Halaman 02 : Jumpa yang Sementara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tema : Atap

—————

❝Kebahagiaan bisa tercipta oleh hal-hal sederhana yang ada di sekitar kita sendiri, meskipun itu bersifat sementara.❞

▪️▪️▪️

Hujan yang berlangsung sore tadi masih menyisakan hawa dingin. Di atap sebuah gedung apartemen, seorang perempuan yang mengenakan baju tidur bermotif daun tengah diam membisu memperhatikan jalanan yang tampak sepi. Dia sesekali meneguk minuman bersoda yang ada di tangannya. Hidung dan kedua pipinya memerah, mungkin karena kedinginan. Sudah hampir dua jam berlalu, tetapi ia belum berniat untuk beranjak pergi. Memilih menikmati dingin dan kehampaan di malam hari ini.

"Mulai besok, tidak perlu datang lagi ke kantor. Kau dipecat."

Tanpa aba-aba, perkataan itu menyelinap dalam pikiran. Lunara menghela napas ketika kejadian tadi siang ikut menyapa ingatan. Dia resmi dipecat sebagai salah satu karyawan di perusahaan tekstil yang sudah hampir satu tahun ini menjadi sumber mata pencahariannya. Alasannya tentu cukup kuat, yaitu karena ia memukul wajah atasannya sendiri. Namun, Lunara sama sekali tidak merasa menyesal telah melakukan hal itu. Tentu saja, memangnya apa yang akan kau lakukan ketika mendapat pelecehan? Dalam kasusnya, memukul sang pelaku bagi Lunara adalah salah satu hal yang tepat.

"Setidaknya aku sudah berhasil membuat wajahnya penyok. Padahal, dia pantas mendapat yang lebih parah dari sebuah pukulan di wajah."

Untuk kesekian kalinya, Lunara meneguk minumannya hingga tandas. Perempuan itu mendongak hingga matanya menangkap satu-satunya bintang yang ada di langit. Bibirnya mendadak tersenyum. Dari kecil, dia adalah penggemar berat benda-benda di langit. Sudah sejak tiga tahun yang lalu pula selama tinggal di sini dia tidak pernah melewatkan malam tanpa datang ke tempat ini, meksipun terkadang hanya disambut dengan gelapnya langit yang kosong.

"Sepertinya rencanaku untuk merenung sendirian di sini gagal."

Suara itu mengejutkan Lunara. Dia menoleh ke belakang di mana ada seorang pria botak berdiri tak jauh dari posisinya berada. Siapa dia? Lunara tidak pernah melihat pria itu sebelumnya. Apakah penghuni baru apartemen?

Pria botak sekaligus kelewat kurus itu berjalan mendekat pada Lunara, kemudian mengulurkan tangan kanannya.

"Perkenalan adalah salah satu hal yang tidak boleh terlewatkan ketika bertemu dengan orang baru. Namaku Jay, penghuni baru di apartemen ini. Aku sempat melihatmu tadi pagi ketika mengemas barang-barang dari mobil."

Meskipun agak bingung, Lunara membalas jabatan tangan itu. Namun, hanya sebentar dan langsung menarik kembali tangannya.

"Aku Lunara. Maaf, aku tidak tahu kalau ada penghuni baru."

Jay tersenyum. Dia kini berdiri tepat di samping Lunara lalu menatap pada langit malam yang mendung. Hawa dingin semakin menguasai tempat terbuka itu.

"Sepertinya kau sering ke sini."

"Setiap hari."

"Tidak mengherankan. Pemandangan di sini sangat indah. Apa kau suka melukis?" tanya Jay tiba-tiba.

"Tidak." Pertanyaan aneh, pikirnya.

"Maaf, tidak ada maksud lain. Tiba-tiba muncul di kepala." Jay tertawa kecil setelahnya.

Perkataan itu membuat Lunara spontan menatap pada kepala botaknya yang sungguh tidak ada secuil rambut pun. Jika dilihat sedekat ini, permukaanya seperti licin. Seakan tersadar, Lunara langsung mengalihkan pandangan. Takut menyinggung Jay.

"Dari lahir, rambut tidak pernah tumbuh di kepalaku. Tetapi indah bukan? Itu yang ibuku katakan."

Lagi-lagi perkataan itu membuat Lunara terpana. Namun, ia tidak tahu harus berkata apa sebagai bentuk reaksi. Alhasil, dia hanya diam.

"Sepertinya keputusanku untuk pindah ke tempat ini sangat tepat," dia lalu menatap Lunara yang balik memandangnya dengan kerutan di kening, "sepertinya juga kau punya teman yang akan menemanimu setiap malam di tempat ini."

Lunara langsung mengerti maksud perkataan Jay. Dia tersenyum kecil mendengar, tetapi tidak mengatakan apa pun. Keheningan kembali datang dan bintang yang tadi tampak kini menghilang, bersembunyi di balik awan.

"Sudah larut malam. Aku harus tidur sekarang. Sampai jumpa."

Jay mengangguk singkat. "Selamat malam."

Dia melambaikan tangannya, sementara Lunara berjalan menjauh. Namun, saat melihat perempuan itu tampak kesulitan membuka pintu sekarang giliran kening Jay yang berkerut. Dia segera mendekati Lunara.

"Kenapa? Tidak bisa?"

Lunara mengehela napas dalam. "Sepertinya terkunci dari dalam. Aku lupa membawa kunci cadangan."

"Kau memilikinya?"

"Ya, kejadian ini sering terjadi. Tidak biasanya aku lupa membawa kunci cadangan."

"Sepertinya pikiranmu sedang kacau hari ini," ucap Jay tepat sasaran. Lunara membenarkannya dalam hati.

"Kau membawa ponsel?"

Jay menggeleng. "Seharusnya aku tidak meninggalkannya di kamar."

"Jadi bagaimana?" tanya pria itu, sedikit kebingungan.

"Mau tidak mau kita harus bermalam disini. Aku sudah pernah merasakannya. Setidaknya sekali dan itu tidak terlalu buruk," ucap Lunara seolah berusaha menghilangkan sedikit kekhawatiran Jay.

Tidak, jika diteliti lagi wajah kebingungan pria itu sudah berubah menjadi lebih cerah dan sedikit senang.

"Akan jadi pengalaman yang menyenangkan, bukan? Aku suka mencoba sesuatu hal yang baru. Sepertinya ini akan seru."

Lunara rasa, Jay sedikit tidak waras. Namun, dia tidak peduli. Perempuan itu berjalan menjauh dan duduk bersandar pada tembok karena merasa sedikit kelelahan. Seharusnya sekarang dia sudah berbaring di atas ranjang dan dibungkus dengan selimut hangat. Bukannya menikmati hawa dingin yang semakin menusuk kulit. Apalagi malam semakin larut.

Jay ikut duduk di samping Lunara. Dia tidak lagi mengatakan apa pun dan memilih untuk menggosok kedua tangannya secara cepat seolah berusaha mengundang kehangatan.

"Setidaknya aku bersama seseorang yang berpengalaman tidur di atap seperti ini. Jadi, apa yang kau lakukan selama bermalam di sini?"

"Tidak ada. Hanya terus duduk seperti ini sampai pagi hari."

Jay mengernyit. "Membosankan."

"Kau pikir apa yang bisa dilakukan di tempat sepi seperti ini? Seorang diri."

Pria itu tiba-tiba berdiri. Dia mengulurkan tangannya pada Lunara yang mendongak dengan kerutan di kening.

"Bisa berdansa?"

"Aku benci menari," jawabnya hanya dengan hitungan satu detik setelah pertanyaan itu terlontar.

"Kenapa? Ada pengalaman buruk soal menari?"

Pikiran Lunara berlari mundur ke belakang. Berhenti di waktu ketika untuk pertama kalinya, dia merasa hidupnya mulai rusak. Saat itu, umurnya masih menginjak tiga belas tahun. Lunara merupakan seorang penari balet yang harus gagal memberi pertunjukan terbaiknya karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan tulang kakinya patah. Itu adalah salah satu masa-masa menyakitkan dalam hidupnya. Di mana dia harus rela melupakan impian menjadi seorang balet.

Bisa saja setelah kakinya sembuh, dia kembali aktif menjadi penari balet. Namun, kepergian kedua orang tuanya di hari yang sama membuat Lunara tidak mampu menanggung rasa sakit oleh sebuah kehilangan. Dia tidak memiliki semangat hidup. Tinggal bersama Bibi serta Paman semakin membuat dia tertekan karena mereka tidak benar-benar menerima kehadirannya. Setelah Lunara lulus sekolah, dia memutuskan untuk bekerja dan menyewa tempat tinggal di apartemen. Sejak saat itu, bekerja keras demi sesuap nasi adalah rutinitasnya.

"Sebenarnya hidupku tidak akan lama lagi."

Pernyataan itu membuat Lunara tersadar dan menatap Jay. Terkejut? Tentu saja.

Dengan senyuman yang tercetak di bibir, Jay memegangi bagian bawah dadanya. "Ada yang rusak di sini."

"Dua tahun lalu, aku didiagnosis mengidap sirosis hati. Sekarang kerusakannya sudah semakin parah. Seharusnya sekarang aku sedang dirawat di rumah sakit. Tapi bukankah akan sangat membosankan dan menyedihkan jika menghabiskan sisa hidup dengan berbaring sepanjang hari di atas ranjang rumah sakit? Ah, itu sama sekali tidak cocok denganku."

Pandangan Lunara dan Jay bertemu.

"Namun, hidup terus berjalan bukan? Meskipun dokter bilang hidupku akan berakhir, setidaknya aku tidak boleh merasa kesepian sebelum meninggalkan dunia. Aku ingin bertemu banyak orang dan membagikan kisah ini. Bukan untuk menarik simpati mereka, tapi ingin menunjukkan bahwa aku bahagia dengan apa yang ada di hidupku. Bahwa aku tidak butuh dikasihani. Dan kuharap, kau berhenti menatapku seperti itu."

Jay tersenyum kecil melihat Lunara yang langsung menurunkan pandangan dengan sedikit gugup.

"Maaf," ucap Lunara pelan. Dia kemudian berdiri dari duduknya.

"Haruskah kita melompat bersama-sama dari atas gedung ini? Aku selalu merasa kematian adalah jalan yang paling tepat untuk mengakhiri rasa sakit. Sebenarnya, jika boleh jujur aku sedikit iri karena kau akan segera meninggalkan dunia kejam ini dan tidur dengan tenang," kata Lunara tiba-tiba. Dia tahu perkataannya sangat gila sampai membuat Jay tertawa kecil dan menggeleng pelan.

"Baru kali ini ada orang yang iri dengan umur pendekku. Tapi, jika boleh jujur, aku juga sedikit senang mendengarnya."

Pria yang baru saja dikenalnya beberapa menit lalu itu kembali mengulurkan tangannya pada Lunara.  "Maukah berdansa bersamaku? Aku selalu ingin melakukannya, tetapi tidak ada yang mau."

Perempuan berambut coklat gelap itu diam sesaat, ragu untuk menyambut uluran tangan Jay.

"Aku tidak bisa berdansa."

Jay tersenyum. "Aku bisa membantumu."

Tanpa kata, dia mengambil tangan kiri Lunara untuk diletakkan di salah satu pundaknya. Sementara satu tangan Jay mendarat sempurna di pinggang Lunara. Tangan yang lain saling menggenggam.

Lunara dengan teliti mengikuti instruksi Jay meskipun agak kebingungan. Walaupun dia mantan penari balet, berdansa secara berpasangan seperti ini adalah hal pertama untuknya. Tentu saja, ini sangat sulit dilakukan.

"Maaf, maaf!" seru Lunara spontan ketika tidak sengaja menginjak kaki Jay.

"Tidak masalah. Itu wajar karena kau belum terbiasa. Bisa kita lanjutkan?"

Lunara mengangguk dan perlahan-lahan mereka bisa berdansa dengan baik di atas atap apartemen dan di bawah gelapnya langit malam yang mendung.

"Aku senang bisa mengisi kesempatan berdansa ini dengan gadis cantik."

Lunara menggeleng mendengarnya. "Jangan membuatku menginjak kakimu untuk kedua kalinya."

Tanpa diduga, suara petir menggelegar membuat keduanya tersentak kaget. Air hujan yang datang secara mendadak dan deras membuat mereka berlarian untuk menepi. Sial sekali, atap yang melindungi keduanya sangat pendek dan kecil, yaitu berada tepat di depan pintu masuk apartemen.

"Aku lupa jika ini masih musim hujan. Apa yang harus kita lakukan? Terus berdiri di sini sampai hujan berhenti? Tunggu, kau yakin bisa bertahan dalam kondisi dingin semacam ini?" Kini Lunara benar-benar khawatir.

"Kubilang jangan menatapku seperti itu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal hujan."

Lunara kembali menurunkan pandangan.

"Bukankah menurutmu akan sangat menyenangkan menari di bawah hujan?"

"Menurutku tidak."

Lunara menjerit terkejut saat tiba-tiba Jay membopong tubuhnya dan membawanya ke tengah guyuran hujan.

"Jay kau gila, ya? Ini bukan waktu yang tepat untuk bermain-main!" Jay menahan Lunara yang hendak berlari pergi.

"Ayolah, hanya sebentar saja. Dulu, Ibu selalu melarangku untuk hujan-hujanan padahal teman-temanku yang lain diperbolehkan oleh orang tua mereka. Aku selalu iri dengan hal-hal kecil semacam itu. Tidak bisakah kau melakukannya bersamaku?"

"Tapi kau sedang sakit."

"Takut tiba-tiba aku mati mendadak di sini? Ayolah, semua orang pada akhirnya juga akan mati. Hanya waktu saja yang masih menjadi rahasia. Kalau Tuhan belum berkehendak, nyawaku masih tetap aman. Jika pun besok aku tiada. Setidaknya malam ini aku bisa merasa bahagia."

Lunara tidak tahu alasan apa yang membuatnya begitu mudah bersimpati. Mungkin, karena ini untuk pertama kalinya dia bertemu dengan orang seperti Jay. Masih tetap tersenyum bahagia di tengah ambang kematiannya.

Ketika Lunara mengulurkan tangannya pada Jay, kehangatan itu menjalar dengan cara yang asing tapi menyenangkan untuknya. Apalagi ketika pria berkepala plontos itu membalas uluran tangannya dan mereka kembali berdansa di bawah guyuran air hujan.

Untuk pertama kalinya, setelah dua belas tahun Lunara kembali merasakan euphoria menari meskipun bukan merupakan tarian balet. Rasa senangnya sama persis ketika untuk pertama kalinya dia memenangkan medali emas di pertunjukan pertamanya.

Namun, Lunara juga tidak pernah menyangka bahwa itu adalah untuk pertama dan terakhir kalinya dia bertemu dan mengenal Jay. Keesokan harinya, tiga jam setelah mereka berhasil turun dari atap, Jay ditemukan meninggal di kamar apartemennya.

| E N D |

"Sekarang, kau bisa tidur dengan tenang Jay. Kita pasti akan bertemu kembali meskipun aku tidak tahu kapan masa itu akan datang. Kuharap kau bisa lebih bahagia di tempat baru.
Sampai jumpa."

- Lunara -

•••

Terima kasih untuk kalian yang sudah meluangkan waktu membaca cerita pendek ini.
🖤🖤🖤

- divaariviani -
✨🧚✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro