Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini beneran baru kelar ditulis dan langsung up date, jadi typo lumayan betebaran. Tapi semoga dapat dinikmati, ya. Happy reading.

**

Kalau ada orang yang bisa membuatku kelimpungan, dia Renata. Sudah empat hari aku tidak bertemu dengannya. Pintu apartemennya yang kugedor-gedor tidak terbuka. Yang keluar malah tetangganya yang menatapku dengan tatapan ingin membunuh.

Teleponnya yang kuhubungi juga tidak aktif. Dia benar-benar membuatku senewen.

"Dia mungkin keluar kota," ujar Mas Tanto saat mendengarku menggerutu sambil menutup menutup telepon yang lagi-lagi tidak tersambung.

"Memangnya di luar kota tidak ada sinyal?" Yang benar saja. Ini bukan zaman prasejarah lagi. Sinyal telepon ada di mana-mana. Kecuali kalau dia berada di Puncak Jaya Wijaya sana. Dan itu tidak mungkin. "Dia tidak mungkin di luar kota." Aku tidak bisa membayangkan Renata pergi keluar kota dan bercengkerama dengan orang lain. Entahlah. Tapi dengan sikap seperti itu, aku telanjur menganggapnya sebagai orang yang kehidupan sosialnya tidak terlalu bagus.

Pertama, dia tidak punya keluarga yang bisa menemaninya saat dia tidak seharusnya sendiri ketika sakit. Itu aneh, kan? Maksudku, kita semua punya keluarga yang khawatir ketika kita sakit. Tidak perlu mengambil contoh terlalu jauh, mamaku tidak akan bergerak terlalu jauh dari ranjang ketika aku sakit. Perlakuannya tidak berubah dari saat aku kecil sampai aku dewasa sekarang ini.

Kedua, Renata juga tidak punya teman. Baiklah, ada satu. Dito. Laki-laki maskulin ramah yang masih membuatku tidak nyaman setiap kali mengingatnya. Sampai sekarang aku masih belum tahu seperti apa hubungan mereka. Tapi aku bisa membaca. Tidak ada perasaan istimewa dari pihak Dito meskipun jelas dia sangat menyayangi Renata. Aku laki-laki dan tahu persis hal-hal seperti itu. Tidak ada laki-laki yang membiarkan gadisnya dekat dengan laki-laki lain. Mereka akan menjaga kekasihnya seperti macan betina garang yang menjaga anaknya. Dito tidak seperti itu. Dia malah memintaku bersabar dan mau menjaga Renata. Itu suatu pertanda, kan?

Yang membuatku tidak nyaman adalah cara Renata menatap Dito. Ada pemujaan yang tampak jelas di sana. Bukan jenis tatapan adik kepada kakaknya. Atau tatapan antarsahabat. Bukan seperti itu. Ada harapan dalam binar Renata. Binar yang aku tidak suka.

"Mas Tanto bisa mengakali pintu apartemen Renata?" Kakakku itu pencinta film dan bacaan yang berbau thriller, action, dan detektif sejak kecil. Dia bisa membuka pintu kamar yang dikunci Mama dari luar sebagai hukuman karena kami nakal, waktu kecil. Kepandaian yang diperolehnya dari bacaan dan tontonan itu.

Mas Tanto melongo menatapku. "Kamu menyuruhku membobol apartemen seorang gadis? Kamu baik-baik saja? Kamu tidak terdengar seperti Bayu."

"Ini sudah hari keempat, Mas. Bahkan untuk ukuran Renata, ini berlebihan. Dia memang selalu jutek, tapi akan mengangkat telepon setiap kali kuhubungi. Meski jawabannya hanya ya atau tidak untuk setiap pertanyaanku."

"Aku punya cara yang lebih mudah dan legal untuk masuk ke dalam apartemen gadismu."

"Bagaimana?" tanyaku antusias. Aku akan melakukan apa pun bila itu legal.

" Temui pengurus apartemen itu dan meminta mereka membuka pintunya."

Astaga, kenapa aku tidak kepikiran, ya? Kurasa gadis kurang gizi itu sudah benar-benar memenuhi otakku sehingga aku tidak bisa berpikir jernih lagi.

Aku akhirnya berhasil membujuk Mas Tanto menemaniku untuk melakukan tindakan legal untuk membuka pintu apartemen Renata.

Ketika akhirnya pengurus apartemen itu mau membuka paksa pintu apartemen Renata setelah mendengar penjelasanku karena tidak bisa menghubungi gadis itu, aku menarik napas lega. Tidak ada bau menyengat seperti yang aku khawatirkan. Jujur, pikiranku sudah jelek saja.

Renata tidak terlihat seperti orang yang akan bunuh diri. Dan dia juga sehat setelah kakinya sembuh. Tapi siapa yang tahu, kan? Penyakit jantung bahkan bisa menyerang seseorang yang masih dalam usia produktif. Depresi juga tidak kenal usia.

Kami berempat, aku, Mas Tanto, Ibu pengurus apartemen, dan teknisi yang membobol pintu Renata kemudian masuk ke dalam apartemen Renata. Semuanya tertata rapi. Dia sepertinya tidak pergi dalam keadaan tergesa-gesa. Aku bergegas membuka lemari es. Ada banyak petunjuk di sana. Saat itulah aku tahu jika Renata memang merencanakan kepergiannya. Tidak ada apa pun selain beberapa botol air mineral. Biasanya ada banyak buah di sana. Dia suka jus dan mengemil buah. Aku sendiri yang selalu mengisi lemari es itu dengan aneka macam buah setelah mengamati kebiasaan makannnya. Dia selalu mendahulukan makan buah yang kubawa bersama fast food.

"Kalau boleh tahu, adik berdua ini apanya Mbak renata?" Ibu pengurus gedung itu mengamati aku dan Mas tanto dengan mata menyipit, penuh rasa ingin tahu.

"Kami temannya," Mas Tanto yang menjawab.

Aku masih terpekur di depan lemari es. Berusaha mengingat-ingat apa yang Renata katakan saat terakhir kali kami bertemu. Tidak, aku sama sekali tidak mengingat dia mengatakan akan pergi ke suatu tempat. Tapi Renata memang tidak pernah bercerita apa pun tentang dirinya. Baginya, aku hanyalah seorang pengganggu yang tidak bisa dienyahkan dengan mudah. Tidak lebih. Aku semakin kesal sendiri dengan pikiran itu.

"Memangnya Mbak Renata tidak bilang-bilang kalau mau pergi? Dia selalu bepergian, kan?"

"Selalu bepergian?" sambarku cepat. Itu informasi baru.

"Iya. Dia malah lebih sering pergi daripada tinggal di rumah. Biasanya malah dia pergi sampai berbulan-bulan. Tinggal sebentar dan pergi lagi. Aku tahu karena dia sering meminta kunci serep apartemennya saat pulang karena dia selalu menghilangkan kuncinya. Karena itulah dia lalu mengganti kunci pintunya dengan system digital itu." Ibu itu menoleh ke pintu, terlihat menyesali tindakannya merusak pintu Renata karena bujukanku. "Supaya tidak repot berurusan dengan kunci."

"Biasanya dia ke mana, Bu?" tanya Mas Tanto.

Kening ibu itu makin berkerut. "Ya kerjalah."

"Kerja apa?" kejarku. Aku baru sadar jika aku benar-benar buta terhadap Renata. Kesukaanku padanya membuatku rela menutup mulut dan membiarkan rasa penasaranku mengendap. Aku tidak mau matanya melotot judes padaku karena pertanyaan-pertanyaanku pada masalah pribadinya. Termasuk pekerjaannya. Aku hanya pernah menanyakannya sekali, dan lantas menyerah ketika dia enggan menjawab.

"Adik ini benar-benar temannya bukan sih? Kok malah tidak tahu kerjaan Mbak Renata?" Kali ini Ibu itu benar-benar cemberut. Rasa tidak suka karena sudah membobol pintu Renata untuk kami tidak berusaha dia sembunyikan.

"Di balik tirai itu apa?" Mas Tanto tidak memedulikan ibu itu dan bergerak ke arah tirai yang selalu ditutup Renata. Aku pernah melihatnya sekali. Itu cermin besar yang ditempeli banyak foto.

"Hanya foto-foto." Aku menggabungkan diri bersama Mas Tanto yang sudah menyibak tirai itu.

Ada banyak foto yang dilekatkan di cermin itu. Foto pohon, tanaman merambat, bunga, aneka hewan, ikan, terumbu karang, dan masih banyak lagi. Ada beberapa foto sekelompok orang, dan Dito serta Renata ada di antara mereka. Renata tertawa di situ! Aku belum pernah melihatnya tertawa. Aku mendengus iri.

"Wow!" Mas Tanto berdecak. "Dia fotografer? Ini bukan pekerjaan tukang foto amatir." Dia menunjuk sebuah foto ikan yang sedang menatap kamera. "Kamu membutuhkan waktu berjam-jam untuk bercapek-capek dan kram di dalam laut untuk mendapat gambar seperti ini."

"Dia fotografer?" Aku balik bertanya. Aku tidak bisa membayangkan profesi itu untuk Renata.

"Yang jelas, ini benar-benar bukan pekerjaan amatiran." Mata Mas Tanto menyipit pada sebuah foto. Dia menatapnya lama sekali. "Jangan bilang kalau namanya Renata Winata."

"Dari mana Mas tahu?" aku belum pernah menyebutkan nama lengkap Renata sebelumnya.

"Ya ampun, jadi dia benar Renata Winata? Aku tidak pernah menduga dia masih semuda itu."

Sekarang aku yang kebingungan. Mas tanto bicara seolah mengenal Renata. "Maksudnya?"

"Dia semacam maskot di komunitas fotografi, Yu. Dia pernah memenangkan kontes foto Majalah National Geography beberapa tahun lalu. Foto hasil jepretannya sangat mudah ditemui di situ, dan kamu tahu sendiri bagaimana sulitnya menembus majalah itu."

Itu yang aku tidak tahu. "Mas Tanto mungkin salah orang." Gambarannya tidak menunjukkan Renata.

"Ini foto yang kemarin ada di National Geography." Mas Tanto menunjuk sebuah foto. "Astaga, aku tidak menduga bisa masuk dalam apartemen Renata Winata." Mas Tanto tampak gembira. "Dia itu semacam nama tak berwajah. Dan aku bahkan sudah tahu seperti apa rupanya. Wah, Yu, kamu sangat beruntung. Seharusnya akulah yang menabraknya tempo hari." Mas Tanto tertawa melihat wajahku yang cemberut. "Hei, aku bercanda. Aku tidak berebut gadis dengan adikku sendiri."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro