16. Harus Berani

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah amplop coklat tergeletak di atas meja kerja Naina. Walaupun sudah menolak, tapi Juna kukuh untuk membayar usaha Naina menemaninya di pesta pernikahan itu. Naina menghela napas. Sampai kapan pun ia tidak akan menerima uang itu. Menerima uang itu sama saja merendahkan harga dirinya, rela dibayar hanya untuk menemani Juna.

Naina beranjak dari kursi kerjanya. Ia akan mengembalikan amplop itu sekaligus mengantar dokumen yang Juna minta. Langkah ia ayun untuk menuju ruangan Juna. Napas kembali ia hela ketika tiba di depan pintu ruangan atasannya itu. Tangannya bergerak, lalu mengetuk p

intu ruangan Juna. Naina membuka pintu ruangan atasannya ketika mendapat balasan dari dalam. Kakinya melangkah santai menghampiri bosnya yang sedang sibuk dengan layar komputer.

"Ini berkas yang Bapak minta." Naina meletakkan map di sisi meja yang kosong. "Dan saya ingin mengembalikan ini." Naina meletakkan amplop coklat di sisi map.

Juna menatap sekilas amplop yang diletakkan Naina. Pandangannya kembali pada komputer. "Aku sudah memberikannya padamu, dan uang itu sudah sesuai perjanjian. Ambil dan jangan pernah dikembalikan," balasnya tanpa menatap Naina.

"Maaf. Saya tidak bisa menerima." Naina menimpali. "Saya pamit, lanjutnya. Ia mengangguk, lalu beranjak  meninggalkan ruangan itu.

"Kamu tersinggung?" tanya Juna sebelum Naina keluar dari ruangannya. Masih menatap komputer.

Langkah Naina terhenti. "Saya hanya tidak menyukai cara Bapak. Kenapa tidak berkata jujur mengenai undangan pesta pernikahan teman Bapak, bukan pertemuan dengan kolega?" ucapnya tanpa membalikkan tubuh.

Juna seketika terdiam. Bingung menjelaskan pada Naina.

Mendapati Juna tak membalas, Naina melanjutkan langkah untuk keluar dari ruangan atasannya itu. Juna hanya menatap kepergian Naina. Naina merasa telah dimanfaatkan Juna. Seharusnya Juna jujur. Kalaupun jujur, Naina masih bisa mempertimbangkan ajakan Juna.

Naina menghempaskan tubuh pada kursi kerja. Tatapannya beralih pada ponselnya yang tergeletak di atas meja. Terdapat panggilan masuk dari seseorang. Ia bergegas meraih benda pipih itu. Nama Adit tertera di layar ponselnya. Naina bergrgas menggeser ke warna hijau.

"Iya, Mas Adit." Naina menyapa Adit di sebrang sana.

"Apa aku mengganggu pekerjaanmu?" tanya Adit.

"Oh, nggak. Kalau sibuk, aku nggak mungkin angkat telepon Mas Adit," balas Naina dengan senyum tanpa Adit tahu.

"Syukurlah." Adit terdengar lega.

"Ada apa ya, Mas?" Nanina memastikan.

"Kamu bawa mobil?" tanya Adit.

"Enggak, Mas. Sekarang jarang naik mobil karena takut terjebak macet." Naina menimpali.

"Butuh jemputan?" Adit menawarkan. "Itu kalau kamu mau," imbuhnya sebelum Naina membalas.

"Boleh, kalau nggak bikin repot Mas Adit." Naina menerima.

"Mau dijemput jam berapa?"

Naina berpikir sejenak. "Sekitar jam setengah lima," balasnya.

"Iya. Nanti aku jemput sekitar jam itu."

Setelah obrolan bersama Adit selesai, Naina meletakkan ponselnya pada tempat semula. Ia kembali sibuk pada pekerjaannya. Telepon dari Adit seakan menjadi pelipur hatinya di saat kecewa pada Juna yang sudah memanfaatkannya.

***

Naina merapikan meja kerjanya. Jam menunjukkan waktu pulang. Pekerjaannya sudah selesai, dan tidak ada waktu lembur untuknya. Perhatian Naina teralih ketika mendengar deringan ponselnya tanda panggilan masuk. Naina bergegas meraih benda pipih itu karena Adit menghubunginya. Ia menggeser layar ke warna hijau, lalu menempelkan benda pipih itu pada teling.

"Iya, Mas Adit," sapanya pada Adit.

"Aku sudah tiba di lobi," balas Adit.

"Tunggu, ya, Mas. Ini aku lagi siap-siap," Naina menimpali sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas.

"Iya. Jangan buru-buru. Aku baru sampai, kok."

Naina menatap sekitar ruangannya. Aman. Ia bergegas meninggalkan ruangannya.

"Nai," panggil Adit.

Perhatian Naina kembali pada ponsel. "Eh, iya, ini aku jalan keluar. Aku matiin, ya."

"Bisa kita bicara sebentar?"

Langkah Naina terhenti. Ia menjauhkan ponsel dari telinga ketika mendengar suara Juna.

Ada apa lagi? Aku sudah pamit padanya untuk pulang, dan dia mengiyakan.

"Apa kamu nggak dengar?" tanya Juna.

Perhatian Naina teralih, lalu terpaksa membalikkan tubuh. Senyum getir tersungging. "Maaf. Saya buru-buru karena sudah dijemput," katanya pada Juna.

"Oh," balas Juna singkat.

Naina mengangguk pada Juna, lalu beranjak pergi dari hadapan atasannya itu. Juna pun melanjutkan langkahnya untuk pulang, mengikuti Naina dari belakang.

Lift terbuka. Lift yang ia masuki berbeda dengan Juna. Naina keluar dari dalam lift, lalu berjalan cepat menuju lobi. Khawatir jika Adit terlalu lama menunggu. Naina mengedarkan mata ketika tiba di lobi.

"Nai ...!!!"

Pandangan Naina langsung menuju sumber suara. Adit berdiri tak jauh dari posisinya. Kali ini, Naina tak merasa risih dengan penampilan Adit karena laki-laki itu mengenakan pakaian Biasa. Naina tersenyum, lalu bergegas menghampiri Adit.

"Maaf kalau sudah bikin nunggu lama," ungkap Naina ketika tiba di hadapan Adit.

"Nggak apa-apa," balas Adit dengan senyum ramah.

Senyum pun masih menghiasi wajah Naina. Di saat yang sama, Juna tiba di lobi. Tak sengaja, pandangannya menangkap sosok Naina yang sedang berbicara dengan laki-laki yang tak ia kenali. Ada perasaan aneh yang masuk ke dalam hatinya. Entah itu perasaan kecewa, atau justru perasaan cemburu.

Adit mengajak Naina untuk meninggalkan kantor. Ia sengaja menjemput Naina karena ada hal yang ungin disampaikan. Naina masuk ke dalam mobil ketika Adit membukakan pintu untuknya. Ada perasaan bahagia yang tercipta pada diri Naina karena Adit perhatian padanya.

"Mas Adit jadi repot-repot jemput aku. Padahal aku bisa pulang sendiri Naik taksi atau ojek." Naina membuka suara ketika mobil Adit sudah meninggalkan area kantor.

"Santai saja, Nai. Kebetulan searah, dan ada hal penting yang ingin kusampaikan sama kamu." Adit menatap sekilas ke arah Naina, lalu kembali fokus pada kemudi.

"Mengenai?" tanya Naina.

"Hubungan kita," timpal Adit tanpa menatap Naina.

"Hubungan kita?" tanya Naina lirih.

Senyum miring tercetak pada raut Adit krtika mendengar pertanyaan Naina. Ia sengaja mengatakan hal itu karena memang tujuannya menemui Naina untuk mengatakan hal penting tentang hubungan mereka.

"Nati kamu akan tau, Nai." Adit menimpali.

Hubungan kita? Apa Mas Adit mau nembak aku? tanya Naina dalam hati.

Mobil yang mereka naiki tiba di halaman parkir sebuah kafe. Naina bergegas turun sebelum Adit membukakan pintu untuknya. Mereka memasuki kafe dengan beriringan. Hati Naina masih dipenuhi pertanyaan mengenai ucapan Adit.

Mereka duduk di sofa dekat kaca. Adit meraih buku menu untuk menentukan hidangan yang akan disantap menemani obrolan mereka. Pelayan datang menyapa mereka sekaligus siap mencatat pesanan. Adit pun melakukan pesanan, lalu disusul Naina.

Adit menatap wanita yang ada di hadapannya. Mungkin, menit ini adalah waktu yang tepat. "Nai," ucapnya lembut.

Perhatian Naina langsung ke arah Adit. "Iya," balasnya singkat.

"Aku ingin berhubungan serius denganmu," ungkap Adit.

Seketika Naina terdiam. Masih tak percaya dengan ucapan Adit. Adit mengajaknya untuk berhubungan serius. Naina terkesiap ketika Adit menyodorkan sebuah kotak perhiasan padanya.

"Ini untukmu. Anggap saja hadiah dariku." Adit tersenyum.

Naina menelan saliva. Ia masih berharap jika saat ini sedang bermimpi. Tapi kenyataannya jelas setelah ia mencubit pahanya.

"Aku ..." Naina menggantungkan kalimatnya. Bingung.

"Nggak apa-apa, Nai. Aku bisa ngerti. Mungkin kamu kaget." Adit memahami.

Obrolan mereka terpotong karena pelayan datang untuk menyajikan makan dan minuman pesanan masing-masing. Naina masih merasa malu sekaligus salah tingkah. Ia langsung menyambar minumannya dan meminumnya. Perkataan Adit seakan bara api yang masuk ke dalam tubuhnya, membara di dalam sana.

Keadaan mendadak hening. Adit sengaja memberi waktu untuk saling diam agar Naina bisa tenang dan berpikir jernih.

"Apa alasan Mas Adit ingin berhubungan serius denganku?" tanya Naina membuka suara setelah beberapa menit saling diam.

"Kamu baik, cantik, rajin, dan penyayang," balasnya santai.

Naina tersenyum tipis. Malu karena Adit memujinya. "Berlebihan."

"Serius. Aku nggak pernah main-main untuk masalah menilai wanita. Kamu memang seperti itu." Adit menimpali.

Senyum kikuk terlihat di raut Naina. Naina menyakini jika Adit tidak main-main. Raut laki-laki di depannya memang tidak terlihat main-main. Bawaan raut Adit santai, tapi saat serius pun bisa terlihat. Dan itu poin tambahan untuk ketampanannya.

"Kalau kamu masih kurang yakin, nanti aku akan mengenalkan kamu pada keluargaku. Kapan kamu ada waktu? Aku siap kapan saja untuk mengenalkan kamu pada Mama dan Papaku." Adit meyakinkan.

"Bukan begitu, Mas. Aku hanya masih belum ..." Naina kembali menggantukan kalimatnya. Rasa ragu masih menghantuinya.

Adit mengerutkan dahi, menatap Naina, menanti kelanjutakn kata-kata Naina.

"Aku masih belum tau banyak tentang Mas Adit," kata Naina lirih.

Adit tersenyum lebar. Tangannya bergerak meraih sesuatu dari saku celananya. Sebuah dompet berada di tangan Adit. Ia mengeluarkan beberapa kartu dari dompetnya. "Ini kartu identitasku. Kamu boleh lihat semuanya supaya yakin."

Perhatian Naina tertuju pada tiga kartu di hadapannya. "Boleh aku lihat ini?" Naina menunjuk kartu kepolisian milik Adit.

Tangan Adit bergerak meraih kartu itu dan memberikannya pada Naina. Naina menerima kartu itu. Pandangannya menyusuri setiap kata. Ia baru tahu jika Adit adalah anggota kepolisian Korps Brigade Mobil.

"Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku perempuan. Dia sudah menikah dengan anggota kepolisian. Papa juga seorang polisi. Jadi kamu jangan heran kalau aku menuruni profesi Papaku." Adit menambahi. Sengaja mengungkapkan lebih dulu sebelum Naina menanyakan.

Naina memberikan kartu milik Adit setelah cukup mengamati. Tak menyangka jika Adit memiliki jabatan khusus dalam kepolisian.

"Bagaimana?" tanya Adit memastikan.

Senyum tipis terlihat pada bibir Naina, lalu ia mengangguk lemah. Adit pun tak bisa menepis rasa bahagianya. Ia meraih tangan Naina dan menggenggamnya erat.

Adit berniat mengenalkan Naina pada orang tuanya untuk meminta restu. Ia ingin membuktikan pada mama dan papanya jika Adit bisa mencari wanita yang lebih baik dari pilihan orang tuanya. Naina adalah wanita yang tepat untuk Adit kenalkan pada mereka.


♡♡♡

《《《 Bersambung ... 》》》

Jangan patah hati nasional, ya. Hahaha ...
Masih ada harapan buat Juna selama janur kuning belum melengkung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro