Chapter 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Alam bawah sadar Ara dipenuhi dengan berbagai kenangan yang saling tumpang tindih.

Kecelakaan kedua orang tuanya, kematian Harry, Dino, dan juga peritiwa-peristiwa antara dirinya dan para Nephilim.

Ia tak tahu apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Yang jelas, ia merasakan sakit di mana-mana. Di kepala, di kaki, di ulu hati, semuanya sakit.

Suara-suara lain juga berseliweran di kepalanya. Entah suara siapa.
Terdengar namanya dipanggil berulang-ulang. Ia juga mendengar isak tangis.

Siapa yang memanggil namanya?
Siapa yang menangis?

Vernon?

Tiba-tiba ia ingat dengan pemuda itu. Nephilim baik hati yang membuat dunianya jungkir balik. Ingin ia membuka mata, bersuara, tapi semakin ia berusaha, rasa sakit yang menghinggapi tubuhnya kian lekat.
Akhirnya ia memutuskan untuk menyerah. Menerima rasa sakit yang kian menjadi.

***

Ara tak ingat awal mulanya ketika ia bisa membuka mata. Masih diserang rasa pening, ia menatap sekelilingnya. Sebuah ruangan minimalis bernuansa coklat tua. Dan, ada sosok itu di sampingnya. Vernon.

"Vernon___"

"Syukurlah." Vernon mendekatkan wajahnya ke wajah Ara dan berbisik mengucap syukur berulang-ulang. Dan jelas Ara bisa melihat bahwa pemuda itu berurai air mata.

"Terima kasih karena kau tidak pergi, Ara. Terima kasih." Vernon menyentuh tangan Ara dan mengecupnya beberapa kali.

"Kau menangis?" tanya Ara lirih.

Vernon menggigit bibir. "Hanya terlalu senang karena kau membuka mata," jawabnya.

Ara terdiam, mencoba mengingat apa yang barusan menimpanya.
Dan akhirnya ia ingat tentang semuanya. Tentang Kay, tentang malaikat yang berusaha membunuhnya dan ...

"Kay?" Ia bertanya lirih.

Vernon menatapnya. Tak mampu menjawab. Dan ketidak mampuannya untuk menjawab tentang Kay seolah memberitahu dirinya bahwa, malaikat itu telah pergi untuk selamanya.

Ara memejamkan mata. Dan air mata meleleh membasahi pelipisnya.

"Maafkan aku. Maafkan aku ... Jika saja ia tak bersamaku, ia pasti ..."

"Ssstt..." Vernon menggeleng. Menyentuh pipi Ara dengan lembut.
"Bukan." Ia menatap gadis itu dengan penuh kasih. "Bukan salahmu. Ini memang pertempuran kami. Ada kau atau tidak, kami pasti memang akan saling membunuh."

"Roa?"

Vernon mengangkat bahu. "Dia berduka, tapi ia akan baik-baik saja. Percayalah. Oke." Pemuda itu kembali berujar lembut.

"Di mana kita?" Ara kembali bertanya ketika menyadari bahwa ruangan yang ia tempati terasa asing baginya.

"Jose punya sahabat lama yang punya keahlian mengobati. Kami membawamu ke sini," jawab Vernon.

Sesaat kemudian Daniel dan Danny datang ke kamar dengan tergopoh-gopoh beserta Jose di belakang mereka.

Kedua lelaki bersaudara itu segera menyeruak dan berlutut di samping ranjang tempat Ara terbaring. Raut muka mereka terlihat lelah. Tapi ada binar kelegaan di sana.

"Ara, syukurlah kau sudah sadar. Kami benar-benar khawatir padamu. Sejak kau tak sadarkan diri, Danny tak berhenti menangis, Vernon juga," ujar Daniel. Danny melirik ke arahnya dengan kesal.

"Kau juga begitu, kan? Kau juga menangis sesenggukan setiap hari sejak Ara terluka," balasnya.

Daniel mendelik. Sebuah toyoran segera ia sarangkan di bahu Danny.

"Jangan ribut. Biarkan Ara istirahat." Ucapan Jose yang serius menghentikan keributan kecil di antara mereka. Lelaki berwajah bijak itu menatap Ara dengan penuh rasa syukur.

"Kami benar-benar lega kau kembali lagi, Ara. Lukamu parah, tapi kau gadis yang kuat. Terima kasih karena kau bisa bertahan," ucapnya.

Ara tersenyum lemah.
"Terima kasih karena kalian telah menyelamatkanku," jawabnya. Jose mengangguk. Ia menarik kerah baju Daniel dan Danny.

"Sekarang ayo kita keluar. Biarkan dia istirahat," ajaknya.

"Lalu kenapa kau biarkan Vernon di sini? Kami kan juga ingin menjaga Ara." Danny protes.

"Ya, kalau kami kau suruh keluar, kenapa Vernon tidak?" Daniel juga ikut mengomel.

Jose menggigit bibir kesal.
"Karena kalian suka berisik, dan Vernon tidak. Sekarang, ayo keluar." Tanpa membiarkan kedua pemuda itu saling membantah, ia menariknya cepat, keluar kamar.

***

Ara menatap seorang pemuda asing yang melenggang masuk ke kamar dengan langkah santai. Posturnya sedikit kurus tapi tinggi. Ia mengenakan baju kasual yang terlihat modis.

"Hai, aku Bob." Ia menyapa terlebih dahulu. "Senang melihatmu sehat kembali setelah sempat mengalami sekarat," lanjutnya. "Oke, Ara___" Ia mendekati Ara yang masih berbaring. Vernon sedang keluar. Jadi ia sendirian saat ini.

"Siapa kau?" potong Ara.

"Aku Bob." Lelaki itu kembali menjawab santai.

"Maksudku ... siapa kau? Kenapa kau ada di sini?"

Bob memutar bola matanya kesal.

"Ini rumahku. Tentu saja aku di sini," jawabnya.

"Kau sahabat Jose?"

"Tepatnya aku sahabat Jose, Vernon, Roa, Daniel, Danny, mendiang Kay dan juga Dino. Puas? Ada lagi yang ingin kau tanyakan makhluk fana?" Kalimatnya sedikit ketus.

Ara menelan ludah mendengar lelaki itu memanggilnya makhluk fana.
"Apa kau makhluk abadi?"

"Yup." Ia menjawab pendek seraya berdiri di samping ranjang Ara dan bersedekap angkuh.

"Kau apa? Malaikat atau Nephilim?"

"Bukan keduanya."

"Vampir?"

"Bukan juga."

"Lalu?"

Bob menarik napas kesal menghadapi pertanyaan Ara yang bertubi-tubi.
"Nona, aku ke sini untuk memeriksa lukamu, bukan untuk menghadapi sesi tanya jawab." Lelaki itu beranjak dan membuka baju Ara bagian atas dengan tak sabaran untuk memeriksa luka panah di dadanya. Reflek gadis itu menarik bajunya dengan takut.

Bob kembali mendesah.
"Aku dokter, jadi kau tak perlu takut. Aku sudah mempunyai masa kerja ratusan tahun, jadi jangan takut kau akan mengalami malapraktek. Ingat, aku dokter yang berpengalaman, saaangaat berpengalaman," ucapnya kesal.

"Tapi aku tak tahu siapa kau?"

"Kan sudah aku bilang kalau aku itu sahabat Jose, aku yang punya rumah ini dan aku seorang dokter yang merawatmu. Berhentilah cerewet, dasar perempuan," dengusnya seraya kembali menarik baju Ara kemudian memeriksa lukanya.

Malas berdebat lagi, akhirnya Ara membiarkannya.
Sesaat setelah ia selesai memeriksa lukanya, Vernon muncul dari balik pintu.

"Bagaimana keadaannya?" tanya pemuda itu. Bob berbalik dan menatap ke arah Vernon.
"Dia gadis yang kuat. Dan lukanya membaik dengan cepat," jawabnya.
"Tapi pacarmu ini cerewet sekali," keluhnya.

Ara mendelik. "Aku bukan___"

"Minum obatnya dengan teratur. Jika tidak, awas kau." Bob memotong ketus seraya beranjak keluar. Vernon tersenyum mengucapkan terima kasih seraya duduk di sisi Ara.

Sebelum ia sempat bertanya, Vernon dengan suka rela menjelaskan tentang lelaki itu.

"Dia teman kami, Bob. Dia dokter dan dia baik hati, jangan takut," ucapnya.

"Dia bukan Nephilim, bukan malaikat, bukan pula vampir. Aku dengar dia barusan bilang kalau dia juga makhluk abadi. Lalu dia apa?"

"Imp," jawab Vernon cepat.

Ara menatapnya bingung. "Imp? Apalagi itu?"

"Setengah manusia dan iblis."

"Eh?"

Vernon mengangguk.

"Sama seperti kami, dia juga keturunan. Tapi dia keturunan manusia dan iblis. Jadi, yaa, ia seperti manusia pada umumnya. Kadang baik, kadang jika marah, ia seperti iblis." Pemuda itu terkekeh.

Ara melongo.
Setelah Nephilim, sekarang ia berhadapan denga Imp. Oh astaga ...

"Dia juga menjalani hidupnya seperti manusia pada umumnya. Seperti kami juga. Bedanya, kami berbisnis, Bob memutuskan sekolah kedokteran. Ia juga berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain."

"Apa dia juga diburu?"

Vernon menggeleng. "Tidak. Dia berpindah-pindah karena siklus saja. Orang di sekitarnya menua, dan dia tidak. Makanya ia sering berpergian. Sungguh suatu keberuntungan kami bisa menemukannya di sini," jawabnya.

Ara mengangguk-angguk.
"Apa Nephilim dan Imp tidak saling bermusuhan?" tanya Ara lagi.

"Tidak juga. Ada yang bermusuhan, ada juga yang tidak. Tergantung dari situasi dan siapa yang dihadapai. Intinya, kami tidak saling bersinggungan satu sama lain. Bob baik karena ia berutang budi pada Jose. Dulu Jose pernah menyelamatkannya. Dan mulai saat itulah, ia bersahabat dengan kami," lanjutnya.

Ara kembali mengangguk-angguk.

Obrolan mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu kembali terbuka dan kali ini Roa muncul dari sana. Sejak sadarkan diri dari pingsan yang cukup lama, ini pertama kalinya Ara melihat perempuan tersebut.

"Vernon, bisa tinggalkan aku dengan Roa?" Ara meminta lirih. Vernon mengangguk seraya bangkit.

"Aku akan meninggalkan kalian berdua," ucapnya seraya meninggalkan ia dengan Roa.

Roa mengangguk dengan kikuk lalu mendekati Ara.

"Maaf aku baru menemuimu. Aku tak bermaksud apa-apa. Hanya___" Ia membuka suara. "Kau tahu bahwa keadaanku sedang tidak baik. Aku perlu waktu untuk ... menenangkan diri."

Ara menatapnya dengan tatapan iba.
"Roa, maafkan aku. Maafkan soal Kay. Aku tidak bermaksud menjadi penyebab ia ..." Suaranya tercekat.

Roa menggeleng.

"Tidak, bukan salahmu. Ini memang betul-betul pertempuran kami. Jika toh ada yang harus mati lagi, kami sudah cukup siap untuk itu. Meskipun tetap saja, ini begitu menyakitkan."
Ia duduk di kursi di dekat ranjang. Kedua matanya berkaca-kaca.

"Aku hanya terlalu mencintainya, Ara. Dia memperlakukanku apa adanya, tanpa rasa takut. Ia bahkan rela meninggalkan segalanya demi aku. Ini ... terlalu berat buatku."

Ara mencoba bangkit. Dengan menahan perih, ia mencoba duduk. Gadis itu mengulurkan tangannya lalu meraih tangan Roa. Air matanya menitik.

"Kemarilah," bisiknya.

Roa bangkit, duduk di samping Ara, dan gadis itu segera memberikannya pelukan.
"Aku turut bersedih," bisiknya.
Dan Roa terisak. Dalam pelukan Ara.

**

Ara sedang menikmati cahaya matahari pagi hari dari balik jendela kamarnya ketika Vernon masuk dan menyapa.

"Wow, kau makin membaik sekarang," ucap Vernon.

Ara tersenyum dan mengangguk. "Aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri. Tidak terlalu jauh, tapi ini lebih baik," jawabnya.

"Mau kubawa ke balkon?" Vernon menawarkan.

"Mau," jawab Ara cepat.

Pemuda itu bergerak, lalu mengangkat tubuh Ara dengan ringan.
"Aku bisa berjalan sendiri." Ara protes.
"Tidak, akan lebih aman kalau aku menggendongmu ke sana," jawab Vernon tegas.
Dan Ara merasakan pipinya bersemu merah.

Lelaki itu membawa Ara ke balkon lalu mendudukkannya di sebuah kursi panjang dari kayu. Gadis itu menghirup udara pagi yang begitu segar. Entah kenapa ia serasa hidup lagi. Rasanya sudah lama sekali ia tidak menikmati saat-saat seperti ini.

"Kau senang?" Vernon duduk di sampingnya. Ara mengangguk.
"Setidaknya setelah ini aku siap untuk berpetualang lagi denganmu, berlari dari satu tempat ke tempat lain," jawabnya dengan kekehan lirih.

Vernon tersenyum kecut.
Hening sesaat.

"Maafkan aku, Ara." Vernon memecah keheningan.

"Untuk?" Ara menjawab tanpa melihat ke arah pemuda yang duduk di sisinya.

"Karena aku nyaris membuatmu terbunuh. Jika saja aku tak membawamu bersamaku, kau tak akan perlu mempertaruhkan nyawamu."

Ara menggeleng lalu menatap Vernon.
"Kita sudah membahasnya. Tolong jangan mengungkitnya lagi. Aku yang ingin ikut bersamamu, bukan kau yang memaksaku. Jadi, berhentilah membicarakan ini. Aku siap berangkat mengikutimu, kapanpun kau memintaku. Oke?" Ia menjawab tegas.

Vernon kembali terdiam.

Hening lagi.

"Ada yang harus kuceritakan padamu, Ara." Suara Vernon terdengar berat.

Ara kembali menatapnya. Kali ini sorot matanya terlihat heran.

Vernon menarik napas sesaat.
"Maaf karena aku tak mampu menjagamu sehingga kau terluka. Dan ... maaf karena aku tak mampu menyelamatkan Harry lagi."

Ara tercenung, menyadari kalimat Vernon yang ganjil.

Menyelamatkan Harry... lagi?

Kenapa dia bilang ia tak bisa menyelamatkannya lagi?

'Lagi'?

Apa maksudnya?

"Apa maksudmu kau tak mampu menyelamatkannya lagi? Apa itu artinya kau sudah pernah menyelamatkannya?"

Kembali Vernon tak segera menjawab. Pemuda itu menelan ludah sebelum akhirnya kembali berkata-kata.

"Ara ..." Suaranya lirih. "Sebenarnya aku sudah bertemu denganmu sejak dua tahun yang lalu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak aku menyelamatkanmu dari kecelakaan itu," ucapnya.

Ara tercengang.

Kecelakaan?

"Hari ketika kau mengalami kecelakaan dengan kedua orang tuamu, akulah yang telah menyelamatkanmu dan juga Harry. Aku berhasil mengeluarkan kalian sesaat sebelum mobil itu meledak," ucapnya lagi.
Kedua mata Ara membulat karena kaget. Ia menatap lelaki di hadapannya nyaris tak berkedip.

"Berceritalah dengan lebih jelas," titahnya dengan suara berat.

Vernon meremas jemarinya dengan gusar sebelum akhirnya kembali berkata-kata.

"Waktu itu aku hanya sedang lewat ketika melihat mobil yang kalian tumpangi terperosok ke jurang. Orang tuamu sudah meninggal di tempat kejadian ketika aku sampai di sana. Dan sebelum mobil itu meledak, kau dan Harry berhasil kukeluarkan. Sementara ayah dan ibumu --- maafkan aku. Aku tak mampu menyelamatkan mereka."

Ara tampak terpukul dengan cerita yang diutarakan Vernon.

Segera pikirannya kembali ke peristiwa sekitar dua tahun yang lalu ketika ia dan seluruh keluarganya mengalami kecelakaan.

Banyak yang menduga bahwa ia dan Harry bisa selamat dari kecelakaan mengenaskan itu karena sebuah keajaiban. Banyak juga yang mempertanyakan bagaimana ceritanya dua bocah itu bisa selamat sementara kedua orang tua mereka terpanggang di dalam mobil?

Ternyata, inilah alasannya.
Karena Vernon telah menyelamatkan mereka!

"Aku tahu Harry baik-baik saja. Dan aku tahu bahwa kau mengalami patah tulang rusuk sebelah kanan. Ketika kau dirawat di Rumah Sakit, aku selalu rajin mengunjungimu secara sembunyi-sembunyi. Dan dari situlah, akhirnya aku menyadari bahwa ... aku telah jatuh cinta padamu," ucap Vernon lagi.

Kedua mata Ara mengerjap. Vernon mencintainya...

"Kepindahanku di sebelah rumahmu bukan suatu kebetulan, Ara. Akulah yang telah membujuk Jose agar membeli rumah itu dan kami bisa tinggal tepat di sebelah rumahmu. Kau tahu alasannya? Karena aku memang telah jatuh cinta padamu. Aku ingin dekat denganmu, aku ingin melihatmu setiap hari, dan..." Vernon kembali bercerita dengan canggung.

"Sebenarnya Jose sudah melarangku. Ia keberatan dan mengatakan padaku bahwa mencintai manusia hanya akan menempatkannya pada bahaya. Tapi ... " Kalimatnya terhenti sesaat. "Aku tak bisa menahan diriku. Aku tak bisa menahan rasa cintaku padamu. Aku tak bisa menahan diri untuk dekat denganmu," lanjutnya.

Kenangan-kenangan awal pertemuannya dengan Vernon mulai bermunculan di benak Ara. Ia ingat bahwa ia nyaris mati tertimpa dahan pohon yang jatuh. Ternyata, itu juga bukan suatu kebetulan.

Vernon ada di sana untuk menyelamatkan nyawanya!

"Maafkan aku Ara ..." Kedua mata Vernon berkaca-kaca hingga membuat dada Ara sesak.
"Maafkan aku. Jika saja aku mendengarkan saran Jose, jika saja aku tidak nekat tinggal di dekat rumahmu, jika saja aku tidak nekat mendekatimu, mungkin saat ini kau masih hidup bahagia dengan adikmu. Kau tak perlu susah-susah bersamaku hingga akhirnya dapat membahayakan nyawamu..." Kristal bening di mata berwarna coklat itu menitik.

"Aku tahu bahwa mencintai seorang makhluk fana adalah sesuatu yang tidak mungkin buatku. Tapi aku benar-benar tak bisa menahan diriku untuk mencintaimu. Cinta ini bisa jadi cinta terlarang, tapi setidaknya kau tahu bahwa ... ada makhluk abadi yang bersedia bertekuk lutut dan mau melakukan apapun untukmu," suaranya tercekat.

Ara menelan ludah. Ia merasakan kedua matanya juga basah.

Jadi seperti inikah ceritanya?
Pemuda di hadapannya ini begitu mencintainya hingga ia berniat menerjang takdir demi dirinya?

"Karena itu, Ara ..." Lelaki itu kembali berucap. "Demi keselamatanmu, aku tak bisa lagi membawamu. Kau harus aman. Jadi___" Bibirnya bergetar.

"Kita akan berpisah."

Air mata Ara menitik.

"Aku akan pergi, dan Bob akan mengantarkanmu ke tempat asalmu," ucap Vernon lagi.

Ara menggeleng lirih. "Tidak ..." desisnya.

Gadis mungil itu beringsut mendekati Vernon lalu menyentuh pipinya dengan lembut.

"Kau tak bisa meninggalkanku begitu saja setelah apa yang kualami bersamamu, Vernon. Tidak akan." Ia berbisik pilu.

"Tapi Ara ..."

Ara mendekatkan wajahnya ke arah lelaki itu lalu mencium bibirnya dengan lembut. Air matanya jatuh berderaian.

"Tidak." Ia berbisik di atas bibirnya.
"Kau tidak akan pergi meninggalkanku. Kau sudah berjanji membawaku. Dan kau harus menepatinya." Dan ia kembali mencium bibir Vernon, kali ini lebih lembut.

Vernon memejamkan matanya dengan frustrasi, sebuah kebingungan yang tak berujung.

Yang mampu ia lakukan saat ini adalah membingkai wajah Ara dengan kedua tangannya, lalu membalas ciuman perempuan tersebut dengan sepenuh hati.

Dalam hati ia menjerit pilu, jika saja ia mampu, ia bersedia menukar segala yang ia punya demi bisa mengabadikan momen ini.

Momen bersama Ara, memeluknya, dan mencium bibir manisnya dengan sepenuh jiwa raga.

***

Ketika Ara bangun keesokan harinya, yang ia temukan adalah secarik kertas di meja rias yang berisi ucapan perpisahan.

Dari Vernon.

--Maafkan aku, Ara. Mulai sekarang, hiduplah dengan baik. Selamat tinggal.-

Ara membaca tulisan itu berulang-ulang dengan hati hancur. Ia terisak seketika.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro