9. Curhat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam di pergelangan tangan Sabrina menunjukkan pukul 12.00. Sudah sepuluh menit berlalu semenjak dia menginjakkan kaki di Garden Cafe. Menunggu Lani untuk makan siang bersama.

Di luar, matahari sedang ganas-ganasnya, memaksa pengguna jalan untuk berlalu lebih cepat atau memilih menepi demi berlindung dari sinar UV yang katanya tidak bagus untuk kulit. Lani menyempil di antara keriuhan itu. Mengenakan setelan kantor rapi dan juga kacamata hitam bertengger di hidung.

Sabrina menunggu dengan sabar hingga sang sahabat masuk ke dalam. Melambaikan tangan sebagai isyarat posisinya berada. Untungnya, Lani cukup cepat menemukannya. Tidak perlu celingukan terlalu lama seperti layaknya orang bodoh.

"Tumben lo ngajakin makan siang di sini." Kalimat pertama yang Lani katakan sembari melepas kacamata. Menarik kursi tepat di hadapan Sabrina.

"Biasalah," balas Sabrina lesu. Jemarinya mengetuk permukaan meja dengan ritme tak menentu.

"Mahen? Kenapa lagi dia?" tebak Lani tepat sasaran.

"Mending lo pesan makanan dulu, deh."

Sabrina menyodorkan buku menu pada Lani lantas memanggil salah satu pelayan. Di depannya sendiri sudah tersaji segelas greentea latte with cream yang isinya tinggal tersisa setengah.

Lani tampak memerhatikan buku menu selama beberapa saat. Kebetulan sekali perutnya sudah menjerit protes sedari tadi.

"Ayam sambal matah, deh. Minumnya es lemon tea," ujar Lani.

"Aku mau ayam mentega. Minumnya sama es lemon tea. Less sugar, ya. "

Pelayan dengan sigap menulis pesanan tersebut. "Ada lagi?" tanyanya.

Sabrina dan Lani kompak menggeleng. Pelayan pun segera undur diri.

"Kenapa lagi sekarang?" Lani menanyakan pertanyaan serupa tadi.

"Mahen."

Air mata Sabrina merebak. Belum apa-apa saja dirinya sudah ingin menangis.  Teringat kedatangan Mahen dengan Sasa ke tokonya kemarin. Betapa Sasa begitu kurang ajar menyentuh Mahennya. Bergelayut manja, padahal dulu Sabrina tidak pernah sampai sebegitunya.

"Jangan nangis dulu. Cerita kenapa? Ada apa?"

"Mahen sama Si Micin." Sabrina menjeda ucapannya. Menarik napas dalam dan mengembuskannya dari hidung. Meraih gelas lantas meminum kembali greentea latte-nya hingga tandas.

Lani dengan sabar menunggu Sabrina selesai menenangkan diri. Sebelah tangannya menopang dagu dengan tatapan lurus ke arah sang sahabat.

"Kemarin Mahen sama Si Micin datang ke toko. Terus Si Micin berani-beraninya megang Mahen gue," tukas Sabrina. Suaranya bergetar menahan tangis. Di hadapan Lani, dirinya tidak pernah bisa berpura-pura kuat.

"Megang apanya maksud lo?" tanya Lani ambigu. Di bayangannya sudah tergambar adegan yang iya-iya antara Mahen dan Sasa hingga Sabrina menjadi sekacau sekarang.

"Ya itu, gelendotan mulu kayak monyet sama pemiliknya. Belum lagi sebelumnya mereka habis dinner. Hati gue sakit banget, Lan."

Tangis yang berusaha dibendung Sabrina akhirnya pecah juga. Mengejutkan pelayan yang saat itu tengah membawa pesanan mereka. Beserta para pengunjung kafe yang serentak menoleh dengan ekspresi beragam.

Lani bingung sekaligus malu. Terpaksa mewakili meminta maaf tanpa suara sembari sesekali menunduk. Sungguh, dia tidak menyangka reaksi Sabrina akan seheboh sekarang.

"Permisi, Mbak." Si pelayan takut-takut menata pesanan di atas meja. Tidak berani melirik ke arah Sabrina yang kini terisak-isak. Di depannya, Lani memberi kode untuk mengabaikan apa pun yang terjadi. Untungnya pelayan tersebut cukup paham dan tidak bertanya macam-macam.

Sepeninggal pelayan, barulah Lani kembali berbicara. Sebelah tangannya mengaduk lemon tea sebagai salah satu pengalih perhatian.

"Lo tahu dari mana mereka habis dinner?"

"Sasa sendiri yang posting di instagram. Caption-nya dinner with you. Sok romantis banget, kan? Apa maksudnya coba? Mentang-mentang gue udah enggak bisa begitu lagi sama Mahen."

"Lo yakin mereka berdua doang?" Lani kembali bertanya menyangsikan penjelasan dari Sabrina.

Sabrina meraih ponselnya dari dalam tas. Mencari sosial media milik Sasa demi membuktikan pada Lani ucapannya tidaklah mengada-ngada.

"Tuh, baca sendiri!"

Sabrina menyorongkan ponselnya kasar. Beralih mengambil tisu untuk mengelap air mata sekaligus air ingus yang turut keluar.

Lani mengamati gambar yang ditunjukkan Sabrina selama beberapa saat. Mencari kejanggalan yang mungkin terlihat. Siapa tahu hanya gambar yang diubah sedemikian rupa. Namun, dilihat dari segi mana pun foto tersebut terlihat nyata.

"Masa iya, sih? Gue masih enggak percaya," gumam Lani. Mengembalikan ponsel kepada si empunya.

"Ya itu buktinya," balas Sabrina kesal.

"Maksud gue, kok bisa gitu? Masa iya Mahen secepat itu move on dari lo? Pasti ada yang enggak beres ini mah. Terus kemarin mereka ngapain ke toko lo?"

Lani mulai terpengaruh dengan cerita Sabrina. Akan tetapi, dia tidak bisa langsung menyimpulkan begitu saja. Keyakinannya masih bulat jika Mahen dan Sabrina bisa kembali bersama. Sedangkan interaksi antara Mahen dan Sasa mungkin hanya salah paham semata.

"Beli bunga. Mahen yang bayar."

"Tumben amat."

"Makanya aneh, kan? Selama sama gue, Mahen enggak pernah tuh beliin gue bunga."

"Ya ngapain amat? Mahen tahu kali lo punya toko bunga sendiri." Lani menyela.

"Bukan itu maksud gue." Sabrina menggeleng kesal. Air matanya sudah tidak turun sederas tadi.

Lani meminta Sabrina untuk melanjutkan.

"Mahen tanya ke gue bunga apa yang cocok buat dia. Terus gue kasih dia kaktus."

"Kenapa, tuh? Kaktus kan banyak durinya. Lo enggak takut Mahen luka?"

"Nah, itu yang bikin gue kesal. Gue udah bikin perumpamaan sedemikian rupa, tapi kayaknya Mahen enggak ngerti, deh. Sindiran gue sebelumnya juga mental semua. Biarin luka, biar dia tahu sakitnya jadi gue gimana."

Lani menggelengkan kepalanya prihatin. Permasalahan yang dialami Sabrina sungguh rumit.

Berkaca pada kasus percintaan Sabrina pula, Lani jadi malas mencari pacar. Hubungan yang sudah berjalan lama bukan jaminan tidak akan berpisah. Efek yang ditimbulkan setelahnya pun tidak kalah dahsyat.

"Terus, sekarang mau lo gimana?"

Sabrina menggeleng lemah. Sungguh, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan setelah ini. Apa dia rela jika Mahen sungguh menjalin hubungan dengan Sasa?

"Saran gue masih sama. Lo yang harus maju buat ungkapin perasaan duluan. Minta Mahen buat jadi pacar lo lagi."

"Enggak segampang itu, Lan."

Lani menggeleng tidak setuju. Baginya, justru itu cara termudah untuk menyingkirkan Sasa dari sisi Mahen.

"Dia pasti mau kok balikan sama lo."

"Belum tentu. Kalau gue ditolak, kan malu."

"Sejak kapan seorang Sabrina punya malu? Sekarang aja enggak malu nangis di kafe yang banyak orang."

Sabrina mencebik. Tangisannya berhenti seketika. Hanya menyisakan isakan kecil saja.

"Sekarang mending kita makan dulu terus lo pikirin lagi saran dari gue. Istirahat kantor tinggal sepuluh menit lagi, nih."

Sabrina memandang piring makanannya tanpa minat. Rasa laparnya sudah menghilang sedari tadi.

"Lo yakin Mahen mau nerima gue lagi?"

Anggukan pasti dari Lani membuat Sabrina berpikir. Mungkin ucapan sang sahabat memang benar adanya.

Mahen ... tentu tidak semudah itu melupakannya, kan?

🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro