17. Ekspektasi yang Terlalu Tinggi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sabrina meregangkan otot tubuhnya yang terasa kebas. Efek dari terlalu lama berada dalam posisi duduk sembari menunduk. Menyelesaikan buket yang akan diambil keesokan harinya.

Tersenyum puas, Sabrina menyimpan hasil karyanya ke dalam wadah. Bersisian dengan beberapa buket lain yang sudah selesai dibuat. Meskipun dua kali lipat lebih lelah, Sabrina senang turut andil dalam membuat buket-buket pesanan pelanggan. Dari situ, dia bisa bebas berkreasi dan menghasilkan karya-karya cantik yang sangat berarti bagi penerimanya.

Sabrina merogoh ponselnya dari dalam kantong apron yang dikenakan. Satu pesan belum terbaca dari Mahen. Sedari tadi mereka memang bertukar pesan. Mahen setia menemani Sabrina lembur menyelesaikan buket.

Habis ini aku mau mengantar sepupuku, ada urusan.  Besok kita ketemu, ya?

Begitu isi pesan dari Mahen.
Jemari Sabrina mengetik di layar dengan cepat.

OK. Kamu hati-hati, ya.

Belum sempat menyimpan ponsel ke dalam tas,, benda pipih tersebut terlebih dahulu bergetar.

Iya. Kamu juga hati-hati pulangnya. Kalau udah sampai jangan lupa kabari. Jangan lewat jalan yang sepi juga.

Sabrina tersenyum dikulum membaca balasan pesan dari Mahen. Membuat Tiwi yang diam-diam memerhatikan tingkah bosnya itu dari luar jendela.

Tatapan Sabrina jatuh pada jam dinding yang menempel tepat di atas pintu kedatangan. Sudah lewat setengah jam dari waktu biasa tutup toko. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu.

Perhatiannya beralih pada Tiwi yang tengah menyapu bagian depan. Beruntungnya dia memiliki pegawai yang ulet serta pekerja keras. Diajak bekerja hingga malam pun tidak banyak mengeluh.

Sabrina lantas beringsut ke arah dapur. Menjerang air dalam teko kemudian membuat dua cangkir teh melati. Meskipun posisinya di toko adalah bos, Sabrina tidak segan untuk sesekali memberi perhatian pada pegawainya agar kerasan.

"Teh, Wi!" tawar Sabrina. Menyimpan cangkir  yang masih mengepulkan asap ke atas meja.

"Terima kasih, Mbak," balas Tiwi. Berhenti sejenak dari kegiatannya dan meraih cangkir yang diberikan Sabrina.

"Agus belum balik, ya?" Sabrina menunjuk sekilas ke arah halaman yang kosong. Belum terlihat sepeda motor milik Agus terparkir di sana.

"Belum, Mbak. Lagi ngantar buket yang katanya mau dipakai buat lamaran besok. Mungkin bentar lagi pulang."

Sabrina mengangguk paham. Lalu tiba-tiba sebuah ucapan tercetus begitu saja dari bibirnya. "Kalau aku kira-kira kapan dilamar ya, Wi? Enak kali punya pacar yang effort-nya gede. Sibuk nyiapin ini itu buat lamaran. Nikah terus berakhir bahagia."

"Semua wanita juga inginnya gitu, Mbak. Dapat pasangan yang baik, yang mau berjuang buat wanitanya. Nanti kalau sudah ketemu jodohnya, saya yakin Mbak Sabrina juga pasti merasakan, kok. Pokoknya saya selalu doain yang terbaik buat Mbak."

"Terima kasih doa baiknya ya, Wi." Sabrina mengulum senyuman manis. Terbayang bagaimana perasaan wanita yang besok akan dilamar kekasihnya. Pasti sangat bahagia. Seandainya Sabrina yang dilamar, dia pun pasti akan merasakan kebahagiaan yang sama. Apalagi kalau si pelamar adalah Mahen.

Namun, apa mungkin Mahen akan melakukan hal-hal romantis semacam itu? Mengingat selama berpacaran saja Mahen cenderung kaku dan kurang peka.

Mereka memang cukup sering menghabiskan waktu bersama terutama ketika libur kerja.  Hanya saja kebersamaan mereka tidak pernah jauh-jauh dari rumah Sabrina. Sekalinya keluar paling cuma untuk makan atau jalan-jalan sekadarnya.

Entah mengapa, Mahen begitu betah di rumah Sabrina. Mengobrol dengan Rossa atau bersantai jika Rossa sedang tidak di rumah. Bukan sekali dua kali pula numpang tidur siang kalau sudah terlampau mengantuk.

Baik Sabrina maupun Rossa tidak pernah merasa keberatan. Mungkin hal itu juga yang membuat Rossa begitu getol menyuruh Sabrina menikah dengan Mahen. Karena sudah dekat dan dianggap seperti anak lelaki sendiri.

Kalau sudah begini, Sabrina jadi ingat perkataan Lani jika Mahen adalah mantu idaman bagi ibu-ibu masa kini. Sabrina tidak akan rela Mahen menjadi menantu bagi ibu-ibu lain kecuali Rossa, ibunya sendiri.

"Itu Agus udah pulang, Mbak." Tiwi menunjuk bagian luar toko bersamaan dengan suara sepeda motor Agus yang mendekat. Gadis itu lantas membuka pintu lebih lebar.

"Eh, Mbak Sabrina? Kirain udah pulang," sapa Agus lunglai. Melepas helm hitam yang membungkus kepala dan menenteng benda tersebut di tangan. Wajahnya menunjukkan lelah yang kentara.

"Belum. Saya juga baru selesai bikin buket. Istirahat dulu, Gus. Aku sama Tiwi udah mau selesai beres-beres, kok," balas Sabrina.

"Kalau gitu saya ke belakang dulu ya, Mbak."

Sabrina mengangguk singkat. Membiarkan Agus berjalan melewatinya ke belakang.

Melihat kedua pegawainya yang bekerja terlalu keras akhir-akhir ini membuat Sabrina berpikir untuk menambah armada. Toko bunganya berkembang lebih pesat dari perkiraan. Jika hanya mengandalkan tenaga Agus dan Tiwi, takutnya mereka keteteran. Satu laki-laki dan satu perempuan lagi sepertinya cukup untuk tambahan. Mereka bisa membantu Agus dan Tiwi jika Sabrina sedang tidak di tempat.

Satu hal yang diingat Sabrina adalah mereka bekerja sebagai manusia biasa, bukan macam jin pembangun candi. Jenis pekerjaan yang Sabrina tawarkan pun bukan kerja rodi apalagi Romusha. Patutah dia perlu memerhatikan kesejahteraan para pegawainya juga.

Sabrina melepas apronnya dan menyimpan di tempat biasa. Memasukkan ponsel serta charger dan beberapa barang pribadi lain ke dalam tas tepat ketika pintu berdenting.

Suara heels beradu dengan lantai menggema di ruangan yang sepi.

"Selamat malam, Sabrina."

Sabrina mendongak dan mendapati seseorang yang tidak ia harapkan berdiri di dekat jejeran pot. Tersenyum lebar yang bagi Sabrina terlihat seperti ejekan.

"Mohon maaf, toko kami sudah mau tutup. Silakan datang lagi besok," balas Sabrina tenang.

Dia sungguh tidak tahu ada perihal apa hingga Sasa datang tiba-tiba. Ini sudah lewat jam operasional toko dan Sabrina ragu keberadaan Sasa bukan untuk membawa masalah.

"Aku bukan mau belanja, kok."

Sasa berbicara seraya mendekati Sabrina. Aroma parfum kuat menyergap indra penciuman. Ini sudah malam, tetapi gadis itu masih sangat menyengat seperti baru keluar dari bak pemandian minyak wangi.

"Terus, ada kepentingan apa?" tanya Sabrina lelah. Berhenti berbicara terlalu formal karena Sasa datang bukan sebagai pelanggan.

"Aku mau kasih tahu kamu, Sabrina. Aku sama Mahen lagi dalam tahap balikan lagi." Sasa sengaja menjeda ucapannya. Menikmati raut kaget yang begitu kentara di wajah lawan bicaranya baru kemudian melanjutkan, "Aku harap kamu enggak usah dekat-dekat sama Mahen lagi. Memangnya kamu pikir aku enggak tahu kalau kamu masih suka jalan dengan Mahen. Masih sering berkirim pesan pula."

Sabrina menggeleng setelah berhasil menguasai diri dari keterkejutan.

"Mahen enggak bilang apa-apa tentang kamu," elak Sabrina. Karena memang begitu kenyataannya. Mahen tidak pernah membahas secuil pun tentang hubungannya dengan Sasa.

"Ya kamu tahu sendiri Mahen itu seperti apa? Dia enggak mungkin mau menyakiti hati kamu, makanya dia enggak pernah bahas apa pun tentang aku. Makanya sekarang aku kasih tahu kamu biar kamu enggak berharap banyak sama Mahen." Sasa melipat kedua tangannya di depan dada. Memandang Sabrina dengan sorot remeh.

"Jangan terlalu percaya diri, Sa. Aku tahu Mahen enggak mungkin suka sama kamu." Sabrina menyahut tidak kalah percaya diri. Satu hal yang dipelajarinya dari cara menghadapi Sasa adalah jangan sekalipun menunjukkan kekalahan. Apalagi jika sudah menyangkut hubungan dengan Mahen karena Sasa pasti akan memanfaatkan celah tersebut untuk memberikan serangan yang lebih lagi.

Dan benar saja. Sasa menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Sabrina membuat wanita itu sontak melotot tidak percaya.

Layar menampilkan gambar Sasa dan juga Mahen tengah makan malam berdua. Sasa mengenakan gaun persis seperti yang dipakainya sekarang. Berwarna biru navy, berpotongan rendah, dan jatuh tepat di atas lutut. Sedangkan Mahen mengenakan jas formal yang membuat lelaki itu berkali lipat lebih tampan meskipun memasang wajah datar.

"Ini foto yang diambil enggak sampai satu jam yang lalu. Di Grand Cafe, Grand Hyatt." Sasa menambah keterangan yang sama sekali tidak Sabrina perlukan. "Kamu bisa tanya Mahen kalau enggak percaya," tambahnya. Menyimpan ponselnya ke dalam tas lalu berbalik. Meninggalkan toko milik Sabrina tanpa mengucapkan apa pun lagi.

Sabrina ingin sekali menolak untuk percaya, tetapi tangannya memaksa untuk mengambil ponsel dan membuka kembali kolom pesannya dengan Mahen. Tidak ada pesan lagi sejak yang dikirim terakhir kali.

Dengan tangan gemetar, Sabrina mengetikkan sederet pesan baru.

Kamu tadi dari Grand Cafe, Grand Hyatt?

Cukup lama sampai pesan tersebut dibalas. Sabrina tidak berhenti menggigiti kuku jarinya sebagai pengalihan dari rasa cemas. Takut jawaban dari Mahen akan meruntuhkan segenap kepercayaannya.

Sepuluh menit kemudian balasan baru datang. Sederet kata yang membuat kaki Sabrina serasa tidak lagi menapaki bumi karena lemas luar biasa.

Iya. Kamu tahu dari mana?

Cukup sudah. Mahen memang tidak jujur padanya. Atau, mungkin seperti yang Sasa bilang. Mahen tidak berani jujur karena takut menyakitinya, tetapi kalau sudah begini memangnya dia tidak merasakan sakit? Justru lebih menyakitkan ketika kita mengetahui sebuah kebenaran dari orang lain.

"Mbak, Mbak Sabrina kenapa? Kok kayak habis lihat hantu gitu?" Tiwi menepuk pundak Sabrina pelan. Tadinya, dia ingin memberitahu jika semua pekerjaan sudah selesai. Namun, melihat atasannya diam saja justru membuatnya khawatir.

"Oh. Ka-kalian sudah selesai," ujar Sabrina terbata. "Kalau begitu saya pulang dulu. Jangan lupa kunci pintu."

"Perlu diantar enggak, Mbak? Muka Mbak pucat banget, loh."

Sabrina menggeleng tidak fokus. Pandangannya mulai buram dan dia tidak mungkin menangis sekarang. Setidaknya bukan di depan pegawai toko yang juga sudah lelah dan hendak pulang.

"Ya sudah. Hati-hati ya, Mbak. Jangan lupa istirahat."

Sabrina tidak menjawab, berjalan cepat keluar dari toko lantas masuk ke dalam mobil.

Mahen ... benar-benar brengsek.

🌹🌹🌹




Cast Sabrina



Cast Mahen Rajasa.
*Rada susah nyari foto Maxim yang agak 'manusiawi', semua pose fotonya ala2 model internasional semua 😬. Susah ya, orang ganteng, mau pose biasa juga kayak gaya model 👀.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro