Inget kamu tadi pagi. Cepetan pulang, Dik. Aku membutuhkanmu, Sayang." Suara Yuda sudah terdengar gelisah.

Tiwi mengembuskan napas berat. Hal ini menurutnya udah keterlaluan sebagai pengantin baru.

"Kenapa?" tanya Noni.

"Disuruh pulang," ujar Tiwi seraya menyerahkan Quin ke ibunya.

"Nikmati aja, Wi. Sebelum Negara api menyerang," ujar Noni seraya terkikik.

"Apa aku beli ramuan yang bikin stamina turun, ya?" Tiba-tiba saja terlintas ide konyol di benak Tiwi.

"Ngawur!" 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro