10. Mahen Stupid?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Derit pintu yang dibuka perlahan dibarengi suara bariton yang begitu Mahen kenal membuatnya terpaksa mengangkat kepala. Memandang datar pada lelaki yang berdiri memamerkan deretan gigi tanpa perasaan bersalah karena sudah mengganggu.

"Ngapain lo?" tanya Mahen. Tanpa basa-basi seperti biasa.

"Udah mau makan siang, nih. Lo belum lapar?" Dimas mengelus perutnya dengan tampang memelas.

"Kalau mau makan ya sana. Kerjaan gue belum kelar."

Mahen kembali menunduk. Mengetik kode pemrograman di komputer yang berhubungan dengan pekerjaannya. Menyelesaikan apa yang sedari tadi hanya dilamunkan tanpa disentuh dan baru teringat ketika matahari berada di puncak tertinggi.

"Lah? Fitur baru? Tumben belum kelar? Mikir apa aja lo?" tanya Dimas kaget. Mendekat ke meja Mahen karena begitu penasaran.

Sepanjang pengetahuannya, pengaturan waktu yang dimiliki Mahen sungguh mencengangkan. Hampir tidak ada kata belum selesai atau masih dikerjakan yang bisa keluar dari mulutnya seperti sekarang.

"Berisik! Mending lo keluar dulu. Sebentar lagi gue susul."

Dimas hanya bisa menggeleng takjub. Tak urung menuruti perintah Mahen untuk keluar terlebih dahulu daripada kepala atau anggota badannya yang lain terkena sambitan.

Tepat sepuluh menit kemudian, Mahen merenggangkan tubuh. Satu pekerjaannya sudah selesai dan siap menyusul Dimas menuju kantin.

Dengan langkah lebar sepanjang lobi, Mahen bukan tidak sadar jika dirinya menjadi pusat perhatian terutama bagi para wanita. Hal yang biasa dan hampir selalu terjadi walaupun lelaki tersebut tidak melakukan sesuatu yang menarik. Hanya berjalan dengan tatapan lurus dan datar. Nyaris tanpa ekspresi.

"Baru aja istirahat, Mas Mahen?"

Salah satu karyawan wanita memberanikan diri menyapa. Kata 'Mas' yang terdengar asing di telinga, membuat dahi Mahen mengernyit. Belum lagi posisi mereka di kantor yang berbeda divisi dan tidak terlalu mengenal. Namun, Mahen tetap mengangguk sebagai bentuk kesopanan.

Reaksi sesingkat itu saja sudah membuat karyawan yang tadi menyapanya menjerit tertahan. Membuat Mahen semakin tidak mengerti dan memilih untuk meneruskan langkah tanpa memedulikan apa-apa lagi.

Kantin masih ramai dengan orang-orang bersetelan khas kantor. Sebagian menggerombol, sebagian lagi membentuk kelompok-kelompok kecil yang seketika mengingatkan Mahen dengan masa sekolah dulu.

Pemandangan serupa dan hanya tingkat keributan yang menjadi pembeda. Kantin kantor relatif lebih teratur dan tidak terlalu menghasilkan suara bising. Kantin yang memang disediakan oleh perusahaan start up ini, sangatlah bagus. Vending machine berada di setiap sudut lantai. Bahkan, di kantin ada beberapa macam vending machine. Kudapan manis, seperti roti, donat dan aneka mini cake, tersedia gratis untuk para karyawan. Bahkan, mereka bisa mengambilnya tanpa batas.

Tidak membutuhkan waktu lama, sepasang mata Mahen langsung mampu menangkap sosok Dimas megap-megap kepedasan. Duduk sendiri tidak jauh dari pintu dengan sepiring makan siang yang hanya tersisa separuh.

"Gue kira lo bakal lama," sambut Dimas. Diiringi desisan dari bibirnya yang sudah memerah.

"Makan sama apa lo? Tumben sampai begitu," tanya Mahen heran. Melirik ngeri ke arah piring Dimas yang nasinya pun sudah ikut berubah warna.

"Rica ayam sambal kunti. Menu baru. Pedasnya.lebih mirip komenan netijen dari pada cekikikan mbak kunti. Cobain, gih!" balas Dimas.

"Gue enggak mau berakhir mencret-mencret dan enggak fokus kerja," timpal Mahen. Menyindir kelakuan Dimas yang bukan hanya sekali dua kali terjadi.

"Sialan lo. Ya udah sana pesan dulu. Sekalian titip es jeruknya segelas lagi." Dimas menunjuk gelas di meja yang sudah kosong. Habis beserta es-esnya dan hanya menyisakan embun di pinggiran gelas.

Mahen melenggang begitu saja menuju salah satu tenant yang sudah menjadi langganan. Memesan menu aman berupa bento, beef yakiniku beserta egg chicken roll. Tidak lupa dengan es jeruk penghilang dahaga untuknya dan Dimas.

Menunggu selama beberapa saat, Mahen menerima baki berisi pesanannya dan segera membawanya ke meja Dimas. Tampak makanan di piring lelaki itu sudah hampir tandas. Hanya menyisakan dua suapan yang sudah dibagi.

"Terima kasih." Dimas mengambil es jeruknya dari baki yang sudah diletakkan di meja. Meneguk rakus tanpa memakai sedotan yang sudah disediakan.

"Hati-hati keselek." Mahen memperingatkan. Mulai menyendok bagian miliknya dengan tenang dan damai.

Beberapa saat hening tanpa ada pembicaraan. Dimas sibuk menghilangkan rasa terbakar di lidah dan Mahen menyelesaikan makan siangnya.

Hingga pada suapan terakhir, Dimas mencondongkan tubuh ke arah Mahen. Tampaknya lelaki itu sudah bisa mengatasi rasa pedasnya dan kini bisa berbicara dengan normal. Hanya wajah hingga telinganya saja yang masih sedikit kemerahan.

"Apa yang terjadi?"

Mahen memundurkan tubuh. Menatap Dimas tak mengerti. Memangnya ada kejadian apa?

"Antara lo sama Sabrina, yang bikin pekerjaan lo tadi belum kelar. Benar, kan tebakan gue?"

Entah memiliki radar sekuat apa, tebakan Dimas memang nyaris selalu tepat. Membuat Mahen sedikit ngeri berteman lebih akrab. Takut jika Dimas memiliki kemampuan membaca pikiran atau semacamnya.
 
"Gue kemarin ke toko bunga Sabrina bareng Sasa."

Dimas menyesal sudah bertanya di saat dia juga sedang menghabiskan tetes-tetes terakhir dari sisa es jeruknya. Alhasil lelaki itu kini tersedak dan terbatuk heboh.

"Kan gue udah bilang hati-hati," tukas Mahen. Menyodorkan selembar tisu yang ada di atas meja.

Dimas mengusap wajah menggunakan tisu yang Mahen berikan. Batuknya sudah mereda dan kini meninggalkan sensasi tak nyaman di tenggorokan.

"Lo bilang apa tadi? Lo pergi sama siapa?" tanya Dimas. Mengonfimasi jika saja pendengarannya salah.

"Sama Sasa ke toko bunganya Sabrina."

"Ngapain, Bego?" sahut Dimas jengkel. Setengah gemas dengan Mahen yang diyakininya bergerak tanpa berpikir. Entah karena terlalu lurus. Atau, ya itu tadi. Terlalu bego.

"Si Sasa mau jenguk temannya yang sakit. Terus minta gue temani beli bunga."

Dimas menggeleng dramatis dan bersedekap.

"Oke. Lo nemenin Sasa beli bunga buat temannya, tapi masalahnya memang toko bunga di sini itu cuma ada satu? Kok, ya malah ke tokonya Sabrina."

"Kata Sasa dia sekalian mau lihat toko bunga Sabrina kayak apa. Kalau lengkap mau dijadiin langganan." Mahen menyahut santai. Dalam pikirannya, tindakan tersebut tepat karena sudah membantu Sabrina menemukan satu pelanggan baru.

"Halah, itu mah akal-akalannya si Sasa aja." Dimas mengibaskan tangan tidak peduli dengan penjelasan Mahen. "Terus, Sabrinanya gimana?"

"Ya gitu, tapi kayaknya dia kesal, deh," balas Mahen. Sedikit tidak yakin dengan apa yang diucapkan.

"Ya jelaslah. Justru aneh kalau dia enggak kesal."

Mahen mengaduk jus jeruknya yang masih menyisakan setengah gelas menggunakan sedotan. Sedikit tidak terima dengan Dimas yang bersikap seolah lebih mengetahui tentang Sabrina daripada dirinya yang notabene sudah lama saling mengenal. Pernah menjalin hubungan spesial pula.

"Nih, lo dengerin gue, ya? Cewek mana yang enggak kesal lihat mantan pacarnya yang baru putus beberapa waktu lalu tiba-tiba udah ada gandengan?"

"Gue sama Sasa enggak ada apa-apa," sahut Mahen cepat.

"Iya gue tahu. Sekarang enggak ada apa-apa. Lah dulu? Elo kok jadi orang bego banget, sih?"

Mahen memasang muka masam mendengar Dimas terus mengatainya. Dirinya bukan lelaki terbodoh di dunia, tetapi ucapan Dimas membuatnya merasa demikian.

"Kalau elo masih terus ngatain gue bego, lebih baik enggak usah bahas ini lagi." Mahen tidak dapat menyembunyikan rasa kesalnya.

"Oke. Oke. Lanjut."

"Kemarin Sasa sendiri yang datang. Katanya mau ketemu teman, tapi temannya ngebatalin enggak tahu kenapa. Nanyain Sabrina. Gue jawablah kalau kita udah putus."

"Ngapain lo ngomong begitu, sih?" potong Dimas sewot. Di satu sisi paham jika Mahen bukan tipe lelaki yang pandai berbohong. Selama ini hidupnya terbilang lurus dan membentuknya menjadi lelaki seperti itu pula.

"Lo mau dengar cerita gue sampai selesai enggak? Main potong seenaknya."

Dimas segera mengangguk. Mahen mau bercerita panjang lebar termasuk momen langka dan itu berarti memang sudah tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Terus, dia cerita mau beli bunga buat jenguk teman sama buat dia sendiri. Gue udah saranin buat cari yang dekat, tapi Sasa maunya di tempat Sabrina. Katanya kalau sama Sabrina dia bisa bebas milih dan enggak bingung kalau tanya-tanya. Jadinya ya udah kita ke sana."

"Bego! Mahen bego! Kesal banget gue sama lo."

"Sorry, itu makian terakhir hari ini." Dimas memastikan sebelum Mahen pergi karena tersinggung.

"Kenapa jadi lo yang marah?"

Ada sedikit penyesalan di benak Mahen memutuskan bercerita dengan Dimas. Bukannya memberi solusi, lelaki itu justru mengatainya habis-habisan. Mahen jelas tidak butuh reaksi seperti itu. Namun, jika bukan dengan Dimas, Mahen juga tidak memiliki tempat bercerita lain lagi.

"Nih ya, lo dengar apa kata gue."

Mahen menyimak. Menyingkirkan gelas es jeruknya ke sisi. Sebagai ganti, kedua tangannya menumpu di atas meja.

"Jangan pernah bawa wanita dari masa lalu ke tempat target kita." Dimas memberi tekanan pada kata perkata yang diucapkan. Besar harapannya untuk membuat Mahen yang bebal mengerti.

Sayangnya, Mahen hanya diam saja dan mengangguk kecil. Sama sekali tidak membuat Dimas merasa puas.

"Ngerti enggak maksud gue?"

Kali ini Mahen menggeleng. Ekspresinya sedikit lucu seandainya saja mereka tidak sedang serius.

Dimas mempertimbangkan untuk menggetok kepala Mahen menggunakan sendok yang tadi dipakai, tetapi langsung sadar jika hal tersebut hanya akan membuat kawannya minggat. Percuma sudah dirinya berbicara banyak-banyak.

"Maksud gue, jangan pernah bawa mantan ke tempat target kita. Gitu aja masa enggak paham lo?"

Dimas menggeleng prihatin terhadap kepekaan Mahen terhadap wanita. Pengalaman sama sekali tidak bekerja pada lelaki itu.

"Iya, gue udah paham sekarang," sahut Mahen keki.

"Kalau lo udah paham, hari ini lo temui Sabrina dan mulai pendekatan lagi."

"Sekarang kan belum jam pulang kantor," protes Mahen.

"Ya nanti pas pulang. Heran gue, selama pacaran lo udah ngapain aja sampai hal-hal begini aja musti gue ajarin."

Mahen hanya memutar bola matanya malas. Untuk apa juga Dimas harus tahu apa yang dia lakukan selama berpacaran.

"Ingat, Sabrina sama Sasa itu beda. Jangan lagi lakuin hal-hal bodoh yang berpotensi membuat Sabrina makin jauh dari lo. Si Sasa juga enggak usah ditanggapi kalau lo udah mantap sama Sabrina."

Mahen mengangguk. Kali ini sungguh mengerti dengan apa yang Dimas katakan.

🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro