2. Dalang Utama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fabian Nagara
32 tahun
Manajer Administrasi
.
.
.
☆☆☆

Naina menghempaskan tubuh pada kursi kerjanya. Pikirannya seakan mau pecah. Bukan memikirkan masalah pekerjaan, tapi pikirannya masih dipenuhi tentang niat 3 wanita sedarah yang masih kukuh untuk menjebloskannya ke dalam biro jodoh daring Madam Rose. Siapa lagi kalau bukan Ibu, kakak, dan adiknya. Ya. Ibu dan adiknya terlibat dalam rencana pencarian jodohnya melalui aplikasi itu. Dan yang membuat Naina syok, ternyata yang mendalangi kasus itu adalah ibunya. Naina mengetahui hal itu dari adik bungsunya. Bagaimana Naina tidak stres?

"Oi ..."

Perhatian Naina teralih. Pandangan ia lempar ke arah Devi. Devi menaikkan kedua alisnya, kepo. Naina hanya menghela napas.

"Biasa," ucapnya tanpa suara.

"Laporannya sudah jadi, Nai?" Sebuah pertanyaan terlontar.

Naina bergegas membetulkan posisi duduknya, lalu menatap sumber suara. Senyum paksa ia sungging untuk atasannya, Fabian Nagara. Laki-laki yang tak pernah lelah menggoda dan mengajaknya untuk kencan. "Sudah, Pak," balasnya, lalu meraih map yang sudah disiapkan dan memberikannya pada Ian sebelum laki-laki itu meluncurkan serangan gombal padanya.

Ian menerima map itu. "Nanti malam sibuk nggak, Nai?" tanyanya sambil membuka map itu di samping meja kerja Naina. Lebih tepatnya basa-basi untuk kembali mengajak Naina makan malam.

"Nanti malam saya ada acara, Pak." Naina menyalakan komputernya.

Sudah ke sekian kali Ian mengajak untuk makan malam bersama, tapi Naina selalu menolak. Bukan makan malam bersama, tapi lebih tepatnya kencan. Bukan karena dia tak suka dengan atasannya, tapi karena status Ian yang masih dalam tahap perceraian, katanya. Naina tak mau ambil resiko. Beda kasus kalau Ian sudah resmi bercerai atau masih single, mungkin Naina akan mempertimbangkan.

"Kamu sudah punya calon?" tanya Ian lirih, menutup map yang ada di tangannya.

"Pak, ini masih jam kerja. Aku mau fokus sama tugas dulu." Naina mengabaikan pertanyaan Ian, sibuk dengan laptopnya. Pura-pura.

"Masih ada yang kurang dari laporan ini." Ian meletakkan map itu di atas meja kerja Naina.

Naina meraih map itu, lalu membukanya. Ian tersenyum sambil menatap raut Naina yang masih sibuk meneliti laporan yang dibuatnya. Devi pun curi-curi pandang ke arah meja kerja Naina. Ian mendekat ke tubuh Naina. Persis di belakangnya. Tangannya bergerak, menunjukkan letak kesalahan dalam laporan tersebut. Naina menelan ludah ketika mendapati dada Ian menempel punggungnya. Ia bergegas menutup map itu. Keheningan pecah ketika Devi sengaja batuk.

"A-akan segera saya revisi," ucap Naina gugup.

Ian menegakkan tubuhnya. "Cepat revisi dan bawa ke ruanganku. Laporannya sudah ditunggu." Ian membalas.

Naina mengangguk.

"Pak Ian, dicari Pak Anton." Seseorang menyampaikan.

"Aku tinggal dulu, Nai. Kabari jika nanti malam ada waktu kosong. Aku siap menemani." Ian pamit.

Naina mengabaikan ucapan Ian, pura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Napas ia hela ketika Ian sudah berlalu dari hadapannya. Tubuh pun disandarkan pada kepala kursi.

"Kenapa ntar malam nggak ajak Pak Ian saja ke acara ultahnya Gita?" tanya Devi memecah keheningan.

Naina menoleh ke arah Devi. "Mau cari masalah? Dia belum sah cerai, Dev. Kalau aku mau, udah dari dulu terima dia. Sayangnya aku nggak tertarik sama suami orang," balas Naina cuek.

"Kan masih proses, Nai." Devi menimpali.

"Sama saja. Kalau status dia belum cerai, nanti aku dikira pelakor. Aku nggak mau ambil resiko." Naina kembali menatap layar komputernya.

Saat ini, tak ada yang lebih penting dalam kehidupan Naina kecuali pekerjaan. Tinggal menghitung pekan masa kontrak kerjanya akan habis di kantor itu, dan ia akan terbebas dari godaan Ian. Hanya butuh kesabaran sampai hari itu tiba.

***

"Jangan lupa, Nai, nanti malam." Devi mengingatkan Naina ketika mereka tiba di area parkiran kantor.

Naina mengacungkan jempol, lalu masuk ke dalam mobil. Sebelum pulang ke rumah, dia harus mampir ke toko kue atas permintaan sang mama. Naina melajukan mobilnya keluar dari area kantor. Klakson ia tekan untuk pamit pada Devi yang sedang menanti taksi daring.

Akan ada banyak persiapan yang harus Naina lakukan sebelum pulang ke rumah dan ke acara ulang tahun Gita. Persiapan sebelum pulang, dia harus menyiapkan telinga, hati, dan kesabaran karena akan mendapat bujukan untuk menerima kencan buta itu. Persiapan sebelum ke acara ulang tahun Gita pun sama, harus siap mental menerima sindiran dari sahabat-sahabatnya karena masih menjomlo.

Naina turun dari mobil ketika tiba di halaman toko kue yang dituju. Cukup ramai. Pantas jika sang mama sering membeli kue di toko itu. Naina bergegas masuk ke dalam dan mencari kue yang diinginkan sang mama. Pandangannya sibuk antara ponsel dan etalase yang menampilkan pemandangan kue berjajar. Tangannya bergerak untuk meraih kue yang dituju, dan di saat yang sama seorang wanita pun akan ikut meraih. Naina sontak menoleh dan tersenyum ketika mendapati wanita paruh baya di sampingnya akan meraih kue yang sama.

"Nggak apa-apa kalau kamu mau ambil duluan." Wanita itu menyilakan Naina untuk mengambil duluan.

Naina hanya mengangguk, masih tersenyum ramah, lalu meraih beberapa kue tersebut. Ia lalu meninggalkan wanita itu untuk menuju etalase lain, mencari kue lain yang belum diambil.

Setelah semua kue didapat, Naina bergegas menuju kasir untuk membayar. Perhatiannya teralih ketika melihat wanita paruh baya yang ditemuinya tadi sedang bermasalah pada kasir.

"Saya bawa dompet, dan sudah memastikan saat mau turun dari mobil, tapi dompetnya hilang," kata wanita itu pada bagian kasir.

Naina hanya terdiam menyaksikan masalah yang terjadi di hadapannya. Seorang laki-laki masuk ke dalam dan memberi kabar jika ia tak menemukan dompet milik wanita itu. Sudah pasti itu sopirnya karena terlihat dari pakaiannya. Wanita itu terlihat sedih. Naina menghampiri kasir untuk membayar belanjaannya. Diulurkannya kartu debit pada kasir.

"Kamu nggak ada uang? Ibu pinjam dulu, nanti kalau sampai rumah diganti," kata wanita itu pada sopirnya.

"Mbak, saya bayar sekalian sama punya Ibu ini." Naina menyampaikan pada kasir.

Kasir itu hanya mengangguk, melakukan permintaan Naina. Naina tak tega melihat wanita itu dalam kesulitan apalagi sedang butuh. Bagaimana jika posisi terjadi pada sang mama?

"Ya ampun, kok begitu," timpal wanita itu bingung.

"Nggak apa-apa, Bu." Naina membalas.

Masalah pembayaran selesai. Dua struk berada di tangan Naina. Satu struk ia pegang, dan satunya lagi diberikan pada wanita itu.

"Nanti saya ganti. Boleh minta nomor telepon dan nomor rekening kamu?" pinta wanita itu.

"Nggak perlu, Bu. Saya ikhlas bantu." Naina menolak halus.

"Jangan gitu. Itu jumlahnya banyak, loh. Ibu minta nomor telepon atau alamat rumah kamu biar nanti sopir saya yang antar uangnya ke rumah kamu." Wanita paruh baya itu masih kukuh.

Naina meraih kartu nama dari dalam tasnya. "Ini kartu nama saya," katanya sambil menyodorkan kartu nama pada wanita itu.

Wanita itu menerima kartu nama Naina. Ditatapnya kertas persegi itu. "Naina Aulia," kata wanita itu.

Naina hanya tersenyum dan mengangguk.

"Baiklah, nanti saya akan kabari. Saya permisi karena sebentar lagi anak saya akan berangkat ke Rusia." Wanita itu pamit.

Naina kembali mengangguk, menatap kepergian wanita itu. Ia pun harus segera pulang karena sang mama pasti menunggu. Sudah beberapa kali Naina menolong ibu-ibu yang sedang kesusahan. Ia selalu membayangkan jika posisi itu terjadi pada mamanya.

Kunci terjatuh dari tangan Naina ketika akan membuka pintu mobilnya. Ia segera memungut benda itu di bawah mobil. Perhatian Naina teralih pada sebuah dompet di bawah mobilnya. Tangannya bergerak meraih dompet dan kunci mobilnya. Dompet warna hitam kini ada di tangannya.

Dompet siapa?

Pandangan ia lempar ke sekitar. Tak ada yang terlihat merasa kehilangan. Tak mau membuang waktu, Naina bergegas masuk ke dalam mobil dan meletakkan dompet itu di dasbor. Dia harus segera pulang karena langit sudah mulai gelap tanda akan hadirnya malam. Ingatan Naina tertuju pada wanita paruh baya itu saat menerka pemilik dompet tersebut.

Apa dompet ini milik ibu-ibu tadi? Bisa jadi. Apa aku buka saja dompet ini untuk memastikan? Ah, lebih baik nanti saja kalau aku sudah sampai di rumah. Sekarang aku fokus nyetir biar cepat sampai rumah.

***
Sudah diduga, kejadian seperti itu akan kembali Naina rasakan. Disudutkan dan diejek di tempat umum memang menyakitkan. Bukan hanya menyakitkan, tapi juga malu. Kali ke sekian Naina diperlakukan seperti itu. Walaupun raganya kuat, tapi hatinya tidak. Sakit di dalam sana. Terlebih yang mengejek teman-temannya. Sahabat macam apa yang tega memperlakukan Naina seperti itu.

"Gimana acaranya?"

Sebuah pertanyaan terlontar saat Naina memasuki ruang keluaga. Naina tak menghentikan langkah. Pertanyaan itu datang dari kakaknya, Farha.

"Biasa," balasnya singkat. Tahu akan ditambahi. Memilih menutupi.

"Masih di-bully?"

Naina mengabaikan ucapan sang kakak, memilih diam, melanjutkan langkahnya menuju kamar. Tak ingin hatinya tambah panas karena ucapan sang kakak. Dahi Naina berkerut ketika melihat Asih keluar dari kamarnya.

"Kamu udah pulang?" tanya Asih.

Naina hanya mengangguk dan memaksa senyum. "Naina masuk kamar dulu," katanya kemudian.

"Tadi Farha beliin kamu baju. Besok pakai, ya, karena mau makan siang bareng." Asih menyampaikan.

Kepala kembali Naina anggukkan. Setelah itu, dia bergegas masuk ke dalam kamarnya. Pandangannya langsung tertuju pada ranjang.

Tumben banget Kak Farha beliin baju baru? Cuma buat makan siang bersama?

Sejak Naina dan Kinara mulai bekerja, Farha hampir tak pernah membelikan adik-adiknya pakaian. Naina dan Kinara sudah bisa membeli sendiri dari jerih payah mereka tanpa mengharap lagi dari sang kakak. Beda kasus untuk hari ini.

Naina meletakkan pakaian di atas kursi, lalu bergegas menuju kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Hari ini sudah cukup melelahkan baginya. Lelah dengan pekerjaan, ditambah dengan ejekan para sahabat. Lengkaplah lelah hati dan raga.

☆☆☆

《《 Bersambung ...》》

Kira-kira ... besok bakal terjadi apa, ya?
Aku kasih kejutan besok buat Naina dan kalian.

Stay aja di lapak ini jangan jangan lupa kasih aku semangat biar cepat up.

Thank you all ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro