Chapter 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ara dan Harry sudah kembali ke rumah mereka sore harinya.

Awalnya Harry menolak pulang karena masih ingin bermalam di rumah Dino, tapi setelah Ara membujuknya, menjanjikan ini dan itu padanya, akhirnya bocah itu bersedia pulang.

“Berarti lusa aku boleh menginap lagi di rumah Kak Dino? Kakak sudah janji mengijinkanku, kan?” Bocah itu tak henti-hentinya mengingatkan Ara soal janjinya.

Ara mengangguk lelah. “Iya, Kakak janji. Lusa kau boleh menginap di sana lagi. Asal tidak merepotkan dan tidak nakal,” ucapnya.

“Aku tidak pernah nakal. Aku juga tidak pernah merepotkan. Kakak bisa bertanya pada Kak Dino  kalau tidak percaya. Aku anak yang baik.” Harry membela diri.

Ara kembali mengangguk-angguk lelah.
“Iya, iya, tahu. Sekarang segera persiapkan perlengkapan sekolahmu untuk besok dan tidurlah.”

Harry mengangguk cepat lalu bergerak ke kamarnya.

Ara bersiap mengunci pintu ruang tamu ketika tiba-tiba kepala Vernon menyembul dari sana.

“Oh, kau membuatku kaget,” gerutu Ara.

Vernon tersenyum. “Maaf.” Ia meringis. Pemuda itu membuka pintu lebar-lebar lalu melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan oleh sang pemilik rumah.

“Ada apa?” tanya Ara.

Vernon menggeleng. “Tidak ada. Hanya ... mengecek keadaanmu saja,” jawabnya.

Ara terkekeh. “Aku baru meninggalkan rumahmu sekitar 15 menit yang lalu. Kau tak perlu cepat-cepat mengecek keadaanku. Aku baik dan ... tidak apa-apa. Tak perlu cemas,” jawabnya.

Vernon manggut-manggut.
“Boleh aku tidur sini?”

“Hah?” Gadis itu membelalak.

“Aku khawatir padamu. Jadi ...”

“Vernon, takkan terjadi apa-apa denganku. Aku bisa menjaga diriku, oke?” potong Ara.

Vernon menatapnya dengan ragu hingga membuat Ara menghela napas.
“Pulanglah. Aku aman. Lagipula, bahaya apa yang menimpaku? Tak ada, kan? Kau yang harus lebih hati-hati menjaga diri karena malaikat mengetahui keberadaanmu.”
Ia mendorong punggung Vernon dengan lembut dan menyuruhnya pulang.

“Pulanglah. Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Kau sendiri harus banyak istirahat. Kau terlihat lelah. Aku akan baik-baik saja, percayalah. Jika ada apa-apa aku akan berteriak dan kau bisa mendatangiku dengan secepat kilat.” Ia memastikan.

“Kau yakin?” tanya Vernon lagi. Ara mengangguk.

Dan dengan berat hati, akhirnya Vernon menuruti kemauan gadis tersebut untuk pulang.

Lelaki itu baru saja meninggalkan rumah ketika Ara mendengar pintu diketuk. Mengira bahwa itu Vernon, Ara berlari kecil dengan kesal.

Namun begitu pintu terbuka olehnya, tampak pemuda tampan berambut pirang dengan sinar mata hangat sudah berada di hadapannya. Pemuda itu tersenyum manis.

Ara menelan ludah.

Luis.

***

“Aku tak menyangka mereka akan mengetahui keberadaan kita secepat ini.” Jose membuka suara setelah beberapa menit keadaan hening. Pria itu duduk seperti biasa di kursi kesayangannya.

Daniel dan Danny duduk berdampingan di kursi yang berada di sebelahnya. Sementara Roa dan Kay berdiri bersandar di kusen berdampingan.

Dan Vernon, seperti biasa, ia duduk santai di langkan jendela.

“Apa kita harus berkemas lagi? Bersiap-siap melarikan diri lagi?” tanya Danny dengan tak sabaran.

“Aku tak mau. Aku lelah,” sahut Vernon.

“Vernon, jika kita tak segera pergi dari sini, itu sama saja dengan mati.” Roa yang sejak tadi diam ikut bersuara.

“Jika memang begitu, aku akan bertarung sampai titik akhir. Aku, atau mereka yang mati, selesai,” jawab Vernon lagi.

“Kita harus pergi, Vernon. Ini pilihan kita satu-satunya. Kita tak tahu berapa banyak musuh yang akan kita hadapi. Satu malaikat tinggi sudah cukup merepotkan. Bagaimana jika dia membawa sepasukan malaikat yang lain?” Jose berujar.
Tatapannya yang bijak tak beralih dari Vernon yang masih duduk santai di langkan jendela, membelakangi saudara-saudaranya.

“Tidak. Jika kalian ingin pergi, pergi saja. Aku lelah berlari dari satu tempat ke tempat lain. Aku ingin di sini. Mati ...” Ia terkekeh sinis. “Aku sudah siap untuk itu.”

“Vernon.” Kali ini Jose bangkit. “Ini tidak hanya tentang keselamatanmu. Ini juga tentang keselamatan Ara dan Harry.”

Mendengar nama Ara dan Harry disebut, Vernon menoleh. “Kenapa kau harus menyebut nama mereka? Mereka tak ada hubungan sama sekali dengan keadaan kita,” ucapnya sengit.

“Kau lupa siapa yang mengejar kita kali ini? Dia Luis. Tak perlu kusebutkan karakteristiknya pun kau sudah tahu bahwa ia berbahaya bagi Nephilim, bagi makhluk abadi lain, dan bahkan bagi manusia sekalipun. Manusia yang punya hubungan dekat dengan makhluk seperti kita dan ...”

“Cukup.” Merasa gerah,
Vernon setengah berteriak.

Ia beringsut turun. “Baik, kita pergi. Kapan? Sekarang?” ucapnya frustrasi.

Obrolan mereka di malam hari yang sunyi itu terhenti ketika tiba-tiba Dino menyeruak masuk ke ruang tengah dengan tergopoh-gopoh.

“Ada apa?” Jose bangkit dengan waspada. Menyadari pasti ada hal yang tidak beres.

Dino menelan ludah sebelum menatap langsung ke arah Vernon.
“Ara hilang,” desisnya lirih.

Vernon membelalak, begitu pula ke lima pemuda yang lain. Raut wajah mereka berubah cemas. Terutama Vernon yang langsung terlihat pucat.

“Harry baru saja menelponku sambil sesenggukan. Dia bilang tiba-tiba saja Ara menghilang dari rumah. Dia___” Ia bahkan belum sempat meneruskan kata-katanya ketika Vernon melesat.
“Kay, bantu aku melacak keberadaan Ara!” teriaknya.

Kay segera mengangguk tanda mengerti.

Di antara mereka bertujuh, hanya Kay yang mampu  melacak keberadaan seseorang ataupun makhluk lain. Ia punya semacam ‘penglihatan’ yang mampu mengetahui keberadaan malaikat  di sekitar mereka.

Sementara Roa, Jose dan Vernon, mereka sama-sama punya telepati yang mampu menjalin komunikasi batin. Biasanya jika Kay menemukan sesuatu hal yang tidak beres, ia akan menyampaikannya pada Roa.

Dan secara otomatis, Roa akan menyampaikannya juga pada Jose atau Vernon, walau posisi mereka berada ratusan kilometer.

“Aku tak bisa melakukan ini di sini. Kita harus keluar,” ucap Kay di tengah-tengah konsentrasinya.

“Oke, kita berpencar,” seru Danny.

Dan akhirnya mereka menyebar.

Roa bersama Kay, Daniel bersama Danny, dan Vernon langsung menuju rumah Ara untuk melihat keadaan Harry.

Sementara Jose tetap di rumah menenami Dino.

***

Vernon menyeruak memasuki rumah Ara dengan kalap.

Berharap ada keajaiban yang mampu mengembalikan Ara di sini. Di rumah ini, dalam keadaan baik-baik saja.

“Kak Vernon, di mana Kak Ara?” tanya Harry dengan sesenggukan.

Vernon menatapnya lembut, berusaha bersikap tenang.
“Jangan khawatir Harry. Kakakmu sedang pergi ke rumah temannya. Nanti akan aku jemput. Sekarang ikutlah denganku, kau akan tidur lagi dengan Kak Dino. Oke?” ucapnya.

Harry masih belum sempat meredakan isak tangisnya ketika Vernon mengangkat tubuhnya dengan ringan dan menggendongnya.

“Sstt, jangan menangis. Kakakmu baik-baik saja. Dia masih pergi ke rumah temannya untuk mengambil buku pelajaran.”

“Tapi tak biasanya ia pergi tanpa berpamitan padaku. Aku jadi takut ia akan pergi meninggalkanku seperti yang dilakukan ayah dan ibu,” isaknya.

Vernon menelan ludah. Hatinya mencelos.
Tidak! Ara akan baik-baik saja! Teriaknya dalam hati.

“Akan kuantarkan kau ke rumah Kak Dino dulu. Setelah itu aku akan menjemput kakakmu. Oke?” ujarnya dengan suara tercekat lalu bergerak meninggalkan rumah Ara menuju rumahnya sendiri.

Setelah ia mengantarkan Harry ke sana, pemuda itu segera melesat kembali.

Menyisir pelosok kota mencari Ara.

***

--Atap gedung.—

Vernon mendengar bisikan itu melalui kekuatan pikiran. Roa berkali-kali mengucapkan kata itu.

--Atap gedung yang mana?—

Vernon membalas.

--Entahlah. Kay pikir, yang paling tinggi.—

“BANYAK GEDUNG TINGGI DI SINI!” Vernon berteriak frustrasi, tanpa mau repot-repot menggunakan kekuatan pikirannya lagi.

Lelah berputar-putar di pelosok kota, ia berusaha memfokuskan pikirannya untuk mencari gedung paling tinggi di kota.

Dan tepat sebelum ia beranjak, ia mendengar Roa berseru.

–Ketemu!—

***

Vernon mendekati sosok itu dengan langkah gontai.

Sesosok gadis yang tengah terbaring tak bergerak, tepat di atas pembatas atap gedung. Beberapa inchi saja gadis itu bergerak, bisa dipastikan tubuhnya akan terjun bebas menghantam jalanan di bawah sana yang jaraknya sekitar ratusan meter.

Vernon bergidik ngeri.
Membayangkan Ara menggeliat, lalu tubuh mungilnya meluncur bebas dan remuk menghantam tanah!

Pemuda itu mendekati sosok yang tetap terpejam itu dengan takut-takut. Dan air matanya seketika menitik manakala ia menyadari Ara masih bernapas.

Bukan, ini bukan air mata kesedihan. Ia hanya terlalu terharu ketika menyadari bahwa gadis itu hanya tak sadarkan diri.

Dengan segera Vernon meraih tubuh mungil tersebut, menggendongnya  dan membawanya ke tempat yang aman, lalu mendekapnya erat. Air matanya kembali menitik.
“Terima kasih karena kau masih hidup,” bisiknya parau.

Dan gadis itu tetap saja menutup mata dengan tenang.

Mata coklat Vernon membesar ketika menyadari ada secarik kertas terselip di antara kerah baju Ara.

Pemuda itu menyambar dan membaca sederet kalimat dengan tak sabar.

:::  Aku hanya mengajaknya jalan-jalan. Dan Si Puteri tidur tetap tak membuka mata. Ini hanya pemanasan. Kelak, aku tak segan-segan untuk menjatuhkan tubuhnya dari lantai tertinggi demi untuk menyaksikan tubuhnya remuk menghempas tanah. Demi kaumku.:::

Vernon meremas-remas kertas tersebut dengan kesal.

Sesaat kemudian Roa, Kay, Daniel dan Danny sampai di tempat mereka.

“Apa dia baik-baik saja?” Danny dan Daniel berseru hampir bersamaan seraya berlutut di samping Vernon  yang masih mendekap Ara. Gadis itu tetap tertidur dengan nyenyak.

“Dia tak apa-apa. Hanya tak sadarkan diri. Ini ... semacam peringatan buat kita,” jawab Vernon. Lelaki  itu menatap ke arah Kay.

“Luis-kah?” Ia memastikan.

Dan Kay mengangguk.

“Apa ia masih di sekitar sini?”

Kay menggeleng.
“Dia sudah pergi. Sejak beberapa waktu yang lalu. Aku tak mampu merasakan keberadaannya lagi,” jawabnya.

Vernon merasakan rahangnya menegang menahan gejolak amarah.

***

Ara membuka mata dan menyadari ia tak berada di kamarnya.
Sempat merasa pening sesaat, ia menatap sekitarnya dan melihat Vernon duduk di sofa yang berada di sisi tempat tidur.

“Kau sudah bangun?”
Vernon membuka suara dan tersenyum.

Bola mata Ara mengerjap dan menatap sekelilingnya sekali lagi. Ia ada di kamar Vernon.

“Kenapa aku di sini?” Ia seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Dan segera ia terlonjak.

“Luis! Aku bertemu dengannya!” Ia berteriak dan turun dari ranjang dengan segera.

Ia terhuyung dan merasa pening seketika. Vernon bangkit dan menopang tubuhnya.

“Dia datang ke rumahku dan setelah itu ...” Ara mengoceh. “Harry?” Ia nyaris berlari ke luar kamar jika saja Vernon tak menarik tangannya dengan lembut.

“Harry baik-baik saja. Ia sedang sarapan dengan Dino,” ucapnya.

Ara menatap lelaki di hadapannya, mencoba memastikan.
“Apa yang terjadi denganku?”

Vernon menggeleng.
“Tidak ada. Kau hanya tertidur dan aku membawamu kemari karena khawatir padamu,” jawabnya.

“Duduklah dulu. Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Mau kusuapi?” Vernon membimbing Ara untuk duduk kembali  ke ranjang. Setelah itu ia mengambil nampan berisi secangkir teh hangat dan semangkuk bubur.

“Minumlah dulu.” Vernon menyodorkan bibir cangkir ke depan mulut Ara. Dan gadis itu menyesapnya pelan. Rasa hangat yang memenuhi kerongkongannya membuat ia merasa sedikit lebih tenang.

“Ara ...” Suara Vernon terdengar berat. “Sekarang kau tahu bahwa situasi kami tidak bagus. Jadi, segera setelah kau selesai sarapan. Pulanglah dengan Harry. Dan ... kami akan pergi.”

Mendengar penuturan pemuda itu, Ara menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Pergi? Kau akan pergi?” Ia mendesis lirih.

Vernon mengangguk. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan tak rela.
“Kami akan pergi. Para malaikat sudah mengetahui keberadaan kami di sini. Dan bisa saja kami membahayakan nyawamu dan juga nyawa adikmu. Jadi ...” suaranya tercekat. “Mungkin ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir.”

Kedua bahu Ara lunglai. Merasa belum siap menerima kata-kata Vernon.

“Ke mana kau akan pergi?” Ara bertanya lirih.

Vernon tak menjawab. Ia menunduk sesaaat, mencengkeram pinggiran nampan, lalu menarik napas panjang. “Entah. Pokoknya pergi, melarikan diri. Lagi,” jawabnya getir.

Dan Ara merasakan mulutnya hambar.
Untuk suatu alasan yang belum ia ketahui, ia merasa belum siap berpisah dengan para Nephilim ini, dengan Vernon.

***

Ara menuruni tangga dan menemukan Jose beserta yang lain duduk-duduk di ruang tengah. Mereka langsung terdiam ketika melihat kedatangan Ara. Terlihat dengan jelas bahwa mereka baru saja terlibat perbincangan yang serius.

“Kau baik-baik saja?” Daniel dan Danny bangkit dan mendekati Ara bersamaan. Gadis itu tersenyum.

“Aku baik-baik saja. Vernon sudah membawakan sarapan yang lezat untukku,” jawabnya seraya melirik ke arah Vernon yang berdiri di sampingnya.

“Harry ke mana?” Ara bertanya ketika tak melihat bocah itu bersama mereka.

“Oh, dia sudah pulang duluan. Dino yang mengantarkannya. Dia bilang dia lupa memberi makan ikan kesayangannya makanya ia buru-buru minta diantarkan ke sana,” jawab Jose.

Ara manggut-manggut.
“Kalau begitu, aku juga akan pulang. Terima kasih karena semalam aku diijinkan tidur di sini lagi,” ucapnya seraya kembali melirik ke arah Vernon dengan tatapan tak menentu.

Jose tersenyum.

Ara baru saja hendak melangkahkan kakinya menuju pintu ketika tiba-tiba saja Kay bangkit.
“Ada malaikat di sekitar sini!” teriaknya.

Dan sekian detik, belum sempat mereka mencerna kalimat Kay, terdengar sebuah ledakan yang sangat dahsyat dari luar rumah.

Ara merunduk seketika. Dan reflek Vernon berlari ke arahnya lalu mendekap tubuhnya dengan sikap protektif.
Mereka berpandangan silih berganti dengan bingung. Hingga akhirnya mereka sadar bahwa ledakan itu berasal dari samping rumah mereka, dari rumah Ara!

Ara membelalak. “Harry!” Ia berseru.

“Dino!” Dan Jose ikut berteriak.

Serta merta mereka menyeruak keluar dari rumah mereka dan segera berlari menuju rumah Ara.

Dan lutut mereka lemas ketika menyaksikan apa yang terpampang di hadapan mereka.

Api berkobar dan rumah mungil itu luluh lantak tak terbentuk.

“Harry!!” Ara berteriak histeris dan berlari mendekat ke arah rumah yang diliputi api dan asap tebal tersebut. Vernon sigap  menarik tubuhnya dan mendekapnya erat.

Gadis itu sempat meronta, namun Vernon tak berhenti untuk terus mendekapnya, berusaha menenangkannya.

“Harry ada di rumah itu, Vernon! DIA ADA DI RUMAH ITU BERSAMA DINO!!” Ia kembali menjerit. Histeris. Air matanya jatuh berderaian.

Ia menarik baju lelaki yang mendekapnya lalu menatapnya dengan tajam. Dan ia melihatnya, Vernon juga menitikkan mata.

Ara menggeleng.
“Tidak ...” desisnya.
“Tidaaakk!!”
Gadis itu ambruk.

Vernon terisak, menatap ke arah rumah yang hancur tersebut. Menatap ke arah puing-puing yang berserakan. Dan bisa jadi, puing-puing itu adalah sebagian kecil dari tubuh Dino dan Harry.

Jose juga terlihat syok. Air matanya menitik. Begitu pula dengan keempat saudaranya yang lain.
Mereka kehilangan Dino.
Dan juga ... Harry.

***

Polisi sudah menyelidiki penyebab meledaknya rumah Ara yang menyebabkan Dino dan Harry meninggal.
Tubuh kedua bocah itu hancur tak tersisa.
Mereka mengatakan bahwa kebakaran dan ledakan hebat itu disebabkan oleh tabung gas.

Namun Ara dan yang lainnya tahu, bukan karena itu penyebabnya.

Hanya ada upacara kematian sederhana di rumah Vernon.

Ara masih tampak syok. Beberapa kali gadis itu tak sadarkan diri.
Semuanya berduka.

Jose mengurung diri di kamar dan terus menerus menangis.
Sementara Daniel dan Danny duduk mematung tak berdaya. Kay berusaha menenangkan Roa yang juga tampak syok.

Sementara Vernon tak lelah untuk terus berada di sisi Ara. Memeluk gadis itu dengan lembut, mencoba menenangkannya. Meskipun ia tahu, hatinya juga hancur dengan kematian Harry dan Dino.

***

Ara duduk membisu di kursi kayu yang berada di kamar Vernon.

Pemuda itu menatapnya dengan tatapan pedih. Tak berdaya.

“Vernon ...” Ara membuka suara lirih.

“Hm,” dan lelaki itu hanya menjawab pendek. Suaranya serak.

“Aku tak punya siapa-siapa sekarang.” Ara kembali berujar tanpa menatap lelaki yang duduk tak jauh darinya. Suaranya luruh, tak bernyawa. “Aku tak punya siapa-siapa sekarang.” Ia kembali mengulangi kalimatnya.

“Apa kau akan meninggalkanku?” Kali ini ia menoleh dan menatap langsung ke mata coklat Vernon.

Sementara yang ditatap hanya mampu membisu tanpa tahu harus menjawab.

“Jangan pergi ...” Dan air mata Ara kembali menitik. “Jika kau pergi, aku tak tahu harus bagaimana lagi.” Bahunya terguncang.

“Bisakah kau membawaku? Aku tak peduli ke mana kalian pergi. Bisakah kau membawaku, bersamamu?”

Vernon menggigit bibirnya. “Ara ..” Suaranya tercekat.
“Ini berbahaya. Nyawamu bisa terancam. Dan...”

“Aku bahkan seperti orang mati sekarang.” Perempuan itu terisak. “Jangan pergi, kumohon. Jika kau harus pergi, bawalah aku bersamamu. Aku tidak bisa di sini sendiri. Tidak akan bisa...”

Kedua mata Vernon berkaca-kaca. Perlahan ia bangkit lalu beranjak.

Dengan hati hancur ia berlutut di depan gadis yang tampak ringkih tersebut. Tangannya terulur, menyingkirkan untaian-untaian rambut dari wajahnya lalu menyelipkan ke belakang telinga.

“Ini takkan mudah, Ara ...” desisnya. Ia membelai pipi gadis itu dengan lembut. “Ini takkan mudah,” desisnya lagi.

Tapi sejauh apapun ia menolak, hatinya takkan bisa berbohong. Ia takkan bisa jauh dari Ara. Takkan bisa.

Lelaki itu menegakkan punggungnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Ara, lalu mengecup bibirnya. Lembut dan perlahan.

Dan air matanya berjatuhan, tepat ketika ia merasakan Ara membalas ciuman bibirnya.

Dan ciuman itu seolah sebagai jawaban, bahwa ia akan membawa Ara bersamanya. Apapun yang terjadi.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro