1. Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tap bintang dulu sebelum baca.
Selamat membaca ....

***


"Nai, kapan lo nikah?"


"Nai, lo kok sendirian terus?"

"Nai, kapan lo kenalin cowok ke kita-kita?"

"Nai, elo normal, 'kan?"

"Nai, jangan jadi prawan tua."

"Nai, jangan sibuk kerja terus, umur kamu sudah hampir kepala tiga, masa iya kalah sama temen-temen kamu?"

Gadis bernama lengkap Naina Aulia Hermawan mengembuskan napas ketika kalimat itu muncul dalam benaknya, mengusik konsentrasi kerjanya. Pena yang sedang ia pegang diletakkan ke atas tumpukkan kertas, lalu menyandarkan punggung pada kepala kursi. Perhatiannya teralih pada sebuah lembar undangan. Napas kembali ia hela. Matanya memejam, mengabaikan sejenak kerusuhan yang terjadi dalam pikirannya antara pekerjaan dan menghadiri undangan itu.

Bukan tidak ingin menghadiri acara itu, tapi Naina malas karena salah satu syarat hadir di acara itu harus dengan pasangan. Dan alasan lain yang sangat dia hindari adalah sindiran para sahabat mengenai statusnya yang saat ini masih jomlo. Hampir semua teman dekatnya sudah menikah atau memiliki pasangan, dan hanya Naina sendiri yang masih seorang diri tanpa kekasih ataupun calon suami.

"Jadi ikut buat besok malam?"

Sebuah pertanyaan terlontar, membuat konsentrasi Naina teralih. Dia membuka mata, menegakkan tubuh, lalu menatap ke sumber suara.

"Nggak tau, Dev. Aku masih galau antara datang dan nggak," balasnyaa pada Devi, sahabat dekatnya sekaligus rekan di kantor.

Senyum menghiasi raut Devi ketika mendengar ucapan Naina. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan Naina. "Pasangan?" tebaknya.

Naina kembali menghela napas, membuang wajah, lalu kembali menyandarkan tubuh pada kursi. "Kayaknya aku nggak datang deh, Dev." Naina menimpali.

"Nggak datang lagi? Lo serius? Ini Gita yang ultah, Nai. Lo tega nggak datang? Gimana perasaan Gita nanti?" cecar Devi.

Naina menatap Lina. "Laper nggak? Ke kantin, yuk?" ajak Naina mengalihkan topik dan suasana. Tubuhnya beranjak dari kursi.

Devi pun ikut beranjak, mengikuti langkah Naina. "Kalo lo serius nggak datang, gue nggak jamin Gita masih mau temenan sama lo, Nai. Lo lupa sama Dinda? Gara-gara lo nggak datang di acara ultahnya dia, akhirnya lo jadi slek sama Dinda sampai sekarang?"

Naina hanya diam, tapi benaknya terpancing akan ucapan Devi. Benar. Karena ego, persahabatannya dengan Dinda renggang. Naina tak ingin hal itu kembali terulang hanya karena merasa sakit hati dengan sindiran sahabat-sahabatnya yang mengatakan jika Naina perawan tua.

Apa aku kudu datang? Aku takut Gita kecewa kayak Dinda. Tapi-

"Nai." Devi membuyarkan pikiran Naina.

"Iya, nanti aku datang," balas Naina akhirnya setelah mereka tiba di kantin.

"Gitu, dong. Buktikan sama mereka kalau lo kuat. Lagian, kenapa sih, lo nggak terima saja si Ian? Dia kan-"

Ucapan Devi terpotong karena Naina membekap mulutnya dengan tangan. Jangan sampai karena ucapan Devi jadi bahan gosip di kantor karena Ian mengincar Naina. Naina tak akan pernah menerima laki-laki yang statusnya masih simpang siur.

"Kamu ini kebiasaan. Bisa nggak jangan bikin keruh suasana?" desis Naina. Ia mendaratkan tubuh di kursi setelah melepas tangan dari mulut Devi.

Devi hanya tersenyum lebar. Naina memutar bola mata jengah melihat sahabatnya terkadang remnya tak pakem. Tapi, dari sekian banyak teman Naina di kantor hanya Devi yang bisa mengerti keadaannya. Tak pernah membicarakan kejelekan Naina atau menyudutkannya perihal pasangan.

Naina dan Devi menikmati makan diang diselingin dengan obrolan tengan acara ulang tahunnya Gita. Naina kembali harus berbesar hati, menerima keadaan, datang seorang diri tanpa pasangan, dan pastinya akan kembali menjadi sorotan sahabat-sahabatnya karena selalu datang sendiri.

***

Langkah gontai Naina ayunkan memasuki rumah. Tas ia letakkan di atas meja, lalu mendaratkan tubuh di sofa ketika tiba di ruang keluarga. Kakinya bergerak untuk melepas sepatu slop dari kakinya. Mata pun ia pejamkan untuk menghalau rasa lelah.

"Kamu udah pulang?"

Sebuah pertanyaan menggema di ruang itu. Mata Naina terbuka ketika mendengar suara seseorang yang cukup lama yak ia dengar. Senyum terukir di bibir manisnya.

"Kakak pulang kapan? Kok nggak kasih tau?" tanya Naina pada kakak sulungnya, Farha.

Farha beranjak duduk di samping adiknya. "Tadi siang," balasnya.

"Mas Bram?" tanya Naina lagi.

"Dianterin Mas Bram tadi siang sekalian dia mau ke bandara buat tugas di Singapur," timpal Farha.

Naina hanya mengangguk. Farha meraih ponsel dari saku pakaiannya, lalu menatap layar pada benda pipih itu. Tatapannya berharap, semoga Naina setuju dengan niatnya.

"Nai. Kakak daftarin kamu di Madam Rose."

Naina kembali menoleh pada sang kakak. Dahinya berkerut. "Madam Rose?"

Farha mengangguk antusias.

"Apaan Madam Rose?"

"Madam Rose itu aplikasi dating online, Nai. Semacam kontak jodoh gitu," jelas Farha. "Banyak yang goal, kok. Temen Kakak juga goal ikut dating online di Madam Rose, makanya Kakak tertarik daftarin kamu ke sana," sambungnya.

"Apa?! Enggak, ya! Emang Nai nggak laku sampai ikut-ikut kayak gitu segala? Nai pokoknya nggak mau!" tolak Naina keras.

"Coba aja dulu, Nai. Aplikasinya bisa difilter, kok. Kamu juga bisa milih. Kakak udah daftarin loh atas nama kamu. Siapa tau rezeki kamu ketemu jodoh di Madam Rose." Farha masih membujuk.

Naina beranjak dari sofa. "Enggak! Pokoknya Naina nggak mau! Naina masih bisa cari calon sendiri tanpa harus ikut biro jodoh!" Dia beranjak meninggalkan ruang tengah.

"Sampai kapan mau jomlo terus, Nai? Kamu nggak malu diomongin temen-temen sama tetangga gara-gara kamu nggak nikah-nikah sampai dilangkahi Nara?" Farha tak mau kalah.

"Ada apa, sih?" tanya Asih ketika melihat wajah salah satu putrinya kesal.

"Tanya Kak Farha, tuh!" balas Naina kesal, berlalu menuju kamarnya.

Naina membanting keras pintu ketika tiba di kamarnya. Wajahnya masih terlihat kesal karena tawaran dari kakaknya. Pertemuan yang didambakan akan meluapkan kerinduan, nyatanya berakhir kisruh karena biro jodoh daring itu.

Pokoknya aku enggak akan mau ikut biro jodoh itu. Entah apa yang merasuki Kak Farha bisa-bisanya nawarin aku ikut kayak gituan. Aku masih bisa cari sendiri dan dapat laki-laki yang lebih baik dari Seno!

Kesalahan terbesar Naina lima tahun silam adalah mengabaikan perasaan Seno yang serius padanya, tapi Naina lebih memilih untuk menyelesaikan pendidikannya daripada menerima lamaran Seno. Kini, penyesalan pun menghantui Naina karena rasa cinta pada Seno hadir setelah wanita lain terpilih untuk Seno nikahi. Benar. Penyesalan itu memang selalu datang di akhir. Naina menyadari akan hal itu.

Naina adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Farha anak sulung, Naina anak kedua, dan Kinara anak bungsu. Kakak dan adik Naina sudah menikah, dan dia dilangkahi oleh Kinara. Naina tak keberatan untuk dilangkahi jika jodoh sang adik memang sudah ada. Kini, tinggal Naina yang belum menikah, dan tanpa disaksikan sang ayah karena sudah dipanggil yang Mahakuasa setelah menikahkan Kinara. Mungkin itu salah satu alasan Naina enggan mengenal laki-laki, karena dia merasa kecewa pada diri sendiri telah membuat sang ayah malu dengan penolakannya pada Seno.

***

Apa ada dari kalian yang kayak Naina?
Disinggung mulu gara2 belum nikah di usia lebih dari 25 tahun? Kalau ada, gimana rasanya?

Yukkk ...
Ramaikan lapaknya biar aku semangat nulis dan cepat update.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro