Halaman 01 : Si Tua Nao

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tema : Kucing

—————

❝Selalu ada kejutan di dalam petualangan. Entah itu sesuatu yang indah atau mengerikan.❞

😺😺😺

Untuk yang ketiga kalinya, penduduk Desa Murren dibuat gempar oleh penemuan puluhan kucing yang mati dengan kondisi mengenaskan. Di pagi yang cukup dingin karena sisa hujan semalam, para warga bergerombolan di bawah jembatan untuk menyaksikan hewan-hewan malang itu dievakuasi oleh polisi. Mereka tidak menghiraukan imbauan para petugas yang meminta mereka untuk segera menjauh dan membubarkan diri karena tempat kecil itu menjadi sangat sesak.

"Bukankah ini sangat aneh dan misterius?" Seorang gadis berambut pirang melipat kedua tangannya di depan dada dengan pandangan menyipit, persis seperti seorang detektif yang baru saja menemukan kasus baru dan berada pada tahap di mana pikirannya penuh dengan berbagai spekulasi.

"Tidak. Lebih tepatnya ini sangat mengerikan." Kali ini pria kecil berkacamata dengan tangan penuh tumpukan buku yang angkat suara. Mereka berdua saling bertatapan sebelum akhirnya ikut mengamati bagaimana petugas kepolisian mengevakuasi para kucing mati itu dengan hati-hati.

Neal menutup mulutnya ketika rasa mual menyerang perutnya tanpa permisi. Dia menarik tangan Lumi menjauh dari sana sebelum benar-benar memuntahkan cairan menjijikkan miliknya sendiri.

"Menurutmu, apakah mereka akan menyelediki alasan kematian para kucing liar itu?" ucap Lumi bertanya-tanya. Agaknya dia masih tidak rela harus pergi dan melewatkan kesempatan bagus melihat para polisi menyelesaikan tugasnya.

"Ini bukan waktu yang tepat untuk menjadi seorang detektif. Kita akan menghadapi ujian satu minggu lagi. Pastikan saja nilaimu tidak turun agar kita masih bisa bermain di halaman rumah Paman Eddie." Neal mengingatkan.

Kedua bocah berumur sepuluh tahun itu berjalan dengan langkah kecil menuju sebuah rumah bercat kuning cerah. Sebelum masuk, mereka melepaskan sepatu dan meletakkannya ke rak yang sudah terisi oleh beberapa sepatu berukuran cukup besar.

Neal dan Lumi baru saja meminjam buku di perpustakaan umum sebagai bahan belajar mereka. Hari ini, keduanya berencana menghabiskan waktu dengan belajar. Mereka memiliki janji yang harus ditepati, yaitu bisa naik kelas dan memiliki nilai yang memuaskan.

"Ini adalah kejadian ketiga setelah Molly ditemukan tewas di selokan dengan kondisi kepala putus. Dua minggu lalu, tiga kucing liar tanpa kulit juga hampir membuat Bibi Ronni pingsan. Sekarang, puluhan kucing mati di bawah jembatan. Kurasa, ini bukan sebuah kebetulan."

Perkataan itu membuat kepala Neal yang sudah pusing dengan berbagai rumus di buku menjadi semakin tak terselamatkan. Dia mengambil roti tawar berselimut selai strawberry untuk kemudian di kunyah dengan sedikit kasar. Merasa kesal karena Lumi tidak berhenti membahas soal kematian kucing yang selama satu bulan ini membuat warga geger. Yah, meskipun apa yang temannya itu katakan tidak sepenuhnya salah. Memang sedikit mencurigakan. Namun, untuk anak seusia Neal, dia tidak ingin memusingkan hal semacam itu.

Melihat bagaimana Lumi begitu peduli dengan kasus ini, mengingatkan Neal pada kejadian dua bulan yang lalu ketika toko roti milik Irisa dirampok oleh sekelompok orang misterius. Kejadiannya tidak hanya sekali. Ada banyak sekali korban bahkan rumah pun menjadi sasaran dan sang pelaku sulit untuk ditemukan. Neal ingat sekali bagaimana Lumi begitu bersemangat ingin menangkap pelaku perampokan. Dengan kamera yang dia dapat dari Paman David sebagai hadiah ulang tahunnya, mereka berhasil menangkap pelaku yang tak lain adalah warga Desa Murren.

Saat itu, Neal merasa mereka hanya beruntung, tapi Lumi begitu bangga dan menjadi sangat antusias pada setiap tragedi yang ada di desa mereka.

"Haruskah kita membuat tenda lagi dan menyusun rencana untuk menemukan pembunuh kucing manis yang tak berdosa itu?"

Rencana yang sama ketika mereka menangkap pelaku perampokan.

"Cukup, Lumi. Kita ini hanya anak kecil yang seharusnya memikirkan pelajaran bukannya ikut campur urusan orang dewasa. Biarkan polisi yang menanganinya. Kalau kita nekat, bisa-bisa kita yang terbunuh."

Lumi cemberut. Dia menutup bukunya, sama sekali tidak berselera membaca setiap huruf yang ada. Memecahkan kasus jauh lebih menyenangkan dan menantang. Belajar itu membosankan.

"Sudah hampir satu bulan, tapi mereka masih belum menemukan apa-apa. Kau tidak kasihan dengan Araya? Kata Mommy, Bibi Sora sampai kebingungan untuk menenangkannya setelah dia kehilangan Molly. Kalau sampai Ben ikutan menghilang bagaimana? Kita harus segera menemukan pelakunya," ujar Lumi mencoba menarik Neal ikut ke dalam rencananya.

"Jangan katakan hal semacam itu! Ben tidak akan akan menghilang karena aku tidak akan pernah membiarkannya."

Namun, siapa sangka, dua hari setelah obrolan mereka, Ben-kucing peliharaan Neal-tidak berada di kandang ketika dia pulang dari perpustakaan untuk mengembalikan buku. Selama sehari penuh, bocah berkacamata itu mengurung diri di kamar dan menangis sejadi-jadinya sampai membuat seisi rumah khawatir. Tak terkecuali Lumi yang ikutan menangis. Merasa menyesal telah mengatakan hal semacam itu dan kini benar-benar terjadi. Ben menghilang seperti kucing milik Araya. Kemungkinan besarnya, dia ditemukan dalam keadaan tak bernyawa.

Ketika malam tiba dan udara dingin menyelimuti desa itu, Lumi diam-diam keluar dari rumah menuju tempat tinggal Neal. Dengan jaket tebal yang hampir menenggelamkan tubuh mungilnya, dia berlari kecil di sepanjang jalan yang cukup licin karena sore tadi hujan turun deras disertai badai. Suhu malam ini bahkan mencapai 3 derajat celcius.

Lumi mengetuk kaca jendela berembun yang terletak di kamar Neal.

"Neal, ini aku Lumi," ujarnya dengan berbisik, tapi sedikit keras. Tentu saja agar Neal bisa mendengar suaranya. Beberapa saat kemudian, tirai yang menutupi jendela digeser dan bocah berkacamata yang penampilannya sangat berantakan membuka jendela hingga angin luar masuk ke dalam kamar hangatnya.

"Kau ingin berdiam saja di kamar dan terus menangis? Tidak ingin mencari Ben? Kalau aku jadi kau, tentu tidak akan tinggal diam. Apa pun akan kulakukan untuk menemukannya."

Ben mengusap ingus di bawah hidungnya. "Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kalau Ben sudah mati seperti kucing lainnya?"

"Kita tidak akan pernah tahu sebelum memastikannya sendiri. Ayo, cepat keluar. Kita harus mencarinya bukan? Itu lebih baik dari pada terus menangisinya dan tak berbuat apa-apa. Dan ... berhentilah bersikap cengeng. Menangis tidak akan mengembalikan Ben."

Oleh adanya sedikit harapan bisa menemukan Ben dalam keadaan baik-baik saja, Neal akhirnya mengunci pintu kamar dan keluar dari rumah lewat jendela.

"Apa rencanamu?"

Lumi diam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku tidak tahu."

Neal menatapnya dengan kernyitan di dahi. "Kau mengajakku mencari Ben, tapi tidak memiliki rencana bagaimana cara menemukannya? Lalu untuk apa kita keluar tanpa rencana seperti ini?" ujarnya sedikit kesal.

"Sttt, tapi aku memiliki kecurigaan kepada satu orang," bisik Lumi.

Neal mulai tertarik. "Siapa?"

"Kau tau rumah kayu yang ada di tepi sungai desa ini?"

"Rumah yang menyeramkan itu? Shaka bilang pemiliknya bernama Nao. Orang-orang memanggilnya si Tua Nao. Aku tidak pernah melihat seperti apa rupanya. Namun, katanya dia sangat menyeramkan dan membungkuk ketika berjalan. Wajahnya berkeriput dan giginya tajam berwarna sedikit kehitaman. Shaka juga bilang rambutnya panjang sebahu dan keriting. Penampilannya tidak jauh berbeda seperti monster." Neal menjelaskan dengan sedikit detail, tapi itu semua dia dengar dari teman sekelasnya yang mengaku pernah bertemu dengan si Tua Nao.

Mereka tanpa sadar berjalan di sepanjang sungai yang mengalir cukup deras dan berhenti di jembatan kedua tempat di mana puluhan kucing ditemukan mati.

"Semalam, Mommy menyuruhku untuk mengantar makanan ke rumah Araya. Ketika aku melewati jembatan ini, aku melihatnya, Neal! Dan dia sama sekali tidak berjalan membungkuk seperti yang orang-orang katakan. Satu hal penting, meskipun gelap aku bisa melihat dia membawa sesuatu di tangannya. Aku juga mendengar suara cicitan yang entah suara apa itu. Namun, jika dipikir-pikir bukankah rumah dia yang sangat dekat dengan sungai ini? Dan dari semua warga di desa ini, dialah yang paling pantas dijadikan tersangka. Sangat misterius dan tertutup. Siapa sangka di rumahnya yang tidak pernah didatangi oleh siapapun menyimpan banyak mayat kucing. Tidak, lebih parahnya mungkin terdapat mayat manusia." Kedua mata Lumi bahkan sampai melebar membayangkan jika perkataannya ini terbukti benar. Tubuhnya merinding seketika.

"Itu artinya dia psikopat." Neal menyimpulkan. "Tidak! Bagaimana kalau Ben-lah yang dia bawa kemarin malam? Kita harus segera menyelamatkannya, Lumi, sebelum dia menyakiti Ben."

Semangat yang tiba-tiba membara menghilangkan rasa takut di hati mereka. Keduanya berjalan menyusuri sungai hingga sampai di sebuah pohon berukuran besar dengan daun yang begitu lebat. Dalam jarak tak lebih dari tujuh meter, mereka bisa melihat sebuah rumah kayu yang tampak kuno dan menyeramkan. Tidak adanya lampu di halaman rumah tersebut membuat keadaan begitu gelap.

"Untung aku membawa senter." Lumi merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan senter berukuran kecil. Namun, pencahayaannya tak terlalu terang. "Setidaknya ada sedikit penerangan."

Dengan mengendap-endap, keduanya melangkah menginjak rerumputan basah dan semakin mendekati rumah tersebut. Udara yang terasa semakin dingin dan hawa tak menyenangkan ketika berada di halaman rumah itu sedikit membuat nyali mereka menciut. Namun, jika mundur begitu saja, itu artinya mereka pengecut, bukan? Dan yang paling utama adalah menyelamatkan Ben.

Lumi diam membeku saat tidak sengaja menginjak ranting kayu yang entah bagaimana bisa ada di sana. Neal menatapnya dengan ekspresi was-was. Namun, keheningan yang masih ada membuat dua bocah itu kembali melanjutkan langkah hingga bisa menyentuh tembok rumah.

"Haruskah kita masuk ke dalam?" tanya Neal. Ada sedikit keraguan di nada bicaranya. Mereka tengah berjongkok sambil bersandar pada tembok kayu. Menjaga untuk tetap tidak terlihat oleh tuan rumah.

"Memang apa yang akan kita dapatkan jika tetap berada di luar? Tidak ada. Kau tidak ingat Ben? Mungkin saja dia tengah disiksa sekarang."

Wajah Neal memerah. "Jangan berkata seperti itu. Kau sama sekali bukan teman yang baik. Bukannya menghibur malah semakin menakut-nakuti."

"Sorry," ucap Lumi, pelan.

Suara berisik yang terdengar dari dalam rumah hampir membuat mereka menjerit karena terkejut. Namun, beruntung sekali keduanya sigap menutup mulut masing-masing demi menghalau teriakan.

"Apa yang dia lakukan?" bisik Neal, masih terlihat syok.

"Dia sedang tidak memotong kaki Ben, kan?" Lumi tampak semakin khawatir dengan berbagai kemungkinan yang tersusun di kepala.

"Ka-kau! Berhenti membicarakan, Ben. Apalagi yang buruk-buruk."

Neal melangkah menuju kaca jendela yang begitu kusam dan kotor seperti tidak pernah dibersihkan bertahun-tahun lamanya. Dengan kaki yang sedikit berjinjit, dia mengintip melalui jendela, tapi tidak menemukan apa pun. Di dalam sana, cahaya lampu kekuningan benar-benar membuat ruangan itu tampak menakutkan. Namun, satu hal yang menarik perhatian Neal, ada banyak sekali lukisan yang terpasang di dinding dan semua lukisan itu sangat indah dan cantik.

"Apakah menurutmu dia juga suka mencuri lukisan di museum?" tanya Neal tiba-tiba.

Kening Lumi mengernyit. "Kenapa?"

Bukannya menjawab, pria kecil berkacamata itu kembali mengintip dan mengamati seisi rumah. Suara langkah kaki yang terdengar membuat jantung mereka berdetak dengan cepat.

"Dia datang." Neal kembali ke posisi semula. Berusaha merapatkan tubuh ke tembok agar tidak terlihat.

"Apa yang kau temukan? Kau menemukan Ben? Apa dia baik-baik saja? Kau tidak menemukannya tertempel di dinding, kan?" tanya Lumi bertubi-tubi.

Neal menatapnya tajam. "Untuk apa juga dia ditempel di dinding? Ada banyak sekali lukisan di dalam sana."

"Lukisan?" Lumi diam sejenak seperti tengah berpikir. Sedetik kemudian dia menutup mulut dengan mata melebar. "Jangan-jangan dia melukis di canvas menggunakan darah kucing yang sudah dibunuh."

"Tidak. Warna darah kan merah. Lukisan itu seperti alami dibuat dengan cat biasa. Kita harus masuk ke dalam secepatnya."

"Bagaimana caranya?"

Neal juga tidak tahu. Mereka kemudian kembali melangkah hingga sampai di pintu masuk rumah itu. Setelah mengumpulkan keberanian, Lumi mengawasi seisi rumah lewat jendela sementara Neal yang membuka pintu. Beruntung, ketika dibuka tidak berbunyi keras dan keadaan di dalam aman. Tidak ada siapa-siapa. Kemungkinan, si Tua Nao sedang berada di kamarnya.

Setelah berhasil masuk, mereka menutup kembali pintu dengan hati-hati. Keduanya langsung bersembunyi di balik sofa takut jika tiba-tiba si Tua Nao muncul dan bergerak menyerang.

"Astaga, bagaimana bisa dia tinggal di tempat seperti ini. Bau apa ini?" Lumi menutup hidungnya merasakan bau tidak sedap yang entah berasal dari mana.

"Sttt, kita harus mencari Ben."

Dengan merangkak di lantai, keduanya kembali melanjutkan misinya mencari Ben. Namun, Lumi tidak bisa menyembunyikan kekagumannya melihat lukisan yang dipajang di dinding.

Mereka masuk ke sebuah ruangan di mana terdapat televisi menyala. Seperti TV rusak, tidak ada gambar yang tertera. Yang ada hanya layar berwarna biru tanpa suara.

"Itu Ben." Neal menunjuk pada sebuah kandang yang terbuat dari besi di mana ada kucing berwarna abu tengah duduk tenang di sana. Ada lima lilin berjejer di samping kandang tersebut. Ketika melihat kehadiran Neal, Ben langsung berdiri dan mengeong. Lumi ikut berlari menghampirinya.

"Syukurlah dia belum dimutilasi," ucap Lumi merasa senang bisa melihat Ben dalam keadaan baik-baik saja.

"Bagaimana cara kita mengeluarkannya?"

Kandang itu digembok dan tentu saja kuncinya tidak ada. Keduanya kemudian mulai mencari kunci di berbagai tempat dan mencoba untuk tidak membuat suara berisik. Lumi mengernyit ketika melihat benda yang menggantung di tembok.

Itu dia kuncinya.

Perempuan berambut pirang dan dibalut dengan jaket tebal berwarna biru cerah itu berusaha berjinjit demi mengambil kuncinya. Namun, yang terjadi dia justru kehilangan keseimbangan dan ambruk. Di tempatnya berdiri Neal membeku, sementara Lumi sama sekali tidak bergerak saat melihat sepasang sepatu kumal dan berlubang hingga jari jempolnya ke luar berada tepat di depan matanya.

"Apa yang kalian lakukan di rumahku?" Suara yang terdengar berat dan menyeramkan itu membuat Lumi dan Neal sama-sama mendongak.

"AAAAAAA!"

Keduanya menjerit keras melihat sosok si Tua Nao. Apalagi ketika Lumi yang mencoba kabur ditahan dengan memegang bagian belakang jaketnya. Meskipun ketakutan, Neal tetap berusaha membantu. Dia mengambil sebuah asbak di atas meja yang terbuat dari tanah liat dan melemparkannya hingga tepat mengenai kening laki-laki tua berambut hitam pekat itu.

Pegangan di jaket Lumi terlepas. Hal itu dia manfaatkan untuk kabur secepat mungkin. Mereka berlari di sepanjang sungai sampai tiba di perumahan masih dengan jeritan yang sama keras hingga membangunkan dan menarik perhatian beberapa warga.

Neal langsung mengadu pada Tarri-Ibunya-bahwa si Tua Nao yang telah menculik Ben. Lumi memperkuat pernyataan dengan mengaku sebagai saksi. Beberapa warga kemudian datang ke rumah laki-laki tua yang sangat diasingkan itu. Namun, kenyataannya tidak seperti dugaan. Mereka tidak menemukan hal aneh setelah menggeledah tempat itu.

Si Tua Nao kemudian menjelaskan bagaimana bisa Ben ada di rumahnya.

"Aku tanpa sengaja menemukannya hanyut di sungai. Tak tahu juga bagaimana dia bisa ada di sana. Sengaja kubawa pulang karena kukira dia kucing liar. Dia sangat ketakutan dan juga kedinginan untuk itulah aku menghangatkan tubuhnya di kandang. Dan tiba-tiba dua bocah tengik ini datang ke rumahku dengan lancang dan tanpa tahu sopan santun," ucap si Tua Nao menatap tajam kepada Lumi dan Neal.

Kedua bocah itu langsung bersembunyi di balik tubuh Tarri yang sangat besar. Wanita itu kemudian meminta maaf karena sudah membuat keributan. Dia juga berterima kasih karena si Tua Nao sudah menyelamatkan Ben. Mereka kemudian membawa kucing manis itu pulang. Warga langsung bubar.

"Sebentar. Sepatuku hilang satu. Pasti tertinggal!"

Lumi berlari menuju rumah si Tua Nao. Benar saja, dia melihat sepatunya tergeletak di halaman rumah menyeramkan tersebut. Dia segera memakai kembali sepatu berwarna hitam polos itu. Namun, suara derit pintu yang terdengar menarik perhatiannya.

Ketika gadis kecil itu menoleh, tubuhnya membeku seketika. Di sana, pintu kayu yang setengah terbuka itu, si Tua Nao menyeringai dengan pisau penuh darah di tangan.

Satu hal lagi yang semakin membuat Lumi tidak mampu berkutik apalagi menjerit, yaitu ketika melihat kepala kucing yang berada di genggaman tangan si Tua Nao.

Tidak, dia pelaku sebenarnya.

| E N D |

Desa Murren
Tempat di mana petualangan Lumi dan Neal dimulai.

•••

Terima kasih untuk kalian yang sudah meluangkan waktu membaca cerita pendek ini.
🧡🧡🧡

- ari viani -
✨🧚✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro