Chapter 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ara merasakan seseorang menepuk-nepuk pipinya.

“Hei, bangunlah!”

Panggilan itu terdengar berulang-ulang, kembali diselingi dengan tepukkan di pipi.

“Hei, bangunlah!”

Lagi, kali ini terdengar lebih keras.

Ara mengerang lirih. Mencoba membuka mata, segera ia diserang rasa sakit di sekujur tubuh. Rasanya pegal, sakit, pening, ah, entahlah. Semua terasa bercampur jadi satu. Di kaki, di badan, di tangan, di kepala, di semuanya.

“Kau tak apa-apa?”

Ara kembali mencoba membuka mata demi untuk menatap seraut wajah kelelahan yang kini berada tepat di depan wajahnya. Lelaki yang tadi, yang ia temui ketika ...

“Oh, syukurlah. Akhirnya kau membuka mata.” Ia berujar lega seraya beranjak mengambil sesuatu dan selanjutnya Ara merasakan tetesan air segar pada bibirnya. Rupanya lelaki itu menyuapinya air dari botol kecil yang ia bawa.

Setelah merasakan kerongkongannya dilewati air, perlahan Ara merasakan tubuhnya sedikit bertenaga. Ia menggeliat pelan, lalu berusaha bangkit. Lelaki itu tak tinggal diam. Dengan cekatan ia membantu Ara duduk.

Ara menatapnya bingung. Lelaki itu meniup poninya sendiri dengan kesal.

“Jangan katakan kalau kau lupa dengan apa yang terjadi. Aku malas menjelaskannya. Jadi ingat-ingatlah sendiri,” ucapnya ketus.

“Aku ingat,” ucap Ara cepat, namun lirih.

“Syukurlah. Dan kau masih ingat namaku, kan?”

Ara kembali menatap lelaki di sampingnya dengan seksama.

“Zach,” jawabnya.

“Good.” Lelaki itu menjawab pendek seraya beringsut menjauhi Ara, kemudian menyandarkan punggungnya di dinding batu.

“Aku sudah memeriksa tubuhmu, dan bersyukurlah, tak ada yang patah. Hanya keningmu yang sedikit berdarah. Itupun sudah kuberi plester luka,” lelaki itu kembali berujar.

Dan seketika Ara mendelik.

“Memeriksa? Tubuhku?” Ia berucap tak percaya seraya meraba keningnya yang ternyata sudah tertutup plester. Zach hanya mengangkat bahu cuek.

“Aku harus melakukannya. Hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja. Tak lebih. Ah, sudahlah. Makanlah dulu buah-buahan itu agar kau segera punya tenaga dan kita bisa meninggalkan tempat ini.” Lelaki itu menunjuk ke arah setumpuk buah-buahan di samping Ara dengan dagunya. Gadis itu menatap tumpukkan buah di sampingnya dengan takjub.

“Kapan kau mendapatkan buah-buahan ini? Apa kau membawanya?”

“Aku mencarinya. Ketika kau tak sadarkan diri, aku berkeliling dan mencoba mencari buah liar.”

“Apa?” Ara kembali mendelik.
“Maksudmu, kau meninggalkanku ketika aku jatuh pingsan, sendirian? Bagaimana jika aku dimakan hewan buas?” Ia protes.

Zach terkekeh. “Intinya kan sekarang kau masih utuh dan hidup. Selesai,” jawabnya. “Makanlah.”

Ara menggigit bibirnya kesal. Namun setelah dipikir-pikir lagi, tak ada gunanya ia bersikap seperti itu. Toh pemuda di hadapannya ini telah menyelamatkan nyawanya, merawat lukanya, dan bahkan mencarikan makanan untuknya.

“Siapa namamu?”

“Ara.” Ara menjawab tanpa perlu berpikir lama.

“Dan ceritakan padaku, kenapa kau bisa berbaur dengan vampir?”

Nah, untuk pertanyaan yang itu, Ara perlu waktu sejenak untuk menjawabnya.

“Keberatan menjawab?” Lelaki itu mendesak setelah menyadari Ara sibuk mengunyah makanan di mulutnya seolah tak berniat mengeluarkan kata-kata.

“Well, kau punya hak untuk tak menjawab pertanyaanku. Tapi jika ingin menjadi partner yang baik, maka kau harus bicara jujur tentang siapa dirimu, dan kenapa kau bisa bersama makhluk pengisap darah itu? Umurmu pasti sekitar 18 tahun, masih sekolah, jadi kenapa kau bisa terlibat dalam hal-hal seperti ini?”

Lagi-lagi Ara tak segera tak menjawab.

“Kenapa kita akan menjadi partner?” tanyanya kemudian.

“Seperti yang kau lihat sekarang? Kita jatuh ke dasar jurang dengan kedalaman puluhan meter. Kita terisolir, dan belum tentu bisa keluar dari sini. Kita perlu waktu untuk memulihkan tenaga, memahami situasi, memahami medan, lalu keluar dari sini. Jadi ...” Zach menelengkan kepalanya. “Untuk beberapa waktu yang akan datang, kita akan menghabiskan waktu bersama-sama. Itu sama artinya bahwa, kita akan menjadi partner yang saling membantu. Dan untuk bisa menjadi partner yang baik, maka aku perlu tahu banyak hal tentang dirimu. Agar aku yakin bahwa kau bukan sekutu Vampir yang akan tiba-tiba mengumpankan aku pada mereka.” Kalimatnya terdengar seperti sebuah peringatan.

“Aku takkan mengumpankanmu pada Vampir.” Ara menjawab sengit, setelah menghabiskan 3 butir jambu.

Zach hanya mengangkat bahu.

Ara menatap sekelilingnya. Ia seperti tak mengenali hari. Pagi, siang, ataukah malam.
Suasana agak gelap, tapi tak tahu itu dikarenakan pergantian waktu menjelang senja, ataukah karena mereka memang berada di dasar lembah yang minim cahaya matahari.

“Bisakah kita bicara nanti. Aku pusing, aku butuh istirahat,” jawabnya.

Mulanya ia mengira Zach akan membentaknya, tapi ternyata lelaki itu malah mengangguk seraya menjawab ‘oke’.

“Istirahatlah. Kita bicara nanti.” Ia melepaskan jaketnya lalu menyodorkannya pada Ara.

“Pakailah, bajumu tipis. Kau pasti kedinginan,” ujarnya sopan.

Ara menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku tidak butuh jaket,” jawabnya.

“Kalau begitu, apa kau butuh diriku untuk menghangatkanmu.”

Ara melotot. “What!!” teriaknya.

Dan Zach kembali terkikik geli.

“Bercanda,” ucapnya.

Ara mendengus seraya menyambar jaket tersebut.

**

“Kau tahu tentang Nephilim?” Ara bertanya ragu ke arah Zach sembari merapatkan jaket.
Lelaki itu terdiam sesaat lalu mengangguk.

“Keturunan dari malaikat dan manusia kan?”

“Dari mana kau tahu?”

Zach terkekeh. “Aku sudah bertahun-tahun berkecimpung dengan dunia vampir. Jadi aku juga tahu tentang makhluk abadi lainnya,” jawabnya.

“Kalau Imp? Apa kau juga tahu?”

Lagi-lagi lelaki itu mengangguk.

“Keturunan manusia dan iblis.”

Ara ternganga. “Woa, kau hebat sekali,” desisnya tanpa sadar.

“Ada apa dengan mereka? Kenapa kau menanyakannya?” tanya Zach kemudian.

“Aku berteman dengan mereka.”

“Yang mana? Nephilim atau Imp?”

“Dua-duanya.” Jawaban Ara kembali membuat Zach terkesima.

“Serius?” desisnya. “Kau, manusia, berteman dengan Nephilim dan juga Imp?”

“Termasuk vampir yang beberapa waktu yang lalu kau temui. Kami juga berteman,” ucap Ara lagi, sedikit berbohong. Dan Zach kembali ternganga.

“Woa, Keren,” ucapnya tanpa sadar. Ara hanya meringis.

“Kalau begitu, ceritakan sebenarnya apa yang terjadi padamu, dengan para makhluk abadi itu. Kenapa kau bisa bersama mereka?”

Ara menyeringai. “Well, ceritanya panjang ...”

“Waktuku lebih dari cukup untuk mendengarkan semua dongengmu. Jadi, lakukanlah. Atau kita akan keluar dari sini sendiri-sendiri. Sudah kubilang, kan? Aku tak sudi punya partner abal-abal.”

Ara mendesah. “Oke, Oke,” jawabnya kesal.

Dan akhirnya, Ara menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Semuanya. Tentang para Nephilim yang tiba-tiba tinggal di samping rumahnya, tentang Harry, tentang pertempuran mereka dengan para malaikat, bahkan tentang vampir dan juga Imp yang bersamanya beberapa waktu yang lalu.

Ketika Zach bertanya padanya apakah ia terlibat kisah cinta terlarang dengan salah satu makhluk abadi hingga gadis itu rela melibatkan dirinya dengan bahaya, Ara menjawab tegas : iya.

“Aku jatuh cinta padanya. Perasaan itu datang begitu saja dan tak bisa kucegah. Dan sepertinya, aku rela melakukan apapun demi bisa bersamanya,” ucapnya.

Zach menatapnya dengan bimbang.

“Kau membuatku terkesima dengan kisahmu, Nona. Ini seperti dalam film-film. Tapi ...” Ia terdengar ragu.

“Mencintai makhluk abadi bukan ide yang bagus. Manusia menua, ringkih, dan akhirnya mati. Sementara mereka tidak. Belum lagi serentetan pertempuran yang mungkin tidak akan pernah ada habisnya. Saranku ...” Ia menatap Ara dengan seksama. “Kau harus mulai menata hatimu untuk mencoba melupakannya, lalu memulai hidup baru yang lebih ... alamiah,” ujarnya mantap.

“Aku tak bermaksud mencampuri urusanmu, sungguh. Tapi ini demi kebaikanmu.”

“Aku berencana menjadi vampir agar bisa sama-sama menjadi makhluk abadi,” jawab Ara putus asa.

Zach menggeleng.

“Kau pikir setelah menjadi vampir kau bisa bersama dengan Nephilim itu?” Ia menggeleng.
“Tidak semudah itu.” Lelaki itu memperbaiki posisi duduknya dan menatap gadis di depannya dengan seksama. “Ara ...” Ini untuk pertama kalinya ia memanggil namanya, dan dengan lembut pula.

“Menjadi vampir muda tidak mudah. Kau akan senantiasa lapar, haus, dan kau akan membunuh manusia dengan membabi buta, tanpa belas kasihan. Keinginan untuk mengisap darah tidak akan pernah bisa kau bendung. Dan jujur, aku ngeri membayangkan dirimu seperti itu,” ucapnya.

Ara balas menatap lelaki itu dengan bimbang.

“Apa semua vampir muda selalu seperti itu?”

Zach kembali mengangguk. “Mereka nyaris tak punya pengendalian diri. Mereka butuh ratusan tahun untuk bisa menjadi vampir dewasa, vampir yang bisa mengontrol dirinya sendiri. Ada kok beberapa vampir yang tidak lagi membunuh orang. Mereka makan dengan membeli darah dari Bank darah,” lanjutnya.

“Dan satu lagi yang pasti, jika kau menjadi vampir muda yang membunuh orang tanpa belas kasihan, maka kami, para Hunter akan memburumu dan tak segan-segan membunuhmu.”

Hening sesaat. Ara menarik napas panjang. Seolah butuh banyak energi untuk sekedar bernapas. Semilir angin menerbangkan beberapa untaian rambutnya yang berjuntain.

Zach tergoda untuk menyentuh untaian rambut tersebut. Dan tanpa ragu tangannya terulur lalu menyelipkan rambut-rambut itu ke belakang telinga Ara.

Keduanya berpandangan. Canggung dan bingung.

Zach berdehem lalu beringsut mundur dan kembali menyandarkan punggungnya di dinding batu.

“Kenapa kau bisa menjadi pemburu Vampir?” tanya Ara kemudian.

“Keturunan. Ini profesi turun temurun. Dan aku sekedar menjalankan tugasku.”

“Maksudmu, orang tuamu juga pemburu Vampir?”

Zach mengangguk. “Tepatnya, leluhurku,” jawabnya. “Mereka semua pemburu Vampir. Di siang hari, kami bekerja seperti orang pada umumnya. Dan di malam hari, tidak setiap malam, hanya malam-malam tertentu saja, kami berburu. Mencari Vampir yang berkeliaran yang membahayakan orang, lalu menghabisinya.”

“Siapa yang memberi perintah pada kalian untuk membasmi Vampir?” tanya Ara lagi.

Zach mengangkat bahu. “Entahlah. Aku hanya tahu bahwa beberapa Vampir berbahaya harus segera dimusnahkan. Begitu saja. Dan ...” Ia manggut-manggut. “Aku menikmati profesiku seperti ini. Walaupun terkadang nyawaku sendiri hampir melayang.” Kalimatnya enteng.

Kali ini Ara yang manggut-manggut. “Keren. Mulia sekali,” ujarnya.

“Oke, sudah siap untuk pergi?” Zach meraih busur silang di sisinya lalu mengutak-atiknya sekilas. Dan Ara mengangguk tanpa ragu. “Ya,” jawabnya.

Lelaki dihadapannya tersenyum lalu bangkit.
“Ayo.” Ia mengulurkan tangannya ke arah Ara. Gadis itu terdiam sesaat, tapi akhirnya ia menerima uluran tangan tersebut.

***

Sementara itu di rumah peristirahatan Jose, mereka terlihat gusar dan tak tenang. Berkali-kali Jose mondar-mandir mencoba untuk bisa berpikir jernih. Sementara Daniel dan Danny juga tampak tegang, sedangkan Roa mendampingi Bob yang turun tangan mengobati Hans.

Luka itu parah. Tapi Vampir mempunyai sistem penyembuhan diri yang cepat. Hanya dalam hitungan menit, luka pada vampir itu berangsur-angsur sembuh.

“Aku tak bisa membiarkan mereka sendirian di luar sana. Vernon entah ke mana, dan Ara juga. Ini berbahaya sekali,” desisnya. Tatapannya singgah ke arah saudara-saudaranya lalu ke arah Hans.

“Kau sudah bisa bergerak cepat?” Ia bertanya langsung. Hans mengangguk.

“Kalau begitu begini.” Jose bersedekap tegas. “Kita akan berpencar mencari keberadaan mereka,” lanjutnya. Danny dan Daniel berpandangan silih berganti, begitu pula dengan yang lainnya.

“June dan Hans, bisakah kalian membantuku?” Kali ini Jose menatap langsung ke arah dua vampir itu. Yang disebut namanya hanya saling menatap. Tapi akhirnya mereka mengangguk.

“Silahkan. Aku akan mencoba apapun sebisaku. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena kalian telah membantu merawat lukaku,” jawab Hans tegas.

Jose tersenyum. “Bagus,” desisnya lega.

“Setelah senja tiba, kita akan berpencar. Aku, Daniel, Danny dan Hans akan pergi mencari keberadaan Ara. Sementara Roa, Bob dan June, akan pergi mencari Vernon. Aku sengaja memisah Hans dan June karena hanya mereka yang mampu mendeteksi keberadaan Vernon dan Ara. Hans akan membantuku mencari Ara, dan June akan membantumu mencari Vernon.” Kalimat yang terakhir ia tujukan ke arah Roa. Perempuan berambut panjang itu mengangguk.

“Siapapun yang menemukan mereka terlebih dahulu, maka kita harus segera memberi kabar,” lanjut Jose lagi. Tatapannya tak beralih dari Roa seolah ini hanya pembicaraan diantara mereka berdua.

Ia memang sengaja membuat tim yang berbeda dengan Roa karena hanya mereka berdua yang mampu berkomunikasi jarak jauh melalui kekuatan pikiran. Sebenarnya Vernon juga bisa. Tapi dalam keadaan panik, sosok itu seolah sengaja membuat dirinya tak terdeteksi.

Jadi, jika Roa bisa menemukan Vernon terlebih dahulu, maka ia akan memberitahukannya pada Jose. Begitu pula sebaliknya.

“Baik,” jawab perempuan itu singkat.

Dan sesaat setelah senja tiba, para Nephilim itu bergerak mengambil senjata, lalu melesat keluar sesuai tim yang telah ditentukan, yang masing-masing didampingi dengan satu vampir.

**

Setapak demi setapak, Ara dan Zach berhasil keluar dari dasar lembah. Kedua manusia itu terkapar kelelahan sesaat setelah menginjakkan kakinya di tanah berbatu, dekat dengan lereng lain.

Ara segera ambruk. Napasnya naik turun. Ia sudah berjalan dari senja ke senja berikutnya. Dan sekarang kakinya serasa mau patah. Tubuhnya lelah luar biasa.

“Kau tak apa-apa?” Zach terbaring terlentang. Dadanya naik turun. Karena tak mendapat jawaban dari gadis yang terbaring di sisinya, ia bangkit dan beringsut ke arahnya.
Mata gadis itu setengah terpejam, ia terlihat kesulitan mengatur napas.

“Hei.” Zach menepuk pipinya dengan lembut. Ada nada khawatir pada nada suaranya.

“Kepalaku pusing,” akhirnya gadis itu menjawab lirih.

Zach menelan ludah. Pemuda itu bangkit, lalu dengan sisa tenaga yang masih ia miliki, ia mengangkat tubuh gadis mungil itu, menggendongnya sambil melangkah perlahan, membawanya ke tempat yang lebih nyaman.

Setelah menemukan tanah datar dekat pohon, ia menurunkan tubuh gadis itu dengan hati-hati.
“Kau mampu duduk?” Zach kembali bertanya. Ara mengangguk.
“Aku hanya merasa sedikit pusing karena lelah. Aku perlu waktu untuk memulihkan tenaga,” jawabnya.

Zach mengambil botol air minumnya yang masih tersisa sedikit lalu menyodorkannya ke arah Ara. Awalnya Ara menolak minum, tapi setelah dipaksa, akhirnya gadis itu bersedia minum beberapa teguk.

Zach meneguk sisa air, lalu ikut duduk di sisi Ara. Keduanya terdiam sesaat. Sibuk memulihkan tenaga.
“Firasatku mengatakan bahwa jalan raya tak jauh lagi,” lelaki itu memecah keheningan.

“Dari mana kau tahu?”

“Telingaku sudah terlatih. Aku bisa mendengar deru mobil dari puluhan kilometer. Jadi sudah bisa dipastikan, jalan raya tak jauh lagi.” Ia menatap Ara dengan yakin. “Aku tak ingin bermalam di hutan. Jadi, aku takkan menunggu sampai tenagamu pulih. Aku akan menggendongmu ke sana, ke jalan raya, kemudian mencari tumpangan, dan ... pulang,” lanjutnya lagi.

Ara tak menjawab.

“Ngomong-ngomong. Ke mana aku harus mengantarkanmu pulang?”

“Eh?” Ara terlihat bingung menjawab.

“Di mana kau tinggal? Aku akan mengantarkanmu ke sana dan memastikanmu selamat sampai rumah,” ujar Zach lagi.

Ara terdiam. Mendengar kata ‘rumah’ dan ‘pulang’, air matanya nyaris tumpah.

Rumah?

Pulang?

Kemana ia akan pergi?

Ia tak punya siapa-siapa. Satu-satunya alasan ia sampai bertahan hidup hingga saat ini adalah keberadaan Vernon.

Dan sekarang? Ia bahkan tak tahu pemuda itu ada di mana.

“Ara?”

Panggilan itu membuyarkan lamunan Ara. Gadis itu tergagap.

“Kau tak apa-apa?”

Ia menelan ludah. “Aku ...” kalimatnya tertahan ketika tiba-tiba Zach bangkit dan sikap tubuhnya terlihat waspada. Pemuda itu menatap sekeliling dengan was-was.

“Ada apa?”

“Ada yang datang,” ia berbisik lirih. “Dan aku mencium ... aroma vampir,” lanjutnya.

Ara ikut tersentak. Dengan tertatih ia ikut bangkit, dan secara naluriah ia berlindung di balik punggung Zach sembari menatap sekelilingnya dengan perasaan takut.

Dan akhirnya beberapa sosok itu muncul.
Beberapa pemuda jangkung dan ...

“Ara!?” Daniel yang pertama kali meneriakkan namanya.

Ara menyipitkan mata dan menatap sosok yang muncul dari kegelapan. Hingga akhirnya ia yakin, sosok yang muncul satu persatu itu adalah mereka!

Jose, Daniel, Danny dan ... Hans?

Melihat kedatangan Hans, Zach segera menarik senjata api dari pinggangnya dengan cekatan dan segera menodongkannya secara acak ke arah Hans dan juga para Nephilim. Keadaan sempat tegang, hingga akhirnya Ara-lah yang mencairkan suasana.

“Ah, aku senang bertemu dengan kalian.” Ara nyaris memekik karena girang. Ia menatap Zach dan mencoba menenangkannya.

“Mereka para Nephilim, mereka temanku,” ucapnya.

“Dia Vampir,” dan Zach kembali mengarahkan senjatanya tepat ke arah Hans.

“Iya, tapi dia ... juga temanku,” jawab Ara ragu seraya melirik ke arah Hans. Sementara Vampir itu hanya bersedekap angkuh.

Tetap dengan tatapan waspada, Zach menyarungkan kembali senjatanya.

Dan setelah itu Ara bergerak, menghambur ke arah Jose dan memeluknya secara bergantian termasuk Daniel beserta Danny.

“Oh, aku senang sekali bertemu dengan kalian. Kupikir aku takkan bertemu dengan kalian lagi.” Ia setengah meratap.

“Dan aku senang kau baik-baik saja. Kami sangat cemas ketika mendengar kau diculik,” sahut Danny sambil melirik ke arah Zach yang masih nampak bersitatap tegang dengan Hans.

Mendengar kalimat tersebut, Hunter itu memutar bola matanya kesal lalu menatap Danny.

“Aku tidak menculiknya. Aku justru berniat menyelamatkannya,” jawabnya jengkel.

“Dia benar.” Ara nimbrung. “Dia menyelamatkanku,” lanjutnya.
“Ngomong-ngomong, di mana Vernon?”

Tak ada jawaban sejenak.

“Dia sedang dalam perjalanan menyusul ke sini,” akhirnya Jose yang menjawab.

Daniel dan Danny melayangkan tatapan protes ke arahnya, mengira bahwa lelaki itu tengah membohongi Ara. Tapi akhirnya Jose kembali berkata, “Roa berhasil menemukannya. Aku sudah memberitahu dia posisi kita.”

Ara melangkah mendekati Zach dan menatapnya lembut.

“Terima kasih karena kau berusaha menyelamatkanku. Tapi percayalah, mereka ___” Ia menunjuk ke arah para Nephilim dan juga Hans, “Tidak berbahaya buatku. Mereka takkan menyakitiku. Jadi aku akan ikut pulang dengan mereka,” ucapnya.

Zach manggut-manggut. Sorot matanya menampakkan keberatan. Tapi akhirnya mulutnya berkata, “Oke.”

Dia baru saja ingin mengatakan sesuatu kembali ketika tiba-tiba atmosfir di sekitar mereka berubah.

Angin berhembus dengan kencang. Seolah siap meluluh lantakkan apa saja yang dilewati. Debu berterbangan. Pohon-pohon bergoyang dengan hebat, bahkan sempat menjatuhkan cabangnya yang patah.

Ara sempat menjerit panik sambil membungkukkan badannya. Dan Zach secara reflek merentangkan tangannya dan mendekap gadis itu dengan sikap protektif.

“Malaikat datang.” Jose mendesis waspada. Daniel dan Danny langsung bersikap siaga. Jose menatap balik ke arah mereka dengan ekspresi lelah.

Dan Ara sempat melihat raut muka pasrah dari para Nephilim tersebut.

Apa lagi?

Apa akan terjadi pertempuran lagi?

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro