Chapter 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Ah, syukurlah kita selamat.” Lelaki itu berujar lega sembari melepaskan tangannya dari lengan Ara.

Napasnya terengah setelah berlari beberapa kilo meter. Ara pun mengalami hal yang sama. Gadis itu terengah diselingi batuk-batuk kecil. Ia meletakkan tangannya di lutut sambil mengatur napas.

“Apa kau baik-baik saja?” Lelaki itu bertanya.

“Apa yang kau inginkan?” Ara mendongak dan menatap lelaki tersebut.

“Hah?” Lelaki itu balas menatap Ara dengan bingung. “Aku baru saja menyelamatkanmu dari Vampir, Nona,” jawabnya, agak kesal.

“Apa?” Kali ini Ara yang menatapnya bingung.
“Menyelamatkanku? Dari Vampir? Maksudmu, kau manusia?”

Lelaki itu mengernyitkan dahinya. Raut mukanya yang tampan terlihat lelah.
“Aku manusia? Kau juga manusia, kan?” Pertanyaannya terdengar bimbang.

“Aku manusia,” jawab Ara. “Siapa kau?”

“Namaku Zach. Aku Hunter, pemburu vampir. Aku mengikuti kalian sejak kalian masuk ke hutan ini. Dan syukurlah, aku bisa menyelamatkanmu. Suatu keajaiban kau masih selamat setelah beberapa saat bersama Vampir.”

Ara melongo. Ia menatap sosok itu dengan cermat. Seorang lelaki berpakaian serba hitam dilengkapi baju rompi, semacam baju rompi anti peluru yang biasa dipakai anggota kepolisian, lengkap dengan beberapa senjata api di pinggang kanannya.

Beberapa belati juga tampak tertata di kantong yang juga berada melingkar di pinggang. Sebuah pistol kaki terselip di kantong yang melekat di paha kanan dan kiri, sementara tangannya kokoh menggenggam sebuah busur silang.

“Kau ... menyelamatkanku dari Vampir?” Ara kembali berujar tak percaya hingga membuat pemuda di hadapannya heran.

“Tentu saja, aku berusaha menyelamatkanmu dari Vampir. Kau pikir aku tadi sedang apa? Bermain tembak-tembakkan?” desisnya kesal.

Ara menegakkan tubuhnya dan memutar bola matanya frustrasi.

“Tunggu, ada kesalahpahaman di sini. Ceritanya panjang hingga aku bisa bersama vampir-vampir itu. Tapi yang jelas, aku tidak butuh diselamatkan. Maksudku, aku tidak dalam bahaya dan kau tak seharusnya menyelamatkanku dari sana! Maksudku ...” Ara terlihat bingung mengatur kata-kata. Sementara pemuda Hunter di hadapannya kembali melongo.

“Apa otakmu korslet? Apa kau amnesia? Apa kepalamu terantuk sesuatu? Kau berada di sana bersama makhluk pengisap darah dan kau mengatakan situasimu tak berbahaya? Aku berusaha menyelamatkanmu, Nona. Dan seharusnya kau berterima kasih padaku.” Pemuda bernama Zach itu terdengar makin kesal.

Ara mengangkat tangannya gemas.

“Oke, maksudku, terima kasih karena kau berusaha menyelamatkanku. Tapi, kondisiku benar-benar sedang tidak dalam bahaya. Mereka tidak akan menghabisiku, mereka tidak akan ...” Ia mengacak-acak rambutnya sendiri. “Yang jelas aku tidak butuh diselamatkan, titik!” Gadis itu berteriak.
“Sekarang, bawa aku kembali ke sana!”

Rahang Zach ternganga.
“Apa kau gila?” desisnya tak percaya. “Kau manusia pertama yang menolak kuselamatkan dari Vampir.”

“Karena ceritanya panjang. Aku tak punya waktu untuk mendongeng bagaimana awalnya aku bisa bersama Vampir-vampir itu. Tapi yang jelas, BAWA AKU KEMBALI KE SANA!”

“Tidak.” Zach menjawab singkat dan jelas.

Ara menggigit bibirnya kesal.

“Oke, aku ke sana sendiri.” Gadis itu berbalik, melangkahkan kaki sekenanya. Menerobos lebatnya hutan. Ia tak ingat sama sekali jalan ketika ia dibawa kemari.

“Nona, apa kau demam? Apa kau lupa ingatan?” Lelaki itu berujar dari belakangnya. Ara tak menyangka bahwa Zach akan mengekorinya.

Ara tak menjawab. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan ocehan lelaki itu.

Ia masih berjalan sekenanya ketika tiba-tiba ia merasakan tanah yang ia pijak bergerak dan tubuhnya oleng. Gadis itu menjerit ketika tubuhnya yang mungil meluncur melewati lereng, menuju jurang yang ternganga di bawah sana.

Zach bergerak dengan gesit, menangkap lengan tangannya, berharap bisa menarik tubuhnya agar tidak terperosok lebih dalam. Alih-alih berniat membantu lagi, tubuhnya malah ikut terseret, dan kedua sosok manusia itu meluncur, terjatuh ke dalam jurang yang entah berapa meter dalamnya.

***

Vernon duduk diam di langkan jendela. Mereka sudah berada di rumah peristirahatan yang lain milik Jose. Sebuah rumah mungil dan sederhana berlantai dua di pinggir hutan, di dekat danau.

Sejak kedatangan mereka di rumah itu beberapa hari yang lalu, Vernon hanya menghabiskan waktunya berdiam diri. Jika tidak di kamar, terkadang di tempat favoritnya, langkan jendela.

Roa juga tak jauh berbeda, sejak kematian Kay, ia lebih sering mengurung diri di kamar. Tapi kali ini, ia ikut duduk termenung di sebuah sofa yang berada di dekat Vernon.

Sementara Danny dan Daniel hanya duduk-duduk di depan TV, entah apa yang mereka tonton. Dalam sepuluh detik, channel TV tersebut mereka ganti-ganti terus. Terlihat jelas bahwa mereka bosan setengah mati.

“Aku menemukan beberapa Nephilim yang lain.” Jose muncul dari tangga sambil membawa info tersebut.

Seketika sosok yang berada di ruangan itu menatap ke arahnya.

“Di mana?” Roa yang pertama kali bertanya.
“Di sebuah kawasan kecil di pinggir kota. Tidak banyak. Hanya beberapa saja. Tapi setidaknya kita berhasil menemukan mereka. Sisanya, kita bisa mencarinya pelan-pelan,” jawab Jose seraya bergerak dan duduk si samping Roa.

“Seperti yang kita bahas beberapa waktu yang lalu, kita sudah sama-sama muak diburu. Kita akan fokus untuk mencari Nephilim-Nephilim yang lain, dan setelah kita berkumpul, baru kita putuskan langkah apa yang akan kita ambil. Toh kita sama-sama tahu bahwa kekuatan kita lebih dari cukup untuk mengadakan peperangan dan melakukan pembalasan.” Lelaki itu terdengar geram.

“Aku sudah berusaha untuk berpikir bijak. Dan ini adalah pemikiran paling bijak yang bisa kulakukan,” ujarnya lagi.

Hening.
Semua terlihat menimbang.

“Aku bosan diburu. Tapi melakukan peperangan dengan malaikat? Entahlah, itu seperti bukan ide yang bagus. Kau tahu bahwa sejak dulu kita tak suka perselisihan dengan makhluk manapun. Jadi ... entahlah.” Vernon terdengar ragu.

“Lalu kau mau kita dibantai, dibunuh satu persatu?” Danny menyahut.

“Kalau mau jujur, iya. Aku bosan hidup. Sempat terpikir olehku untuk bertarung habis-habisan dengan mereka untuk yang terakhir kalinya, dan jika aku mati, selesai. Tak masalah. Toh aku lelah berlarian seperti ini,” jawab Vernon. Putus asa.

“Vernon, aku tahu kau patah hati. Tapi menyerah begitu saja itu bunuh diri namanya.” Daniel ikut bersuara.

“Aku setuju dengan Jose. Kita lakukan pembalasan.” Ia berucap mantap.

Mereka saling berpandangan.

“Aku juga sama dengan Vernon. Aku tak suka peperangan. Tapi jika ada kesempatan, ada satu malaikat yang ingin kubinasakan.” Roa bangkit. “Aku ingin mencari udara segar. Aku perlu berpikir.” Perempuan itu melangkah melewati Jose, lalu bergerak keluar dari rumah tersebut. Entah ke mana.

Keempat pemuda yang masih tertinggal di ruangan tersebut menarik napas berat. Tak terkecuali Vernon yang terlihat begitu tertekan dan ... tak hidup.

Jose menatapnya dengan iba.

“Vernon, aku tak paham seberapa parah luka di hatimu karena memutuskan untuk meninggalkan Ara. Tapi seperti yang sudah kuperingatkan sebelumnya, hubungan di antara kalian tidak akan berhasil. Kalian berbeda, kau tahu ‘kan apa yang kumaksudkan? Selain itu, jika kau nekat bersamanya, gadis itu hanya akan berada dalam bahaya,” ucap lelaki tersebut.

“Relakan dia, Vernon. Bob pasti sudah mengantarkan gadis itu kembali ke tempat asalnya. Aku sudah memintanya untuk mencarikan tempat tinggal yang layak, memberinya uang yang cukup, dan melanjutkan hidup. Jadi, lupakan dia,” lanjutnya lagi.

Vernon tak menjawab. Tatapan matanya asyik memperhatikan pemandangan dari balik jendela.

Melupakan Ara?

Itu hal tersulit yang pernah ia alami. Dan ia tak yakin bahwa ia akan sanggup melakukannya.

Gadis itu sudah mengisi setiap inchi dari tubuhnya, menghiasi setiap desah napasnya.

Setelah menjalani hidup selama ratusan tahun, pertama kalinya keinginan itu muncul: Ia ingin jadi manusia.

“Ada masalah.” Jose bangkit dengan tiba-tiba. Kontan saja Vernon, Daniel dan Danny ikut siaga.

“Ada apa?” Vernon turun dari langkan jendela.

“Siapkan senjata kalian. Roa berhadapan dengan malaikat.” Jose beranjak menyiapkan senjata-senjata mereka yang tersimpan rapi di laci meja.

Daniel dan Danny sempat mengumpat bersamaan sebelum akhirnya mengikuti perintah Jose.

***

Roa sudah terlibat pertarungan sengit dengan beberapa malaikat ketika mereka datang ke lokasi yang berada cukup jauh dari rumah peristirahatan. Beberapa malaikat sudah tergeletak terkena tebasan pedang Roa.

Tanpa menunggu lagi, Jose dan yang lainnya segera mengangkat senjata dan menerjang ke arah malaikat-malaikat itu.

“Dia bagianku.” Dengan dagunya, Roa memperingatkan seraya menunjuk ke arah malaikat berambut pirang, bermata teduh, dengan sayap berwarna silver keemasan yang mengembang dengan kokoh.

Kris.

Setelah sempat menebas kembali satu malaikat, ia melenggang perlahan ke arah sosok itu. Sosok yang tengah berdiri dengan tenang di samping pohon. Sosok yang tetap menatapnya dengan lembut, penuh cinta.

Bukannya Roa tak tahu bahwa Kris mencintainya. Ia tahu itu sejak pertama kali mereka bertemu. Sejak Kris batal untuk membunuhnya, lalu malah sering menguntitnya ke mana-mana, diam-diam, tanpa melakukan apapun padanya.

Hal yang aneh karena seharusnya malaikat memburu dirinya, berlomba-lomba menghabisinya.
Hal yang aneh pula ketika akhirnya mereka malah bertemu, mengobrol, dan bersahabat.

Ia dan Kris bahkan sempat dekat. Lelaki itu memperlakukannya dengan manis. Sampai akhirnya suatu hari ia menghilang begitu saja.

Meninggalkan Roa, tanpa mengatakan apapun.

Lalu Kay hadir dalam hidupnya.

Belakangan ia tahu bahwa Kay-lah yang telah menggantikan tugasnya. Sosok malaikat berhati lembut yang tadinya ditugaskan membunuh dirinya, tapi malah berakhir di pelukannya. Bahkan bersedia mengikuti dirinya, meninggalkan kaumnya.

Ingat akan sosok Kay yang telah tiada, rahang Roa terasa kaku. Amarah seakan siap meledak di kepalanya. Dan tanpa banyak bicara, Ia segera melesat dan menyerang Kris dengan membabi buta.

Ia tahu sosok itu salah satu malaikat tertinggi. Tapi ia tak gentar. Ia sudah bertekad, jika hari ini dia tak mati, maka sosok yang telah membunuh Kay itulah yang akan mati.

“Kali ini aku takkan ragu membunuhmu.” Roa mendesis, seraya kembali menyerang Kris.

Sementara malaikat itu hanya terus menghindar, tanpa melakukan perlawanan.

“Maafkan aku.” Ia berujar lirih. “Maafkan aku karena waktu itu aku pergi begitu saja. Maafkan aku karena aku menjadi pecundang,” ucap Kris.

“Jangan-mengatakan-apapun-lagi.” Roa berucap dengan gigi terkatup.

“Aku hanya ingin meminta maaf atas apa yang kulakukan padamu. Dan aku juga ingin meminta maaf atas apa yang kulakukan pada Kay.”

“Kenapa kau harus membunuhnya?!” Kali ini Roa berteriak. Kembali menyerang Kris dengan sebuah tebasan, tapi laki-laki itu hanya terus menghindar tanpa berusaha membalas.

“Aku hanya menjalankan tugas. Aku tak punya pilihan,” jawabnya.

“Kau bisa membuat pilihan. Bukankah waktu kau ditugaskan membunuhku? Kenyataannya kau malah tak melakukannya, kan? Kenapa kali ini kau tak membuat pilihan seperti itu lagi?!”

“Karena Kay mengkhianati kami. Dan itu hukumannya,” jawab Kris getir.

“Mencintai sesuatu tak pantas menerima hukuman.” Kali ini kalimat Roa terdengar seperti sebuah ratapan. Air matanya nyaris tumpah ketika mengingat kembali bagaimana Kay mati dalam pelukannya.

“Maafkan aku. Hanya itu yang bisa kulakukan. Dan ... hanya itu yang ingin kuucapkan padamu,” ucap Kris lagi.

Roa menatapnya dengan tajam. Dan ia kembali melesat, menyerang Kris, siap menancapkan pedanganya ke jantung lelaki tersebut.

Tapi seolah malaikat itu sengaja melakukannya, ia hanya berdiam diri ketika Roa menyerangnya. Dan tak ayal lagi, pedang itu menembus dadanya, keras.

Ia sempat meringis kesakitan, sebelum akhirnya ambruk, dengan lutut menghantam bumi terlebih dahulu.
Roa tercengang.

Ia mencabut pedang yang menusuk jantung Kris dan menatap lelaki itu dengan tak mengerti.

“Kenapa kau___”

Kris menatap Roa dengan lembut.

“Aku___” Napasnya tersengal. Ia memegang dadanya yang berlubang. “Aku hanya mencoba menebus kesalahanku padamu ... pada Kay.” Suaranya parau.
“Anggap saja ... anggap saja ini caraku menebusnya.” Kalimatnya nyaris tersendat.

Roa menelan ludah. Hatinya pilu. Ingin ia menebas kembali sosok itu dengan pedangnya. Alih-alih melakukan itu, ia malah menjatuhkannya ke tanah, lalu bergerak, berlutut di hadapan Kris kemudian memeluk sosok itu dengan perasaan hancur.

“Kenapa kita harus seperti ini, Kris?” Ia bertanya getir. “Kenapa ...?”

“Maafkan aku.” Kris juga menjawab dengan getir.

Dengan lembut ia berbisik di telinga Roa. “Kelak ... mungkin kau akan bertemu dengan Michael. Sang malaikat tertinggi. Dan ... jika kau bertemu dengannya. Larilah.” Ia tersengal.
“Kau bukan tandingannya. Kalian bukan tandingannya. Dia bisa membunuhmu, membunuh para Nephilim muda seperti kalian, hanya dalam sekejap mata. Karena itu ... larilah yang jauh. Jangan ... pernah berurusan dengannya. Jangan ___” Dan tubuh Kris terkulai, dalam pelukan Roa.

Dan ia tahu, malaikat itu sudah pergi.

Roa menelan ludah. Ia memeluk sosok itu dengan erat sebelum akhirnya sosok itu lenyap. Dan air matanya menitik.

“Kris...” Ia terisak.

***

“Jadi kita harus meninggalkan tempat ini lagi?” tanya Danny bingung, sesaat setelah mereka kembali ke rumah peristirahatan.

Jose hanya mengangguk singkat seraya kembali membereskan beberapa senjata yang masih tertinggal di rumah tersebut.

Vernon dan Roa juga melakukan hal yang sama. Merapikan beberapa senjata yang masih tertinggal dan membawa beberapa kebutuhan di tas ransel.

“Ke mana?” tanya Daniel.

“Mencari Nephilim yang lain,” jawabnya.

Daniel dan Danny sempat mendesah kesal. Tapi toh akhirnya ikut beres-beres.

Aksi beres-beres mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu terbuka dan Bob muncul dari sana. Tapi ia tak sendirian. Ada dua vampir di belakang mereka. June tampak memapah Hans yang terluka parah karena panah.
Panah khusus untuk membasmi Vampir.

“Jose, aku butuh obat-obatan yang kau bawa. Aku tak suka vampir, tapi sebagai dokter, aku tak bisa membiarkan dia mati di hadapanku. Meski aku ragu apakah obat yang kau bawa mampu memberikan efek penyembuhan padanya.”

Tanpa menyapa terlebih dahulu Bob langsung nyerocos dan meminta pada June untuk membaringkan Hans di kursi panjang yang ada di ruangan tersebut.

“Ada apa ini? Bagaimana kau bisa bersama Vampir? Kenapa ia terluka?” Daniel yang sadar terlebih dahulu dengan situasi di antara mereka.

Jose bergerak. “Oke, akan kuambilkan.” Dengan gesit ia membuka sebuah laci yang berada di ujung ruangan berisi obat-obatan lalu segera menyerahkannya pada Bob.

“Hanya itu yang kami punya. Entah mana yang bisa digunakan,” ucapnya.

“Ara?” Itu kata pertama yang muncul terlebih dahulu dari mulut Vernon ketika ia menyadari gadis itu tak bersama mereka.

Bob menatap para Nephilim itu secara bergantian, tanpa mampu segera menjawab.

Dan hati Vernon segera mencelos. Hati kecilnya segera tahu bahwa sesuatu telah terjadi padanya.

“APA YANG TERJADI PADANYA? DI MANA ARA?!” Ia mendekati Bob, meremas bahunya dan tampak kalap seketika.

Bob tampak sedikit bingung, namun akhirnya ia mampu menjawab.

“Dia begitu terpukul ketika mengetahui kau pergi. Begitu bertemu dengan para vampir ini___” Ia menunjuk ke arah June dan Hans. “Ia melakukan perjanjian pada mereka.”

“Perjanjian?” Para Nephilim nyaris bertanya bersamaan.

“Perjanjian apa?” Vernon terlihat tak sabar.

“Ara meminta pada Vampir agar membawa dirinya pada kalian. Dan sebagai imbalasannya, ia bersedia memberikan nyawanya. Ia bilang ia bosan jadi manusia. Lebih baik ia jadi Vampir, agar ia bisa ... bersamamu.” Bob menatap Vernon dengan ekspresi takut.

Vernon ternganga. Tak mengira bahwa Ara akan senekat itu.

“Lalu?” desaknya.

“Ketika dalam perjalanan kemari, tiba-tiba saja seseorang menyerang kami. Ia melukai Hans, nyaris membunuhku, lalu ___”

“LALU APA?!” Vernon kembali berteriak tak sabaran.

“Ia membawa Ara pergi.”

Para Nephilim tersentak. Terutama Vernon. Ia nyaris tak bisa bernapas lagi.

Sudah cukup ia menyaksikan gadis itu nyaris mati di hadapannya. Dan sekarang tiba-tiba saja ia harus mengetahui bahwa gadis itu hilang, entah dibawa oleh siapa.

“Siapa yang membawanya? Manusia? Malaikat? ATAU APA, HAH?!”

“Aku ... tidak tahu.”

Vernon menyentakkan bahu Bob, lalu melesat keluar dari rumah tersebut.

“Vernon, mau ke mana kau?” Jose yang pertama kali mengejarnya.

“Aku harus mencarinya, Jose. Aku harus menemukan Ara.”

“Jangan gegabah. Kita pikirkan dulu rencana selanjutnya. Kita tak tahu siapa yang membawanya. Jangan membabi buta seperti ini. Jangan sampai kita terpencar!” Jose menarik lengan Vernon.

“Aku tak bisa!” Pemuda itu menyentakkan tangannya dengan kasar.

“Aku tak bisa tenang sementara aku tak tahu bagaimana keadaan Ara!” Dan ia kembali melesat cepat, tanpa mengindahkan panggilan Jose.

Jose kembali berusaha mengejar, tapi sia-sia. Vernon bergerak cepat, meninggalkannya.

Dan Vernon tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: menemukan Ara secepatnya, bagaimanapun keadaannya.

Tiba-tiba penyesalan luar biasa menyelimuti benaknya. Kenapa ia harus meninggalkan gadis itu? Kenapa ia harus pergi begitu saja?

Ara bahkan rela membuat perjanjian dengan Vampir dan berniat menjadi makhluk abadi, demi dirinya?

Oh Tuhan ...

Vernon merasakan kedua matanya basah.

Dalam hati ia berujar mantap : Jika Ara mati, ia juga.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro