Kemunculan Adipati Nagara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 5. Kemunculan Adipati Nagara

"KAU PIKIR SEPEDA INI HARGANYA MURAH, HAH?! SEENAKNYA KAU PAKAI SAMPAI-SAMPAI RANTAINYA HAMPIR COPOT! SEBENARNYA APA YANG KAU KEJAR, HAH?!"

Lintang menunduk mati kutu, merapatkan kedua tangan berusaha meminta maaf kepada seorang pedagang buah yang ia pinjam sepedanya sampai rantai sepeda tersebut hampir terlepas saking cepatnya Lintang mengayuh sepeda mengejar Violette.

Suasana Pasar mulai menegang saat mendengar teriakan serta kemarahan si penjual buah itu. Dia benar-benar geram dan marah. Berkacak pinggang dengan mata menatap tajam gadis berjubah merah di hadapannya. Banyak sekali pengunjung pasar berbondong-bondong menonton mengerumuni lapak si penjual buah. Lintang telak menjadi pusat perhatian sekarang.

"Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Maafkan saya." Lintang kembali meminta maaf, kali ini dengan wajah memelasnya.

Si penjual buah berdecak kesal, melirik Garda tidak kunjung mengeluarkan suara. Pria itu mendengus, "Apa kau kenal gadis ini, Hah?!"

Garda mengangguk, "Dia sudah meminta maaf. Hanya Paman yang belum memaafkan kesalahannya."

Lintang mengernyit mendengar jawaban Garda, padahal bukan gue aja yang bawa sepedanya, dia juga, batinnya sebal. Ia lantas kembali memohon maaf pada si penjual buah. "Maafkan kami, Pak. Kami benar-benar minta maaf."

Si penjual buah berdecih, meski masih kesal dengan satu sepedanya yang hampir rusak, ia mengangguk jengah. "Baik lah. Aku maafkan. Asal kau mau mengganti rugi rantai sepedanya."

"Aku ganti."

Lintang menoleh cepat ke arah Garda. Pemuda itu merogoh saku jubah militernya dan mengeluarkan beberapa koin emas kemudian memberikannya pada si penjual buah. Semua penonton pasar yang ikut menyaksikan mulai menatap Garda tidak percaya.

Si penjual buah tergagap, "Gar-garda, ini terlalu banyak, apa yang kau--"

"Ambil saja semuanya. Aku juga layak mengganti rugi sewa sepeda yang aku bawa."

Lintang menelan ludah, melihat sepuluh koin emas di hadapannya. Udiknya, Lintang menatapnya sampai tidak berkedip hingga si penjual buah menyadari tatapan Lintang yang tertuju fokus pada koin emas di genggamannya.

Itu, koin emas asli? Unbelieveable, for the first time, gue liat koin emas asli?! Lintang menjerit kegirangan dalam hati. Matanya berbinar cerah.

"Kau itu kenapa, heh?" si penjual buah itu bertanya heran, matanya beralih pada Garda, "Terima kasih banyak, Garda. Aku harap kau segera membawa gadis ini jauh-jauh, sampai daerah perbatasan. Lihat saja, dia aneh sekali."

Garda merengut, melihat Lintang yang masih takjub melihat uang koin emas yang hanya bisa didapatkan oleh beberapa petinggi kerajaan. Satu koin emas memang sangat berharga, dan harganya setara dengan lima ekor kuda jantan. Pantas saja, Lintang mungkin baru kali ini melihat koin emas sesungguhnya tepat di depan matanya.

"Dia murid istimewa Professor Samudera Bulan. Jadi, aku tidak berhak membawa seorang pelajar pergi tanpa izin Kepala Sekolah. Kalau urusannya sudah selesai, kami permisi."

Garda berdeham, membuat Lintang tersadar akan kelakuannya yang benar-benar membuatnya malu bukan kepalang. Gadis itu kembali berdiri tegak, membungkuk lantas pergi mengikuti langkah Garda yang kini meninggalkannya.

"Hei! Garda, tunggu!" Lintang berlari-lari kecil, mengejar Garda yang sudah sampai di depan toko pernak-pernik tempat barang-barang Lintang disimpan. Melihat Garda membawa barang-barang miliknya secara berlebihan, Lintang menghela napas, mengambil sebagian barang-barang tersebut di tangan kirinya. Sementara tangan kanan membawa kandang merpati jantan peliharaan barunya.

Melihatnya, Garda menggeleng pelan. Merasakan beban bawaannya mulai sedikit ringan. Mereka melewati sisi pasar dan toko-toko berjalan pulang menuju sekolah, tepatnya kamar asrama Lintang.

Lintang yang masih penasaran dengan uang koin emas itu melirik Garda di sampingnya. Masih biasa saja. Wajahnya tidak pernah berubah. Ekspresinya benar-benar tidak terbaca. Pelan-pelan, Lintang menyikut tangan Garda.

"Garda."

"Apa."

"Kenapa kamu dingin banget, sih? Eh, kesannya cuek banget, gitu. Padahal, sayang lho, ganteng-ganteng--"

"Bisa tidak kamu berterima kasih?"

Mendengar jawaban dingin Garda, sontak Lintang terdiam. Entahlah, rasanya Lintang mulai menemukan hal-hal aneh mengenai sikap dan sifat Garda. Kadang-kadang manis dan ramah, di lain waktu dingin dan cuek. Barusaja Lintang mendengar ucapan sarkasme yang benar-benar membuatnya hampir tidak bisa berkata apa-apa.

"Maaf." Lintang menunduk, "Terima kasih banyak."

Melihatnya Garda menggeleng jengah, "Maksudku bukan padaku, tapi pada pedagang buah tadi."

Lintang refleks mendongak, menatap Garda aneh. "Kamu itu ganteng-ganteng ngeselin ya."

Melihat Garda yang tetap cuek tidak peduli Lintang merasa jengah sendiri. Mereka berjalan hingga Lintang menyadari jalan yang mereka lalui berbeda dengan sebelumnya. Kini ia memasuki wilayah perumahan warga yang sangat sepi dan tidak terurus. Seperti habis terbakar bertahun-tahun lalu. Matanya sigap menelusuri daerah di sekitarnya. Benar-benar mengerikan seperti rumah hantu. Berkali-kali ia hampir tertinggal jauh dari Garda karena saking sibuknya mengamati tempat dunia aneh ini.

"Ada apa dengan rumah-rumah ini? Apa yang terjadi?" bisiknya tak sadar terdengar jelas oleh Garda di depannya.

"Dulu, tempat ini merupakan sebuah desa kecil di kaki gunung Bakti. Desa yang termasyhur akan pengabdian mereka pada tanaman. Selalu ramai dan tidak pernah sepi, " Garda menoleh ke arah Gunung yang tertutup sedikit kabut di seberang mereka berdiri. "Itu gunung pembaktian beberapa raja Arunika. Di dalamnya terdapat jimat yang tersimpan di dalam tubuh seekor naga. Jimat sakti yang akhirnya keluar dan membumi hanguskan desa ini karena sebuah pelanggaran janji. Janji Raja Prabu Arunika. Ayah dari Adipati Nagara."

Lintang tertegun, melihat ke arah gunung Bakti dengan ekspresi bingung. "Ayah dari pemimpin yang sekarang?"

"Ya, ia tertipu oleh akal muslihat Nala sebelumnya. Seharusnya, Raja melakukan sumpah untuk keberkatan tanah kerajaannya demi kemakmuran rakyat bersama. Akibat adanya perebutan daerah utara dan selatan, Raja diharuskan untuk mengorbankan apapun demi kerajaan. Seperti membunuh tanpa sebab, dingin, pelit, dan sikap buruk yang dilakukannya demi rakyat kerajaan Arunika. Perilaku Raja hanya bisa dikendalikan oleh ratu. Sri Ratu Arunika. Ibu dari Nagara. Dan pada akhirnya, Raja tertipu akan kehadiran Nala yang dikirim oleh Ratu Swastamita. Raja terlena dan memperistri Nala. Dan tepat di malam pernikahan mereka, Raja kami keracunan bersamaan dengan terbunuhnya ratu Sri akibat ikut memimpin peperangan saat kerajaan Swastamita datang menyerang tanpa peringatan."

Mendengar cerita Garda, Lintang mulai merasakan keganjilan dengan alur cerita tersebut. "Bukannya Ayah dan Ibu Nagara mati akibat penyakit, ya? Lily yang bilang itu padaku."

Garda menggeleng, "Kau simpan rapat-rapat cerita kejadian asli ini, Lintang. Sebenarnya, Nagara sengaja menyebarkan berita palsu kepada rakyatnya agar mereka tidak memperbesar dan semakin membuatnya teringat akan sosok pengkhianat seperti Nala sebelumnya. Karena aku takut, bahwa kamu benar-benar Nala renkarnasi sebelumnya."

Lintang mengangguk, "Apa saat ini, nyawamu juga terancam jika Nagara tahu kamu menyembunyikan aku, Garda?"

"Tidak." Tidak salah lagi, batin Garda melengos panjang. Sebelah tangannya terulur pada rimbun tanaman di hadapannya, mulutnya berkomat-kamit membacakan mantra, "Bukalah untuk kami, Arunika."

Di samping itu, Lintang berusaha berpikir keras mengenai kisah dunia yang ditempatinya saat ini. Jantungnya kembali terasa copot ketika Garda memberitahunya soal kepergian orangtua Nagara yang sangat dirahasiakan. Ia juga berpikir, bagaimana Garda sampai bisa mengetahui seluk-beluk pemimpinnya itu. Apa mereka bersaudara? Tidak mungkin, Lintang menggeleng pelan. Ia sangat membutuhkan banyak referensi tentang kerajaan Arunika. Dan terlebih sosok Nagara yang masih menghantuinya.

Nagara. Namanya saja sudah membuatnya frustrasi dan ketakutan. Bukan salahnya jika seseorang merasa berdebaran sekaligus penasaran ketika mendengar sifat sadisnya dari orang lain? Lintang contohnya. Gadis itu menghembuskan napas berat, tak sengaja matanya menangkap sosok mahluk berukuran sangat besar dan tinggi, memiliki sayap, cakar yang runcing, taring, ekor, dan tubuh bersisik di balik kepulan asap dan kabut gelap di antara rimbun pepohonan di belakang rumah sepuluh meter di samping kanan Lintang berdiri. Lintang mengerjap, berusaha mempertajam penglihatannya.

"Ayo masuk."

Sial. Batin Lintang mengutuk Garda saat setelah membuka pintu besar berukiran burung phoenix yang entah dari mana muncul di hadapan mereka berdiri. Rimbun tumbuhan seolah menepi memberi celah tanpa menggunakan teknologi canggih. Melipat dengan sendirinya. Sungguh menakjubkan. Lintang berseru kagum, lupa dengan mahluk besar yang barusaja ia lihat sebelumnya. Tanpa basa-basi ia langsung memasuki pintu tersebut tanpa memedulikan Garda yang kini sedang kembali menutup pintu tersebut. Nuansa berwarna merah mulai menyambutnya hangat. Ruangan Professor Samudera.

Lintang menghela napas lelah, sebelum akhirnya tersadar bahwa dirinya sudah berada di dalam ruangan yang menurutnya jarak dan letaknya cukup jauh dari pasar.

"Tadi itu pintu apa? Jangan-jangan, pintu--"

"Ini pintu jalur menuju ruangan Professor Samudera. Kita tidak perlu melewati beberapa penjaga gerbang di depan sekolah sana."

Lintang menaikan sebelah alis, tertawa mengejek. "Kamu capek, ya? Makanya pake jalan pintas?"

Garda berlalu lelah, mengabaikan Lintang untuk segera menyimpan barang-barang Lintang di atas kursi panjang terdekat. Berbeda dengan ruangan pertama Lintang mendatangi Professor Samudera, kali ini mereka sedang berada di ruang santai milik Professor Samudera Bulan. Terdapat beberapa kursi panjang, meja, gelas tertata rapi, tungku api, tidak sepengap ruangan tadi pagi. Tidak ada semburan api burung phoenix, hanya ukiran, patung, dan lukisan burung phoenix yang dapat dilihat.

Lintang berjalan lunglai, menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi empuk dan hangat milik Professor Samudera Bulan. Tak segan-segan ia mengangkat ke dua kakinya ke atas kursi dengan gerakan santai, seperti di rumah sendiri. Ia menguap, tidak mempedulikan Garda yang sedari tadi melihatnya sambil menggeleng jengah.

Daripada pusing memikirkan gadis itu, ia lebih memilih berjalan menuju ruangan kerja Professor Samudera Bulan yang terletak di samping kanan ruangan tersebut. Namun langkahnya terhenti, jantungnya hampir terasa jatuh ketika telinganya mendengar suara dalam dan serak khas milik seseorang. Seseorang yang menggebrak meja Professor Samudera tanpa sopan santun. Orang yang sedari tadi ia bicarakan dengan Lintang.

"Nagara, tenanglah, akan aku usahakan agar setiap anak baru mendapat identitas yang sangat akurat. Tapi untuk anak itu--"

"DIAM DAN DENGARKAN AKU, DASAR SAMPAH!"

Terdengar teriakan Nagara disertai geraman marah di balik pintu. Garda menelan ludah, melirik ke arah Lintang yang sudah tertidur lelap di atas kursi panjang dengan posisi membelakanginya. Aman. Garda menghela napas, berusaha mencuri dengar apa yang diributkan Nagara pada Professor Samudera Bulan.

Professor Samudera Bulan berdeham, berusaha menenangkan Nagara yang kini menarik kerah jubah hijau pria tua itu. Nagara mendesis, jubah merahnya dengan bulu elang tebal di sekeliling bagian leher tudungnya menjuntai menutupi sebagian meja yang sedang diinjaknya oleh sebelah kaki.

Nagara, pria berambut putih acak itu seketika tertawa sadis di balik topeng berukiran naga menyeramkannya itu, dengan sekali ayunan tangan munculah sebilah pedang besar ke arah leher Professor Samudera di hadapannya. Ia melompat menaiki meja kerja pria berkumis itu sambil menekan mata pedang di genggamanya pada kulit leher pria tua di hadapannya. Matanya yang berwarna merah mengkilat telak membuat siapapun takut jika melihatnya.

"Kalau sampai identitas anak itu masih belum ditemukan, aku sendiri yang akan mencari tahu siapa dia sebenarnya." Nagara berbisik dengan suara dalamnya yang serak. Suaranya benar-benar mempunyai ciri khas tersendiri. Kepalanya mendekat, berbisik tepat di telinga pria tua itu, "Rahasiakan ini dengan si keparat Garda. Kau beritahu ini, aku bunuh semua keluargamu. Itu hukuman tak tertulis dan mutlak. Kau ingat itu, Pak Tua."

Nagara menjauh, menatap tajam pria berkumis itu hingga menguarkan berbagai aura intimidasi penuh di dalam ruangan. Termasuk Garda yang tidak terlalu mendengar percakapan Nagara beberapa detik lalu. Sebelah tangan Nagara mengayun pelan, seketika pedang berukuran besar itu lenyap menghilang dari tangannya. Berganti dengan percikan api meletup-letup kecil di telapak tangannya.

Professor Samudera Bulan menghela napas lega mengetahui pemimpinnya itu sudah dalam keadaan netral. Namun masih tetap menyeramkan. "Secepatnya. Tenang saja, Naga, aku tidak akan mengecewakanmu. Kau tidak usah cemas. Dia bukan siapa-siapa. Hanya murid yang tak tahu aturan. Murid biasa."

"Dor!"

Nagara kembali tertawa bengis. Mengulurkan tangannya yang mengeluarkan percikan api itu membentuk pistol ke arah pintu di mana Garda bersembunyi mencuri dengar percakapannya. Mendengarnya Garda menelan ludah cemas.

"Aku tak butuh usaha sampah tak berguna. Aku tak butuh pengkhianat. Terserah kau, Pak Tua, aku tunggu laporannya di ruanganku malam ini."

"Siap Naga." Professor Samudera Bulan menjawab pelan. Memaklumi sikap Nagara yang selalu meledak-ledak dan temperamental terhadap sesuatu. Matanya melihat Nagara berjalan meninggalkan ruangannya dengan santai, namun sebelum tangannya menyentuh daun pintu berukiran burung phoenix, ia menoleh ke arah pintu dimana Garda berada di balik pintu tersebut. Matanya yang berwarna merah menyala menatap dingin pintu itu.

"Katakan pada Garda. Aku menunggunya di ruanganku sekarang."

Professor Samudera Bulan menggangguk, menatap kepergian Nagara dari ruangannya yang membuatnya tiba-tiba merasakan jantungan dan lelah secara bersamaan. Bukan karena takut, tapi memang Nagara memiliki aura yang sangat berbeda dari anak-anak lain seusianya. Pria itu menggeleng frustrasi, memijat pelipisnya pelan ketika harus dihadapkan tugas dari Nagara yang semena-mena dan mengancamnya secara mutlak.

Sementara di balik pintu Garda ikut mengembuskan napas lega mengetahui Nagara sudah pergi meninggalkan ruangan kerja Professor Samudera. Ia berbalik, melihat Lintang yang kini tertidur dengan posisi menghadap ke arahnya. Ia mendengus pelan, mengetuk lantas membuka pintu kerja Professor Samudera Bulan meninggalkan Lintang yang tengah tertidur lelap.

"Permisi, Professor, maaf aku datang lewat jalan pintas. Aku takut berbagai kemungkinan datang jika aku sampai lewat pintu gerbang depan sekolah."

Professor Samudera yang semula pusing memikirkan kemunculan dan tugas Nagara kembali dibuat terkejut dengan kedatangan Garda di balik pintu ruangan santai miliknya. Sudah tidak aneh lagi, Professor Samudera hanya memberitahu mantra ruangannya pada beberapa orang penting yang dipercayainya. Seperti Garda dan Nagara.

"Cari mati. Beruntung kau datang setelah singa pergi. Garda.. Garda.. Mana gadis itu? Sudah belanjanya?"

Garda mengangguk, "Sudah. Dia sedang tidur di kursi. Mungkin dia lelah."

"Nagara menyuruhmu secepatnya datang ke ruangannya. Bagaimana ceritanya kamu lalai menemani Lintang di jalan? Nagara sampai brutal ingin mencari tahu semua anak dari daerah perbatasan. Rahasiakan ini, anggap saja kau tidak tahu dari Nagara."

Garda terdiam. Dugaannya tidak pernah salah. Nagara tidak akan tinggal diam jika tahu ada salah satu murid berjubah merah berkeliaran sampai di luar sekolah, apalagi di daerah pasar. Tidak salah lagi, kemungkinan besar Nagara sudah mengetahui kejadiannya ketika berusaha mengejar Lintang sampai hampir menabrak kereta kencana miliknya. Biasanya, Nagara jarang sekali menggunakan pengawal dan kereta kencana jika bukan untuk masalah bisnis di daerah Arunika lain.

Bukan waktu yang tepat, batinnya merutuki.

"Jawab pertanyaanku, Garda. Kenapa kau bisa membiarkan gadis itu sampai menimbulkan masalah dengan Nagara?"

Garda terdiam, kembali mengingat alasan Lintang kabur dalam tugas belanjanya. "Dia melihat Ratu Swastamita dan kembali mengejarnya. Halusinasi. Mungkin Lintang terkena jebakan Violette."

"Pantas saja. Hei, gadis itu." Professor Samudera berdecak pelan, "Ya sudah, cepat temui Nagara."

"Aku pergi." Garda pamit berjalan menuju pintu keluar ruangan tersebut hendak menemui Nagara. Namun sebelum membuka pintu tersebut, ia kembali menoleh pada Professor Samudera, "Aku sudah memberitahu Lintang soal meninggalnya Prabu dan Sri Arunika."

Professor Samudera Bulan mendengus, melihat kepergian Garda meninggalkan ruangannya dengan satu tanggung jawab besar. Melindungi satu anak gadis yang kini tertidur di atas kursi panjang santai miliknya serasa menjaga berlian dan permata emas yang sangat berbahaya jika seorang penjahat tahu keberadaannya. Ia berdecak lelah, menidurkan kepalanya di atas meja malas. Tak sanggup menerima kedatangan gadis seperti Lintang yang justru membuat semuanya rumit dan tak terkendali.

"Dasar Nala. Untung saja aku manusia baik." Professor Samudera mengeluh pelan, menelungsupkan wajahnya pada tumpukan kertas di atas meja lelah.

*

Ruangan berornamen naga mulai mendominasi penglihatan mata Garda ketika memasuki ruangan sang pemimpin. Raja muda Arunika. Dimulai daun pilar dinding, pintu, daun pintu, patung, serta lukisan beserta dinding ruangan dengan warna merah mendominasi. Sama seperti ruangan Professor Samudera Bulan sebelumnya. Namun warna merah yang dipakai Nagara merupakan warna merah darah.

Memasuki ruangan kerja Sang Raja Arunika pikiran Garda mulai dipenuhi berbagai kemungkinan pertanyaan yang akan diajukan Nagara beberapa menit ke depan. Ia mendengus pelan, menyadari kelalaiannya dalam menjaga gadis berjubah merah itu. Matanya melirik tajam mencari keberadaan pemuda bertopeng bengis itu. Ternyata tidak ada. Hanya meja kerjanya saja yang penuh dengan kertas dan buku yang berserakan.

"Selama ini aku tugaskan kau untuk serius dalam penjagaan sekolah. Bukannya sibuk dalam tugas bedebah lain."

Garda terdiam. Mendengar suara ciri khas Nagara yang kini berjalan dari arah belakangnya berdiri. Suara serak penuh geraman dalam. Ia mencoba berpikir, namun kemunculan Nagara tepat di hadapannya mulai mengacaukan susunan pilihan jawaban yang sudah ia rencakan sedari tadi.

"KENAPA KAU DIAM SAJA, HAH! DENGARKAN AKU, PRAJURIT SIALAN! RAJAMU ADALAH ORANG YANG BERDIRI DI DEPANMU! Anehnya, mengapa kamu menerima perintah orang lain selain pemimpinmu!"

Garda hanya bisa diam menatap dingin teriakan Nagara di hadapannya. Menurutnya, kemarahan Nagara masih dalam keadaan netral, belum dengan kekuatannya dan ancaman mematikan.

"Berita darurat, Adipati. Aku tidak bisa diam saja jika melihat murid berjubah merah berlari keluar wilayah sekolah dan terus mengejar merpati peliharaannya ke arah danau angsa di dekat hutan."

Mendengar alasan Garda sontak Nagara mendengus, "Lalu mengapa harus kau yang mengejar gadis sialan itu? Bukan penjaga lain?"

"Kejadian darurat."

Nagara berdecih, "Dasar tak berguna. Lain kali, aku tugaskan kau untuk tetap ikut perintahku. Ancaman runtuhnya dinasti kepemimpinanku adalah sikap kau yang tak bisa sepenuhnya mengabdi pada Arunika."

Pemuda bertopeng itu berbalik, berjalan mundur meninggalkan Garda yang masih berdiri mematung bingung. Tidak biasanya Nagara bersikap netral seperti ini jika bersangkutan dengan gadis berjubah merah. Tak berselang lama matanya membulat melihat Nagara sedang menulis sesuatu dalam secarik kertas. Sontak Garda terkejut bukan main melihat Nagara akan menjatuhkan hukuman mati seperti biasanya.

"Nagara, aku mohon, jangan lakukan tindakan bodoh itu--"

"MENURUTMU AKU SEDANG MENULIS APA, HAH!" Nagara kembali berteriak, membanting surat yang barusaja ditulisnya. "Berikan surat itu pada gadis sialan itu. Untuk kali ini, gadis itu beruntung. Jika merpatinya lepas lagi, aku bunuh semua keluarganya!"

Garda tertegun. Terkejut. Tidak biasanya Nagara sangat bersikap netral untuk seharian ini itidak seperti sebelumnya. Mata sayu Garda melirik secarik surat di atas meja Nagara, lantas meraihnya dan memasukannya ke dalam saku jubah militernya. Ia menduga, bukan serta merta Raja liciknya itu melakukan tindakan biasa saja terhadap kejadian terhadap kedatangan gadis berjubah merah itu. Selintas kelegaan menyelimuti hatinya, menyadari Lintang tidak sampai mempunyai urusan yang berlanjut dengan Nagara.

"Hei, Garda."

Mendengar namanya disebut, sontak Garda dengan tegas menghadap Nagara yang sedang membuka topeng berukiran naga sambil membelakanginya. Matanya merah menyala menatap bingkai foto berukuran besar ke dua orang tuanya. Senyuman bengis terukir di bibirnya.

"Siapa pun gadis itu. Aku akan membunuhnya."

________

Maapin kalau kemunculan Naga emang kurang greget, maafkan author yang sibuk kerja dan kuliah. Hiks :'v
Vote komentar disarankan 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro