Batin_Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bulan pertama pengantin baru pun terlewati. Yuda dan Tiwi masih menikmati indahnya masa-masa bulan madu. Mereka pun tidak jadi pindah rumah. Tiwi bersikukuh untuk tetap tinggal di rumah orang tua hingga nanti dirinya hamil dan melahirkan. Ia tidak bisa membayangkan repotnya mengurus bayi untuk pertama kalinya. Apalagi dirinya juga masih bekerja. Tiwi belum memutuskan resign meskipun Yuda telah memintanya untuk tinggal di rumah saja.

"Sayang, gini. Hitungannya rezeki seperti ini. Gaji suami itu 50%. Gaji istri juga sama 50%. Ditotal 100%."

"Lha iya, Mas. Klau aku nggak kerja, kan. Pendapatan kita jadi cuma 50%."

Yuda menggerakkan ibu jari di depan wajah Tiwi. "Rezeki itu luas."

"Terus? Aku pingin tetap punya penghasilan."

"Meskipun kamu tidak kerja, rezekikita tetap 100%, Jangan selalu melihat rezeki itu dari uang. Kesehatan, keluarga yang harmonis, saudara dan teman yang baik itu rezeki."

"Kalau kebutuhan kita kurang gimana, Mas?"

"Enggak. Konsep rezeki itu pasti. Manusia akan mendapatkan rezeki ketika ia masih bisa bernapas."

Tiwi terdiam. Ia masih belum bisa menerima. Dirinya sudah biasa bekerja. Tentu tidak mudah jika tidak memiliki penghasilan sendiri. Namun, ia ingin menghormati suaminya. Dirinya tidak mau durhaka hanya karena memiliki penghasilan sendiri.

"Nanti saja resign kalau sudah punya anak ya, Mas."

"Oke. Ayo kita usaha bikin anak lagi." Yuda mengerling manja.

Tiwi mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. "Aku mau bantu Ibu di dapur."

***

Dua minggu kemudian.

Tiwi baru saja keluar dari kamar mandi. Saat akan masuk ke kamar, Yuda datang. Suaminya itu baru pulang kerja. Wajahnya terlihat sangat letih.

"Kusut amat wajahnya," tanya Tiwi seraya mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk.

"Capek banget, Dik. Badanku pegal semua," tutur Yuda seraya menggerakkan tangan dan punggung. Ia mencoba meregangkan otot-otot yang kaku.

"Tumben? Kan, pulangnya masih sama kayak kemarin-kemarin." Tiwi menatap jam dinding dengan jarum penDik menunjuk di angka empat. "Habis angkat-angkat barang?"

"Seminggu nggak dapat suntikan semangat." Yuda mendesah pasrah. Ia pun berjalan gontai menuju kamar.

Tiwi terkikik puas. Selama tujuh hari ke belakang, seolah menjadi hari kemerdekaannya dari mandi menjelang subuh. Ia pun segera menyusul masuk ke kamar. Perempuan bergelar istri itu lalu membuka lemari. Tiwi mengambil mukena yang masih terlipat rapi. Ia lalu mengenakannya.

"Loh, kok, solat, Dik?"

"Kewajiban," jawab Tiwi singkat. Ia memang tidak akan memberitahu Yuda jika dirinya sudah bersih. Tiwi menunggu sang suami menyadarinya sendiri.

Yuda bangkit dari duduknya. Ia lalu loncat-lancat di atas kasur sambil menggerakkan tangan ke atas. Lagaknya sudah seperti naik trampolin saja.

"Semangatku kembali! Semangatku kembali!" pekik Yuda bahagia.

"Ish! Hancur itu kasur, Mas." Tiwi geleng-geleng kepala melihat tingkah sang suami.

"Eh, iya." Yuda kembali duduk sambil terkekeh. "Udah cepetan solatnya, Sayang."

Tiwi mendengkus pelan. Ia paham apa yang akan terjadi nanti setelah dirinya selesai mendirikan salat Ashar. Tiwi pun segera fokus untuk salat.

Wajah Yuda masih dipenuhi senyuman. Tangannya mengepal penuh semangat. Ia lalu mendekatkan telapak tangan ke depan mulut.

"Hah, hah." Laki-laki itu menghidu aroma mulutnya. "Ck, bau bakso."

Yuda pun beranjak dari posisinya. Kakinya melangkah keluar kamar. Ia segera menuju kamar mandi untuk sikat gigi dan membersihkan badan. Dirinya memang selalu begitu. Sebelum memulai harus ada persiapan. Tidak mau mengecewakan sang istri dengan aroma badan dan mulutnya.

Sementara itu di dalam kamar, Tiwi yang sudah selesai salat, segera melipat mukena dengan cepat. Ia harus segera keluar kamar. Rencananya, ia akan ikut ke dapur, membantu ibunya menyiapkan makan malam. Aktivitas yang mulai dilakukannya setelah menikah. Itu akan jadi alasan terjitu. Yuda tidak mungkin mengutarakan niatnya saat Tiwi bersama orang tua. Namun, saat baru membuka pintu kamar, Tiwi tersentak.

"Mau kemana, Dik?"

Tiwi tidak langsung menjawab saking kagetnya. Ia hanya menggerakkan tangan ke arah dapur.

"Ayo di kamar aja," titah Yuda seraya senyum-senyum. Ia lalu menggamit lengan Tiwi.

Tiwi mendengkus penuh kepasrahan. Ia tidak berani menolak. Dirinya sudah paham, jika tidak ada halangan seperti sakit atau sedang dalam masalah tertentu yang membuat tubuh dan batin tidak bisa melayani suami, maka hal itu adalah kewajiban yang harus dilakukan.

Tiwi tidak ingin membuat suaminya marah besar. Bisa jadi hal itu membuatnya mendapat laknat malaikat untuk tidak mendapatkan rahmat Allah sampai subuh. Ia tidak ingin hal itu terjadi.

"Kalau nanti malam gimana, Mas? Rambutku masih basah, nih." Tiwi menunjukkan rambutnya.

Yuda menggeleng cepat. "Ini bukan sesuatu yang bisa ditunda pas udah nikah, Sayang."

Tiwi berdecak lirih. Dirinya harus segera memikirkan cara mengatasi keinginan suami yang tanpa kenal waktu tersebut. Tiwi harus bermain cantik tanpa harus durhaka terhadap suaminya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro