Part 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

New Story

###

Part 8

###

Happy New Years....

Semoga tahun 2020 yang disemogakan segera tersemogakan.

Amiin....

###

"Sial!!!" umpatan Saga sejenak membuyarkan konsentrasi sopir dari jalanan yang lengang. Saga membanting ponselnya ke jok dan memberi perintah, "Kembali ke rumah."

Belum ada sepuluh menit ia meninggalkan rumah, Sesil sudah membuat masalah. Berani-beraninya wanita itu melarikan diri dari rumahnya. Tentu tak akan pernah semudah itu. Wanita itu hanya bisa pergi dari rumahnya dengan ijinnya atau dengan tanpa nyawa. Dan ia benci jika rencananya tak berjalan sesuai dengan keinginannya. Urusannya masih belum selesai dengan Sesil.

Sesampai di halaman rumah, ia melihat raut pucat dua penjaga yang berjaga di depan pintu kamar. Jon, pemimpin pengawal-pengawalnya berjalan mendekat ketika ia keluar dari mobil. "Maafkan kami, Tuan."

"Aku tak membutuhkan kata maaf, Jon. Bagaimana dia bisa kabur dengan menuruni balkon setinggi itu?" Saga tak membutuhkan jawaban Jon ketika melihat sprei kasurnya yang berkibar tertiup angin. Lalu tertawa sinis karena tak memperkirakan keberanian dan kelihaian memanjat Sesil.

Segera ia berjalan ke samping rumah mendekati halaman di bawah balkonnya. Mengerutkan kening mengamati sekitar lalu mendongak menatap ke atas.

"Kami akan segera menemukan dan membawanya kembali ke rumah ini, Tuan."

Saga menggeleng-gelengkan kepala, tampak memikirkan sesuatu. "Untuk apa membawanya kembali ke rumah jika dia sama sekali tak meninggalkan rumah ini, Jon."

****

Hening yang sangat lama. Sesil memegang dadanya agar napasnya tak sampai terdengar kedua pengawal Saga yang melangkah tergesa memasuki kamar.

'Bodoh!' ia seharusnya punya cukup keberanian untuk memanjat balkon dan merangkak turun dengan bantuan untaian sprei. Namun, kakinya tak berhenti bergetar ketika mulai memanjat pagar balkon. Kenyataan ternyata sepuluh kali lipat lebih mengerikan daripada rencana yang tersusun berantakan di kepalanya. Hingga akhirnya ia kembali menginjak lantai balkon dan tanpa sengaja menyenggol salah pot bunga kecil. Dengan ketakutan, ia berlari ke arah walk in closet begitu mendengar kunci pintu terputar. Membuka pintu lemari terdekat dan bersembunyi di dalam sana.

"Sial!"

"Ada apa?"

"Tuan Saga akan memenggal kepala kita. Nyonya berhasil kabur."

"Periksa kamar mandi." pintah salah satu kepada yang lain. Tak ada sahutan, tapi sesil tahu pria yang memeriksa kamar mandi pasti menggeleng menemukan kamar mandi yang kosong. Lalu suara langkah di pintu walk in closet yang terbuka setengah di dorong hingga membuka sepenuhnya. Sesil menahan napas sekali lagi, menunggu pengawal itu memeriksa dengan saksama dan yakin bahwa tidak ada siapa pun di sana dan berbalik sambil berucap, "Hubungi tuan Saga!"

Sesil mendesah penuh kelegaan begitu pintu kamar kembali tertutup. Menarik napas sebanyak-banyaknya sambil merutuki ketotolannya. Hilang sudah harapannya jika Saga benar-benar kembali ke rumah ini. Seharusnya ia memperkirakan dan merencanakan semua dengan matang-matang. Tidak dengan keterburuan yang malah membuatnya tersiksa.

Entah berapa lama ia meringkuk di pojokan lemari dan akan sampai kapan ia tetap bertahan di dalam sini. Sesil hanya mampu menunggu dan tertekan oleh kebingungannya. Sebelum Saga benar-benar kembali, ia masih punya sediki waktu untuk melarikan diri. Namun, bagaimana jika ia tertangkap penjaga? Atau Saga datang dan menangkapnya sebelum ia bisa keluar dari rumah ini? Atau ia berpura-pura bahwa rencana pelarian ini tak pernah ada? Tapi ia harus menghilangkan bukti sprei dan pot ... sialan. Bagaimana ia bisa memperbaiki pot yang sudah pecah? Mungkin beralasan bahwa ia menyenggolnya ketika bersantai di balkon. Tidak, ia tak selihai itu berbohong.

Terlalu lama terjebak oleh pemikirannya sendiri, tiba-tiba suara pintu yang dibanting dengan keras dan suara penuh murka Saga membuatnya ditarik paksa menuju kesadaran. Bulu kuduknya merinding mendengar suara Saga yang bergelegar. "Temukan dia! Dia tidak akan berada jauh!"

"Tuan, penjaga gerbang mengatakan bahwa tidak ada siapa pun yang keluar setelah mobil Anda. Dan cctv sudah memastikan hal itu."

"Tutup semua akses keluar dan jaga ketat sekitar pagar. Selebihnya, temukan dia dalam satu jam. Tidak lebih semenit pun, karena menit selanjutnya kau sudah tidak bernyawa lagi."

Sesil membekap mulut agar kesiap kagetnya tak sampai melewati bibirnya. Matanya memanas dan tangisan seketika membanjiri pipinya. Harapan yang sempat bertumbuh ketika ia memilih bersabar di dalam sini dan menunggu waktu yang tepat untuk keluar, sirna sudah. Penjagaan yang biasa saja ia tak bisa melarikan diri, bagaimana jika tempat ini dijaga dengan ketat.q

"Semua ruangan sudah kami periksa, Tuan." Suara lain bercicit.

"Apa kau yakin?"

"Kami akan memeriksanya sekali lagi untuk meyakinkan Tuan."

"Pergi dan kembalilah dalam enam puluh menit dengan membawanya ke hadapanku. Jika tidak, itu artinya kau datang untuk menyerahkan nyawa padaku."

Kemudian pintu terbuka dan tertutup lagi.

Selama satu jam, lagi-lagi Sesil berkutat dengan pemikiranya. Suhu ruangan yang dingin dan menembus dalam lemari sama sekali tak menghentikan keringat menembus kulit arinya. Ketakutan dan kebencian yang begitu besar mengombang-ambingkan hatinya. Mencoba mencari mana yang lebih mendominasi hatinya. Belum lagi, dengan nyawa yang akan Saga permainkan hanya demi meluapkan kemurkaan pria itu. Apakah kebebasannya pantas mendapatkan pengorbanan para pengawal Saga?

Sesil menggeleng. Apa pedulinya. Toh pengawal Saga sama busuknya dengan pria itu.

Jantung Sesil berdebar keras ketika pintu terbuka diikuti derap langkah beberapa pasang kaki. Memecah keheningan kamar. Sesil tak tahu apa yang dilakukan Saga di ruangan ini selama menunggu, hanya ketakutan yang menembus lemarilah dan merasuk ke dalam tulang sumsumnyalah satu-satunya petunjuk bahwa pria kejam itu masih berada di ruangan yang sama.

"Tttuan," cicit suara salah satu pengawal yang langsung tenggelam oleh gebukan keras. Lalu bededum tubuh yang terjatuh di lantai.

Sesil terkesiap. Membekap mulutnya keras-keras menahan tangis. Bunyi hantaman lagi, lagi, dan lagi. Seakan tinju itu merangsek ke dada dan menghentikan napas di paru-parunya. Erangan dan suara hantaman kembali bersautan terdengar begitu mengerikan. Sesil tak tahan, mendobrak pintu lemari dan berlari keluar.

"Hentikan, Saga!" teriak Sesil. Pemandangan yang terhampar di hadapannya benar-benar lebih mengejutkan dari apa yang ada di benaknya sendiri.

Sesaat, keheningan menguasai seluruh isi kamar. Saga menoleh perlahan dengan seringai yang tampak lebih licik dan keji menghiasi bibirnya. "Well, di sana kau rupanya, Istriku."

Sesil menatap ngeri dan mengerjap dua kali. Pandangannya menelusuri satu persatu orang yang berdiri di tengah kamar mereka. Dua pengawal berdiri menundukkan kepala, satu tersungkur di lantai dengan banyak darah memenuhi baju serta wajahnya. Lalu Saga, pria itu berdiri di depan pengawal yang berusaha bangun dari lantai. Juga cipratan darah di bagian depan kemeja putih Saga yang tampak begitu jelas. Seringai licik dan tatapan mencemoh Saga, sejak awal pria itu tahu dirinya sama sekali tak meninggalkan kamar ini.

Brukkk .... satu tinju melayang ke wajah pengawal yang sudah babak belur dan kembali tengkurap di lantai marmer. Kali ini, terbatuk dan memuntahkan darah mengotori lantai.

"Cukup, Saga!" Sesil berlari mendekat. Dua orang pengawal lainnya sama sekali tak membantu temannya yang dirundung oleh Saga. Apakah mereka terlalu pengecut membela teman mereka sendiri?

"Kau akan membunuhnya!"

"Ya, aku memang berniat membunuhnya." Saga menarik keluar pistol dari sarungnya di pinggang. Yang baru Sesil sadari keberadaannya.

"Kau sudah menemukanku."

"Aku sudah menemukanmu sejak awal. Dan percayalah, dia mendapatkan balasannya."

"Kau tak perlu memukulinya jika memang berniat membunuhnya."

Saga berpikir sedetik, lalu mengangguk, dan tetap mengarahkan pistol itu tepat di tengah kepala si pria yang sudah hampir pingsan. "Okey, aku akan mendengarkanmu untuk selanjutnya."

Sesil terkejut, tiba-tiba saja kakinya beranjak dan menghadang pistol Saga. Hatinya berdegup kencang, kini pistol yang siap ditembakkan oleh Saga teracung tepat di dadanya.

Saga sama terkejutnya dengan reaksi spontan Sesil. Bagaimana tidak, ia hampir saja meluncurkan peluru itu ketika gerakan tiba-tiba Sesil menghadang tepat di depan pengawalnya. "Minggir, Sesil," desis Saga dingin. Matanya kini memerah dan rahangnya mengeras sekeras batu karena hobinya membunuh mulai diusik.

"Lewati dulu mayatku." Entah keberanian dari mana yang didapatkan Sesil sehingga ia bersikap sok pahlawan seperti ini. Seharusnya keberanian itu datang lebih awal ketika ia akan melompat dari balkon.

Saga memberikan isyarat mata pada pengawalnya yang berdiri tak jauh dari Sesil. Sesil meronta, berteriak, dan memaki ketika pengawal itu menyeretnya keluar kamar. Umpatan kasar yang menyakiti tenggorokannya berakhir sia-sia, Saga tetap berniat membunuh pria itu. Bunyi ledakan pistol yang menembus pintu menghentikan rontaan Sesil. Ia meraung sejadi-jadinya. Kemudian tubuhnya melemas dan tiba-tiba saja kegelapan memenuhi indera penglihatannya.

***

Saat matanya bergerak, rasa pusing yang menyerang kepala membuat Sesil mengernyit dalam-dalam dan mengerang pelan. Gorden kamar yang menutupi jendela dan lampu yang menyala terang meyakinkan Sesil bahwa hari sudah gelap. Kemudian, seketika ingatan terakhirnya sebelum ia pingsan kembali menerjang otaknya. Tangisannya kembali pecah menyadari di mana ia tengah berbaring saat ini. Ruangan yang sama tempat Saga membunuh.

"Kau sudah sadar?"

Sesil tak memedulikan keberadaan Saga, tangisannya tak terhenti.

"Aku benci wanita yang cengeng, Sesil. Hentikan tangisanmu!" gertak Saga untuk kedua kalinya. Kali ini pria itu berdiri di pinggir ranjang dan menyentak bahu Sesil hingga wanita itu berbaring telentang dan wajahnya bisa menatap keberadaan dirinya.

Sesil menepis tangan Saga. Namun, pria kejam itu memang tak pernah segan-segan bersikap kasar pada wanita. Dan malah menarik tubuh Sesil bangkit terduduk.

"Pembunuh!" raung Sesil keras-keras sambil memukul dada Saga dengan pukulan lemahnya. Di pukulan kedua, Saga mencekal pergelangan tangannya dan mengunci hingga wanita itu kesulitan bergerak,

"Itu pekerjaanku. Jangan mengeluh dengan jati diri suamimu yang sebenarnya."

"Aku membencimu, Saga. Dan kau bukan suamiku!"

Saga terduduk, mencengkeram bahu Sesil dengan keras dan memaksa wanita saling berhadap-hadapan dengannya. Kemudian mengambil tangan kiri Sesil dan menunjukkan jemari Sesil tepat di mata istrinya. Memperlihatkan cincin pernikahan mereka yang sudah Sesil buang di ruang kerja Saga, kini kembali terselip di sana. "Ya, kau istriku dan aku suamimu. Kita sudah sah menjadi pasangan suami istri di hadapan Tuhan dan hukum."

Sesil segera menarik tangannya yang terbebas dan berniat melepas cincin itu dari jemarinya. Tetapi Saga menahan pergelangan tangan Sesil sebelum sempat menyentuh cincin tersebut. "Kau menipuku!"

"Berhentilah bersikap sebagai korban."

"Kenapa kau lakukan ini padaku?" tangis Sesil lagi. Matanya terpejam dan tangisan kembali membanjir.

Dengan kasar, Saga mendekatkan wajah Sesil ke hadapannya. Bibirnya hampir menempel di bibir Sesil ketika mendesiskan kalimat panjang sebagai jawaban. "Dari sekian banyak deretan wanita yang merendahkan diri di kakiku untuk naik ke ranjangku, aku tak pernah membayangkan ada rasa manis semanis tubuhmu, Sesil. Jadi, aku memutuskan untuk menyimpanmu sementara waktu ini. Bersikap baiklah selagi aku membutuhkan tubuhmu, atau aku akan merasa cepat bosan dan membuangmu selayaknya sampah tak berguna."

Tangisan Sesil semakin meleleh. Perasaan dilecehkan dan dihina sekali lagi melibasnya habis-habisan. Hatinya serasa diremas dan ia tak berdaya untuk memberontak.

Melihat tangisan Sesil yang perlahan mereda dan tubuhnya yang mulai berhenti meronta, Saga melepaskan seluruh kontak fisik di antara mereka dan berdiri menjulang di samping ranjang. "Makanlah jika kau ingin makan sementara aku membersihkan diri. Aku tak ingin tubuhmu kehabisan tenaga sementara aku masih menginginkanmu."

Sesil masih sesenggukan ketika Saga menutup pintu kamar mandi dan suara gemericik air terdengar. Kepalanya menoleh ke arah nakas di sampingnya. Nampan berisi makan malam sudah tersiap di sana. Perutnya berbunyi dan liurnya hampir menetes oleh rasa lapar yang mendera saat aroma sup yang harum masuk ke hidungnya. Seharian membangkang, lebih banyak tenaga yang ia keluarkan daripada yang ia dapatkan. Ia benci dengan keadaannya yang lemah dan tak berdaya. Bahkan memberontak dengan cara mogok makan pun perutnya ikut memprotes.

Ia pun menarik nampan tersebut ke pangkuannya, melahap makanan dalam porsi besar. Bukan karena ingin menuruti kata-kata Saga, melainkan ia butuh tenaga lebih untuk melawan pria itu. Sementara, ia akan menuruti dan melakukan semua kata-kata Saga. Hanya itu pilihan paling bijak yang terpikirkan di otaknya. Sambil merencanakan cara yang tepat dan matang untuk melarikan diri dari cengkeraman pria tak bermoral itu.

Dirga? Ia tak mungkin lagi meminta bantuan pada tunangannya itu. Tunangan? Masihkah ia berada di posisi itu saat ini? Setelah semua makian dan hinaan yang dilemparkan Dirga padanya?

Saga keluar kamar mandi ketika Sesil kembali meletakkan nampan yang sudah kosong isinya ke nakas. Ia melihat bibir pria itu melengkung puas dan berkata, "Sekarang bersihkan dirimu." Nadanya penuh dengan perintah yang arogan.

Tanpa disuruh pun, Sesil memang berniat membersihkan diri. Badannya terasa lengket oleh keringat dan air mata yang seakan tiada henti menemani seharian ini. Ingatannya yang kembali, pelecehan Saga, dan pembunuhan itu. Bulu kuduk Sesil kembali bergidik. Melirik ke lantai tempat darah berceceran yang sekarang sudah dibersihkan.

"Apa yang kautunggu?!" gertak Saga. membuat Sesil tersentak dan kembali menolehkan perhatian padanya. Lalu wanita itu turun dari ranjang dan berjalan melewatinya dengan terbirit.

Sesil berniat menghabiskan banyak waktu di dalam kamar mandi, tapi gedoran Saga di pintu sekali lagi membuatnya tak berdaya untuk menegakkan keinginannya. Pria itu mengancam akan mendobrak pintu jika tidak keluar dalam dua menit. Dengan langkah tertahan, ia berjalan keluar. Melihat pria itu sudah duduk di ranjang hanya mengenakan celana karet pendek dengan memamerkan otot perut dan lengan serta dada kokoh dan kuat yang pasti akan memanjakan mata wanita mana pun. Sambil memain-mainkan layar ponsel dan masih tetap terlihat berkharisma. Hanya sedetik Sesil terkagum, seperti yang biasa ia lakukan saat ingatannya belum kembali. Saat itu, terkadang ia berpikir mungkin hal itulah yang membuat dirinya jatuh cinta pada Saga saat ia mulai meragukan kata-kata Saga. Namun, sekarang ia merasa sangat kesal saat kekaguman untuk Saga kembali muncul. Ia harus memukul kepalanya agar tersadar.

Saga mendongak, berdecak tak puas ketika melihat piyama tidur yang dikenakan Sesil. "Ganti piyama sialan itu dengan gaun tidur yang ada di lemarimu, Sesil. Penampilanmu benar-benar membuatku tak bergairah."

Sesil tak memedulikan hinaan Saga. Ia berpakaian bukan untuk menyenangkan pria itu.

"Kau tahu satu-satunya hal yang masih kuinginkan darimu hanyalah tubuhmu. Jadi, biarkan aku tetap tertarik padamu demi kebaikan dirimu sendiri," tambah Saga.

Kedua tangan Sesil mengepal dan mulutnya siap membalas kata-kata Saga. Namun, tatapan pria itu yang menajam menghentikan niatnya. Ia menelan keras-keras gumpalan di tenggorokannya sebelum membalikkan tubuh dan kembali masuk ke walk in closet.

Sesil benar-benar frustasi, gaun tidur dengan beraneka warna dan model yang terpajang di lemari tidak memiliki satu pun manfaat yang seharusnya dimiliki sebuah pakaian. Semua gaun itu hanya membuatnya yang sudah telanjang semakin telanjang.

"Waktumu dua menit, Sesil." Saga kembali bersuara. Membuat Sesil menyambar apa pun itu yang ada di dekat tangannya. Toh semua sama saja.

Setelah selesai mengganti piyamanya dengan gaun tidur sialan berwarna merah dengan tali spaghetti dan renda menerawang untuk bagian dada yang sama sekali tak mentupi bagian tubuhnya, Sesil memutar kepala ke arah cermin di pojok ruangan. Menatap wanita murahan yang tampak menyedihkan membalas tatapannya. Satu-satunya kegunaan lingerie ini hanyalah untuk menggoda dan merangsang lawan jenis. Saga benar-benar menjadikan dirinya boneka demi memenuhi fantasi mesum pria itu.

Sesil semakin mendekat ke cermin. Wajahnya tampak semakin menyedihkan saat di lihat lebih dekat. Kelopak matanya masih merah dan ada sedikit luka lecet di sudut bibir. Bukti-bukti kekuasaan Saga atas dirinya.

"Well, kesabaranku menunggumu lebih dari sepuluh menit setidaknya tak berakhir sia-sia, bukan?" komentar Saga penuh kepuasaan ketika ia muncul dengan langkah tertahan.

Sesil menundukkan kepala. Pipinya merona oleh rasa malu dengan tatapan lekat-lekat Saga yang menelanjangi tubuhnya yang memang sudah seperti telanjang bulat gara-gara lingerie sialan ini.

Saga menelusuri tubuh Sesil dari atas ke bawah dengan tatapan lapar. Tak berhenti mengagumi keindahan aset berharga Sesil dan menetapkan kekaguman itu hanya dalam pikirannya. Atau wanita itu akan merasa besar kepala dan memanfaatkan apa pun yang dimiliki untuk membuat masalah.

"Kemarilah," pintah Saga.

Dan pada akhirnya, lingerie itu pun teronggok sia-sia di lantai kamar beberapa saat setelah Sesil ditarik naik ke ranjang dengan begitu bernafsu dan membaringkan tubuhnya di bawah naungan Saga.

"Aromamu selalu harum, Sesil." Saga menghirup dalam-dalam wangi kulit leher Sesil. Jemarinya bergerak menyentuh setiap jengkal kulit pinggang Sesil dan naik ke atas. Dengan suara dalam dan menggoda, ia berbisik lirih dan serak di telinga Sesil. "Aku akan membangkitkan gairah yang kau sendiri tak tahu bahwa kau membutuhkannya."

***

Monday, 1 January 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro