8. Unggahan Foto yang Memperkeruh Keadaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mobil Mahen meluncur mulus meninggalkan The Bloom Room. Tidak seperti kemarin, Mahen malas berlama-lama berhenti sembari mengamati bangunan tersebut mengingat siapa yang ada di kursi penumpang sekarang.

Telinganya lebih tidak tahan mendengarkan ocehan Sasa ketimbang omongan sok bijak dari Dimas. Seperti saat ini.

"Mahen, makasih ya udah bayarin bungaku sekalian. Aku tuh bingung, deh. Kok bisa sampai lupa bawa dompet? Padahal niatnya setelah ini aku mau traktir kamu makan siang sebagai balasan karena udah mau nganterin. Eh, tahunya malah begini."

Sasa menepuk kening, menggelengkan kepala tidak habis pikir. Ekor matanya melirik ke arah Mahen yang selalu terlihat serius menatap jalanan di depan.

Gagal. Umpan untuk membuat Mahen berinisiatif mengajaknya makan siang terlebih dahulu sama sekali tidak disambut. Bahkan mungkin didengarkan pun tidak.

"Mahen, aku boleh nyalain musik? Biar enggak sepi-sepi banget gitu."

Kali ini Mahen mengangguk kecil. Membiarkan Sasa mengotak-atik pemutar musik.

Pergerakan yang dilakukan Sasa tanpa sengaja menyenggol ponsel yang tergeletak di dashboard. Membuatnya terjatuh ke atas lantai mobil yang dilapisi karpet hitam.

"Duh, malah jatuh!"

Sasa membungkuk dalam, tangannya meraba-raba mencari. Sementara di sampingnya Mahen hanya melirik tanpa berniat membantu. Tidak perlu waktu lama, benda pipih tersebut sudah berada di tangan si pemilik.

"Kamu mau dengar lagu apa, Mahen?"

"Terserah." Singkat dan padat jawaban yang Mahen berikan. Apa saja asal bisa membungkam mulut Sasa agar tidak terus berceloteh.

"Ini aja, deh."

Suara milik Stephanie Poetri mengalun merdu di dalam mobil. Menyanyikan lagunya yang berjudul Do You Love Me?

Bukan tanpa sengaja Sasa memilih lagu itu. Sedikit banyak mewakili bagaimana perasaannya pada lelaki berparas tampan yang duduk di balik kursi kemudi.

Bibir tipis Sasa turut bersenandung. Kepalanya bergerak pelan mengikuti irama lagu.

Sontak Mahen merasa keputusannya membiarkan Sasa memutar musik adalah kesalahan besar. Bukannya redam, suaranya semakin nyaring saja di pendengaran.

"Oh ya. Kamu udah lihat unggahan terbaruku di instagram belum?" tanya Sasa. Berhenti menyanyi dan memusatkan perhatian kembali pada ponsel. Jemarinya lincah menggeser layar.

Kening Mahen mengerut tidak mengerti. Dirinya memang jarang membuka sosial media. Tidak penting. Isinya hanya manusia-manusia yang senang membanggakan diri, merasa validasi dari orang lain begitu penting. Hingga rela terlilit hutang, memakai barang pinjaman sampai lupa dikembalikan, hanya demi terlihat mentereng di balik layar.

"Ini, loh. Foto waktu kita makan malam kemarin. Bagus, kan?"

Setelah memastikan jalanan di hadapan aman, Mahen baru menoleh untuk menengok unggahan yang dimaksud Sasa.
Foto dirinya dan Sasa saat berada di restoran terpampang di layar. Lengkap dengan  judul halaman 'Dinner with you.'

Fuih!
Dinner with you apanya?

"Kenapa kamu unggah foto itu tanpa bilang sama aku? Memangnya aku setuju?" tanya Mahen. Terkejut sekaligus geram.

Biar Mahen jelaskan, keadaan di foto tersebut sama sekali tidak sama seperti yang diunggah. Bahkan mereka tidak hanya pergi berdua.

Saat itu, salah satu sepupu Mahen mengajaknya ke makan malam bersama. Sebagai acara perkenalan antara sepupu Mahen itu dengan seorang gadis yang sudah dijodohkan dengannya.

Kebetulan gadis yang dimaksud adalah rekan kerja Sasa. Mahen juga tidak habis pikir, kenapa harus berkaitan dengan Sasa? Apakah semesta sedang mempermainkannya?
Sehingga tanpa sengaja mereka bisa bertemu sekaligus makan malam bersama. Kalau Sasa yang mengajaknya langsung, sih Mahen juga ogah. Tadi saja pergi ke toko bunga milik Sabrina karena terpaksa. Sekaligus agar bisa bertemu dengan mantannya yang cantik.

Foto itu. Sasa yang memaksa. Diambil oleh rekan kerja Sasa yang tidak berhenti menggoda. Namun, tentu saja Mahen tidak peduli asalkan Sasa tidak terus merengek seperti anak kecil.

Namun, kebaikannya tersebut ternyata malah dimanfaatkan untuk kepentingan Sasa sendiri. Tentu ada maksud lain di balik  kelakuannya itu meskipun Mahen tidak dapat menebak apa.

"Aku pikir kamu enggak masalah. Kan ini cuma foto," sungut Sasa. Kecewa dengan reaksi yang Mahen tunjukkan. "Masalah begini aja kamu mau ngomong lebih dari satu kata sama aku," tambahnya.

"Ya buat apa? Apa yang ingin kamu tunjukkan? Toh, di sana kita bukan hanya berdua. Banyak yang lain.  Sepupuku, rekan kerjamu. Kamu juga foto sama mereka kan kemarin? Kenapa yang diunggah cuma foto kita? Padahal acara itu saja bukan milik kita. Itu sama seperti kamu tidak menghargai terutama rekan kerjamu."

Mahen tidak dapat lagi menahan emosi. Jemarinya mencengkeram kemudi dengan erat. Baginya, apa yang dilakukan Sasa sudah keterlaluan. Persis wanita yang tidak tahu diri.

"Kok kamu jadi marah, sih? Apa salahnya kalau aku unggah foto itu? Toh, aku enggak menandai akun kamu. Orang lain enggak akan tahu. Temanku juga baik-baik aja fotonya enggak ikut diunggah." Sasa masih berusaha membela diri. Menurutnya, Mahen terlalu berlebihan dan kemarahannya sekarang sungguh tidak beralasan.

"Enggak akan tahu bagaimana? Sosial media itu bisa diakses secara luas, bukan hanya yang ada di lingkup kamu saja. Selain itu, aku yakin akunmu enggak diprivasi, kan?"

"Ya memang enggak."

Mahen mengurut kening yang mendadak terasa berdenyut. Ingatannya berputar pada ucapan Sabrina beberapa saat lalu saat menjelaskan tentang bunga Begonia. Lelaki yang dengan mudahnya jatuh ke pelukan gadis lain setelah hubungannya berakhir. Bodohnya Mahen tidak bisa mengerti kalimat tersebut ditujukan untuknya sebagai sindiran.

Apa ini berarti Sabrina sungguh mengira Mahen sudah berpaling pada Sasa? Jadi, Sabrina sudah melihat unggahan di akun milik Sasa dan berakhir salah paham.

Padahal mana mungkin, kan? Kalaupun hubungan mereka berakhir, Mahen jelas tidak menaruh minat lebih pada Sasa. Mana tahan dia dengan gadis yang hanya tahu bersolek dan banyak cakap.
Entah, dulu itu kenapa Mahen bisa menjadikan Sasa kekasihnya?

"Mahen, kamu beneran marah?" Sasa bertanya takut-takut. Sesekali melirik ke arah Mahen yang memasang wajah keruh. Sebuah ekspresi lain yang tidak pernah Sasa lihat.

"Aku minta kamu hapus foto itu sekarang."

"Kenapa?" Sasa protes. Melupakan ketakutannya sedetik lalu. "Fotonya kan bagus. Kamu terlihat ganteng dan aku terlihat cantik."

"Aku enggak peduli, Sa. Aku cuma mau kamu hapus foto itu aja."

"Mahen, ayolah. Ini cuma foto. Enggak perlu dibesar-besarin."

"Itu menurut kamu, Sa," ujar Mahen lirih.

"Astaga, Mahen? Kamu kenapa, sih?"

Sasa mengempaskan punggungnya dengan kasar ke sandaran. Turut merasa marah karena Mahen memintanya menghapus foto tersebut. Tentu saja tidak akan dia lakukan. Terserah orang di luar sana akan berasumsi apa.

Gejolak yang ada di diri Mahen membuatnya menginjak pedal gas semakin dalam. Keinginannya sekarang hanya satu, mengantarkan Sasa secepat mungkin menuju rumah.

Pada kenyataannya walaupun kesal setengah mati, Mahen tetap tidak tega menurunkan seorang gadis di jalan begitu saja.

"Maaf, Mahen."

Mahen membiarkan ucapan tersebut hilang terbawa angin. Permintaan maaf dari Sasa tidak berarti lagi sekarang karena sudah membuat Sabrinanya terluka.

🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro