Kedatangan Ratu Barat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 6. Kedatangan Ratu Barat

Mata seindah swargaloka itu terbuka perlahan ketika siluet cahaya matahari senja berusaha memasuki gorden ruangan santai Professor Samudera Bulan. Lintang menguap, meregangkan tubuhnya perlahan. Dengan gerakan malas ia bangun dari kursi panjang berwarna merah itu bersama jubah merahnya yang sudah acak-acak an. Sesekali ia mengerjap, berusaha menyadarkan diri ketika melihat sosok bertudung jingga berdiri tak jauh darinya. Sontak ia mengernyit, sebelum akhirnya membulatkan mata ketika sosok itu berbalik menghadap ke arahnya.

Gadis bertudung jingga itu tersenyum adun, dihiasi mahakarya kecantikan terpancar dari setiap tata letak wajahnya. Sangat cantik. Baru kali ini Lintang melihat seluruh rupa wajah gadis yang biasanya tertutup setengah tudung jingga miliknya. Ukiran jilatan bunga api berwarna hitam melingkar di setiap ujung kain jubah jingga bertudung itu. Di tengahnya terdapat gambar seperti angsa merah yang tengah meliuk dalam lingkaran api. Lengkap dengan gaun bangsawan mengembang di balik jubahnya yang menjuntai mengenai lantai marmer. Bibirnya yang semerah anggur serta mata beriris hijau setajam burung elang itu telak membuat Lintang tak bisa berkata apa-apa. Mahluk sempurna. Tak sadar, ia mulai menuruni kursi dan berjalan menghampiri gadis bertudung jingga itu.

"Selama ini, gue nyariin lo dan lo seenaknya bawa gue kesini, bitch! Maksud lo apa, hah! Gawai terbaru gue rusak parah gara-gara lo!"

Lintang, dengan gaya remaja labil khas asal kotanya dulu datang memarahi Violette sambil menunjuk-nunjuk gadis di depannya dengan nada sok berkuasa. Seperti yang dilakukannya ketika teman sekelasnya mendekati Sabda di sekolahnya dulu. Bedanya, Lintang harus mendongak, menyadari gadis di depannya lebih tinggi darinya. Sebenarnya, Lintang sudah tidak kuat lagi menghadapi dunia yang ditempatinya. Pikirannya hanya fokus menemukan Violette dan memintanya untuk mengembalikannya ke dunianya dulu.

Violette menunduk, seketika matanya yang tajam telak membuat Lintang terdiam. "Aku datang menjemputmu, karena aku sangat membutuhkanmu."

Mendengar alasan Violette yang tidak masuk akal, refleks Lintang berdecih. Membalas menatapnya tak kalah sengit. "Gak mau tahu, pokoknya gue minta balik ke dunia gue! Lo tahu, seberapa ribet gue harus pake bahasa baku di sini!"

"Apa kau bisa berhenti bicara?"

"Gue gak butuh dunia gak jelas di sini. Rumah gue di kota Jakarta, Indonesia. Bukan Kerajaan sampah kayak gini. Gue pengen pulang dan gak mau ketemu dunia ini lagi!"

"Jaga ucapanmu, Lintang. Kau tidak sedang berada di tempat yang aman saat ini." Violette menginterupsi dengan mata melirik ke seluruh ruangan, lantas berdecak jengkel, "Sialan. Seharusnya aku membawamu langsung menuju Kerajaan Swastamita. Bukan di tempat si bedebah tengik Nagara."

"Aku ingin kembali ke duniaku, Violette sialan." Lintang berbisik penuh peringatan. Menunjuk Violette tanpa rasa takut sekalipun. "Jika tidak, aku akan berusaha mendekati Nagara agar Kerajaan Swastamita semakin hancur dan tidak tertulis dalam sejarah dunia. Hingga rakyatpun refleks meludah jika hanya mendengar namamu."

"Menurutmu semudah itu kau bisa menaklukan akar sebuah pohon besar dan tinggi, Lintang?" Violette menggeleng jengah, rambutnya yang bersinar seperti emas dilapisi ikatan bunga mawar itu tersentak pelan. "Justru itu. Kau harus membantuku terlebih dulu sebelum aku kembali mengembalikanmu ke duniamu dulu. Ini hanya masalah memberi dan menerima. Namun saling menguntungkan satu sama lain. Dan jangan lupa, pakai bahasa yang benar. Di sini bukan duniamu, yang terlalu mengedepankan modernitas hingga melenyapkan bahasa yang seharusnya dipakai."

"Persetan!" Lintang mendengus kesal, amarahnya seolah meledak hanya dengan bertemu dengan Violette.

"Terserah apapun yang kau katakan dengan bahasamu itu, kita akan bekerja sama dengan keuntungan masing-masing." Violette berbalik, kembali menatap Lintang. Tanpa peringatan sebelah tangannya mulai mengeluarkan anak panah dan melemparkannya tepat menancap pada lukisan berukuran besar di ruangan serba merah itu. Lukisan naga api besar berwarna merah dengan pedang yang dijilati api menusuknya tepat di atas kepala naga tersebut.

Melihat aksi tak terduga gadis di depannya, Lintang sedikit mengernyit tak mengerti, "Maksud lo apa ya, pake acara panah segala?"

"Raja Prabu sudah menyapu habis bala tentara kerajaanku hanya karena pedang pusaka Gunung Bakti yang meletus puluhan tahun lalu. Tidak hanya itu, ia memanfaatkan kekuatan naga yang barusaja bangkit dari dalam tubuh anaknya, Naga. Berlanjut saat Nala telah menghabisi Prabu dan Sri Arunika, Naga, si bedebah tengik itu datang sebagai Raja pengganti. Ia memangkas habis rute bisnis dan kerjasama terhadap pasokan makanan antara Kerajaan Swastamita dengan rakyat daerah perbatasan. Belum habis dia mengobarkan bendera kemenangan rakyat timur, dia datang dan memenggal kepala Ayahku tepat di hadapan Ibu dan mataku. Melihatnya aku semakin yakin, bukan semboyan darah dibalas darah yang mengudara di langit peperangan, tapi darah menimpa darah. Sampai saat ini rakyatku mulai kelaparan dan tidak mendapatkan jatah kain hanya untuk membuat pakaian. Kadang aku sering mengambil kesempatan pergi ke duniamu untuk sekedar mencari pakaian dan makanan. Bahkan seringkali mengeluarkan ratusan koin emas demi membeli apa yang dibutuhkan kerajaanku. Menyamar menjadi rakyat dunia fana sepertimu. Kami tersiksa akan rasa rakus kerajaan keparat ini."

Violette menatap tajam lukisan yang sudah tertancap panah dengan sempurna. Dendam kesumat begitu merongrong menyesakkan dadanya saat ingatannya kembali ditarik pada masa-masa dimana gadis itu barusaja merayakan hari ulang tahunnya yang ke sepuluh. Ketika Raja Swastamita sedang berjalan hendak menemuinya dengan hadiah senjata panah di genggaman, seketika sebilah pedang berukiran naga api menebas kepala Sang Raja Swastamita hingga semburat percikan darah kental mengenai wajah anak gadisnya. Matanya mulai berkaca, menangis meraung berlari mengikuti genangan darah yang mengucur deras dari kepala sang ayah. Melihat kejadian itu membuat sang Ratu Swastamita murka. Antara emosi dan marah, ia berusaha menyerang aksi nekad anak dari musuh bebuyutannya itu. Namun sial, anak itu begitu lihai melarikan diri dengan memberi luka batin yang begitu perih. Dengan langkah lunglai, Ratu Swastamita ikut menghampiri gadis kecilnya yang sibuk meraung sambil memeluk penggalan kepala ayahnya.

Ingatan itu bak putaran piring hitam yang terus menerus menyerang relung hati Violette saat ini. Matanya yang indah terpejam lemas, memikirkan bagaimana caranya agar dendam itu bisa terbalas dengan kembalinya kejayaan Kerajaan Swastamita yang sedang dipimpinnya. Hatinya telah mati untuk berpikir rasional saat melihat rakyatnya mulai mengalami kemiskinan dan kelaparan akibat pemutusan hubungan yang dilakukan Nagara dengan wewenang yang dibuatnya. Semua pihak terlalu takut pada Nagara. Untuk itu, atas dasar kemasyhuran kesejahteraan rakyat Swastamita, ia mulai mengaktifkan kekuatan shadow parrarel yang menjadi kekuatan turun temurun silsilah keluarga Swastamita. Membuka dunia fana. Dan menarik Nala, si pengacau dunia masuk ke dalamnya.

Saat ini, tepat di depan matanya sendiri, Lintang berdiri menginginkan kembali dunianya. Masa indah yang telah ia renggut dengan semena-mena. Perlahan ia mulai berusaha menghilangkan rasa kesal dan marahnya pada Violette. Rasa simpatinya mulai timbul, lantas berdeham. Merasa canggung.

"Okey.. Violette, eh, maksud gue.. Eh, maksud saya, Yang Mulia Ratu Swastamita. Jika ceritamu benar, lantas apa bukti yang harus menjadi tanggung jawabmu menarikku ke dalam dunia ini."

Violette menatap Lintang sayu, "Percayalah padaku, Lintang. Selama kau mengikuti apa yang kuperintahkan, kau akan selamat dari Nagara."

Lintang berdecak, "Untuk apa aku percaya padamu, heh? Kita baru kenal, dan kamu belum membuktikan kerajaanmu yang sedang tumbang itu."

"Bisakah sekali saja kau tidak mempersulit keadaanmu sendiri saat ini? Lintang, dengarkan aku baik-baik. Aku akan membuktikan semuanya. Aku akan membawamu kesana. Secepatnya."
Violette mendengus, "Kita akan buat kesepakatan. Dengan imbalan, kau akan pulang dengan selamat jika kau bisa menjalankan semua yang kuperintahkan di balik topengmu sebagai murid asal perbatasan."

Lintang mendelik, "Bodo amat."

"Taklukan akar dari semua pohon lantas berenanglah layaknya angsa suci. Berlindunglah di balik langit dan hancurkanlah rumahmu tanpa iba. Mengertilah. Kau hanya butuh berpikir, Lintang. Beri aku keserakahanmu, amarahmu, dendam kesumatmu lewat permintaanku tadi. Jayalah Barat. Maka kau akan kembali dengan utuh dan selamat."

Lintang terdiam. Berusaha mengingat dan mencerna permintaan Violette yang sangat tidak ia mengerti. Yang ia tahu hanya berenang dan angsa suci. Hanya itu.

"Gue gak ngerti sumpah." Lintang tertawa sinis, "Kalau gue gak bisa?"

"Aku akan menghantuimu lebih dari apa yang sudah kau alami selama ini. Memberimu ilusi, memainkanmu, dan menghancurkanmu sebagai Nala. Sungguh, aku adalah pengikutmu, Nala. Kau Angsaku. Aku tak butuh seekor Naga tak berotak, melainkan aku butuh keadilan hanya lewat dirimu. Nala. Aku membutuhkanmu." Violette mengangkat sebelah tangan, "Bersumpahlah demi dirimu dan Kejayaan Kerajaan Barat."

Lintang yang merasa sedikit tertekan serta ambisinya keluar dari dunia itu ikut mengangkat tangan ragu. "Gu-gue--"

"Bersumpahlah."

Dalam sekejap Lintang merasakan telapak tangannya yang terangkat tesayat belati dengan paksa. Ia mengaduh, darah segar mengalir bersamaan dengan ringisan yang keluar dari mulutnya. Violette ikut melakukan hal yang sama, menarik dan menggenggam tangan Lintang lantas memejamkan mata. Darah kedua gadis itu bercampur di antara sumpah dan kesepakatan yang akan mereka sepakati.

"Aku, Putri Kerajaan Barat. Violette Cendana Swastamita dan Nala, Lintang Asmara, telah bersumpah akan menepati perjanjian dimana Nala akan membantu semua yang Putri Barat inginkan. Juga sebaliknya. Kami bersumpah."

Siluet cahaya jingga memancar dari kedua tangan yang tengah menyatu dengan darah dari keduanya. Darah dan luka sayatan mereka melebur menjadi percikan cahaya dan lenyap ke udara. Mereka telah menjalani sumpah sakral di bumi Arunika.

Lintang mengerjap, melihat telapak tangannya bersih dari luka dan darah yang barusaja keluar deras. Tak berbekas. Hilang. Ia menelan ludah. Melirik Violette yang mulai menarik genggaman tangannya sambil menunduk, berjalan melewati Lintang yang masih membeku tidak mengerti.

"Tunggu! Hei, kapan kau akan datang lagi? Tunggu!" Lintang menggeleng tidak mengerti lantas berlari menghampiri Violette. Sesaat ia mengingat percakapannya dengan Garda lalu. "Ada hubungan apa kau dengan Garda! Dia mengetahuimu!"

"Cukup rahasiakan sumpah sakral kita ini, Lintang. Sekali Penghkhianat tetap khianat. Ingat, jangan sampai kau beritahu siapapun termasuk orang yang kau cintai." Violette berdeham, "Soal Garda, hanya masa lalu yang sangat tidak penting. Aku temui kau nanti, bahkan mengganggumu sekalipun jika kau masih menggantungkan permintaanku. Sampai jumpa lagi."

Lintang mengernyit, melihat tubuh gadis bertudung jingga itu melebur menjadi kupu-kupu berwarna kuning bercorak hitam. Gadis itu pun lenyap, menyisakan rasa penasaran yang sangat tinggi mengenai penawaran kerja sama dengannya. Apalagi mengenai hubungan Garda dengan Violette sebelumnya.

Lintang menutup wajah menggunakan kedua tangannya. "Jangan-jangan mantan dia. Gawat. Kalah telak gue."

Pintu yang sedari tadi tertutup terbuka perlahan. Lintang sontak melongok melihat Garda barusaja datang dengan membawa beberapa amplop melewatinya menuju meja ruang santai tersebut. Lintang berdecak, ketidakpedulian terhadap keberadaan dirinya memang tidak wajar. Bahkan hanya jarak satu meterpun, gadis itu tidak mendapat salam atau sapa dari pemuda tampan itu.

"Duduklah, Lintang. Aku sudah membuat rekayasa riwayat hidupmu bersama Professor Samudera Bulan."

Mendengar ucapan datar Garda, Lintang berdecak, lantas duduk di samping Garda. Memperhatikan seluruh berkas amplop dengan ukiran nama dirinya. LINTANG ASMARA.

"Apa ini?"

"Itu berkas rekayasa milikmu di dunia ini. Kau sangat perlu memilikinya." Garda mengangsurkan berkas amplop itu ke tangan Lintang. "Jaga baik-baik. Dengar, baca dengan teliti, hafal, dan ingat. Bila orang lain bertanya soal dirimu, jawab dengan tenang dan biasa saja. Mengerti?"

Lintang berdecak, membuka amplop itu perlahan, lantas membaca salah satu lembar daftar riwayat hidup baru miliknya.

"Nama, Lintang Asmara Flora. Lahir di Tanjung Perbatasan Arunika." Lintang mengernyit, "tempat tanggal lahir juga mengarang?"

Garda mengangguk.

Lintang berdecak jengkel, "Kenapa tidak bertanya padaku dulu sebelum membuat ini, Garda sayang?"

"Aku tidak punya waktu lagi untuk membuat alasan kuat menghadapi pertanyaan Naga tentangmu."

Mendengar jawaban Garda barusaja Lintang kembali menghela napas pelan. "Marga asal, Kerajaan Arunika. Ayah, Kanta Asmara. Eh, tumben bener," Lintang bergumam pelan, "Ibu, Fanny Asmara. Status, belum menikah."

Garda mengernyit ketika Lintang seperti enggan membaca bagian status pernikahan. "Kenapa?"

"Padahal, tulis saja begini; status; menikah."

"Dengan siapa?"

"Denganmu." Lintang menutup amplop tersebut kasar, "Sudah lah. Nanti aku hafalkan. Sekarang aku harus masuk kelas mana?"

"Kau tertidur dan waktu belajarmu tersita beberapa jam. Ini sudah sore. Sekarang waktunya untuk--"

"Aku lapar, Garda. Makan dimana ya?"

Garda terdiam. Merasakan kepala Lintang barusaja bersandar di bahunya sambil mengusap perut. Aksi seperti ini memang jarang sekali untuknya, apalagi dengan seorang gadis yang sangat berbahaya seperti Lintang.

Lintang melengos panjang, "Apa di sini ada makanan? Makanan gratis setiap harinya, Garda?"

"Tidak ada. Semuanya harus bayar, walau tanpa pajak pemerintah."

Lintang meringis, "Kerajaan jahat."

Garda berdecak pelan, "Bukannya setiap harinya di dalam kamar asramamu selalu ada makanan dari Bu Helena? Setiap pagi, sore dan malam?"

Lintang menggeleng polos. Dia benar-benar tidak memperhatikan detail ruang kamarnya pagi ini. Ia terlalu sibuk mengerjakan aktivitas pagi dengan cepat.

"Jangan-jangan kau belum makan sampai sekarang?!"

Mengetahui itu Garda terkejut, menoleh ke arah Lintang hingga si pemilik kepala yang tengah bersandar terjatuh pada sofa. Refleks Lintang mengaduh, kembali menggeleng. Matanya kini melihat ekspresi Garda yang begitu terlihat khawatir padanya. "Be-belum."

"Kita makan."

Melihat kombinasi antara ajakan makan Garda dan senyuman manis pemuda itu sontak Lintang merasa terharu. Hatinya bersorak ria sebelum pertanyaan lain mengiang di kepalanya.

"Gratis, kan?"

"Kau sudah menjadi murid di sini, Lintang Asmara Flora. Kau berhak menjalani hidup di sini sekarang. Gunakan statusmu dengan baik."

"Yey! Akhirnya.. Gue legal juga hidup di sini!"

Lintang melompat girang hingga tak menyadari Garda mengaduh pelan ketika kakinya terinjak dengan sempurna. Bahkan ia pun lupa akan kejadian pertemuannya dengan Violette beberapa menit lalu hanya karena mendapat jatah makan gratis.

***

Setelah keluar dari zona tempat belajar seperti beberapa bangunan berbentuk candi dan lapangan rumput yang luas, akhirnya Lintang bisa melihat tempat menarik yang lain. Ia berhenti saat melihat pintu gerbang terbuka luas di hadapannya. Di atasnya terdapat tulisan Selera. Namun ia mengindahkannya sebelum kembali terdiam ketika melihat tempat yang akan dikunjunginya.

"Keren."

Lintang mengerjap kagum, menyapu pandangannya ketika matanya tertuju pada jembatan kayu melingkar di atas danau dan di atas pohon-pohon besar. Hampir seperti kamar asrama, namun di sini lebih ramai dan berbeda. Beberapa gerai makanan berjejer dan melingkari danau yang di setiap gerainya terdapat meja makan bundar dan tatanan kursi yang sangat rapi dan menyenangkan. Lampion berwarna-warni begitu bergelantungan membuat nuansa di malam hari semakin indah. Namun ketika di sore hari seperti ini yang terlihat hanya siluet matahari terbenam dengan tenangnya suara gemericik danau. Sementara di setiap jembatan terdapat jalan menuju gerai yang berjejer di beberapa bagian dahan pohon. Entah seberapa besar dan tingginya pohon itu, Lintang tidak bisa membayangkannya. Betapa luas tempat ini, pikirnya. Di sana semua siswa digratiskan. Mereka bebas makan sepuasnya jika sudah sah menjadi siswa. Tudung dan topi yang selalu mereka kenakan tidak berlaku di sini. Mereka bebas berekspresi memperlihatkan rambut indah mereka. Ada yang berambut pirang, coklat, kuning, biru, ungu, bahkan semua warna yang menurut Lintang jarang pun ada. Wilayah bebas untuk siswa setelah terkekang aturan selama di tempat pembelajaran.

Lintang yang masih terpana akan tempat itu tanpa sadar berjalan mendahului Garda di sampingnya. Kakinya berjalan perlahan menikmati pemandangan menuju gerai bawah, gerai makanan yang berada tepat di atas danau dengan panorama matahari terbenam begitu terlihat menakjubkan. Melihatnya Garda berdecak, menyusul gadis itu dengan langkah cepat. Namun saat hendak menyusul Lintang, ia diserbu beberapa siswa perempuan yang silih berganti mengajaknya makan bersama. Bahkan kerusuhan gadis-gadis itu membuat Lintang tersadar dan menoleh, menyadari Garda yang ditinggal olehnya. Mendadak ia dibuat risi dan kesal. Selama itu Lintang diharuskan menyingkir beberapa kali karena Garda terus saja mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Entah itu pedagang, guru, dan siswa perempuan. Lintang merasa sangat jengkel ketika Garda membalas setiap sapaan mereka dengan senyuman manisnya. Bahkan ada yang sengaja menempelkan dadanya yang cukup besar di balik jubah hijau mudanya pada tangan Garda. Namun Garda hanya menanggapinya dengan senyuman dan peringatan lembut. Semuanya terlihat gila, pikir Lintang kesal bukan main. Sesekali Lintang mendelikan matanya tajam pada semua perempuan yang begitu tergila-gila pada Garda.

Jangan deketin gebetan gue! Apa mata lo semua pengen gue colok, heh! Menjauh sana! Mungkin itulah ucapan yang bisa dirasakan semua anak perempuan ketika melihat tatapan tajam Lintang pada mereka. Namun percuma, mereka tak mempan hanya karena melihat tatapan tajam dan gerutuan gadis daerah perbatasan di samping mereka. Menyadari Lintang memperhatikannya, Garda mulai menjauhi gadis-gadis itu dengan sopan.

"Populer." Lintang mendengus, enggan melirik Garda yang kini berjalan di sampingnya. Sedetik kemudian ia berdecak, menyadari tinggi Lintang hanya sebatas dadanya saja.

Mendengar gerutuan Lintang, refleks Garda menoleh, menyetarakan wajahnya dengan Lintang. "Kenapa?"

Menyadari itu Lintang semakin kesal, mendorong kepala Garda menjauh. Ia merasa seperti di ejek habis-habisan jika seseorang menganggapnya pendek dan kecil hanya dengan tindakan. "Tidak usah menghina."

Garda menghentikan langkahnya, "Aku tidak pernah bermaksud seperti itu, Lintang. Aku memang seperti ini di luaran sana. Jadi, mengertilah. Mereka hanya mengagumi dari luar. Apalagi anak-anak perempuan. Mereka jarang sekali bisa bertemu denganku."

"Dasar cowok harem!" Lintang mengumpat sebal. Kesal sekali melihat Garda menebar senyum dengan mudahnya dibandingkan saat bersama dengannya.

"Kenapa kau marah?"

Lintang terdiam. Menghentikan langkahnya lantas berbalik menatap Garda. Menatapnya tajam. "Apa perbedaanku dengan mereka, heh? Apa aku adalah ancaman nyawamu sampai kau terus bersikap dingin padaku di banding mereka? Setidaknya, kau anggap aku apa?"

Mendengar penjelasan gadis itu Garda melengos panjang mengindahkannya berjalan menuju salah satu gerai danau paling pojok, tanpa melirik Lintang sedikitpun.

"Cowok berengsek!" Merasa diacuhkan, Lintang menyusul Garda dengan hentakan kaki kesal, lantas duduk dengan posisi bersebrangan. Sengaja, agar ia bisa melihat raut ekspresi muka pemuda itu. Namun masih biasa saja. Tidak ada yang berubah. Dingin dan datar.

Seorang wanita bertudung hijau tua dengan kacamata kotak muncul di balik pintu gerai. Perawakannya tinggi dan tegas. Wajahnya begitu menyeramkan. Lintang yang didekatinya merasa sedikit takut sebelum Garda menginterupsi dengan perkenalan.

"Dia Lintang. Murid yang aku lindungi saat ini."

Mendengar perkenalan Garda yang aneh refleks Lintang melotot. Berbalik dengan raut menyeramkan sebelumnya, wanita itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, menepuk pundak gadis itu sehingga hilang aura menyeramkan yang ia tunjukan sebelumnya.

"Kau, kau gadis perbatasan, anak Flora."

Lintang mengernyit kaget. Namun melihat wajah terlewat santainya Garda, ia tahu bahwa informasinya sudah mulai menyebar. Entah wanita ini sekutu atau bukan, Lintang harus tetap berhati-hati menyampaikan informasi.

Melihat ekspresi Lintang yang sedikit lucu, antara gelisah dan takut itu ia menghentikan tawanya, "Kau lapar?"

Lintang mengangguk malu, "I-iya. Bolehkah aku makan di sini? Gratis?"

Wanita itu mengangkat alis terkejut, lantas kembali tertawa, menepuk meja keras, "Kau belum diberitahu Si Anak Es ini, heh?!"

Suasana semakin ramai, namun hanya gerai ini yang Lintang rasa terlihat sepi tanpa pengunjung. Entahlah, yang ia pikirkan hanya makan dan gratis.

"Sudah aku beritahu, Ambar. Buatkan aku cumi bakar dengan rempah biasa." Melihat Lintang terlihat aneh dengan sikap wanita bernam Ambar itu akhirnya ia menepuk tangan Lintang pelan, "Kau mau makan apa?"

Lintang berkedip pelan, "Bakso."

Garda dan Ambar saling menatap satu sama lain. "Bakso?"

"Duh, lupa gue." Ia mengumpat pelan, menepuk keningnya gemas. "Samakan saja denganmu, Garda."

"Oke, cumi bakar dengan rempah wasabi. Minumnya, Garda?" tanya Ambar menulis pesanan menggunakan tinta dan ujung pena bulu angsa.

"Teh hijau hangat." Garda melirik Lintang, "Kau?"

"Bubble, atau Milkshake."

Gardan serta Ambar kembali bertatapan bingung. Lintang berdecak, merasa kesal dan serba salah hidup di dunia lain seperti ini.

"Jus stoberi ada, gak?"

"Jus? Nona Flora maafkan aku yang tidak tahu soal minuman dan makanan pesananmu." Jawab Ambar sedikit cengiran kikuk.

"Samakan saja denganku."

Mendengar saran Garda, Ambar langsung memasuki gerai dengan semangat. Lintang yang merasa kesal dengan sikap menyebalkan Garda hanya bisa cemberut menangkup dagunya dengan sebelah tangan di atas meja tidak karuan. Matanya melirik malas ketika mendengar suara alat musik yang sangat tidak aneh baginya. Biola. Suara itu berasal dari belakang Lintang berada. Ia menoleh, melihat gadis cantik berambut ungu kemerahan sedang memainkan biola dengan serius. Seperti sedang berlatih agar tiap paranadanya teralun dengan sempurna. Rasa rindunya terhadap dunianya dulu mulai kembali terasa, namun percuma. Ia hanya bisa duduk terdiam ditemani Garda yang tengah ikut melihat gadis berambut ungu itu.

"Bete." gerutu Lintang kesal sebelum seseorang mulai duduk di sampingnya. Ternyata Garda berpindah tempat. Menyadari itu Lintang semakin merasa kesal, ia membuang pandangannya ke arah lain.

Melihat sikap Lintang, Garda lantas mendekat. Namun Lintang memilih menjauh. "Kau tahu kenapa gerai ini sepi peminat, Lintang?"

"Sumpah demi apapun gue gak nanya." Lintang menjawab sebal.

"Kau masih marah padaku?"

Lintang malas menjawab, merasakan Garda mulai semakin mendekatinya. Jarak di antara kedua bahu mereka sudah tiada. Seperti sengatan aneh, Lintang berusaha mengacuhkannya.

"Gerai Ambar ini dibangun khusus untukmu, Lintang. Lebih tepatnya, hanya keluarga Professor Samudera Bulan yang boleh makan di tempat ini. Namun, nyatanya hanya kau dan aku pelanggan gerai ini. Gerai ini tertutup, tidak terbuka seperti gerai lain. Professor Samudera Bulan sudah mengurus semuanya agar kau aman. Hakuna matata. Jangan khawatir. Saat aku sibuk nanti, kau bebas kemari tanpa halangan orang lain. Mungkin, itu terserah pilihanmu, mau makan dimana saja terserah. Namun, keadaan siswa perbatasan di tempat ini sedikit berbeda. Mereka tidak jarang mendapat penindasan dan kesenjangan sosial yang tidak biasa. Tapi, jika kau kuat, terserah. Saat kau tidak ada teman, kau aman di sini. Aku pastikan semua makanan Ambar lengkap, sehat dan aman."

Lintang terdiam. Merasa semua perhatian yang dijelaskannya membuat hatinya nyaman dan tenang. Ia juga tidak pernah berpikir ke depannya seperti Garda hanya untuk dirinya sendiri. Mencari teman, misalnya. Ia pun tak tahu. Mana teman yang bisa ia percaya dan tidak mencurigainya sebagai Nala. Target operasi Kerajaan Arunika.

"Carilah teman yang bisa kau percaya selama aku tidak ada nanti, Lintang. Hiduplah dengan damai. Tanpa ada pengkhianatan. Jangan sampai sepertiku."

Mendengar perkataan Garda, rasanya ia mulai mengingat kejadian pertemuan dan perjanjiannya dengan Violette di ruang Professor Samudera Bulan. Berbagai kemungkinan akan ia lalui demi mendapatakan kebebasan pulang ke dunianya dahulu. Berkhianat hanya untuk kesenangan dirinya sendiri. Berkhianat hanya untuk keuntungannya sendiri. Namun semuanya telah menjadi sumpah, ia akan melakukannya seperti yang dikatakan Violette. Lintang menghela napas lelah, membalas tatapan Garda yang tak terbalaskan sedari tadi.

"Apa aku ancaman nyawamu, sampai kau dingin padaku dan serasa membedakanku dengan perempuan lain?"

Mendengar Lintang bersuara, refleks Garda menatap Lintang lekat. Kenapa aku menatap Lintang lebih dari yang dibutuhkan? Garda merutuki diri dalam hati.

Garda berbisik tepat di telinganya, "Bolehkah aku melindungimu dengan caraku sendiri, Nala?"

Lintang membeku di tempat. Cairan merah kental tiba-tiba keluar dari hidungnya.

_________

Update lagi, hehe.. Maaf lama dan maaf typo agak bertebaran. Vote komentarnya yuk buat Lintang yang lagi bete abis sama doi awokwowkwok..

Lintang: Sumpah demi apapun gue gak nanya, Thor.

Ampun dah sama anak labil kek dia :v

betewe kenapa dia mimisan? Apa karena Garda? Apa karena yang lain? 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro