Chapter 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Tidak adakah cara agar aku bisa ke sana mencari tahu? Setidaknya jika memang ... para malaikat itu membunuh Nephilim, aku ... tahu kebenarannya.” Suara Ara nyaris tercekat. Tak putus asa ia mencoba mencari tahu, barangkali saja ada keajaiban yang bisa membawanya bertemu Vernon.

“Ke sana kemana maksudmu?” June yang bertanya heran.

“Ke langit, bertemu dengan para malaikat dan mencari tahu keberadaan Vernon dan yang lainnya,” jawab Ara lagi, mantap.

“Apa kau bercanda? manusia tidak akan bisa pergi ke langit semudah itu, bahkan bertemu dengan malaikat. Kau pikir langit tempat wisata?” Lagi-lagi Vampir itu terkekeh.

“Aku pernah dengar bahwa ada manusia yang pernah ke langit dan bertemu dengan malaikat.”
Sahutan Zach sukses menarik perhatian Ara, Hans dan juga June.

Mereka menatap langsung ke arah Hunter tampan tersebut.
Ara bangkit dengan segera lalu mendekatinya.

“Apa itu benar? Manusia bisa pergi ke sana?” desaknya.

“Tentu saja bisa. Tapi harus mati dulu.” Hans menyahut dengan nada sarkasme.

“Tidak.” Zach menggeleng sambil mengarahkan pandangannya ke arah Hans dan juga June.

“Aku pernah dengar bahwa ada salah satu leluhurku yang pernah pergi ke sana. Kakekku bilang, salah satu leluhurku pernah punya hubungan baik dengan malaikat. Mereka bersahabat. Dan terkadang, malaikat mengajaknya ke langit untuk berkunjung. Tapi ...”

“Tapi apa?” Ara tak sabar menunggu penjelasan berikutnya.

“Ada semacam ritual yang harus dilakukan agar manusia bisa melewati gerbang menuju dunia malaikat. Dan aku tak tahu caranya,” lanjutnya lagi.

Ara kembali terduduk dengan lemas. Setelah sempat merasa punya harapan untuk menemukan Vernon, kini ia harus kembali menghadapi kenyataan pahit. Tak ada yang tahu bagaimana caranya pergi ke langit.
Setelah dipikir-pikir, ini memang ide yang tak masuk akal. Bagaimana mungkin manusia bisa pergi ke langit untuk bertemu dengan malaikat?

Konyol.

“Ada seseorang yang mungkin bisa membantu kita mencari tahu tentang ritual itu. Besok akan kuantarkan kau padanya,” ucap Zach lagi.

Ara melebarkan matanya.
“Sungguh?” Ia nyaris tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
Dan kebahagiaan membuncah dari dalam dirinya ketika lelaki dengan senyum menawan itu mengangguk.

***

Ara menatap seorang remaja berumur sekitar 15 tahun di hadapannya. Remaja itu duduk santai di sebuah kursi di belakang meja. Terkesan cuek, tatapannya asyik ke arah buku yang terpampang di atas mejanya.
Ara berdiri di ambang pintu dengan bingung.

“Bukankah kau bilang kau akan membawaku menemui cenayang?” Gadis itu berbisik pada Zach.

“Dialah orang yang kumaksud.” Lelaki itu menjawab lirih.

Mata Ara mengerjap lalu balas menatap Zach.

“Kau bilang bocah itu cenayang? Apa kau bercanda?” Ia kembali berbisik di dekat telinga lelaki bermata indah di sampingnya.

“Kau belum melihat kemampuannya. Dia cenayag luar biasa yang mempunyai hubungan baik dengan semua makhluk abadi, termasuk malaikat. Ia punya kemampuan khusus untuk berkomunikasi dan bahkan pergi ke dunia yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk manusia biasa.” Zach membela diri.

Seakan tak terganggu dengan keributan kecil yang diciptakan oleh Zach dan Ara, bocah yang dipanggil cenayang itu tetap asyik membaca buku.

Zach bergerak, menarik tangan Ara lalu membawanya masuk ke ruang sempit yang menyerupai ruang baca, tempat remaja itu menghabiskan waktunya.

“Sam, maaf kalau malam-malam begini aku ke sini. Ada sesuatu yang harus ...”

“Aku tidak mau.” Remaja lelaki yang dipanggil Sam itu mendongak dan menjawab cepat.

“Aku tak mau melakukan ritual untuk membuka pintu langit. Aku tak mau melakukannya,” lanjutnya.

Ara ternganga.

“Kau tahu maksud kedatangan kami ke sini?” Ia bertanya. Sam mengangkat bahu.

“Tentu,” jawabnya pendek.

“Lalu kenapa kau menolak membantuku?” Ara tampak tak sabaran. Kali ini Sam mendongak dan menatap lurus ke mata Ara. Tatapan itu begitu mistis, syarat kekuatan yang tak terduga. Ara pernah menemui tatapan mata seperti itu. Milik Vernon.

“Pertama, ritual untuk membuka gerbang menuju langit tidak mudah. Harus ada malaikat yang melakukannya, membuka pintu gerbang tersebut. Tanpa malaikat, pintu gerbang itu takkan terbuka. Hanya mereka yang mampu menghubungkan langit dan dunia fana. Kedua, aku takkan tahu apa yang akan terjadi padamu kalau kau tetap ingin pergi ke sana. Jika kau sudah berada di sana, aku tak tahu cara mengembalikanmu ke sini,” jelasnya.
“Karena itu ...” Ia menarik napas panjang. “Lupakan saja keinginanmu untuk pergi ke sana.”

Ara menelan ludah.

“Aku tak peduli bisa kembali ke dunia atau tidak. Aku hanya ingin pergi ke sana, titik. Bahkan jika aku terjebak di sana selamanya, atau bahkan terjebak di neraka sekalipun, aku tak peduli!”

“Ara ___” Zach terdengar keberatan dengan ide Ara. Gadis itu menoleh ke arahnya dengan mata basah. Air matanya nyaris tumpah.

“Aku akan melakukan apapun, Zach. Apapun, demi bisa bertemu lagi dengan Vernon dan mengetahui keadaannya. Bahkan jika aku harus melemparkan diriku ke api neraka, akan kulakukan!” Kalimatnya putus asa.

Rahang Zach kaku. Tak kuasa membantah perkataan gadis mungil tersebut.
Dalam hati ia mengagumi nyali Ara. Tapi membayangkan bahwa gadis itu akan pergi ke tempat yang bahkan tak bisa dipastikan keamanannya, ia merasa tak rela.

“Tetap saja aku takkan mampu melakukannya. Harus ada malaikat yang membantuku, yang mendampingimu membuka pintu gerbang tersebut,” sahut Sam.

Pandangan Ara kembali pada remaja lelaki tersebut.

“Kecuali ...” Sam mengulur kalimat.

“Kecuali apa?” Ara dan Zach menyahut hampir bersamaan.

“Kecuali jika Nephilim yang bersamamu itu hidup.” Kalimat Sam dingin.

“Kenapa dengan Nephilim? Apa ia bisa membantu Ara pergi ke sana?” Zach kembali bertanya.

Ara terhenyak. “Karena Nephilim adalah keturunan malaikat, jadi ia mewarisi kekuatan yang sama dengannya, termasuk mampu membuka pintu menuju langit, ya, kan?” potongnya cepat.

Ekspresi Sam datar. Tapi perlahan ia mengangguk. “Betul,” jawabnya.
“Jika dia hidup, ia bisa membantumu ke sana.”

“Dia akan sembuh, dia akan hidup, dan dia akan membantuku ke sana,” ucap Ara tegas.

“Walaupun kemungkinan besar kau tak bisa kembali lagi ke dunia?”

“Aku tak peduli.” Suara Ara serak. “Bawa aku ke sana.”

Tegas. Tanpa perlu berpikir dua kali.

***

Ara menatap sesosok tubuh yang terbaring lemah sejak beberapa waktu yang lalu. Ia duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat, dan sesekali menyeka keningnya yang berkeringat.

“Kau harus hidup Danny,” bisiknya. “Hanya kau satu-satunya harapanku,” lanjutnya.
“Kau harus bisa membawaku ke sana, ke langit. Agar aku tahu pasti bagaimana nasib Vernon dan juga saudara-saudaramu yang lain. Kumohon, kau harus hidup,” desisnya lagi, berharap itu adalah doa yang mampu membuat keadaan Danny semakin membaik.

***

Doa itu terkabul.

Ara senang bukan main ketika akhirnya setelah sempat tak sadarkan diri selama beberapa hari, Danny akhirnya membuka mata. Perlu waktu yang cukup lama untuk membuat keadaan lelaki itu membaik.
Tapi ia dan juga Bob dengan telaten merawat luka-lukanya.

“Terima kasih, Ara,” ucap Danny tulus ketika pagi itu ia selesai sarapan, dengan disuapi Ara.
Ara yang duduk di sampingnya tersenyum. “Aku senang kau selamat,” jawabnya.

Danny terdiam sesaat.
Ia juga sudah mendengar cerita dari Ara tentang keinginannya untuk pergi ke langit, mencari tahu tentang keadaan Vernon dan yang lainnya. Awalnya ia menolak. Dalam artian tidak menolak membantu Ara. Tapi, ia ingin pergi ke sana sendirian.

Terlalu berbahaya bila Ara ikut bersamanya. Ia bahkan tidak bisa menjamin bahwa ia dan juga perempuan itu bisa kembali dengan selamat ke dunia.
Tapi, bukan Ara namanya jika tak keras kepala.

“Kita akan pergi bersama-sama, titik,” jawabnya waktu itu, tegas, tanpa basa basi.
“Jika kau pergi, aku juga. Jika aku tidak, maka kau juga tidak!”

"Ara ...," Danny memanggil lirih sembari menatap perempuan di depannya dengan lembut.
"Ayo kita ke langit." Ia membalas genggaman tangan Ara.
"Jika memang ini akan menjadi kesempatan kita yang terakhir untuk bisa bertemu dengan mereka, maka ayo kita lakukan bersama-sama. Tapi sebelum itu..."

Ara menunggu kalimat yang meluncur dari bibir Danny dengan heran.
"Aku tahu kau begitu mencintai Vernon. Kau mencintai dia dengan sepenuh hatimu. Begitupula sebaliknya, Vernon juga mencintaimu dengan tulus. Kalian begitu serasi." Lelaki itu menelan ludah. "Tapi ketahuilah, kau tidak hanya mencuri hati Vernon, tapi ... kau juga telah berhasil mencuri hati kami. Aku, dan saudaraku, Daniel. Kami juga jatuh cinta padamu."

Hening.

Ara tak mampu bergerak.
Terlalu syok untuk sekedar bereaksi.

"Cinta yang kami rasakan padamu begitu sederhana. Kami bahagia, jika kau bahagia. Tak masalah siapa yang kau pilih untuk memiliki seluruh hatimu. Tapi ..." Lagi-lagi kalimatnya terhenti sesaat.
"Kita akan pergi ke suatu tempat yang bahkan bisa menjadi tempat paling berbahaya untuk kita. Karena itu, jika hal buruk menimpaku, menimpa kita berdua, setidaknya kau tahu bahwa ... ada tiga Nephilim yang jatuh cinta padamu."

Ara menelan ludah. Masih tak mampu bereaksi dengan semua penuturan Danny. Kedua makhluk berbeda masa itu hanya mampu berpandangan, dalam diam.

***

Malam harinya, Ara sepakat melakukan ritual itu dengan Danny. Mereka ke tempat Sam sesuai kesepakatan. Bob tak berhenti sesenggukan, seolah ini akan menjadi saat terakhir ia bertemu dengan Ara.

"Aku begitu menyukaimu, Ara. Kita pasti akan menjadi teman yang cocok." Imp itu terus saja mencicit. Dan Ara hanya mampu menatapnya getir. Sungguh ia tak mampu menjanjikan apapun padanya.

Hal serupa juga dialami Zach. Pemuda tampan pemburu Vampir itu juga seolah tak rela dengan ide Ara untuk pergi ke langit bersama Danny.

"Padahal aku sudah hampir jatuh cinta padamu, Ara," ucapnya.

Eh?

Ara mendelik mendengar penuturan lelaki itu. Kenapa akhir-akhir ini banyak sekali yang mengaku jatuh cinta padanya? Desisnya.

"Karena itu kau harus kembali dengan selamat, Ara. Dengan atau tanpa para Nephilim itu. Jika kau kembali dengan selamat, aku janji aku akan benar-benar jatuh cinta padamu," ucap Zach lagi.

Ara mencibir. "Apa-apaan kau ini?" gumamnya sebal.

Zach meringis, menunjukkan deretan giginya yang rapi. Ketika Ara berbalik, kali ini tatapannya singgah pada June dan Hans.

Ara juga tak habis pikir, kenapa dua Vampir itu tetap rajin mengikutinya hingga sampai di sini. Seolah mereka adalah teman baik yang saling men-support satu sama lain. Seolah mereka juga ikut serta mengantarkan kepergiannya layaknya sahabat karib.

"Apa kalian juga akan mengatakan bahwa kalian jatuh cinta padaku?" sindir Ara.

Dua vampir itu hanya terkikik. "Kami lebih suka menyantapmu sebagai makan malam," ucap June.
"Lebih bagus lagi dalam keadaan tak memakai baju, pasti lezat sekali." Ucapan Hans terdengar menggoda.

Ara membelalak. "Sialan! Enyah kalian dari sini!" jeritnya.

Hans dan June kembali terkikik cuek. Deheman Sam menghentikan obrolan di antara mereka. "Sudah waktunya," ucapnya.

Ara melemparkan pandangannya ke arah Danny, dan lelaki itu balas menatapnya, dengan ekspresi yang tak mampu ia pahami.

Dan entah apa yang Sam lakukan pada Ara ketika ia merasa tubuhnya lemas, matanya berat, dan ia seperti tak mampu bergerak. Rasanya mengantuk. Kantuk yang tak dapat ia bendung sama sekali.

***

Ketika membuka mata, yang Ara temukan hanyalah semacam ruang kosong bernuansa putih yang begitu luas. Teramat luas. Bahkan nyaris tanpa batas. Dan ia juga tak tahu ia sedang berada di mana. Gadis itu berjingkat, dan ia menyadari bahwa ia sendirian. Danny tak ada.

"Danny!" Ia berteriak nyaring, menatap sekeliling dengan panik.
"Danny! Di mana kau?!" Ia kembali berteriak seraya berlarian ke sana kemari, berharap bisa menemukan sosok itu.

"Dia di tempat yang aman," dan suara itu terdengar berbarengan dengan munculnya sesosok malaikat berambut hitam legam dengan  sayap keemasan. Ara tahu siapa dia. Malaikat yang telah membawa Vernon dan saudara-saudaranya.

"Kau ...," gadis itu nyaris memekik.
Malaikat itu tersenyum dingin.

"Ya, perkenalkan namaku Michael. Aku malaikat yang bertugas di sini," ucapnya.

"Danny aman bersama rekanku yang lain. Kau tak perlu mengkhawatirkannya," ucapnya.

"Apa yang kau lakukan padanya?!" Ara berteriak. Michael terkekeh sinis.

"Sudah kubilang padamu dia aman. Tapi walaupun dia tak aman, toh itu bukan urusanmu, kan? Lagipula, kau yang seharusnya mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri, bukan Nephilim itu." Kata-katanya dingin. Syarat dengan intimidasi. Dan nyali Ara terasa ciut seketika.

"Kedatanganmu ke sini adalah sebuah kelancangan yang tak pantas ditolerir. Dan sudah sewajarnya kami membuat perhitungan denganmu." Tatapannya tajam hingga membuat Ara mundur beberapa langkah. Dan tiba-tiba saja gadis itu merasakan dadanya sesak. Sesuatu seakan menekan dan mencengkeram lehernya hingga ia kesulitan bernapas. Michael bahkan tidak menyentuh dirinya sedikitpun. Tapi walaupun begitu, tatapannya seakan mampu meremukkan tulang-tulangnya seketika.

Gadis itu meronta, lalu sempat merintih kesakitan.

"Harusnya aku langsung meremukkan kerongkonganmu atas keberanianmu datang ke sini, menemuiku, tanpa perintah dari malaikat manapun." Michael mendesis.

"Tapi aku masih berbaik hati dengan membiarkanmu hidup, asal kau bisa memberiku satu alasan masuk akal hingga kau berani datang kemari!"

"Cin... ta.... " Ara menjawab cepat dengan napas tersengal. Ia ambruk, berlutut, seraya memegang lehernya sendiri yang terasa sakit.

"Aku.mencintainya," lanjutnya.
"AKU MENCINTAI VERNON!" Dan akhirnya ia berteriak dengan sekuat tenaga.

Michael menatapnya nanar. Tapi toh akhirnya ia melepaskan siksaannya. Dengan kekuatan pikiran, ia berhenti mencengkeram leher Ara.

Gadis itu tersengal, lalu bernapas lega. "Coba ulangi kata-katamu tadi," Michael kembali berujar dingin. Ara menelan ludah, mengatur napas, lalu mulai berkata dengan mantap.

"Aku mencintainya, Nephilim itu. Vernon. Dan aku sanggup melakukan apapun demi dirinya," jawabnya.

"Tapi kau tahu 'kan kalau kalian berbeda?"

"Aku tahu. Tapi ..." Gadis itu menatap malaikat di hadapannya dengan tatapan memohon. "Bahkan jika aku hanya punya waktu bersamanya sebentar saja, walau harus bertukar nyawa, atau bahkan membusuk di neraka, akan kulakukan!" teriaknya.

"Wow." Michael menjawab pendek tanpa melepaskan pandangannya dari makhluk bumi yang tak berdaya di hadapannya.

"Katakan saja apa yang ingin kau lakukan padaku, maka aku akan menerimanya. Asal..." Air mata Ara nyaris tumpah. "Asal kau biarkan aku bertemu dengan Vernon dan memastikan bahwa ia baik-baik saja."

Michael tergelak.
"Kau pikir kau siapa berani mengatur malaikat, huh?!" Dia menyentakkan tangannya dan tanpa menyentuh kulit Ara, tubuh gadis itu terangkat lalu terhempas ke lantai.

Ara menjerit, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Perempuan itu mengerang. Namun sekian detik kemudian ia berusaha bangkit. Tertatih.

Merasa kagum dengan semangat juang gadis tersebut, tiba-tiba terbersit rencana lain di benak Michael.
"Oke, temuilah kekasihmu. Dan setelah itu, kita akan buat perhitungan." Dan dalam sekejab sosok itu menghilang.

Ara menatap sekelilingnya dengan bingung. Dan keterkejutannya kian bertambah ketika tiba-tiba - entah dari mana - ada sebuah pintu terbuka.

Lalu ... Sosok itu muncul dari sana.

Vernon!

Sosok lelaki bermata coklat itu terlihat bingung, namun sekian detik kemudian tatapan matanya beradu dengan manik mata milik Ara. Ia tersentak. Terlihat tak percaya dengan apa yang berada di hadapannya.

"Ara?" Ia mendesis lirih.

“Ara?!” Vernon kembali berujar tak percaya manakala melihat sosok Ara.

"Vernon?" Dan Ara kembali berusaha bangkit, tertatih. Dan tepat ketika ia nyaris kembali ambruk karena rasa sakit di sekujur tubuh, Vernon melesat dengan cepat ke arahnya, menangkap tubuhnya dan mendekapnya erat. Sekedar memastikan dirinya sendiri bahwa ia sedang tidak bermimpi. Bahwa sosok gadis mungil di hadapannya adalah benar-benar nyata.

"Ara?" Dan ia kembali memanggil, berulang-ulang.

“Apakah ini benar-benar kau?” Ia menelangkupkan tangannya di wajah Ara yang kecil. Air matanya tumpah. Sementara Ara hanya mengangguk.

“Dan apakah ini juga benar-benar kau, Vernon?” Ia balas mendesis lirih.

Vernon tertawa haru. Ia mengangguk, lalu kembali memeluk gadis tersebut.

“Kenapa kau bisa di sini? Kenapa Ara?”

Air mata Ara menitik.

“Danny masih hidup. Ia yang membantuku untuk datang kemari. Aku ... aku hanya ingin bertemu denganmu dan mengetahui keadaanmu.”

Keduanya kembali berpandangan.

“Tapi harusnya kau tahu bahwa tempat ini berbahaya untuk manusia seperti dirimu. Tak seharusnya kau datang ke sini.” Kali ini Vernon terdengar geram.

“Aku putus asa, Vernon.” Ara menjerit. Tangisnya pecah.

“Aku putus asa memikirkanmu. Kau dibawa pergi begitu tanpa bisa kuketahui di mana dan dalam keadaan yang bagaimana. Hanya ini cara yang terpikir olehku. Bahkan jika aku tak bisa kembali ke dunia lagi, aku tak keberatan. Asal aku bisa bertemu denganmu lagi.”

Kali ini air mata Vernon yang menitik.
Tangannya terulur lalu menyentuh wajah Ara dengan lembut.
“Aku baik-baik saja. Mereka takkan membunuhku,” jawabnya.

“Lalu? Kapan kau akan bebas?”

Vernon tak segera menjawab. Tatapannya lurus ke mata gadis cantik di depannya.
“Aku dan yang lainnya akan di sini selamanya.”

Kalimat itu membuat dada Ara sesak.
“Apa itu berarti kita takkan bisa bertemu lagi?”

Dan Vernon menggeleng dengan pilu.

Ara merasakan bahunya lemas. “Kalau begitu aku akan tetap di sini,” ucapnya mantap.

Lagi-lagi Vernon kembali menggeleng.
“Tempatmu bukan di sini, Ara. Ini bisa menjadi tempat yang berbahaya untukmu. Kau harus kembali ke dunia dan kau harus melanjutkan hidup.”

“Tidak mau.” Ara menggeleng cepat.
“Aku akan tetap di sini, bersamamu.”

“Ara ...” Lelaki itu memanggil lirih. Suaranya tercekat.

Ia meraih bahu perempuan tersebut lalu membantunya berdiri. Kembali ia membingkai seraut wajah itu dengan lembut.

“Kisah kita selesai sampai di sini. Aku merelakanmu. Dan kau juga harus merelakanku.”

“Tidak.” Ara kembali menggeleng.

“Kau harus kembali ke duniamu dan melupakanku. Lanjutkanlah hidup dengan baik dan ...”

“Tidak!” Ara menjerit. Air matanya berderaian. “Aku tidak mau,” ia terisak.

Vernon menelan ludah. Tangisnya juga nyaris pecah.

Kemudian Ia kembali menangkup wajah perempuan itu lalu mencium bibirnya dengan lembut. Ciuman yang begitu mendalam, sepenuh hati.

“Pergilah ...” Ia berbisik di atas bibirnya.
“Pulanglah, Ara,” lanjutnya.

Dan untuk ke sekian kalinya, ia kembali mencium bibir tipis perempuan tersebut.

Ara masih merasakan ciuman Vernon di bibirnya ketika ia merasakan tubuhnya didorong. Matanya mengerjap dan ciuman mereka terlepas. Dan ia sadar, Vernon-lah yang mendorong tubuhnya. Ke arah sebuah lubang yang terbuka tepat di belakangnya.

“Vernon!” Ara menjerit. Tangannya bergerak berusaha menggapai lelaki itu sesaat sebelum ia merasakan tubuhnya melayang. Namun Vernon hanya berdiri kaku.
“Aku mencintaimu, Ara!” Lelaki itu berteriak. “Aku mencintaimu sebagai manusia!”

Dan Ara menyaksikan lelaki itu menangis.

“Hiduplah dengan baik dan lupakan aku! Lupakan aku, Ara!”

“Vernon!” Ara terus berteriak. Menolak untuk menghadapi kenyataan bahwa Vernon sengaja mendorongnya untuk kembali ke bumi, sendirian. Tanpa dirinya.

Tidak ...

"Tidakkk...!"

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro