Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Belum diedit dengan baik. Tolong benerin typo dan kalimat tidak efektifnya, ya. Makasih dan selamat membaca.

**

Renata Winata ternyata dikenal baik oleh mesin google. Dia seseorang yang bisa digoogling. Cukup ketik namanya maka akan muncul beberapa artikel yang pernah ditulis tentang dia. Beberapa foto hasil karyanya juga akan terpampang. Hanya saja, seperti kata Mas Tanto, tidak ada foto dirinya. Dan itulah yang masih menyisakan sedikit ragu. Aku belum benar-benar yakin Renata Winata yang dimaksud Mas Tanto adalah Renata-ku. Baiklah, akhiran 'ku' membuatku terdengar posesif. Dia bukan milikku. Dan menilik sikapnya, usaha menjadikannya milikku masih sebatas angan. Tapi hei, setiap orang harus punya harapan dalam hidup. Wajib. Apalagi seorang laki-laki. Dan aku, aku adalah laki-laki yang optimis. Oke, optimis dan panikan, karena aku bertingkah seperti kakek tua kebakaran jenggot saat tidak bisa menghubungi Renata.

Pesan-pesanku yang menanyakan keberadaannya tetap tak terbalas sampai hari keenam. Teleponku juga tidak tersambung. Mas Tanto bilang, Renata pasti sedang berburu gambar di pedalaman atau rimba yang tidak punya sambungan telepon. Itulah yang para fotografer yang bekerja untuk majalah seperti National Geography lakukan. Mengejar gambar yang tidak terpikirkan oleh kebanyakan orang.

Aku bukan pencinta alam seperti Mas Tanto. Sama sekali tidak memiliki jiwa petualang. Terus terang, sulit membayangkan berada di tempat yang jauh dari peradaban. Apalagi harus tinggal di tenda, di tengah hutan, dan mengenakan pakaian yang sama selama lebih dari sehari. Aku pasti akan sibuk menggaruk karena gatal. Belum lagi sinar matahari yang membuat kelenjar keringatku sangat aktif. Itu sama sekali bukan duniaku.

Sekarang hari ketujuh, seminggu penuh, dihitung sejak hari terakhir pertemuanku dengan Renata. Meskipun tidak berharap banyak, aku tetap menekan nomor Renata yang ada di ponselku. Tersambung! Untuk pertama kalinya aku akhirnya menddengar nada sambung. Hanya bunyi tut...tut...tut.... Bunyi yang anehnya terdengar merdu di telingaku. Bukan Renata namanya bila panggilanku segera dijawab. Aku harus mengulang memanggil sebanyak tiga kali sebelum akhirnya bisa mendengar suaranya.

"Halo?" Pendek seperti biasa.

"Hei, aku tidak bisa menghubungimu beberapa hari terakhir." Ya, seolah dia belum membaca pesanku yang bertubi-tubi. Dia pasti sudah menerima semuanya setelah ponselnya menyala kembali.

"Aku keluar kota."

Persis seperti kata Mas Tanto. "Ke mana?"

"Baru kembali dari Taman Nasional Aketajawe."

"Di mana?" Aku belum pernah mendengar nama itu. Dunia konservasi tidak pernah menarik minatku. Satu-satunya taman nasional yang kutahu adalah Taman Nasional Ujung Kulon, tempat habitat badak.

Renata terdengar menghela napas. Dia pasti berpikir aku sangat bodoh. Tapi tempat yang disebutkannya itu memang tidak familier. "Akatajawe. Ternate."

"Ternate? Maksudmu, kamu berada di Maluku?" Oke, itu terdengar tolol. Memangnya ada tempat lain bernama Ternate selain di Maluku?

"Maluku Utara," ralat Renata. Dia menikmati sekali membuatku terdengar bodoh.

Aku berusaha menyabarkan hati. "Apa yang kamu lakukan di sana?"

Dia terdiam sejenak. "Kerja," katanya kemudian, seperti terpaksa.

Kali ini aku merasa yakin jika Renata Winata yang dimaksud Mas Tanto adalah dia. Tapi lebih baik aku pura-pura tidak tahu saja. Dari caranya menyembunyikan identitas dengan banyak pencapaian yang telah diraihnya, aku yakin dia tidak akan senang jika aku mengakui tahu siapa dia sebenarnya.

"Aku sulit menghubungimu."

"Kebanyakan tempat yang kudatangi tidak punya sambungan telepon."

"Jadi kapan kamu akan pulang?"

Renata kembali terdiam, lalu, "Belum tahu," sambungnya. "Kami masih harus ke banyak tempat. Ke Pulau Obi, Bacan, Morotai dan Kepulauan Widi. Mungkin masih lama."

"Apakah semua tempat itu tidak memiliki sambungan telepon?" tanyaku lagi.

"Entahlah. Baru kali ini aku keliling di Kepulauan Halmahera. Biasanya aku hanya sampai di Ternate dan Tidore saja."

"Ehm..." Aku melonggarkan tenggorokan. "Kamu mau menghubungiku jika dapat sinyal telepon?" Aku buru-buru melanjutkan, "Cukup mengirim pesan saja supaya aku bisa meneleponmu. Kamu tidak keberatan, kan?" Jangan mendesak. Orang yang terdesak biasanya biasanya akan bertahan dan menolak.

Jeda kali ini lebih lama daripada sebelumnya. Renata seperti berpikir keras. "Baiklah," katanya. "Meskipun aku tidak tahu apa gunanya." Kalimat terakhir lebih mirip gumaman untuk dirinya sendiri.

Tentu saja supaya aku tahu keadaanmu dan tidak khawatir, Non! Tapi aku hanya mengatakannya dalam hati. Bisa-bisa teleponku langsung ditutup bila aku sampai mengucapkan kalimat itu melalui bibir.

Yesss! Aku akhirnya mendapatkan gadisku kembali. Maksudku, aku mendapatkan hubungan dengan Renata kembali. Aku optimis, tapi tidak mau takabur. Pelan-pelan saja. Bahkan batu cadas yang keras luluh oleh tetesan air dan bisa membentuk stalaktit yang indah.

**

Marketing termasuk divisi yang kupimpin di kantor. Tidak secara langsung karena ada manajer yang khusus bertanggung jawab untuk itu. Biasanya aku hanya menerima laporan darinya tentang strategi pemasaran dan promosi-promosi memperkenalkan hotel dan resor untuk meningkatkan jumlah kunjungan.

Tapi kadang kala aku harus turun tangan sendiri menyelesaikan hal-hal kecil, terutama bila biro iklan yang menjadi langganan kami memaksa bertemu denganku untuk membahas detail yang akan ditampilkan pada brosur, maupun iklan di media elektronik dan media cetak.

Bukan karena manajernya tidak profesional atau tidak mampu, tapi karena si pemilik biro iklan adalah teman dekatku dan dia tidak enak menolak permintaannya.

Dan hari ini, aku dan manajer itu, Pak Ridwan, duduk bersama di sebuah kafe bersama Ruby, sang pemilik biro iklan yang kami pakai. Untuk membahas konsep yang akan dipakai pada brosur baru hotel dan resor.

Mengajak Pak Ridwan bukan tanpa maksud. Selain tugas ini memang tanggung jawabnya secara langsung, dia bisa kupakai sebagai tameng untuk menghadapi Ruby.

Mengapa aku harus menghindari Ruby? Ceritanya panjang. Singkatnya, karena kedua orangtua kami bersahabat, kami bermain bersama sejak kecil. Suatu waktu dia berhasil membujukku bermain putri-putrian dan aku menjadi pangerannya –aku menuruti keinginannya untuk membuatnya berhenti menangis. Dan sejak saat itu dia sudah menganggapku sebagai pasangannya.

Pertambahan usia sempat membuatnya melupakanku, terlebih lagi ketika dia kuliah di luar negeri. Tapi sekembalinya ke tanah air, aku menjadi pangerannya lagi.

Ruby cantik. Sangat cantik. Hanya saja, kehidupan yang ramah padanya membuatnya bersikap lebih dari seorang putri dari negeri dongeng. Dia anak tunggal dari orangtua yang kaya raya. Penolakan tidak ada dalam kamusnya. Dia memaksakan pendapatnya pada siapa pun. Juga padaku dan Mas Tanto. Aku malas mendebat, jadi biasanya aku mengikuti semua keinginannya selama itu masih masuk akal. Seperti meeting ini, misalnya.

Jangan salah, meskipun manja dan keras kepala, Ruby sangat bagus dalam pekerjaannya. Karena itulah kami menyerahkan urusan iklan perusahaan kepadanya. Bukan karena nepotisme.

Perasaanku pada Ruby? Tidak lebih daripada rasa sayang seorang kakak kepada adiknya. Meskipun menyebalkan karena selalu meneror pacar-pacarku saat di sekolah menengah, aku tidak pernah bisa benar-benar marah padanya. Kerjapan mata dan wajahnya yang dibuat pura-pura sedih akan segera menghapus kekesalanku.

"Langsung nonton ya, Mas Bayu," ujar Ruby ketika meeting telah selesai dan kami sudah menyepakati konsep untuk brosur.

Menyetujui undangan nonton Ruby berarti merelakan diri terikat sampai tengah malam. Karena nonton itu akan dilanjutkan dengan makan malam. Setelah itu aku harus mengantarnya pulang, dan aku masih akan tertahan di rumahnya. Tante Rasmi, ibunya, akan membujukku tinggal untuk menikmati sepotong kue. Aku akan kesulitan melepaskan diri dari percakapan. Beberapa bulan ini aku berusaha menjaga jarak dengan Ruby. Terutama sejak lebih suka menghabiskan waktu di apartemen Renata.

"Aku masih banyak kerjaan, By," tolakku halus. "Lain kali, ya."

"Tapi kita sudah lama tidak nonton." Bibir Ruby manyun. Sikap kekanakannya langsung muncul. Pandangannya lantas menyelidik. "Mas Bayu punya pacar, ya?"

Aku buru-buru menggeleng. "Memangnya kamu pernah lihat aku jalan dengan seseorang?"

"Tapi sikap Mas Bayu mencurigakan."

"Kamu yang berlebihan." Aku tiba-tiba teringat Renata. Ya ampun, PDKT-ku akan berantakan kalau dia sampai bertemu Ruby. Bahkan untuk dibayangkan saja sudah menggerikan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro