Chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika sadarkan diri, Ara menemukan dirinya berada di rumah Vernon dan saudara-saudaranya.

Keadaan ini persis sama seperti yang ia alami ketika ia pertama kali bertemu dengan mereka.

Ia yang duduk lemah di sebuah sofa, sementara pemuda-pemuda itu menatapnya dengan tatapan penuh selidik.

Jose duduk di kursi – yang seolah-olah menjadi kursi kebesarannya – dengan Dino yang berdiri dengan setia di sampingnya. Daniel dan Danny duduk di kursi bersebelahan. Sementara Kay dan Roa berdiri tak jauh dari kusen pintu.

Dan Vernon, pemuda itu duduk di langkan jendela seraya membuang tatapannya ke luar sana.

“Oh, kau sudah sadar?” Jose menyapa.

Ara pucat, tak mampu menjawab.
Apa yang ia lihat di gang barusan jelaslah sesuatu yang berbeda.
Jelas-jelas ia melihat Roa menghabisi seseorang dengan sebilah pedang. Begitu pula dengan apa yang dilakukan Daniel dan Danny. Mereka menembus dada seseorang dengan tangan kosong. Dan apa yang terjadi dengan para korban? Mereka terbakar lalu hangus menjadi abu.

Ini bukan sesuatu hal yang bisa dilakukan oleh manusia biasa.

Sesaat ketika limbung, ia sempat melihat Vernon melesat ke arahnya dan menangkap tubuhnya yang ambruk. Logika saja, pemuda itu berada sekitar 100 meter darinya. Bagaimana mungkin ia bisa berada di sisinya, menangkap tubuhnya, hanya dalam waktu hitungan detik?

Dia jelas-jelas bukan manusia biasa. Atau ... dia memang bukan?

“Siapa kalian?” Suara Ara bergetar. Ia tak bisa meramal apa yang akan terjadi dengan dirinya. Bisa saja ini untuk yang terakhir kalinya ia bernapas. Tapi paling tidak, ia tahu sedang berhadapan dengan siapa – atau dengan apa.

Hening, tak ada jawaban.

Perlahan Jose tersenyum.
“Tenanglah, Ara. Kami tak akan menyakitimu. Kau aman di sini, jadi jangan takut,” ucapnya. Nada suaranya tak jauh berbeda dengan biasanya. Tapi tetap saja Ara ketakutan.

Gadis itu mencoba menatap mereka satu persatu secara acak.
“Aku melihatnya. Kalian menghabisi tiga orang laki-laki. Mereka terbakar dan hangus menjadi abu. Jadi ... siapa kalian?” Ia memberanikan diri bertanya.

“Kalian bukan manusia biasa. Aku sering melihat hal ini di film-film. Apa kalian punya kekuatan supranatural? Atau, kalian vampir, drakula, manusia serigala ...?”

“Nephilim.”

Jawaban itu meluncur santai dari mulut Vernon. Pemuda itu  menatap ke arah Ara, lalu ke arah Jose.

Yang lainnya balik menatap Vernon dengan tatapan protes.
Pemuda bermata coklat itu mendengus.

“Apa? Untuk apa menyembunyikannya? Tak ada untungnya, kan? Katakan saja sejujurnya dan biarkan dia memutuskan apa yang akan ia lakukan.” Ia membela diri.

“Nep-Nephilim ... apa?” Ara bertanya bingung, kembali menatap mereka secara acak. Kecuali Jose dan Vernon, yang lainnya nampak gusar.

Dan Jose lagi akhirnya yang menjawab. “Kau benar Ara. Kami bukan manusia. Kami makhluk abadi___” Ia melirik ke arah saudara-saudaranya yang lain. “Nephilim.”

Ara menelan ludah. Mendengar kata makhluk abadi, nyalinya makin ciut. Itu pasti sejenis vampir atau manusia serigala.

Bagaimana ini? Apa mereka berbahaya? Apa mereka akan mengisap darahnya? Apa mereka akan membunuhnya?
Gadis itu berteriak panik di dalam hati.

Sesaat ia mendengar Jose terkekeh.
“Kami tidak sama dengan vampir ataupun manusia serigala. Kami tidak mengisap darah, kami tidak membunuh manusia biasa. Dan yang jelas, kami tidak akan menyakitimu,” ucapnya.

Ara tercengang.
Lelaki ini membaca pikirannya?

Ketika ia bangkit dari kursinya dan berniat mendekati Ara, seketika tubuh gadis itu mengerut dan meringkuk di sofa. Ia tampak gemetar dan ketakutan.

“Tenanglah,  Ara. Jangan takut.” Jose berusaha menenangkannya.
“Nephilim adalah keturunan manusia dan malaikat. Kami tidak menyakiti manusia. Kami takkan menyakitimu, percayalah.”

Ara kembali menelan ludah.

“Lalu kenapa kalian bisa ada di sini?” suara Ara gemetar.

“Siklus.” Entah kenapa Jose seperti menjadi juru bicara di antara mereka. “Kami makhluk abadi. Kami hidup selama ratusan tahun. Dan hal yang tidak mungkin kalau kami tinggal hanya di satu tempat. Akan kelihatan mencolok kalau tetangga kami menua, sementara kami tidak. Jadi itulah yang kami lakukan, kami berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.”

“Apa itu artinya kalian menyembunyikan identitas kalian?” Dan Ara kembali bertanya.

Jose mengangguk. “Tidak akan ada makhluk abadi yang koar-koar tentang jati diri mereka. Atau orang akan berbondong-bondong melakukan penelitian pada kami dan menganggap kami alien,” jawabnya seraya tertawa lirih.

“Jadi kalian hidup seperti manusia pada umumnya?”

“Tentu saja. Toh kami lahir dari manusia juga, kan? Bedanya kami abadi, dan manusia tidak. Itu saja.” Kali ini Roa yang menjawab.

Ara menggigit bibirnya dengan was-was. Tubuhnya masih terlihat gemetar karena takut.

“Kami tidak jahat, Ara. Percayalah. Selama ini kami baik padamu, kan? Jika kami jahat, untuk apa Vernon harus repot-repot menyelamatkanmu ketika kau nyaris mati tertimpa pohon.” Ucapan Roa membuat tatapan Ara singgah pada Vernon yang masih duduk santai di langkan jendela.

“Jadi benar ‘kan kau yang menyelamatkanku?” Gadis itu berucap spontan.

Vernon hanya mengangkat bahu cuek tanpa membalas kembali tatapan Ara.

“Kami hanya ingin hidup normal dan berdampingan dengan manusia. Itu saja.” Dino menyela.

Manik mata Ara singgah ke arah Jose lagi.
“Jika kalian menyembunyikan identitas kalian, lalu bagaimana denganku? Bukankah secara tidak langsung aku telah mengetahui rahasia kalian? Apa kalian akan membungkamku? Menghabisiku?” Ia bertanya dengan suara tercekat.

Jose tertawa.
“Tidak. Untuk apa kami harus menghabisimu? Jika kau memang tahu rahasia, ya tahu saja. Tak masalah buat kami.”

“Kalian tak takut kalau aku akan membocorkan identitas kalian pada orang lain?”
Pertanyaan Ara kembali melahirkan kekehan kecil pada Jose. Pemuda bijak itu menggeleng.

“Tidak. Kami tidak takut. Jika kau memang ingin membocorkan identitas kami, lakukan saja. Toh jika ada yang bertanya, kami akan terus menerus mengatakan bahwa kami manusia. Dan bisa dipastikan, mungkin kaulah yang akan berakhir di Rumah Sakit Jiwa karena dianggap gila.”

Ara terdiam. Benar juga.
Jika ia koar-koar pada semua orang bahwa ada sekelompok makhluk abadi di samping rumahnya, apa dia akan dipercaya? Hah, bisa-bisa semua orang akan menganggapnya tak waras.

“Sekarang kau sudah tahu siapa kami yang sebenarnya. Kedepannya mungkin akan sedikit aneh. Tapi semoga kau tak keberatan untuk terus bersahabat dengan kami. Dan percayalah, kami tidak jahat.” Tatapan Jose tampak lembut.

Ara meremas-remas tangannya, gusar.
“Dino akan mengantarkanmu pulang. Adikmu pasti sudah khawatir padamu.”

Ingat akan Harry, serta merta Ara bangkit dari kursinya.
“Jadi, kalian akan membiarkanku pergi begitu saja? Kalian benar-benar takkan menyakitiku?”

Jose tersenyum. “Pulanglah,” ucapnya.

Dino melangkah mendekatinya. “Aku akan mengantarkanmu, Kak,” ucapnya ramah, seperti biasanya. “Dan tolong jangan larang aku bermain dengan Harry. Dia adik yang lucu buatku. Aku takkan menyakitinya, aku janji,” lanjutnya.

Ara kembali menelan ludah, masih sedikit bingung. Namun ia sudah kembali ke akal sehatnya ketika kakinya beranjak, mendekati Vernon lalu berucap, “Te-Terima kasih karena telah menyelamatkan nyawaku.”

***

Mengetahui bahwa sekarang Ara bertetangga bahkan bersahabat dengan Nephilim memang agak canggung. Rasanya aneh.
Tapi tingkah pemuda-pemuda itu tak berubah sedikitpun.

Roa masih saja bersikap lembut padanya dan terus menempel pada Kay.

Daniel dan Danny masih saja berkelakuan seperti anak TK yang kerap mendebatkan sesuatu tak penting.

Sementara Vernon, dia masih saja seperti patung es berjalan!

Namun begitu, sikap protektif dan perhatiannya  juga tak luntur. Vernon masih terus mencarikan kursi kosong di bus untuk dirinya. Ia masih berdiri dengan sukarela di sisinya, berjaga agar Ara tidak terjatuh.

Dan ketika Windy dan teman-temannya berbuat buruk padanya, Vernon tak ragu untuk pasang badan.

Kadang Ara bingung, kenapa pemuda itu bersikap seperti ini padanya?

“Ara, buatkan kami kue kacang lagi ya. Please.” Daniel merangkul pundak Ara dengan tiba-tiba ketika mereka dalam perjalanan ke sekolah.

Ara menatapnya dengan penuh selidik.
“Kau yakin masih makan kue kacang? Apa kau mengunyahnya? Apa makanan itu masuk ke perutmu? Apa kau juga buang kotoran?” Ia nyerocos.

Pemuda jangkung itu tertawa.
“Kau pikir makanan yang kami makan larinya kemana?”

Ara bergidik. “Kau kan bukan --- manusia.” Ia menyebut kata ‘manusia’ dengan setengah berbisik.

Daniel terkekeh lirih. “Kami seperti manusia. Kami makan, minum, buang kotoran, dan berdarah ketika tergores. Bedanya adalah, manusia menua, kami tidak. Kami abadi.” Ia balas berbisik.

“Ah, pokoknya bikinkan kami kue kacang, oke?” Danny ikut nimbrung. Ia ikut merangkul pundak Ara hingga membuat Daniel meradang.

“Pundak Ara kecil, tak muat untuk empat tangan. Singkirkan tanganmu!” Pemuda itu protes.

“Kau sudah merangkulnya dari tadi. Aku juga ingin merangkulnya. Ara temanku juga, kan?” Danny membalas.

Bibir Daniel berdecih. “Kenapa kau selalu mengikuti apa yang kulakukan pada Ara?”

“Dan kenapa kau protes? Dia bukan cuma temanmu.” Danny tak mau kalah.

Ara memutar bola matanya kesal. “Singkirkan tangan kalian,” keluhnya, berusaha lepas dari dua pemuda yang menempel padanya.

Bukannya enyah, kedua pemuda tampan itu malah menggamit kedua tangan Ara, dari sisi kanan dan kiri, lalu dengan enteng mengangkat tubuhnya bersama-sama. Gadis itu sempat menjerit.

Kelakuan mereka kontan saja membuat Vernon yang over-protectif berteriak heboh.

Bak seorang ibu yang tak terima anak bayinya digendong oleh sembarang orang, ia mencak-mencak seketika.

“Hei! Turunkan dia!” teriaknya seraya menghadang langkah Daniel dan Danny lalu menatap mereka dengan kesal. “Jangan bermain-main dengannya. Bagaimana kalau kalian melukainya?” ujarnya was-was.

Daniel dan Danny hanya menyeringai lalu menurunkan tubuh Ara pelan-pelan.

“Kami hanya main-main, Vernon. Jangan terlalu cemas begitu,” ucapnya.

Vernon mendelik.
“Ara manusia biasa. Tubuhnya rentan. Tulang-tulangnya ringkih. Bagaimana kalau kalian mematahkan tangannya? Bagaimana kalau kalian mematahkan tulang rusuknya? Bagaimana kalau kalian melukainya?” Ia mengomel.

Ganti Ara yang mendelik kesal.
“Vernon, please deh. I’m okay. Aku manusia, tapi kami tidak serentan itu. Kau pikir kami boneka yang hanya karena sekali sentuh, tulang-tulang kami langsung patah? Well, kalsiumku cukup,  dan walau tulang rusukku pernah cedera karena kecelakaan, tapi aku baik-baik saja. Jadi, jangan berlebihan. Oke?” protesnya.

Lagi-lagi ia tak memahami pemuda ini. Terkadang Vernon begitu dingin padanya. Tapi disaat bersamaan, ia juga bisa sangat perhatian. Bahkan, terkesan berlebihan.

“Nanti sore aku akan membuatkan kue untuk kalian,” ucap Ara seraya beranjak, mendahului ketiga pemuda tersebut.

Daniel dan Danny nyaris mengulangi perbuatannya, mengangkat tubuh Ara, jika saja Vernon tidak segera memelototinya.

Sementara Kay dan Roa hanya menatap adegan itu sambil terkikik geli.

“Kupikir mereka bertiga menyukai Ara,” ujar Roa.

“Kupikir juga begitu. Lagi pula wajar saja, Ara gadis yang manis dan menyenangkan. Akan sulit bagi mereka untuk tidak menyukainya,” jawab Kay.

Mendengar jawaban itu, Roa menyipitkan matanya dan menatap Kay dengan sorot peringatan.

Kai tergelak.
“Bagiku, kau tetap yang terbaik,” jawabnya buru-buru.

***

Ara baru saja usai membuat kue kacang dan membersihkan dapur ketika tiba-tiba Vernon muncul di depan pintu dapurnya. Gadis itu nyaris menjerit kaget.

“Astaga, apa Nephilim tak tahu caranya mengetuk pintu?” jeritnya.

Vernon menggaruk kepalanya dengan canggung.
“Aku mengetuk pintu beberapa kali, tapi kau tak dengar,” jawabnya.

Ara menarik napas lega.
“Apa kau ingin mengambil kue kacang. Sudah matang. Atau kau mau kubuatkan minum dulu?” Ia bertanya santai.

Vernon menggeleng.
“Aku ke sini untuk menjemputmu.”
“Menjemputku?”

Vernon mengangguk.

“Kenapa?” tanya Ara langsung.

“Harry menolak diantarkan pulang oleh Dino. Dia bilang dia ingin menginap di rumah kami. Lagipula besok hari libur, kan? Jadi Jose menyuruhku ke sini untuk mengajakmu tidur di sana sekalian. Tapi itupun kalau kau mau. Kami hanya berpikir mungkin kau akan kesepian di rumah sendirian. Jadi, kenapa tidak tidur di sana saja?” ucapnya.

Ara ternganga.
“Harry menolak pulang?!” Ia nyaris berteriak. Dan Vernon hanya mengangguk lembut.

“Dan kalian menyuruhku tidur di sana? Di rumahmu?”

Vernon kembali mengangguk.

“Apa kalian sinting? Kalian bukan manusia. Bagaimana jika ... bagaimana jika ...,”

“Sudah kami bilang, kan? Kami takkan menyakitimu,” jawab Vernon lagi.

“Lagipula, Harry senang sekali berada di sana. Kau juga paham kan kalau anak itu kesepian? Berada di rumah kami, ia serasa punya banyak kakak yang siap mengajaknya bermain dan bersenang-senang,” lanjutnya.

Ara terdiam.
Vernon benar. Harry bocah yang kesepian. Tinggal bersama dengan banyak orang yang memperhatikannya, tentu pengalaman tersendiri baginya.

Ara ingin membiarkan ia tidur di sana. Tapi, bagaiman jika Harry disakiti oleh makhluk-makhluk ini? Bagaimana jika ...

“Yang kau sebut ‘Makhluk ini’ adalah Nephilim. Dan kami tidak akan menyakiti Harry. Dia adik kecil kami. Tak mungkin kami melukainya.” Vernon memotong kesal.

Ara mendelik. “Apa semua Nephilim punya kemampuan untuk membaca pikiran?”

“Tidak juga. Aku, Jose dan Roa bisa. Yang lainnya belum.”

Ara terdiam sesaat.

“Kalau kau tak bersedia juga tak apa-apa. Tapi Harry takkan mau pulang. Jadi ...,”

“Oke, aku ikut. Aku akan tidur di rumahmu,” potong Ara cepat.

***

Ketika Ara sampai di rumah Vernon, Harry sedang bermain Games dengan Dino di ruang tengah. Ia baru saja selesai makan malam.

Bocah berusia tujuh tahun itu tampak begitu senang dan gembira. Sudah lama Ara tidak menemukan ekspresi seperti itu di wajahnya. Dan entah mengapa, Ara merasa terharu.

Ia tahu Harry kesepian. Dan sekarang, bocah itu seperti punya sebuah keluarga yang lengkap.

“Beberapa kamar kosong belum bisa ditempati. Jadi malam ini, kau bisa tidur di kamarku. Aku akan tidur di kamar Daniel dan Danny,” ucap Vernon.

Ara mengangguk canggung.
Mendengar namanya di sebut, Daniel dan Danny yang asyik ikut bermain Games bangkit.

“Ara saja yang tidur bersama kami! Jangan kau!” Mereka protes hampir bersamaan.

Mendengar itu, Vernon melotot. “Dan's brothers! Please!” bentaknya.

Ara menatap mereka dengan perasaan tak enak.
“Begini saja, biar aku tidur bersama Dino dan Harry saja,” ucapnya. Menurutnya itu pilihan yang paling masuk akal.

“Tidak!” Di luar dugaan, Vernon, Daniel dan Danny berteriak nyaris bersamaan. Ara melongo.
Apa-apaan ini?

“Ara tidur di kamarku, aku akan tidur di kamar Jose. Titik.” Vernon berucap tegas seraya beranjak.

Jose yang mendengar perdebatan mereka hanya tersenyum seraya menggeleng-geleng pelan.

Vernon baru saja sampai di anak tangga paling atas ketika tiba-tiba pintu terbuka dan terhempas dengan keras. Seolah ada angin besar mendorongnya begitu saja.

Merasa ada yang tidak beres, Jose bangkit dari kursinya.
“Dino, ajak Harry ke kamar!” perintahnya.

Tanpa banyak tanya, Dino bangkit lalu mengajak Harry yang masih asyik memegang stick games untuk masuk ke kamarnya. “Kita akan melanjutkan permainan ini di kamar, oke?” ajaknya.

Harry sedikit bingung, tapi ia mengiyakan saja ajakan pemuda yang sudah ia anggap sebagai kakak-nya sendiri itu.

“Ara, ikuti Dino!” Kali ini Jose berteriak pada Ara.

Belum sempat Ara mencerna apa yang terjadi, tatapannya terpaku pada pintu yang terbuka lebar.

Dua orang pemuda berwajah dingin melenggang dengan santai memasuki ruang tamu.
Dan seketika, salah satu dari mereka, yang bersorot mata tajam dan berambut pirang, menatap lurus ke arah dirinya.

“Manusia?” Sosok itu menggumam sinis tanpa mengalihkan pandangannya dari Ara.

Dan tiba-tiba saja sosok melesat ke arah dirinya.

Ara tersentak, terbatuk dan nyaris tak bisa bernapas ketika merasakan jemari pria itu di lehernya. Mencengkeramnya.
“Ada manusia di sini?” Sosok itu kembali berbisik sinis di telinganya. “Aroma darahmu terasa lezat...” Ia menyeringai.

“Singkirkan tanganmu darinya!” Vernon berteriak, menepis tangan lelaki  itu di leher Ara, lalu mendaratkan sebuah pukulan hebat hingga sosok itu terhempas menghantam tembok.

Rekannya yang berdiri tak jauh darinya hanya menyeringai kejam. Merasa tak perlu memberi pertolongan.

Sementara Daniel, Danny, Kay dan juga Roa juga sudah bersiap memberikan perlawanan.

“Jika kau berani menyentuh perempuan ini, walau sehelai rambut sekalipun, akan  kumusnahkan seluruh kaummu!” Vernon berteriak lantang.
Suaranya menggema di seluruh ruangan, sementara matanya tajam menatap dua tamu yang kedatangannya tak diundang tersebut.

Dan Vernon tak main-main. Jika sampai mereka menyentuh Ara sedikit saja, akan ia musnahkan kaum mereka tanpa ampun!

Sementara itu, Ara yang berdiri mematung di belakang Vernon menatap semua adegan itu dengan pucat. Tubuhnya gemetar karena syok. Menghadapi dua makhluk asing yang baru datang di mana yang satunya nyaris saja mencabik lehernya.

Siapa lagi ini?

Siapa mereka?

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro