Hakuna Matata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 4. Hakuna Matata


"Jadi, Garda menyuruhmu untuk mengajakku mengantarmu menuju ruangan kepala sekolah?" tanya Lily dengan senyum merekah di wajah jelitanya. Matanya terus menelusuri jubah merah yang sedang dipakai Lintang, membuat Lintang tersenyum rikuh sambil menatap sekeliling asrama.

Sebelumnya, Lintang susah sekali dan malas bangun dari tempat tidur. Tapi karena mengingat Garda akan menemuinya hari ini, ia melakukan aktivitas pagi dengan cepat dan berlari menuju perbatasan asrama perempuan menunggu Lily. Dan sialnya, Lintang harus menunggu kedatangan Lily selama satu jam lebih. Awalnya Lintang kesal, dan berniat bertanya pada siapa saja untuk mengantarnya menuju ruang kepala sekolah, bersamaan dengan itu Lily datang dan Lintang mengurungkan niatnya itu.

"Boleh ya, Lily. Aku benar-benar lupa tempatnya dimana." Lintang merapatkan kedua tangan, memohon.

Lily tertawa pelan, "Ya sudah, jangan memohon seperti itu, Lintang. Aku pikir, Garda akan menjemputmu di depan pintu kamarmu. Jarang sekali ada seorang militer prajurit yang bisa dan masuk ke dalam jajaran asrama perempuan."

Mendengar ucapan Lily, Lintang hanya bisa tersenyum miris, mengingat malam tadi Garda dengan langkah santainya mengantarnya menuju kamar asramanya. Gadis itu menggeleng pelan, membiarkan Lily berjalan terlebih dulu mengantarnya menuju ruang kepala sekolah.

"Oh, ya, Lintang, aku suka sekali melihatmu menggunakan jubah itu. Seperti Ibu dulu. Kamu cantik sekali. Pantas saja Garda mau-mau saja mengantarmu kemana-mana. Cucu teman Nenek memang benar-benar seperti bidadari."

"Lebay!" Lintang tersenyum malu, lantas menepuk keningnya pelan, "Duh, maksudku, kamu berlebihan, Lily. Aku tidak secantik itu. Kamu juga cantik, pasti Garda begitu mendambakanmu."

"Tidak mungkin!" kali ini tawa Lily lebih keras, "Garda itu lulusan prajurit terbaik. Dia mana mungkin menyimpan rasa suka dan cinta pada perempuan. Dia itu sudah terlalu mengabdi pada Kerajaan Arunika. Dan, bisa saja, hatinya sudah sekeras batu arca. Dia tidak akan mementingkan perasaan recehan itu, Lintang. Tapi, semenjak melihatmu, aku yakin, siapapun bahkan Adipati Nagara akan terjerat pesonamu."

"Kamu benar-benar berlebihan, Lily, aku tidak cukup populer di dunia ini sampai menyangkut pautkan dengan siapa tadi? Negara?"

"Adipati Nagara Arunika. Pemimpin termuda Kerajaan Arunika. Karena kedua orangtuanya meninggal akibat penyakitnya yang tidak kunjung sembuh, Nagara diangkat menjadi pemimpin dan raja pengganti. Dia selalu memakai topeng berukiran relief naga. Dan hanya para prajurit dan para petinggi kerajaan yang tahu wajah Adipati, itu pun hanya beberapa saja. Sudah tidak ditangguhkan lagi kemampuan Naga dalam berperang, cerdik, dan licik. Ia bisa menguasai tanah timur, tanah utara bahkan tanah selatan saat dirinya menjabat sebagai raja."

Lintang mengernyit, "Tanah barat?"

"Sayangnya, tanah barat adalah wilayah kerajaan Swastamita yang sudah lama menjadi musuh kerajaan Arunika. Awalnya kedua kerajaan itu damai, dan sejak ada konflik perebutan wilayah utara dan selatan, Nagara sukses mengalahkan Ratu Swastamita dan merebut semua tanah kekuasaan mereka, yaitu tanah utara. Dan yang pasti, jangan sampai kamu mencari masalah dengan Nagara, dia itu dingin, politikus licik, semaunya, dan sangat jarang berinteraksi dengan rakyat. Dia selalu menggunakan kaki tangannya untuk mengurus segala urusan yang menurutnya tidak terlalu penting. Sekali saja dia sakit hati, atau memberontak, apalagi mengkhianatinya, dia tidak segan-segan menjatuhkan hukuman mati."

"Apa sebelumnya ada yang dihukum mati Nagara?"

"Banyak," Lily bergidik ngeri, "Maka dari itu, semua pasukan petinggi kerajaan dan prajurit bersikap dingin dan tegas mengikuti semua intruksi darinya. Tapi melihat Garda, dia berbalik dengan Nagara. Dia selalu baik pada semua orang, dan terkadang dia dirumorkan selalu berdebat dengan Nagara. Makanya, Garda dijadikan prajurit kepercayaannya."

"Pasti Garda sudah melihat wajah aslinya, kan?"

"Entah lah. Yang aku asumsikan, pasti wajahnya rusak. Makanya dia malu dan memakai topeng, alibi agar terlihat misterius."

Lintang mengangguk mengerti. Begitu banyak kisah dan latar belakang kerajaan Arunika yang belum ia ketahui. "Lalu, apa kamu tahu Nala itu siapa?"

"Itu Garda!" Lily mengabaikan pertanyaan Lintang barusaja, menunjuk keberadaan Garda yang sedang berbincang ria dengan beberapa teman prajuritnya. Lintang ikut melirik arah tunjuk Lily, menyadari ada yang memperhatikannya, Gardapun ikut menoleh, tersenyum meminta izin temannya untuk menghampiri Lintang.

Melihat Garda datang menghampirinya, Lintang mulai mengingat Sabda di depan mading sekolah. Dengan wajah, perawakan, dan senyum yang sama. Lintang menggeleng tidak percaya sebelum Lily menepuk pundaknya pelan.

"Tugasku sudah selesai. Sampai jumpa, Lintang!"

"I-iya. Terima kasih, Lily!" Lintang tersadar, melambai tangan pada Lily yang kini berjalan menjauh darinya. Saat ia berbalik, Lintang terkejut mendapati Garda sudah berdiri di hadapannya. "Ma-maaf menunggu lama."

"Tidak apa-apa. Kita akan bertemu kepala sekolah." Garda mengkode Lintang untuk segera mengikutinya masuk, tapi gadis itu masih diam merasa takut jika berhadapan dengan pria berkumis malam lalu, "Ayo masuk. Jangan takut, aku yang akan bicara nanti."

"Thank you!" Lintang tersenyum senang, berlari masuk mengikuti Garda di belakang. "Maksudku, terima kasih banyak!"

Garda mengangguk lamat. Mempersilahkan Lintang untuk berjalan di sampingnya, "Lintang. Berjalan lah di sampingku. Jangan takut."

Lintang terus menahan senyum, berjalan di samping Garda. Matanya mulai dimanjakan beberapa patung dan peralatan yang sangat menakjubkan. Semuanya serba merah, dan berapi. Terdapat ukiran dan patung burung phoenix di setiap sudut ruangan. Tidak lupa, burung phoenix sendiri berada di samping meja kerja kepala sekolah. Burung itu berkoar, mengeluarkan api sampai Lintang refleks memegang pergelangan tangan Garda dengan ekspresi takut. Menyadari itu Garda melepaskan tangan Lintang, berjalan menuju meja kerja kepala sekolah dan membunyikan bel untuk memanggil kepala sekolah.

"Garda tadi gue-eh, aku itu refleks. Takut. Maaf ya, lancang. Gak bakal lagi, deh."

Lintang tiba-tiba meminta maaf, merapatkan kedua tangan dengan ekspresi memohon seolah-olah dirinya yang paling teraniaya.

"Please, maaf, gak sengaja."

Garda mengangguk pelan, "Tidak apa-apa. Aku mengerti."

"Terima kasih!"

Melihat ekspresi sumringah dan berlebihan dari Lintang, Garda hanya bisa menggeleng jengah menanggapi sikap gadis itu. Tidak lama seseorang datang dari balik pintu dekat meja, menampilkan kepala sekolah dengan jubah hijau tua berukiran emas. Matanya langsung terpaku pada Lintang. Kemudian melirik Garda bergantian.

"Duduk lah."

"Terima kasih." Jawab keduanya, duduk di atas kursi di hadapan mereka. Sempat Lintang melirik tanda nama di atas meja kerja kepala sekolah.

"Professor Samudera Bulan."

"Ya, Lintang itu namaku. Ada perlu apa kalian datang lagi kemari. Sudah pusing aku mendapat perintah Nagara untuk menetralisir siswa di dalam sekolah ini. Ditambah kamu yang harus saya selesaikan."

"Sebelumnya aku minta maaf telah mengganggu anda, Professor Samudera. Aku hanya mau bertanya soal penempatan kelas dan barang-barang yang harus dimiliki Lintang." Garda memelankan suaranya, "Jangan beritahu keberadaan Lintang dari Adipati, Professor. Gadis ini berasal dari dunia lain. Dunia fana."

Professor Samudera menghela napas panjang, "Semalaman aku memikirkan itu, Garda. Bagaimana aku tidak terkejut menerima murid malam-malam dan berasal dari kota yang belum pernah aku mendengar sebelumnya. ini masalah serius," matanya melirik Lintang dan memasang wajah serius, "kamu, Lintang. Ceritakan bagaimana kronologis kamu sampai berada di Kerajaan Arunika. Nasib baik untukmu ditemukan keluarga Flora dan Pekkala. Dan bertemu denganku."

Lintang mengerjap pelan, mengulum bibir melirik Garda di sampingnya. Garda mengangguk, "Ceritakan saja."

"Baiklah," Lintang menghirup napas dalam, mengembuskannya pelan, "Aku berasal dari kota Jakarta, negara Indonesia, dan berasal dari dunia Bumi. Waktu itu aku mau berangkat sekolah lewat kereta api. Tepat pukul tujuh, aku ditabrak seseorang di dalam kereta. Dia mengenakan jubah dan tudung jingga, dan orang yang sama pula mengantarku kembali ke dunia ini lagi. Duh, ribet banget sih, Professor Samudera ngerti kan maksud aku?"

Pria berkumis itu mengangguk, "Lanjutkan."

"Oh, ya, dia itu perempuan kira-kira sebaya dengan Garda. Saat aku berlari mengejarnya, tiba-tiba aku sudah berada di dalam kereta menuju Kerajaan Arunika. Dan aku bertemu Nenek Seraphine, dan Bibi Rose. Dan setelah itu, aku dibawa ke tempat ini. dan bertemu dengan Garda, Lily, dan Pak Samudera. Setelah itu aku diantar menuju asrama, dan saat aku hendak pergi menemui Garda, tiba-tiba aku kembali ke duniaku di Bumi. Tepat di kelas mengajar. Aku benar-benar syok dan kembali melihat si tudung jingga itu memancing kemarahanku saat dia melesatkan anak panah ke arah temanku. Aku berlari mengejarnya sampai pintu unit kesehatan sekolah, dan saat itu aku berpindah tempat kembali ke gerbang sekolah ini. Dan bertemu denganmu, Garda."

Lintang menatap Garda, "Dan saat itu juga, rasanya aku ingin bunuh diri dan mati saja. Duniaku sudah kacau. Dan mungkin, apa aku bisa kembali lagi ke duniaku sebelumnya, Pak Samudera? Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu. Dan si tudung jingga yang membawaku ke dunia ini."

Melihat raut wajah dan kepanikan Lintang saat bercerita, Pak Samudera tidak tega. "Kamu mau tahu siapa gadis dengan jubah dan tudung jingga itu?"

Lintang mengangguk mantap. Sementara Garda di sampingnya memasang wajah tidak percaya.

"Violette Swastamita. Ratu dari Kerajaan Swastamita."

"Apa?!" Lintang menggeleng tidak percaya, "Kenapa dalam satu pertemuan, aku harus bertemu dengan beberapa orang penting di dunia ini. Sialan. Apa yang harus aku lakukan?"

"Jangan khawatir, Lintang. Selama ini, apa Violette pernah menyakitimu?"

"Tidak. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi dia menghancurkan dan merusak ponselku, Garda. Kamu tahu, ponselku itu keluaran terbaru, baru launching di televisi dan sekarang mati gara-gara dia!"

"Ponsel? Dan televisi itu, maksudmu alat canggih dan mahal?" tanya Professor Samudera tidak mengerti.

Lintang mendengus, "Ya, semacam alat komunikasi yang super canggih. Sampai kapanpun, aku akan memintanya untuk mengganti ponselku. Susah payah aku ikut lomba pencarian bakat, menari, lomba orkestra biola, dan semua uang itu aku kumpulkan untuk membeli gawai terbaru itu. Sungguh sial nasibku."

"Baiklah, kalau begitu aku mulai mengerti sekarang." Professor Samudera menyela kekesalan Lintang, "dengarkan aku baik-baik, Lintang, kamu harus hati-hati dalam bergaul selama di sekolah ini. Jangan terlalu banyak bicara, pakailah bahasa seperti kami. Aku mengerti, kamu pasti sangat merindukan keluarga dan teman-temanmu di dunia sana. Tapi karena ramalan itu benar adanya, kamu harus hati-hati dalam bersikap dan jangan pernah mencari masalah dengan petinggi kerajaan. Apalagi dengan Adipati Nagara."

Lintang menekuk wajah, "Aku tidak bisa bersikap sesempurna itu, Professor. Buktinya aku masih tidak bisa mengontrol diri saat bicara, aku masih kesal, aku masih belum bisa menerima kenyataan. Dan, kenapa aku tidak bisa berinteraksi bebas bersama yang lain?"

"Kamu bisa bergaul bebas dengan siapa saja, Lintang. Asalkan kamu bisa menyembunyikan identitasmu dari dunia lain." Garda menambahkan, membuat Lintang sedikit menaikan sudut bibirnya.

"Dan kamu, Garda," Professor Samudera menunjuk Garda penuh peringatan, "Rahasiakan ini dengan Nagara. Aku takut dia bersikap brutal jika tahu selama ini Nala sudah berada di sekitarnya. Berjanjilah untuk Kerajaan Arunika. Antarlah dia membeli perlengkapan sekolah."

"Baik." Garda mengangguk paham.

"Lintang," Pak Samudera menatap Lintang, "Kamu jangan sungkan bercerita padaku. Dan Garda. Dia akan mengantarmu membeli barang-barang terlebih dulu. Kamu saya masukan ke kelas Seni dan Budaya. Kebetulan Garda juga sedang mengambil kelas itu. Berangkatlah bersama Garda atau dengan cucu Nenek Seraphine. Garda akhir-akhir ini mungkin akan sedikit sibuk, tapi jika ada waktu luang, dia pasti mengajakmu berangkat bersama."

Lintang melirik Garda, tersenyum malu, "Kalau dengan Garda, aku tidak akan pernah menolak, Professor."

"Bagus!" pria itu tertawa pelan, "Aku dengar tadi kamu pintar menari dan memainkan biola. Baguslah, aku memilihkan kelas Seni dan Budaya untukmu."

Lintang mengernyit, "Cuma satu kelas?"

"Ya. Selanjutnya, tanya saja pada Garda. Ada berapa kelas dan tingkatan di sini. Kamu bebas masuk dengan mengatasnamakan namaku. Bilang saja aku teman dari orang tuamu. Pergilah, ingat semua pesanku tadi. Jangan sampai lupa. Jangan pernah berurusan dengan Nagara, kamu mengerti?"

"Aku mengerti. Asalkan aku terus bersama Garda, boleh?"

Garda melirik Lintang keberatan, "Apa?! Tidak bisa-"

"Tanya saja pada Garda. Aku yakin kamu bisa merahasiakan ini, Garda."

Melihat tatapan tajam penuh sarat peringatan dari Professor Samudera, Garda mengembuskan napas jengah, "Baik. Aku mengerti. Maaf aku mengganggu waktumu, Professor."

"Tidak apa-apa. Lebih baik tahu secepatnya daripada tidak, bisa bahaya nanti."

Melihat Garda mengkodenya untuk berdiri meninggalkan ruangan, Lintang bergegas berdiri membungkuk berterima kasih pada Professor Samudera. "Terima kasih, Professor Samudera Bulan."

"Sama-sama."

Garda menelengkan kepala, menyuruh Lintang untuk segera meninggalkan tempat itu.

Setelah mendapatkan perintah untuk mengantar Lintang membeli beberapa alat dan perlengkapan sekolah, Garda langsung mengajak Lintang menuju pasar penjualan peralatan sekolah yang berada di luar sekolah. Begitu banyak tas rajut berbahan benang wol dan buku-buku tebal yang harus dibeli Lintang saat memasuki pasar. Matanya terus saja menelusuri keindahan pasar yang sungguh berbeda dengan pasar yang dulu sering ia jumpai di kota Jakarta. Tidak hanya peralatan sekolah saja, Lintang sengaja meminta Garda untuk membelikannya seekor burung sejenis merpati jantan sebagai alat komunikasi untuk mengantar surat. Burung itu mengeluarkan percikan api berwarna biru dengan bulu berukiran api membara di kedua sayapnya.

"Karena tidak ada gawai, mengirim surat pakai merpati apa tidak akan salah alamat, Garda?"

"Tidak akan, Lintang. Selama kamu menyebutkan nama tujuan dengan lengkap." Jawab Garda sedikit susah payah, karena terlalu banyak beban bawaan yang Lintang beli hanya dengan menggunakan nama "Professor Samudera Bulan".

Lintang menggeleng tidak percaya, melirik merpati miliknya sedang bertengger di dalam kandang burung yang dibawanya, "Masa? Aku tidak percaya. Apa di sini ada alat komunikasi lain? Selain burung?"

"Sayangnya tidak ada, Lintang." Garda berdeham, "Oh, ya, memangnya gawai yang kamu maksud itu benar-benar canggih?"

"Sangat amat canggih. Dia bisa mengirim teks pesan dengan satu sentuhan. Kita bisa berkomunikasi di tempat berbeda, dan yang paling hebat, kita bisa berkomunikasi saling berhadapan di tempat berbeda, sejauh apapun tempatnya." Lintang tersenyum kecut, "Tapi, yang amat sangat hebat dari gawai itu, kita bisa berfoto selfi. Mengabadikan suatu gambar dan momen tertentu semau kita. Kita bisa melihat gambar itu kapan saja."

"Seperti memori dan kenangan?"

"Ya, Garda. Memori dan kenangan. Kita memang tidak bisa kembali ke masa lalu. Masa lalu memang tidak bisa terulang kembali. Dulu aku tinggal di rumah bersama Ayah, Ibu, dan Kakakku. Bermain bersama teman-temanku. Dan sekolah di tempat yang nyaman untukku. Tapi itu dulu. Sekarang aku adalah orang lain. Berasal dari keluarga orang lain. Dan tinggal di tempat asing."

Sepanjang perjalanan menyusuri setiap toko di dalam pasar, sepanjang itu lah Garda memperhatikan setiap detail cerita dari Lintang. Ia juga tidak bisa membayangkan dirinya tersesat dan terpaksa masuk ke dunia lain, dunia yang sama sekali jauh dari kata nyaman, orang tua, sulit beradaptasi, mungkin itu yang dirasakan Lintang sekarang.

"Selama tinggal dan mengetahui tempat ini. Aku benar-benar masih merasa bermimpi. Jubah merah, sekolah pemberdayaan, asrama, dan kamu Garda," Lintang menghentikan langkahnya, membuat Garda menoleh menunggu penjelasan darinya, "Jika kamu merasa keberatan untuk terus menemaniku, tidak apa-apa. Aku mengerti posisimu di Kerajaan ini. Kamu pasti sangat sibuk dan, ya, aku tidak keberatan untuk kamu tinggalkan. Aku bisa sendiri. Akan lebih baik aku mati secepatnya karena sendirian di tempat asing daripada harus terus menerima kenyataan sialan seperti ini."

Garda terdiam. Tanpa banyak bicara ia melanjutkan perjalanannya mengabaikan semua pernyataan Lintang. Gadis itu berdecak jengkel, mengikuti langkah Garda menuju tempat pernak-pernik dan aksesoris. Suasana hati Lintang tiba-tiba berubah, wajahnya yang masam kembali ceria saat menemukan berbagai aksesoris untuk dipakai di rambut seperti bandana dan jepit yang terbuat dari bulu angsa dan beberapa hewan lain. Tidak hanya itu saja, Lintang merasa takjub saat melihat anting, gelang, dan berbagai perhiasan seperti kalung, cincin dan pernak-pernik lainnya. Ia melihat Garda, lelaki itu menyimpan semua belanjaan Lintang di tempat penitipan barang. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan Lintang menuju tempat gantungan aksesoris yang berada jauh dari tempat Lintang berdiri.

Lintang berdecak, mencebikkan bibirnya kesal pergi menuju tempat aksesoris bandana dan jepit rambut. Matanya begitu berbinar melihat bandana dan ikat rambut yang berasal dari bulu angsa putih dan hitam. Namun ia dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita berjubah hijau tua. Lintang menelan ludah, merapatkan kedua tangan meminta maaf.

"Maaf, Bu, aku hanya mau melihat-lihat saja."

Wanita itu mengernyit, meneliti setiap inci perawakan dan wajah Lintang dari atas sampai kaki. "Sepertinya aku baru melihatmu di tempatku, gadis cantik, siapa namamu?"

"Namaku?" Lintang berdeham, berusaha terlihat rileks dan tidak merasa tegang saat ada yang bertanya langsung padanya. Pasalnya, sedari tadi hanya Garda saja yang berbicara pada setiap pedagang yang dikunjunginya, "Namaku Lintang. Lintang Asmara."

"Lintang itu artinya bintang. Dan asmara? Itu artinya rasa suci yang bernama cinta. Bintang cinta. Cantik. sama seperti pemiliknya."

Lintang mulai mengusap tengkuk salah tingkah, melirik ke arah Garda yang barusaja keluar datang menghampirinya. "Ibu bisa saja."

"Apa yang mau kamu beli, Lintang?" tanya Garda di sampingnya. Matanya melirik ke arah bandana yang kini menjadi pusat perhatian gadis itu. "Aku mendapat perintah dari Professor Samudera Bulan untuk membelanjakan apa yang dibutuhkan gadis ini."

Mendengar nama Samudera Bulan, refleks wanita itu terkejut, "Oh, ya sudah, apa yang kamu inginkan, Lintang?"

"Aku mau bandana itu. Boleh?" Lintang menunjuk bandana yang sedari tadi sudah menjadi incarannya. Ia lirik Garda, kemudian beralih pada wanita di hadapannya.

"Itu saja?"

"Ya, Bandana saja. Boleh kan, Garda?"

Melihat tatapan memohon Lintang, Garda memutar mata kemudian mengangguk jengah, "Apapun asalkan membuatmu senang."

"Yes!" Lintang meloncat kegirangan, "Thank you!" gadis itu tidak sadar, bahwa sedari tadi ia sudah menjadi pusat perhatian semua pengunjung di sana, "Apa boleh aku memakainya langsung?"

"Tidak." jawab Garda membuat Lintang mendesah kecewa.

Setelah selesai membeli perlengkapan bandana dan membuat Lintang kembali tersenyum, namun gagal, Garda menyuruhnya untuk menunggu di depan toko saat lelaki itu harus menyelesaikan sesuatu terlebih dulu di dalam toko. Lintang hanya bisa mengiyakan, menunggu Garda sendirian di depan toko. Tidak lama, saat Garda selesai keluar dari pintu toko, Lintang melihat bayangan gadis bertudung jingga di antara kerumunan orang-orang berjubah hijau yang sedang berjalan menyusuri pasar. Tanpa pikir panjang Lintang berlari mengejar si tudung jingga tanpa menghiraukan beberapa orang yang ditabraknya. Pikirannya hanya ingin pulang, dengan menangkap si tudung jingga yang merupakan satu-satunya alat untuk berpindah tempat menuju dunianya. Melihat Lintang berlari tunggang langgang, Garda menyimpan semua belanjaan di pangkuannya ikut mengikuti ke mana arah larinya gadis itu.

Lintang sudah berlari menyusuri pasar, berbelok ke arah kanan, berbelok ke arah kiri. Anehnya, saat si tudung jingga berjalan dengan langkah begitu pelan, kenapa gadis itu harus menguras seluruh tenaga dan kekesalannya berlari mengikuti arah pergerakan langkah si tudung jingga. Lintang mengumpat saat dirinya harus melewati beberapa pengunjung pasar yang sangat membuatnya kesulitan untuk menyusul pergerakan si tudung jingga. Tidak tanggung-tanggung, ia menarik sepeda salah satu pedagang yang masih lengkap dengan keranjang buah yang penuh dengan buah stoberi. Sontak pedagang buah itu berteriak tidak terima, melempar buah tomat ke arah jubah merah Lintang.

"Hei! Itu sepedaku! Jangan kau ambil, gadis nakal!"

"Aku pinjam sebentar! Aku sedang dalam misi penting!" Lintang menjawab lantang, matanya tak lepas dari si tudung jingga.

"Berengsek! Aku membutuhkanmu, Violette!"
Gadis itu mengayuh sepedanya dengan cepat, jauh meninggalkan Garda yang kini mengusap wajah kasar menyadari Lintang sudah membuat kekacauan di sekitar pasar.

Dengan langkah gusar, Garda meminjam salah satu sepeda di antara jajaran penjual buah di sana.

"Aku pinjam sepedamu. Sebentar."

"Jangan mentang-mentang kamu lulusan terbaik prajurit baru di Kerajaan ini kamu bisa bertingkah semaumu, Garda. Kembalikan sepedaku yang dicuri gadis tadi! Aku tidak mau tahu! kalau tidak aku akan mengirim surat kriminal pada Nagara." Pria penjual buah di sampingnya memperingatinya tentang sepedanya yang dipakai Lintang.

Garda mengangguk, mengayuh sepeda mencari keberadaan Lintang.

Sementara masih di dalam permukiman pasar, Lintang terus mengumpat dan mengucapkan sumpah serapah pada Violette yang terus saja menghindar dari kejarannya. Anehnya, Lintang tidak mengerti mengapa Violette bisa berkeliaran bebas, sementara gadis itu sudah terlihat memakai jubah terang berwarna jingga dengan berukiran lekukan api berwarna hitam.

Karena terlalu banyak memikirkan Violette, Lintang tidak sadar bahwa dia sudah mengayuh sepeda keluar dari area pasar menuju tempat para petinggi kerajaan Arunika. Bahkan di hadapannya sudah ada kereta kencana dengan beberapa pasukan pengawal sedang berjalan berlawanan arah dengannya.

Lintang sedikit terkejut, namun gadis itu semakin mempercepat laju kecepatan sepedanya saat Violette tersenyum remeh padanya. Dengan kecepatan penuh ia mengayuh sepeda berbelok dengan lincah tepat di hadapan para pengawal dan kereta kencana yang sedang melaju. Sontak semua pengawal di sana terkejut dan berteriak memaki Lintang hingga membuat seorang penumpang di dalam kereta terkejut dan penasaran.

"Dasar jalang! Bagaimana jika menabrak kereta!"

"Gadis bodoh!"

"Dasar gadis ceroboh! Kuhajar kau!"

Seorang penumpang kereta kencana mulai memunculkan kepala di balik tirai kereta, pemuda bertopeng hitam berukiran emas berbentuk naga, "Ada apa? Siapa yang berani menabrak kereta ku, hm..?"

"Maafkan kami, Adipati, barusaja ada seorang gadis bersepeda yang lewat. Gadis bodoh berjubah merah."

"Begitu rupanya." Penumpang dengan sebutan Adipati itu mengangguk lamat. "Ya sudah, lanjutkan perjalanan."

Begitu kereta kencana hendak kembali berjalan, Garda dengan sepeda yang dikayuhnya muncul melewati mereka dengan ekspresi terkejut bukan main.

Salah satu dari mereka berteriak memanggil Garda, "Bedebah, Garda!"

"Hei, Garda! Kemana kau!"

Garda mengangkat sebelah tangannya pertanda darurat, ia mengacuhkan beberapa teman para pengawal yang barusaja dilewatinya. Pikirannya hanya satu, mencari keberadaan Lintang yang semakin dibuat pusing olehnya. Betapa terkejutnya Garda saat tahu Lintang pasti melewati kereta kencana yang barusaja ditemuinya.

"Bagaimana kalau sampai Nagara tahu dan menangkap Lintang. Aish, kemana dia pergi!"

Setelah hampir putus asa saat mencari keberadaan Lintang, tak sengaja ia melihat jubah merah yang tergantung di atas stang sepeda keranjang di jalan pinggiran danau angsa dekat hutan yang dilewatinya. Dengan malas Garda mengayuh sepeda mendekati sepeda Lintang, dan benar saja, matanya menangkap seorang gadis berpakaian rajut merah sedang duduk di tepi danau. Garda mendengus lega, menyimpan sepedanya lantas menghampiri Lintang.

"Ternyata kamu tidak tahan ya jika disuruh menunggu beberapa menit."

Mendengar suara Garda, Lintang menoleh dan mendapati lelaki itu sudah duduk di sampingnya. "Maaf, Garda. Bukan maksudku-"

"Tidak apa-apa. Aku melihatmu berlari jauh sampai kemari. Apa yang terjadi?" tanya Garda pada intinya.

Lintang merapatkan bibir, mengalihkan pandangannya pada seekor angsa putih yang sedang berenang di tengah danau di depannya.

"Aku melihat Violette. Dan aku pikir, satu-satunya cara aku kembali ke duniaku ya melalui Violette. Dan dia malah menghindariku. Anehnya, kenapa keberadaan dia tidak disadari orang-orang, Garda?"

Mendengar nama Violette, Garda terdiam sejenak. "Dia mempunyai kekuatan yang tidak diketahui rakyat Arunika. Shadow Parrarel. Dia bisa berpindah tempat, bahkan antar dunia parrarel. Dan hebatnya, dia hanya bisa memunculkan dirinya di depan mata orang yang dia inginkan. Mungkin, dia sedang membutuhkanmu juga. Kalian memang saling membutuhkan. Atau lebih buruk, dia berusaha membuatmu sering berhalusinasi."

Mendengarnya Lintang mengerjap terkejut, "Apa yang dibutuhkannya dariku? Dan kenapa seolah-olah dia mempermainkanku?"

"Aku pun tidak tahu. Dan yang kutahu, Violette itu baik."

Lintang menoleh, mengernyit, "Darimana kamu tahu?"

Garda mendengus, mengambil salah satu kerikil di dekatnya dan melemparnya ke atas danau. "Itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah, bagaimana caranya agar kamu terus nyaman berada di dunia ini, Lintang." Lelaki itu menatap tajam Lintang, "Kamu itu Nala. Dan takdir dari ramalan seorang Nala adalah kebaikan yang dilambangkan dengan lingkaran. Kehancuran yang dilambangkan dengan tanda silang berapi di tengah lingkaran. Dan keadilan dilambangkan dengan angsa merah di tengah lingkaran dan tanda silang."

Lintang mendengus geli, "Aku tidak mengerti, Garda. Jadi apa profesi seorang Nala?"

"Nala itu bukan profesi, Lintang. Hey, kau ini," Garda menggeleng jengah, terkekeh pelan menghadapi kepolosan Lintang tentang Dunia Kerajaan yang ditempatinya, "Nala itu sebuah julukan bagi seorang perempuan yang berasal dari dunia fana. Dia diramalkan bisa membangkitkan kerajaan yang jatuh, dan bisa menghancurkan kerajaan yang sedang berjaya. Banyak yang bilang, Nala itu sudah ditakdirkan menjadi penakluk raja. Kedua pemimpin. Dan buktinya, kamu sudah menaklukan Violette, Ratu tanah barat. Mengerti maksudku?"

Lintang mengangguk paham.

"Jadi, untuk sekarang, aku dan kepala sekolah sengaja menyembunyikanmu dari para petinggi kerajaan, apalagi Nagara. Dia tidak akan segan-segan membunuh dan menghukum mati siapapun yang ditakdirkan dan bermaksud menghancurkan kerajaan Arunika. Tidak terkeculi seorang Nala. Mungkin bagi tanah barat, Nala sangat dibutuhkan. Tapi di tanah timur, Nala harus dimusnahkan."

Lintang menunduk, napasnya terasa sesak dan marah saat tahu posisi dirinya sebagai Nala. "Sialan."

"Tidak, Lintang. Jangan khawatir," Garda merogoh saku jubahnya, mengeluarkan sebuah kalung yang berhiaskan gantungan Hakuna Matata ke hadapan Lintang. "Ingat. Jika kamu merasa tertekan dan ketakutan, Hakuna Matata, jangan khawatir, kamu tidak sendiri."

Mendengar semua perkataan Garda, perasaan Lintang kembali menghangat dan terlindungi. Ia mendongak, melihat kalung bergantungan lambang Hakuna Matata yang berasal dari bahasa Swahili yang berarti jangan khawatir.

Gadis itu menyeka pipinya yang basah, menarik kalung itu perlahan. Ia menatap Garda tidak percaya, "Buat aku?"

Garda mengangguk, terkadang ia seringkali tidak mengerti bahasa asing dan non baku yang diucapkan Lintang.

"Terima kasih banyak, Garda ganteng!"

Lintang menatap lambang itu dengan mata berbinar. Tanpa pikir panjang ia langsung mengenakan kalung itu dengan susah payah.

(Hakuna Matata necklace)

"Biar aku saja."

Melihat Lintang sibuk sendiri berusaha mengenakan kalung yang diberikannya, Garda menarik kalung dari tangan Lintang. Lintang mengerjapkan mata, merasakan pipinya memanas, "Terima kasih."

Garda menyingkirkan rambut hitam dan panjang milik Lintang. Mengendusnya saat tahu rambut Lintang harum menguarkan aroma buah stoberi. Garda menelan ludah saat memasangkan ikatan kalung ketika melihat tengkuk dan leher gadis itu begitu membuat jantungnya berdebar keras. Lelaki itu menggeleng jengah, menyelesaikannya dengan cepat. Bersamaan dengan itu Lintang menoleh, membuat Garda terkejut saat kedua wajah mereka berjarak hanya setengah jengkal.

Garda berdeham, memalingkan wajah jengahnya berdiri meninggalkan Lintang.

"Sudah siang. Kita harus mengembalikan sepeda ini dan mengambil belanjaanmu di toko tadi. Cepat."

Lintang yang masih terpaku dengan Garda beberapa detik lalu tersadar. Ia menggeleng berusaha menghilangkan rasa aneh dan menyimpangnya pada Garda.

"I-iya Garda. Siapa cepat dia yang menang!"

"Kamu ini, seperti hafal saja dengan jalan berbelok-belok tadi."

Mendengar ejekan Garda di depannya, Lintang hanya bisa melengos pasrah. Ia kembali memakai jubah merahnya dan mengayuh sepeda mengikuti Garda menunjuk jalan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro