Halaman 03 : Kuncup Mawar Merah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tema : Kuncup

🥀🥀🥀


Ternyata benar, penyesalan selalu datang belakangan. Kemarahan yang hanya bersifat sementara, berhasil membuat manusia egois sepertiku merasakan sakitnya kehilangan perempuan sebaik Jihan.

Kejadiannya satu bulan yang lalu. Di malam aku tanpa sengaja memergoki Jihan pergi bersama cowok lain yang tentu sangat aku kenali. Itu adalah malam tersuram yang pernah ada. Aku yang merasa menjadi korban dan bertingkah sok benar tanpa mendengar penjelasan darinya membuat kesalahan fatal yang sampai saat ini masih sangat kusesali.

Sampai sekarang, aku bahkan masih sangat ingat setiap kalimat yang keluar dari mulutku sendiri. Kalimat yang mungkin sangat menyakiti hati Jihan.

"Itu mantan pacar lo, kan'?"

Lamunanku buyar karena ucapan Aldo. Dia menunjuk ke arah koridor kelas dua belas di mana ada dua sejoli yang sedang berjalan bersampingan sambil mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas pemandangan ini bukan apa yang ingin kulihat di pagi hari semacam ini.

Jihan dan Dika.

Apa benar mereka berpacaran? Sudah hampir dua minggu lamanya pertanyaan itu memenuhi pikiranku. Romornya, mereka memiliki hubungan.

"Lo udah minta maaf sama Jihan?" tanya Aldo lagi yang tidak aku tanggapi. Sudah berkali-kali dia menanyakan hal yang sama. Minta maaf? menemuinya saja aku tidak berani, apalagi harus mengobrol dan kembali mengungkit tindakan bodohku.

"Serius lo mau ngelepasin dia gitu aja? Kalau gue jadi lo, sih, sorry aja. Gak bakalan gue nyia-nyiain cewek sebaik dia. Tapi mungkin emang Jihan aja yang lagi sial karena jatuh cinta dan pernah punya hubungan sama lo."

Itulah teman. Bukannya membantu menenangkan sahabatnya yang sedang patah hati, dia malah membuatku semakin merasa bersalah. Namun, memang aku yang salah, kan?

"Kalau sampai Jihan berhasil diembat sama Dika, awas aja lo datang ke rumah gue bahkan sampai nginep berhari-hari cuma buat numpang nangis sama curhat doang."

Aldo langsung pergi setelah mengatakan kalimat itu. Meskipun aku diam, perkataan dia masuk dengan sempurna ke telinga dan bersarang di kepala.

Melepaskan Jihan? Sebulan tidak bertemu dia saja rasanya seakan aku hidup sendirian di bumi. Sepi, suram, hampa, dan rasa rindunya bahkan tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Kita yang setiap hari selalu bertemu, mengobrol, bahkan saling bertukar pesan, sekarang hal-hal semacam itu sudah tidak ada lagi. Benar-benar hilang.

"Lo yakin Ka, mau ngelepasin dia?" tanyaku pada diri sendiri.

Kurasa, aku tidak akan pernah mampu melakukannya. Kembali kuarahkan pusat perhatianku pada dua remaja yang kini masuk ke dalam kelas hingga menghilang dari pandangan.

Baiklah, sepertinya aku sudah mendapat keputusan yang tepat.

***

Hari ini seperti biasa, seusai ujian tengah semester dilaksanakan, sekolah mengadakan class meeting yang akan berlangsung selama satu minggu. Ada banyak kegiatan yang diadakan. Mulai dari bidang olahraga, seni, bahkan sampai ke pengetahuan yang sangat menguji kapasitas kecerdasan otak. Untuk opsi ketiga, yang pasti bukan tempat yang pas untukku.

Maka dari itu, setelah menyiapkan segala macam hal selama dua hari yang lalu, aku berjalan santai di koridor sekolah menuju sebuah tempat di mana aku bisa bertemu Jihan.

Salah satu kegiatan class meeting adalah membudidayakan tanaman hias yang nantinya akan membuat sekolah menjadi lebih asri, segar, sekaligus indah. Semua murid bahkan guru bebas membawa tanaman jenis apa saja. Nah, atas ide yang tiba-tiba muncul di otakku dua hari lalu, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti kegiatan ini dengan membawa kuncup bunga mawar.

Ya, masih kuncup. Alias masih malu-malu kucing dan belum mekar. Kuncup bunga itu diletakkan di sebuah pot sekecil genggaman tangan yang kalau kata mba-mba penjualnya sangat aesthetic. Karena memang aku kurang paham dengan hal semacam itu, aku menurut saja dan langsung membeli kuncup ini.

Yah, ini bukan informasi yang bisa dibilang umum, tapi Jihan suka sekali dengan kuncup bunga. Sebenarnya aku juga tidak tahu alasannya apa karena memang tidak pernah menanyakannya. Hanya saja, dia mengoleksi banyak sekali kuncup mungil di rumahnya. Ketika sudah mekar, malah dia potong dengan gunting andalannya. Dan kurasa itu adalah hal yang lucu sekaligus unik. Yah, dia memang perempuan yang sangat unik sekaligus istimewa bagiku.

Jadi, akan sangat bodoh sekali jika aku melepaskannya begitu saja, kan?

Setelah sampai di sebuah ruangan dengan tulisan XII IPA 2, lewat kaca jendela, seorang gadis berbandana biru menarik perhatianku sepenuhnya. Dia sibuk mendata anak-anak yang ikut menyumbangkan tanaman. Namun, cowok yang duduk di samping dia benar-benar menghancurkan suasana hatiku. Kenapa harus dia, sih?

Karena panas api cemburu ini tidak bisa tertahankan, langsung saja aku masuk dan mengantri. Cukup lama karena memang yang mengantri lumayan banyak. Namun, hampir semua anak yang melewatiku menatap tanaman di tanganku dengan tatapan aneh. Mungkin bingung karena aku hanya membawa sepucuk kuncup mawar merah berukuran begitu mungil dan hanya satu biji saja di saat murid lain berlomba-lomba membawa tamanam hias yang sangat cantik dan segar.

"Apa lihat-lihat?"

Mereka langsung mengalihkan pandangan dan pergi.

"Emm, Kak aku boleh minta nomor hapenya enggak? Aku lagi ada main dare gitu terus tantangannya minta nomor hape Kak Jihan. Tapi habis itu aku hapus kok, Kak. Aku gak akan gangguin Kak Jihan."

Itu suara milik cowok berkacamata dan bertubuh sedikit gempal yang berdiri tepat di depanku. Wah, bilang apa dia barusan?

"Lama banget, sih, lo. Gak bisa lihat gue dari tadi ngantri? Minggir." Saking kesalnya kudorong tubuh dia hingga terhempas menjauh ke samping. Enak saja main minta nomor Jihan. Pakai alasan segala karena dare pula. Basi tahu tidak?

"Apa lihat-lihat? Mau minta nomor hape gue juga, hah?"

Cowok yang aku yakini adik kelas itu langsung mundur beberapa langkah. Dia kemudian menatap Jihan.

"Nanti aku samperin lagi, ya, Kak."

"Samperin, samperin. Lo pikir abang tukang bakso seenaknya nyamperin? Udah sana pergi. Bikin sakit mata tau nggak penampakan wajah lo!"

Dia langsung pergi dengan raut wajah yang sepertinya tersinggung dengan perkataanku. Bodo amat, dia yang mulai duluan. Namun, baru saja mau menyerahkan kuncup mawar di tangan, Jihan mendadak menarik lenganku untuk diseret keluar dari sana. Sekarang, semua orang memperhatikan kami dan bisa kulihat wajah Dika yang tampak kesal.

"Raka, kamu ngapain, sih, bikin keributan di sana? Mereka semua jadi risi karena kedatangan kamu. Sikap kamu tadi itu udah keterlaluan tahu, nggak?"

"Dia sendiri yang kurang ajar minta nomor hape kamu," ucapku membela diri. Kan, memang salah cowok itu duluan.

"Terus hubungannya sama kamu apa?"

Pertanyaan itu membuat mulutku yang sudah siap menjawab jadi mengurungkan niat. Lagi-lagi kejadian malam itu kembali terngiang di ingatan dan fakta yang ada menamparku sekeras-kerasnya.

"Kamu lupa kita udah enggak ada hubungan lagi? Kan, kamu sendiri yang bilang, Ka."

Kali ini Jihan tampak frustasi. Wajahnya memerah entah hanya karena rasa amarah atau ada hal lain lagi. Yang pasti, kemarahan itu tampak jelas di wajahnya.

"Aku udah terima keputusan kamu soal hubungan kita. Udah sebulan juga kan, kita udah enggak pernah berhubungan lagi, bahkan cuma sekadar nyapa sekali pun. Tapi, kenapa tiba-tiba kamu bersikap kayak gini? Jangan buat aku bingung, Ka. Aku serius pengen ngelupain kamu dan nyembuhin luka ini."

Luka? Ucapan itu menyadarkan aku sepenuhnya. Luka itu, yang saat ini sedang ditanggung oleh Jihan, aku sendiri penyebabnya.

"Kalau aku minta satu kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, apa kamu bersedia ngasih kesempatan itu?"

Jihan tampak terkejut mendengarnya. Dia seakan bingung harus membalas apa dan hanya bisa membalas tatapanku.

"Maaf Jihan udah buat kamu terluka oleh keegoisan aku. Tapi sedetik pun gak pernah dalam pikiran aku buat ngelepasin kamu apalagi ngelupain semua hal tentang kita. Bahkan sebulan ini aku terlalu takut buat ketemu kamu dan bilang maaf. Butuh waktu yang cukup lama buat ngumpulin keberanian ini dan aku serius ingin memperbaiki hubungan kita."

Kini pandanganku beralih pada kuncup bunga mawar di tangan. Mencoba untuk tetap tersenyum, di saat hatiku seperti diperas kencang oleh sebuah tangan besar berduri. Sakit dan sesak.

"Kamu suka kuncup bunga, kan? Anggap aja ini sebagai hadiah perpisahan kita kalau memang udah enggak ada kesempatan lagi buat aku. Jaga baik-baik, ya?"

Dengan rasa sakit yang mendera hati, aku pergi dari hadapan Jihan. Mungkin, benar kata Aldo, kalau aku hanya sebuah kesialan di hidup Jihan. Dan mungkin juga, setelah ini dia bisa lebih bahagia lagi.

***

"ASLI DAH CAPEK GUE SAMA LO. GUE BILANG JUGA APA. BEGO BANGET, SIH, LO JADI COWOK!"

Itu suara milik Aldo yang terdengar sekali emosinya, tapi aku sama sekali tidak peduli. Rasanya sakit banget seperti hati ditusuk-tusuk pisau. Aku tidak peduli jika dibilang cengeng hanya karena seorang perempuan. Karena pada kenyataannya, kehilangan orang yang disayang memang semenyakitkan ini. Apalagi penyebab kehilangannya adalah kesalahan diri sendiri.

"Udah sono, ah, lo pulang. Banjir lama-lama rumah gue!"

Tidak aku pedulikan ucapan Aldo. Di bawah selimut, tangisanku justru semakin kencang. Apalagi ketika ucapan Jihan terus terngiang di kepala seperti kaset rusak. Hal yang membuat aku semakin merasa galau.

Bisa kudengar Aldo berdecak kencang dan di lanjut menendang pantatku sebagai bentuk kekesalan. Namun, untuk beberapa saat setelahnya hanya terdengar suara sesenggukanku.

"Udahlah, lo mau nangis terus begitu? Gak ada gunanya ditangisin. Toh, apa dengan nangis Jihan mau balik lagi ke lo? Enggak, kan? Mending move on aja ke yang lain."

Mana bisa seperti itu? Melupakan Jihan tentu bukan perkara yang mudah. Aku juga tidak ingin Jihan melihatku dekat dengan perempuan lain, begitu pun sebaliknya.

"Lo ada cewek yang bisa dikenalin ke gue?" Sialnya, justru kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku mendongak, membiarkan Aldo melihat penampakan wajahku yang sepertinya sudah tidak tertolong karena dia tampak berusaha menahan tawa. Dia lalu mengangguk.

"Ada. Mau?"

Aku mengangguk dengan mantap, meskipun hatiku ragu.

"Yakin? Lihat keadaan lo yang sekarang ini justru gue yang malah enggak yakin. Lo beneran secinta itu ya sama Jihan?"

Pake nanya pula.

"Makanya hilangin dulu begonya. Entar kalau lo udah suka ke cewek lain dan ngelakuin hal yang sama kan percuma."

"Bodo amat. Pokoknya gue mau lupain Jihan dulu," kataku tak peduli.

Aldo menggeleng menatapku lalu kembali bicara.

"Makin bego ternyata."

***

Mencoba melupakan Jihan dan move on ke cewek lain lalu hidup bahagia. Seperti itulah rencana awalnya. Namun, baru juga selesai memarkirkan motor matic kesayangan, hal pertama yang aku lihat membuat rencana yang sudah kususun sedemikian rupa seolah tidak ada artinya. Jihan yang baru saja berangkat tidak sengaja menatap padaku, tetapi dia langsung memalingkan wajah dan kembali melanjutkan langkah menuju kelasnya. Spontan aku memegangi dadaku yang kembali berdenyut sesak.

Gimana bisa move on jika masih bertemu setiap hari seperti ini?

Dengan langkah gontai, aku melangkah menuju kelas. Masih bisa kulihat Jihan yang kini berjalan bersampingan dengan dua temannya yang kini berubah memusuhiku. Setiap kami bertemu, mereka selalu meluncurkan tatapan mematikan. Tidak ketinggalan juga sindirannya yang selalu berhasil menamparku. Jika sudah bertemu mereka, mentalku menjadi begitu sangat lemah dan tidak berdaya.

"Gimana? Jadi jalan kemarin sama Nada?"

Aldo langsung bertanya ketika aku baru duduk di bangku dengan ekspresi yang pasti kelihatan sekali lesunya. Aku hanya mengangguk tanpa minat.

"Jadi?"

"Biasa aja."

"Ck. Emang ini kayaknya jalan yang salah deh. Udah, mendingan gak usah lo sok-sok-an mau deketin cewek lain."

"Loh, kenapa? Gue kan mau lupain Jihan."

"Ada banyak cara. Gak harus dengan lo deket sama cewek lain. Bukannya menyelesaikan masalah, bisa-bisa malah muncul masalah baru."

"Gue gak akan bikin masalah."

"Gue punya saran, mau dengerin nggak?"

Mendengar nada yang berubah serius itu membuatku menatap Aldo yang menampilkan wajah tak kalah serius. Mau tak mau aku duduk dengan sedikit tegak dan menatapnya.

"Apa?"

"Perbaiki dulu hubungan lo sama Jihan."

"Perbaiki gimana? Kita udah nyelesaiin masalahnya, kok."

"Belum. Belum ada yang selesai menurut gue. Putus pacaran bukan berarti kalian harus putus silaturahmi juga, kan?"

"Jadi maksudnya lo berharap gue temenan sama dia gitu setelah apa yang udah kita lewati selama lebih dari tiga tahun ini? Gak, gak bisa gue. Mending lupain dia aja. Itu lebih baik."

"Yakin?"

"Yakin."

"Ya udah, kalau emang itu keputusan lo mau gimana lagi? Gue gak punya hak buat ngubah atau maksa lo, kan?"

Anehnya, setelah Aldo mengatakan kalimat itu rasanya hatiku menjadi sedikit gelisah. Namun, aku mencoba untuk tidak peduli dan meyakinkan diri sendiri jika keputusanku sudah benar dan tepat.

***

"Yah, minumannya habis."

Suara itu membuatku menoleh ke samping. Selalu saja seperti ini, detakan jantungku berdetak tidak karuan jika sudah melihat Jihan, apalagi berada dalam jarak sedekat ini. Sepertinya dia baru saja mengikuti kegiatan perlombaan olahraga yang entah apa aku tidak tau. Dilihat dari dahinya yang penuh keringat dan dia memang memakai baju olahraga. Tanpa kata kusodorkan botol minuman di tanganku.

"Ambil ini aja."

Dia menatapku dengan sedikit terkejut. "Eh? enggak perlu, nunggu aja. Atau enggak bisa beli di warung depan sekolah."

Aku mengambil tangan kanannya agar menerima botol minuman itu. Di masa class meeting semacam ini kehabisan stok minuman di kantin adalah hal yang biasa. Bisa saja di warung depan sekolah juga terjadi hal yang sama. "Kamu yang lebih butuh. Udah pesen makanan?"

Jihan mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, dia berlalu pergi menuju meja di mana ada teman-teman sekelasnya. Aku memilih mengambil cemilan seadanya dan menghampiri Aldo yang hampir menghabiskan semangkok bakso pesanannya.

"Eh? Pulang sekolah nanti anterin gue ke Bank, ya," ucap Aldo tiba-tiba.

"Ngapain?"

"Setor buat bulan yang kemarin. Udah kelewat dua bulan. Bang Ari lagi ada kerjaan soalnya gak bisa pergi, jadi gue yang gantiin."

Aku hanya mengangguk saja dan kembali memperhatikan Jihan yang sepertinya tidak sengaja menatap ke arahku. Sialnya, kenapa dia malah tersenyum? Aku langsung menunduk. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak dikuasai rasa salah tingkah hanya karena senyuman dari mantan.

"Emang rotinya pedes? Wajah lo sampe merah gitu."

"Hah? Eng-enggak. Udah sana makan. Ngapain malah merhatiin gue? Naksir?"

Aldo mengernyit menatapku jijik. "Najis, anjir."

Tak kupedulikan dia dan dengan sedikit keberanian kembali melihat pada meja yang di tempati Jihan. Gadis itu tengah tertawa dengan cara yang sangat cantik sekali. Apakah suatu saat aku bisa menjadi salah satu alasan dia bisa tertawa lepas seperti itu? Sama seperti sebelum-sebelumnya.

Aku menghela napas. Kembali menatap Aldo dan memikirkan perkatannya pagi tadi.

***

Entah kebetulan atau tidak selama satu minggu ini aku jadi jauh lebih sering bertemu dengan Jihan padahal sudah berusaha sebisa mungkin untuk menghindarinya. Salah satunya seperti saat ini. Hanya karena kami kebetulan sama-sama berjalan di koridor lantai satu hendak melewati perpustakaan, Pak Kasman selaku penjaga perpustakaan mendadak memanggil kami berdua untuk melaksanakan perintahnya yang tentu tidak bisa ditolak, yaitu membantunya membersihkan ruangan penuh buku itu dengan imbalan semangkok bakso yang sudah dia beli sebelumnya.

Situasi di antara kami benar-benar sangat canggung. Atau hanya aku yang merasakannya? Yang pasti aku sungguh tidak nyaman dengan situasi ini. Padahal dulu, selalu saja ada hal yang kami bicarakan ketika tengah berduaan seperti ini.

Huh, sadar Raka. Kalian sudah tidak lagi mempunyai hubungan spesial.

"Oh! Itu kan buku-"

Aku menoleh mendengar suara itu. Menatap pada Jihan yang langsung membungkam mulutnya dan memalingkan wajah. Namun, aku sudah terlebih dahulu memergokinya menatap pada buku yang ada di tanganku. Sebuah novel yang entah tentang apa. Satu hal yang pasti, covernya sangat lucu dan berwarna biru pastel.

"Mau minjem buku ini?"

Jihan menatapku, hanya sekilas lalu mengangguk. Aku kemudian menyerahkan bukunya. Dia menerimanya masih tanpa mau menatap padaku. Hal yang tanpa sengaja membuatku menghela napas cukup keras.

"Jihan," panggilku dengan lembut. Entahlah, suaraku otomatis langsung mengecil dan terdengar halus jika memanggil namanya. Bahkan meskipun status kita kini hanya sebatas mantan kekasih.

"Iya?"

"Kamu dan Dika pacaran, ya?"

Kali ini dia menatapku dan mata cantik berwarna hitam pekat itu lagi-lagi berhasil membuatku jatuh cinta untuk kesekian kalinya.

Tuh, kan! Gimana bisa move on jika berhadapan seperti ini saja rasa sukaku semakin bertambah banyak.

"Kamu dengar dari mana soal itu?"

"Banyak yang bilang gitu. Aku kira kamu tahu."

Jihan tertawa kecil, membuatku mau tak mau mengalihkan pandangan agar tidak terpana lagi.

"Jadi, beneran pacaran, ya, kalian?" tanyaku lagi.

"Enggak, kok. Kami sepupuan."

Eh? Aku baru tahu jika mereka berdua ternyata ada hubungan keluarga.

"Kamu enggak pernah cerita," ucapku terdengar sangat kecewa. Sedetik kemudian aku merasa menyesal mengatakan kalimat itu.

Jihan tersenyum. "Itu juga yang aku sesalkan."

Perkataan itu kini membuatku berubah bingung. Kenapa dia menyesal? Seakan mengerti kebingunganku, Jihan kembali bersuara.

"Kalau aja sejak awal aku bilang Dika cuma sebatas sepupu, kamu pasti enggak akan salah paham, kan?"

Ah, soal itu. Aku menggaruk kepala. Bisa iya, bisa juga tidak. Entahlah, tetapi fakta bahwa aku dan Dika tidak akur lalu melihat Jihan pergi jalan-jalan keluar bersama cowok itu tanpa sepengetahuanku tetap saja menjengkelkan. Padahal jika dipikir-pikir aku tidak berhak melarang dia untuk dekat atau pergi dengan siapa pun. Tidak seharusnya aku membatasi hal-hal yang ingin dia lakukan.

"Dan salahku juga sih enggak bilang ke kamu pas mau pergi bareng dia. Mungkin ini terdengar cuma alasan aja, tapi saat itu keadaannya benar-benar gak memungkinkan aku buat ngehubungin kamu. Saat itu, orang tua Dika baru aja cerai. Jadi-"

"Jihan." Aku sengaja memotong perkataannya. Rasanya kesal karena penjelasan panjang lebar darinya seakan menegaskan bahwa Jihan berada di posisi yang salah. Padahal, akulah yang seharusnya disalahkan.

"Gimana kalau kita lupain aja soal malam itu? Enggak perlu diungkit-ungkit lagi."

Ah, tidak seharusnya aku mengatakan kalimat itu.

"Sorry, maksudnya kamu enggak perlu klarifikasi gitu seakan kamu yang salah."

"Kan, emang aku yang salah."

"Kamu enggak salah."

"Tapi, Ka, aku juga sadar kalau di sini kesalahannya juga di aku. Kalau aku yang ada diposisi kamu, lihat kamu jalan sama cewek lain apalagi dalam keadaan yang bisa bikin salah paham, aku pasti marah. Aku juga pasti kesel dan ngerasa kecewa."

Benarkah begitu? Tapi tetap aja.

"Malam itu, nggak seharusnya aku bilang hal sejahat itu soal kamu."

Jihan mengangguk lalu kembali tersenyum untuk kesekian kalinya. "Kamu sadar ternyata kalau omongan kamu jahat banget saat itu."

Mengingatnya saja membuatku ingin menjahit mulutku sendiri.

"Maaf ya Jihan."

"Udah aku maafin, kok."

Suara bel masuk dan kedatangan Pak Kasman yang baru saja menghilang entah ke mana membuat situasi yang cukup dramatis di antara kami perlahan memudar. Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi kami sebungkus cemilan-baksonya entah dia kemanakan-Pak Kasman menyuruh kami untuk segera masuk ke kelas.

"Kalau Raka sendiri pacaran ya sama Nada?"

Pertanyaan yang tidak pernah aku sangka akan keluar dari mulut Jihan. Dadaku mendadak berdetak dengan sangat cepat.

"Kamu kenal Nada?"

"Iya. Dia teman les-ku. Dia banyak cerita loh soal kamu belakangan ini. Katanya sering jalan bareng juga, ya?"

"Enggak, kok!"

Jihan tertawa kecil melihatku yang tidak bisa menahan kesalahan tingkahan ini.

"Kami baru jalan sekali dan gak ada hubungan sepesial juga."

"Nada sepertinya suka kamu. Kamu suka dia?"

Kali ini sebisa mungkin tidak kutunjukkan kegugupanku menanggapi pertanyaannya yang semakin di luar dugaan.

"Enggak. Aku suka orang lain."

Kalimat itu membuat Jihan terdiam. Sama hal-nya denganku. Tidak ada lagi pembicaraan sampai akhirnya kami berpisah untuk menuju kelas masing-masing.

Aku memegangi dadaku. Sungguh, tidak pernah kusangka akan terlibat dalam suatu obrolan bersama Jihan meskipun membahas hal yang sama-sama sensitif untuk kami. Apalagi mengetahui fakta jika Jihan dan Dika hanya sebatas sepupu.

***

Hari normal di sekolah kembali berjalan. Upacara bendera pagi tadi ditiadakan karena hujan yang sampe siang ini pun belum juga reda. Kelasku bahkan sedari tadi belum dimasuki oleh satupun guru. Yang ada hanyalah tugas yang semakin menumpuk dan diharuskan untuk dikumpulkan hari ini. Tidak ada yang menarik minatku selama satu hari ini. Bahkan ajakan Aldo untuk bolos ke lapangan futsal pun kutolak. Alhasil, aku hanya diam di kelas mengerjakan semua tugas lalu setelah selesai kukumpulkan ke ketua kelas.

Jam pulang akhirnya tiba, tetapi hujan masih sangat deras sehingga aku memutuskan untuk menunda pulang meskipun membawa jas hujan dan juga helm. Aldo sudah terlebih dahulu pulang dijemput oleh Bang Ari. Katanya ada urusan keluarga makanya dia tidak bisa menolak untuk pulang lebih awal dan akhirnya meninggalkanku sendirian.

Aku memutuskan untuk pergi ke lapangan basket yang sepi dan juga tampak gelap. Menghabiskan waktu dengan bermain sendirian sampai hujan reda dan jam menunjukkan pukul lima sore. Sekolah benar-benar sudah sepi ketika aku keluar dari lapangan. diparkiran pun hanya ada motorku saja. Namun, kuurungkan niat untuk segera pulang saat melihat seorang perempuan berjalan di koridor sendirian. Perempuan itu adalah Jihan. Dia berjalan ke luar gerbang dan sepertinya tengah menuju halte bus yang memang disediakan khusus dari sekolah.

Alih-alih segera menaiki motor, aku berniat menghampiri Jihan. Tentu saja khawatir karena hari sudah sore dan dia hany sendirian. Kalau ada yang berniat jahat padanya bagaimana?

"Kenapa belum pulang?"

Jihan tampak terkejut melihat kehadiranku. "Loh, Raka kok masih ada di sekolah?"

"Iya, nunggu hujan reda dulu baru mau pulang," jawabku lalu memilih duduk di sampingnya.

"Enggak bawa motor, ya?"

"Bawa. Cuma males aja nyetir di tengah hujan kayak tadi. Mending nunggu reda aja. Dan aku senang tadi ambil keputusan itu," ucapku yang memang benar adanya.

Jihan tersenyum. "Ini udah reda. Enggak pulang sekarang? Udah sore loh."

"Kamu sendiri, lagi nunggu jemputan?"

Bukannya langsung jawaban, Jihan tampak sedikit gelisah. "Emm, enggak sih. Hape aku mati jadi enggak bisa ngehubungin siapa pun."

Ah, seperti itu rupanya. "Pake hapeku aja buat minta jemput."

"Masalahnya aku enggak hapal nomor hape Papa. Raka bawa charger nggak? Boleh minjem sebentar aja?"

sebuah keputusan mendadak muncul di kepala. "Aku anter pulang aja. Nggak bawa charger soalnya."

Lagi-lagi dia tampak terkejut, tetapi jika aku tidak salah lihat, samar-samar dia tampak tersenyum dan itu tipis sekali. "Nggak apa-apa kalau Raka ngerasa gak kerepotan."

"Enggaklah," ucapku. Aku justru suka jika harus berduaan lagi dengannya dan mengulang hal yang dulu sering kami lakukan.

Sesuai rencana, dengan menaiki motor kuantar Jihan pulang ke rumahnya. Tidak ada obrolan sepanjang perjalanan membuat aku merasa sedikit sedih dan juga kecewa. Rasanya benar-benar berbeda seperti dulu. Sekarang serba canggung dan bisu.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Jihan. Rumah itu masih sama, hanya saja halamannya semakin indah saja dengan bertambahnya bunga dan tanaman hiasan lainnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku.

"Makasih, ya, Raka udah nganterin aku pulang. Emm, mau mampir dulu nggak?" tawar Jihan membuatku kembali menatapnya.

"Lain kali aja, udah sore. Aku balik, ya."

Baru saja menyalakan mesin motor, sebuah suara mengalihkan perhatianku.

"Bang Raka! Wah, Mama lihat Bang Raka datang ke rumah."

Bersamaan dengan itu, seorang wanita paruh baya yang sangat aku kenali sekaligus hormati keluar dari dalam rumah. Aku menatap Jihan yang juga tampak tidak enak hati.

"Aduh, kamu ini ke mana saja enggak pernah main ke sini. Ayo masuk dulu. Kebetulan Mama baru aja masak. Pasti kamu belum makan, kan?" Tante Dahlia yang merupakan Ibu Jihan langsung menggeretku masuk ke dalam rumah sebelum aku sempat menanggapi tawarannya. Namun, tidak enak juga untuk menolak dan sejujurnya aku juga rindu masakan beliau.

Alhasil akhirnya aku terjebak di ruang makan bersama keluarga kecil ini.

"Kayaknya Papa lembur dan pulangnya kemungkinan malam," ucap Jihan seolah mengerti dengan gelagatku yang mencari keberadaan mantan calon mertua. Aku hanya mengangguk saja. Tante Dahlia kemudian datang bersama Alina, anak terakhirnya sekaligus adik Jihan.

"Jadi, kalian udah baikan? Udah enggak marahan lagi?"

"Ma, ini saatnya makan, bukannya ngobrol." Jihan mengingatkan dengan nada kalem. Aku meliriknya, lalu sadar bahwa putusnya hubunganku dengan Jihan masih belum diketahui oleh keluarga ini.

***

Sudah waktunya untuk pulang. Setelah mengobrol sedikit dan mengucapkan terima kasih kepada Tante Dahlia aku pamit pulang. Jihan mengantarku sampai ke teras rumah.

"Maaf, ya, pasti Mama buat kamu enggak nyaman."

"Sama sekali enggak, kok. Aku senang malah bisa ketemu sama beliau lagi." Ada hal yang masih membuatku penasaran. Aku kembali menatap pada bunga mawar yang terpajang di salah satu rak bersama bunga-bunga lainnya.

"Bunga mawar itu, kamu simpan di rumah?"

Jihan ikut menoleh ke arah yang sejak tadi aku perhatikan. Wajahnya memerah dan tersenyum salah tingkah.

"Kamu bilang itu hadiah buat aku."

Kejadian yang kalau diingat cukup menggelikan itu kembali mampir di ingatan. Hadiah perpisahan? bisa-bisanya aku mengatakan kalimat itu.

"Aku bakalan rawat bunga itu sampai tumbuh jadi mawar yang cantik."

"Kenapa? Aku kira bakalan kamu potong kayak kuncup bunga yang lain."

"Emm, mungkin karena itu pemberian dari orang yang istimewa buatku?"

Sial, kenapa dia mengatakan kalimat itu sih? Apalagi ditambah dengan senyum manisnya. Menyadari bahwa kini wajahku memanas dan kemungkinan juga memerah segera aku mengambil helm dan memakainya.

"Aku balik sekarang, ya."

"Sebentar, ada yang mau aku bilang."

Jantungku semakin tidak karuan. "Apa?"

"Kalau kamu ada waktu, besok bisa tidak temani aku beli bunga buat hadiah ulang tahun Mama?"

Dan, yah kalian pasti tahu aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan itu dengan menolak ajakan Jihan. Kuanggap ini sebagai permulaan untuk memperbaiki hal yang sempat rusak. Dan senyuman Jihan yang masih bertahan di bibirnya memperjelas semuanya.

| E N D |

Terima kasih untuk kalian yang sudah meluangkan waktu membaca cerita pendek ini.

🥀🥀🥀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro