Chapter 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sosok tamu yang sempat menghempas tembok itu tersenyum dan bangkit, tanpa rasa takut.
Sementara Vernon menarik tubuh Ara agar berdiri tepat dibalik tubuhnya dengan sikap protektif.

“Saudara-saudara, bisakah kita duduk dengan tenang dan berdiskusi dengan baik? Aku tak suka ada keributan di rumahku!” Jose bersuara.

Ia menatap kedua tamunya dengan tatapan waspada.
“June dan Hans.” Ia mendesis. “Apa yang membuat kalian jauh-jauh datang kemari dan mencoba mencari masalah dengan kami?” Ia kembali bertanya.

Dua tamu yang dipanggil June dan Hans itu bergerak, lalu duduk di kursi tanpa dipersilahkan.

“Pertanggung jawaban.” Hans, yang berambut hitam menjawab datar seraya menyilangkan kakinya dengan angkuh.

“Kita sudah sepakat untuk tidak saling mengganggu. Kenapa kau menghabisi tiga rekanku?” Ia menatap langsung ke arah Vernon, Roa dan Daniel.

“Mereka yang ingin membunuh kami terlebih dahulu. Kami hanya membela diri.” Daniel menjawab.

June dan Hans terkekeh.
“Kau pikir kami akan percaya dengan jawaban kalian? Kaum vampir tidak punya alasan untuk membunuh Nephilim. Kita sama-sama makhluk abadi, tapi beda jalur. Kita tidak saling bersinggungan satu sama lain,” jawab June angkuh.

“Kaummu memang tidak punya alasan untuk memburu kami. Tapi mereka punya. Malaikat-malaikat itu menyewa rekanmu untuk membunuh kami.” Vernon menjawab tegas.

June kembali tertawa.
“Untuk apa mereka harus repot-repot menyewa Vampir? Toh mereka punya sepasukan malaikat yang siap membasmi kalian! Jangan tolol!” teriaknya.

“Mereka memang dapat menghabisi kami. Tapi mereka tidak cukup kuat untuk melacak keberadaan kami. Itulah kenapa mereka memanfaatkan kaummu. Tentunya dengan iming-iming tertentu. Dan aku yakin, hanya Vampir labil yang terbujuk dengan iming-iming tersebut.” Jose angkat bicara.

Wajah Hans dan June makin dingin, tak bersahabat.

“Kami memang membunuh rekanmu. Tapi kami melakukannya hanya untuk membela diri. Kau boleh percaya, boleh juga tidak. Tak berpengaruh pada kami.” Vernon kembali berujar.

“Seperti yang sudah kau bilang, kaum kita tidak saling bersinggungan. Tapi kami tak segan-segan untuk memberikan perlawanan. Dan satu lagi,” suaranya bernada mengancam.
“Makhluk fana di sini adalah larangan bagi kalian. Jika kalian menyentuhnya, sedikit saja, berarti kalian mengibarkan bendera perang pada kami. Camkan itu.” Vernon berujar sengit.

Mendengar ucapan pemuda itu, kedua mata Ara mengerjap. Makhluk fana? Apakah yang dimaksud adalah ... dirinya dan Harry?

“Well, sepertinya ini akan semakin menarik. Tapi kami tak bisa berjanji untuk tidak mendekatinya.” June menatap lurus ke arah Ara. “Karena jujur saja, darahnya terlihat menggiurkan,” lanjutnya.

Rahang Vernon menegang.
Lelaki itu nyaris saja melesat dan mendaratkan pukulan di wajah Vampir tersebut jika saja Roa tidak mencegah.

“Well, maaf telah mengganggu malam kalian. Semoga suatu saat nanti kita bertemu lagi,” desis Hans seraya menunjukkan seringaian kejamnya.

Dan kedua sosok itu melenggang keluar dari ruang tamu, lalu melesat begitu saja meninggalkan mereka. Pintu pun menutup dengan tiba-tiba.

Vernon berbalik dan menatap Ara yang nampak pucat. Ia memeriksa leher perempuan tersebut dan nampak ruam kemerahan di sana. “Kau tak apa-apa?” Ia bertanya cemas.

Ara menelan ludah. Tak mampu menjawab. “A-aku ...” Wajahnya pucat seperti mayat dan ia nyaris limbung. 

“Ajak dia ke kamar. Ia terlihat syok.” Jose menyarankan.

Tanpa banyak bicara, Vernon mengangkat tubuh Ara yang terkulai lalu membawanya ke kamar.

***

Vernon menyodorkan segelas air putih ke arah Ara yang terduduk lemah di pinggir ranjang.

“Minumlah. Maaf karena kau harus mengalami peristiwa seperti ini. Kami tak bermaksud melibatkanmu. Kau tak apa-apa, kan?”

Ara meraih gelas dari tangan Vernon lalu meminum isinya pelan.
Vernon mendampinginya dengan sabar hingga perempuan itu tampak lebih tenang.

“Mereka tadi ... Vampir?”

Vernon mengangguk.

Ara ternganga. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia alami.
Ia baru saja bertetangga dengan sekelompok Nephilim. Dan sekarang, Vampir nyaris merobek kerongkongannya. Kemana kehidupannya yang selama ini tenang dan damai? Ia merutuk dalam hati.

“Istirahatlah.” Vernon bangkit. “Aku akan tidur di kamar Jose. Jangan khawatir. Kami akan terus menjagamu. Mereka takkan datang lagi.” Ia beranjak.

“Vernon...” Panggilan itu mengurungkan langkahnya. Ia berbalik dan tatapannya beradu dengan mata bening Ara.

“Aku takut.” Gadis itu seperti meratap. “Tapi aku lebih takut jika tak mengetahui apa yang sedang kuhadapi saat ini.” Ia terlihat putus asa.
“Kita teman, kan?”

Pertanyaan itu tak mampu dijawab oleh pemuda di hadapannya.

“Jika kau menganggapku teman, maka ceritakanlah apa yang tidak kuketahui. Aku tak bisa menghadapi keterkejutan setiap hari. Beberapa waktu yang lalu aku dibuat syok ketika menyadari bahwa tetanggaku, teman-teman baruku adalah makhluk abadi bernama Nephilim. Dan hari, ini aku nyaris terbunuh oleh Vampir. Besok apa lagi? Kenapa malaikat mencarimu? Kenapa kalian harus diburu?” Gadis itu tak tahan untuk tidak bertanya.

“Kumohon, Vernon. Secara tidak langsung kau sudah melibatkanku dalam urusanmu. Jadi, tolong katakan padaku apa yang tidak kuketahui,” pintanya.

Vernon mematung.
Pemuda itu menarik napas panjang lalu menyeret kakinya dan duduk di sofa yang berada tak jauh dari tempat tidurnya.

Ia menegakkan punggungnya di bantalan tempat duduk tersebut seolah ada beban berat di sana. Ia terdiam sesaat seperti sedang mengatur kata-kata.

“Nephilim pindah dari satu tempat ke tempat lain bukan karena siklus. Bukan karena kami hobi Travelling. Tapi kami melarikan diri. Kami adalah kaum yang sudah ditakdirkan untuk diburu, dikejar-kejar, seumur hidup kami.”

“Oleh siapa?”

“Malaikat.”

Kening Ara mengernyit.
“Malaikat? Bukankah Nephilim adalah keturunan malaikat dan manusia? Kenapa mereka harus memburu kalian?”

“Aib.” Jawaban Vernon terdengar berat. Seakan ia sendiri tak kuasa untuk mengucapkannya.

“Nephilim terlahir dari kesalahan malaikat yang menjalin cinta terlarang dengan manusia. Sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh terjadi. Itulah kenapa mereka menganggap kami sebagai aib. Dan satu-satunya cara untuk menghilangkan aib tersebut, kami harus dihabisi, dimusnahkan. Kaum Nephilim bahkan tidak bisa diterima di surga ataupun neraka.” Suara pemuda itu seakan tercekat. 

“Kami menghabiskan waktu ratusan bahkan ribuan tahun kami dengan pindah dari satu tempat ke tempat lain demi menghindari kejaran mereka. Kami memang mewarisi kekuatan malaikat, tapi tetap saja jumlah kami tak seimbang. Terkadang kami terlibat pertempuran, terkadang kami terdesak, terkadang ada yang mati.”

“Bukankah makhluk abadi tidak bisa mati?”

Vernon terdiam sejenak, lalu terkekeh getir.
"Mati?" desisnya. "Mati berarti kami punya jiwa yang bisa ke neraka ataupun surga. Sayangnya,  tidak. Kami menyebutnya ... musnah, oleh sesama makhluk abadi lainnya. Dan kami benar-benar akan lenyap. Maksudku, kami tak punya jiwa yang akan pergi ke tempat lain, tidak ke neraka, tidak pula ke surga. Selesai, begitu saja,” jawab Vernon lagi.

Ara mendengar penuturan pria itu dengan trenyuh.

“Berapa tahun umurmu?” Ara memberanikan diri untuk bertanya lagi.

Vernon mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin ratusan tahun,” jawabnya.

“Jose yang paling tua di antara kami. Dia pulalah yang menemukan kami pertama kali. Dia menemukanku ketika aku terluka parah dan nyaris lenyap dari muka bumi ini. Lalu kami bertemu Roa dan Kay, kemudian si kembar Daniel dan Danny, barulah kami bertemu Dino. Dino Nephilim baru. Itulah kenapa Jose memilih di tinggal di rumah untuk menjaganya karena dia belum bisa menjaga dirinya sendiri. Jose takut hal buruk menimpanya,” lanjutnya.

“Lalu apa yang terjadi dengan orang tua kalian? Maksudku --- yang malaikat?”

Vernon kembali mengangkat bahu.
“Entahlah. Setahuku mereka menjadi malaikat ‘terbuang’, ada yang berakhir di neraka, ada juga yang berakhir menjadi iblis. Kami tak tahu, dan kami tak ingin tahu,” jawabnya lagi.

“Ada berapa banyak Nephilim di dunia ini?”

Lagi-lagi pertanyaan itu dijawab Vernon dengan mengangkat bahu.

“Entah. Bisa jadi banyak. Bisa jadi para malaikat yang bertugas mengejar kami sudah menghabisinya,” ucapnya lagi. Terdengar perih.

Lagi-lagi Ara mendengar penuturan Vernon dengan perasaan trenyuh, iba.
Ia membayangkan Vernon berkelana ratusan tahun dari satu tempat ke tempat lain, berjuang mempertahankan diri, sendirian, kesepian.

Tanpa tahu orang tua mereka, tanpa tahu rasanya punya keluarga yang lengkap.

Ara teringat dengan Daniel dan Danny yang kangen dengan kue kacang buatan ibu mereka. Ah, itu pasti sudah ratusan yang lalu.

Ia juga teringat dengan Dino yang begitu bahagia bisa bertemu dan berteman dengan Harry.

Ia ingat bagaimana Jose berusaha melindungi saudara-saudaranya. Ia ingat bagaimana Vernon begitu over-protectif pada dirinya?

Tanpa sadar air mata Ara menitik.

Oh, Vernon yang kasihan...

Mereka makhluk malang yang kasihan dan kesepian.
Apa mereka ingat wajah orang tua mereka? Apa mereka punya saudara kandung? Apa mereka pernah merasakan dekapan sayang seorang ayah? Seorang ibu? Keluarga?

Pasti tidak, kan?

Ara terisak.
Betapa ia ikut terluka mengetahui fakta tentang makhluk abadi di hadapannya.

“Kau tak perlu kasihan pada kami, Ara. Tak perlu,” desis Vernon lirih.

Air mata Ara berderaian.
“Maaf, aku hanya ... aku ...” Ia sesenggukan. Sibuk menghapus air matanya yang terus saja mengalir tanpa mampu ia bendung.

Vernon bangkit dan mendekati Ara dengan langkah berat. Pemuda itu duduk di sampingnya, mengulurkan tangannya lalu memeluk gadis itu dengan lembut.

“Tak apa-apa. Kami baik-baik saja,” bisiknya. Ada kristal-kristal bening di sudut matanya. Bukti bahwa mereka, ia dan saudara-saudaranya takkan baik-baik saja.

Tidak.

Mereka harus terus melarikan diri. Dan itu artinya, semua tidak baik-baik saja...

***

Ara bangun keesokan harinya tepat ketika cahaya matahari menyeruak masuk melewati korden jendela. Gadis itu menggeliat sesaat. Sejenak ia lupa kalau ia tidak berada di kamarnya.

Sampai akhirnya ia menciuma aroma yang berbeda dari ruangan yang sedang ia tempati.

Ia bangkit dengan tiba-tiba lalu menatap sekelilingnya.

Ah, akhirnya ia ingat ia sedang berada di kamar Vernon.

Mata beningnya menatap keseluruhan ruang bernuansa abu-abu itu. Rapi, minimalis, dan ... khas. Khas aroma tubuh Vernon. Tidak terlalu wangi, tidak menusuk, tapi terkesan segar dan lembut.

Gadis itu turun dari tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sesaat sebelum ia keluar dari kamar, ia sempat mengecek bayangannya di cermin. Sekedar merapikan rambutnya yang acak-acakkan.

Ia menuruni anak tangga dan bergerak melangkahkan kakinya menuju dapur. Berharap ia bisa membantu menyiapkan sarapan.
Ketika sampai di sana, ia melihat Roa sudah sibuk menata sarapan di meja makan.

“Maaf, aku bangun kesiangan,” sapa Ara. Ia segera membantu Roa menata piring.

Roa tersenyum lembut. “Tak apa-apa. Hanya sekedar makan biasa,” jawabnya.

“Sepi.” Ara menatap sekeliling ketika menyadari tak ada celotehan dari Harry ataupun yang lainnya.

“Harry dan Dino bangun pagi-pagi sekali. Mereka jogging bersama. Daniel dan Danny juga. Yang lainnya, masih ada urusan.” Roa menjelaskan.
Ara manggut-manggut.

“Ara, maaf soal semalam. Kau pasti kaget,” ucap Roa lagi. “Kami tak bermaksud melibatkanmu dalam masalah ini. Ini di luar dugaan kami kalau kau akan ...”

“It’s okay,” potong Ara. Ia tersenyum lembut ke arah Roa. “Vernon sudah menceritakan segalanya padaku. Dan, aku masih tetap ingin bersahabat dengan kalian. Jujur selama ini aku dan adikku merasa kesepian. Tapi sejak kita bertetangga, adikku senang sekali. Dan aku senang kita semua bisa bersahabat,” jawab Ara.

Roa tersenyum. “Suatu saat nanti kami akan pergi. Pindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti biasanya. Tapi selama kita masih di sini, ayo nikmati saja waktu kita bersama.”

Ara mengangguk.
Pasti.

“Makanlah dulu. Aku akan pergi ke pasar, berbelanja untuk makan siang nanti.”

“Biar aku saja yang belanja,” cetus Ara. Roa mengibaskan rambutnya yang tergerai. “Kau? Yang belanja di pasar?”

Ara langsung mengangguk.
“Aku tidak repot. Biar aku saja yang belanja. Aku tinggal lebih lama di sini. Jadi aku tahu tempat mana yang menjual barang dengan kualitas bagus dan harga murah. Aku tahu uangmu banyak. Tapi bukan berarti kau bisa membeli sesuatu seenaknya, kan? Kau hanya perlu mencatat apa saja yang kau butuhkan dan aku yang akan pergi ke sana,” jawabnya.

Terlihat berpikir sesaat, akhirnya Roa mengangguk.

***

Setelah menerima beberapa lembar uang dan catatan belanja, Ara melangkah dengan riang. Ia sempat berpapasan  dengan Daniel dan Danny di halaman rumah. Dua lelaki tampan itu tampak berkeringat selepas jogging.

Teringat akan cerita Vernon semalam, bagaimana dua pemuda itu kesepian selama ratusan tahun, merindukan ibu mereka, Ara kembali trenyuh dan iba.  Gadis itu berjingkat, menubruk dan memeluk pemuda-pemuda itu secara bergantian. Ia tak tahu kenapa, ia hanya ingin memeluk mereka begitu saja.

Daniel dan Danny hanya tercengang menerima pelukan tak terduga tersebut.

“Ada apakah ini? Kami berkeringat,” keluh Danny.

Ara hanya tersenyum.

“Apa terjadi sesuatu padamu?” tanya Daniel heran.

Gadis cantik itu menggeleng.
“Tidak. Aku hanya terlalu senang karena bisa bersahabat dengan kalian. I love you, Guys!” teriaknya seraya kembali  memeluk mereka secara bergantian kemudian beranjak meninggalkan mereka.

Daniel dan Danny berpandangan heran.
“Apa dia salah makan sesuatu?” desis Daniel. Danny menggeleng bingung.
“Tapi dia bilang dia mencintai kita?” gumamnya.

Keduanya terkikik. Rona merah menghiasi wajah mereka yang berkeringat.

“Yess!” Mereka ber-high five.

Sementara Ara berjalan ringan menuju rumahnya untuk mandi dan berganti baju. Sembari menyantap sepotong roti di kulkas, ia beranjak menuju pasar, siap berbelanja kebutuhan sesuai catatan belanja yang diberikan Roa.

***

Ara sedang dalam perjalanan pulang dari pasar ketika menemukan tas belanjaannya robek hingga beberapa barang belanjaan jatuh berserakan.

Gadis itu sempat menggerutu sebelum memunguti beberapa sayuran yang tercecer di pinggir jalan. Dan beruntung ketika seorang pemuda dengan sukarela membantunya memunguti sayuran tersebut.
“Terima kasih,” ucap Ara.

Pemuda berwajah lembut dengan sorot mata yang berbinar hangat. Wajahnya tampan dan terlihat ramah.
“Tak apa-apa. Hati-hati ya. Jangan sampai jatuh lagi,” jawabnya. Ia menatap Ara dengan tatapan lembut. “Oh, kau Ara, kan?”

Ara mengernyit heran. “Kau tahu aku?”

Ia mengangguk. “Beberapa waktu yang lalu aku melihatmu berangkat sekolah bersama dengan Vernon.”

Mendengar nama Vernon disebut, Ara reflek mundur beberapa langkah dengan waspada. Entah kenapa ia merasa sensitif ketika ada orang yang membicarakan Vernon setelah gadis itu mengetahui jati dirinya. Ia mulai paranoid. Takut bahwa yang ia hadapi adalah makhluk abadi lain.

“Aku baru beberapa hari mengenalnya. Kami sama-sama mengikuti kelas tari.” Pemuda itu kembali berucap. Ara menatapnya dengan was-was.

Sadar akan tatapan curiga Ara, pemuda itu kembali tersenyum.
“Sampaikan salamku padanya,” dan Ia beranjak. 

“Aku tidak tahu namamu!” teriak Ara.

Pemuda itu menoleh dan kembali tersenyum lembut. “Luis,” jawabnya.

***

Ketika Ara sampai di rumah Vernon, ia menyaksikan Dino dan Harry bermain bola di halaman.

“Harry, setelah ini kita akan pulang. Oke?” teriak Ara. Harry tampak cemberut, tapi toh ia mengangguk dengan patuh. “Iya,” jawabnya.

Gadis itu menyapa singkat ke arah Jose, Daniel dan Danny yang tengah mengobrol di ruang tengah, lalu bergerak ke dapur, meletakkan barang-barang belanjaannya di sana.

“Kenapa kau yang belanja?” Vernon muncul dari anak tangga.

“Aku juga berniat belanja ke pasar. Jadi sekalian saja aku membantu Roa,” jawabnya. Yang dibicarakan muncul dari ruang lain, bersama Kay di sisinya.

“Kau sudah pulang?” Roa menyapa. Ara mengangguk dan tersenyum puas. Senyum di bibirnya menghilang ketika Kay menatapnya dengan tatapan penuh selidik.

“Ada apa?” tanya gadis itu heran.

Kay tak segera menjawab.
“Apa kau bertemu dengan seseorang?” Ia bertanya.

Ara menelengkan kepalanya bingung.
“Seseorang? Aku bertemu banyak orang,” jawabnya.

Tapi sesaat kemudian ia seakan teringat akan sesuatu. “Oh ya, aku bertemu teman Vernon. Namanya ...” Ia mencoba mengingat-ingat.

“Temanku?” Vernon menyahut.

Ara mengangguk. “Dia membantu memungut barang-barang belanjaanku yang jatuh. Dia bilang dia temanmu di kelas tari. Namanya ... aduh, siapa tadi namanya? Aku agak lupa. Dia tampan, tak begitu tinggi, dan matanya ... sinar matanya ... hangat,” ucapnya.

Kay tampak pucat. Ia mematung seketika. Suasana hening. Vernon dan yang lainnya menatapnya bingung.

“Kay?” Jose bersuara. “Kali ini siapa?” raut mukanya was-was.

Ara menatap ke arah para pemuda yang tengah berdiri saling bertatapan bingung.
Tampak Kay menelan ludah.
“Salah satu malaikat tertinggi. Luis.”

“Luis! Ah ya, itu namanya. Aku bertemu dengannya ketika pulang berbelanja,” jawab Ara spontan.

Vernon mendekat ke arah Ara dengan segera.
“Kau bertemu dengannya? Apa yang dia lakukan padamu? Apa ia menyakitimu?” Ia bertanya cemas.

Ara menggeleng. “Tidak,” jawabnya segera. “Dia malah membantuku. Ada apa? Ada hal penting? Kay bilang dia ... malaikat?”

Mereka berpandangan dengan was-was. Tak terkecuali Roa yang biasanya nampak tenang.

Dan Ara segera tahu bahwa itu pertanda tidak baik.

“Aku hanya tak mengira bahwa mereka akan mengetahui keberadaan kita secepat ini.” Jose mendesis.

“Jadi sekarang bagaimana?” Daniel dan Danny bertanya hampir bersamaan.

Nephilim paling tua itu tak menjawab. “Kita tunggu saja langkah apa yang akan mereka lakukan,” jawabnya kemudian.

“Ara, jika kau bertemu dengannya lagi, menghindarlah.” Nada suara Vernon tak lebih seperti sebuah perintah.

Ara menatapnya tak mengerti.
“Kenapa? Bukankah malaikat tidak menyakiti manusia?”

“Dia berbeda.” Kay menyahut. “Dia memang malaikat, bahkan salah satu malaikat tertinggi. Tapi dia patuh dalam melaksanakan tugas. Menjalankan perintah dengan baik dan menyingkirkan penghalang. Itu prinsipnya.” 

Ara menelan ludah dengan susah. Tanpa mau menambah kekhawatiran Vernon dan saudara-saudaranya, gadis itu mengangguk. “Oke, aku akan menghindarinya,” jawabnya serak.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro