18. Enough

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Adakah yang lebih menyakitkan dari sebuah kebohongan? Sabrina belum menemukan jawaban atas hal tersebut, sebab perasaannya kini tengah diliputi oleh sakit dan sedih karena sudah dibodohi oleh lelaki -yang sialnya- hanya sebatas mantan.

Sembari berjalan cepat menuju mobil, Sabrina menjaga sekuat tenaga agar air matanya tidak menetes. Namun, seluruh pertahanan yang dibangun runtuh begitu bokongnya menempel di kursi kemudi.

Sabrina menangis dan merutuk sejadi-jadinya.

"Sialan!" teriak Sabrina. Meremas kemudi hingga buku-buku jarinya memutih. Marah pada dirinya sendiri yang mudah sekali dibodohi.

Atau, apa mungkin semua ini terjadi karena salah Sabrina sendiri? Dia sejauh ini belum menuruti saran dari Lani untuk mencari tahu hubungan Mahen dan Sasa secara langsung melalui lelaki itu sendiri. Karena takut jika ternyata apa yang dia harapkan tidak sesuai kenyataan.

Kini itu memang terjadi.

Sasa dan Mahen bukan hanya berhubungan sebagai teman biasa. Mereka sedang dalam masa pendekatan dan sebentar lagi akan meresmikan hubungan.

Jadi, percuma saja Sabrina berharap, kan?

Ah, ya. Dia memang bodoh.

Sabrina tertawa getir. Menyumpahi kebodohan yang bisa-bisanya dia lakukan.

Ibarat keledai saja tidak mungkin jatuh di lubang yang sama dua kali, tetapi Sabrina malah melakukannya. Padahal seharusnya ketika melihat unggahan sosial media milik Sasa kapan lalu itu, Sabrina tahu waktu untuk mundur. Bukannya terus maju dan berusaha menipu diri dengan melupakan kejadian tersebut hingga kini Mahen melakukannya lagi.

Rasanya dua kali lipat lebih menyakitkan.

Sabrina melepas tas selempangnya, menarik ritsleting dengan gusar lalu mengambil ponsel dan juga headset.  Mencari sebuah nama yang muncul di otak pertama kali dan selalu ada ketika dibutuhkan.

"Halo, Lan." Sabrina menyapa serak. Memasang headset ke kedua telinganya.

"Halo, Sabi. Kenapa? Kok suara lo aneh banget?" balas suara dari seberang.

"Sasa ...." Sabrina menyerukan sebuah nama bersamaan dengan tangisnya yang kembali pecah.

"Sasa? Kenapa? Mati ketabrak truk? Atau kesetrum listrik? Alhamdulillah, dong," respon Lani.

"Bukan bego! Kalau beneran gitu mah gue enggak bakal nangis."

Sabrina memutar kunci mobil. Dia harus segera pergi sebelum Tiwi dan Agus curiga mobilnya tidak kunjung beranjak dari parkiran.

"Ya, lo manggil Sasanya sampai histeris gitu."

Sabrina tidak dapat melihat Lani secara langsung, tetapi dia yakin sahabatnya itu tengah menggaruk tengkuk karena bingung. Hal kecil yang sudah amat Sabrina hafal.

Jadilah Sabrina menceritakan kedatangan Sasa, apa yang Gadis Micin itu katakan, juga perintahnya untuk menjauhi Mahen. Semuanya tidak luput Sabrina ungkapkan meski dengan terbata-bata. Menceritakannya kembali bagai menabur luka yang bahkan baru saja terbentuk dengan air garam. Sakit dan perih.

"Fotonya beneran? Maksud gue, bukan editan atau apa?"

"Gue yakin bukan, Lan. Sasa datang ke toko pakai baju yang sama dan itu jaraknya mungkin enggak sampai sejam."

Sabrina menarik selembar tisu dari kotak. Menggunakannya untuk menyusut ingus yang disambut pekikan jijik Lani dari seberang.

"Terus, sekarang lo di mana?"

"Lagi di jalan mau pulang."

Lani kembali memekik kali ini lebih keras. Berhubung Sabrina memakai headset, dia jadi tidak bisa menjauhkan benda tersebut dan terpaksa membiarkan kupingnya pengang sesaat.

"Gila! Lo nangis sambil nyetir?"

"Ya mau gimana lagi?"

Sabrin mencebik kesal. Jika bukan karena Sasa dan Mahen, mana mungkin dia mau mengambil resiko kena tilang, atau -amit-amit- kecelakaan dengan menangis sambil menyetir.

"Pokoknya sekarang lo tenangin diri dulu. Gue belum bisa kasih saran apa-apa. Sebenarnya, sih banyak yang mau gue omongin ke lo, tapi enggak lewat telepon. Next time kita ketemu, deh. Maaf gue belum bisa ke situ, soalnya lagi ada proyek baru. Ini aja gue baru pulang." Sabrina dapat mengetahui Lani merasa bersalah hanya dari cara bicaranya.

"Santai, Lan. Gue udah lumayan lega, kok. Makasih ya udah mau dengerin. Mungkin ke depannya gue enggak mau berhubungan sama Mahen dulu. Gue masih perlu menenangkan diri."

"Kalau itu gue setuju, sih. Hati-hati di jalan, Sabi. Serius, deh mending berhenti dulu kalau mau nangis. Gue enggak mau lihat lo muncul di berita."

"Apa, sih? Jangan sembarangan kalau ngomong, gue juga masih mau hidup kali," Sabrina memaksakan diri untuk tertawa. "Gue tutup ya, teleponnya. Sekali lagi makasih."

Sabrina mengakhiri percakapan dengan Lani bersamaan dengan mobilnya yang masuk ke dalam pekarangan. Seperti biasa, penampakan rumah Sabrina tampak sepi dari luar.

Berkaca pada spion, Sabrina melihat matanya memerah dan bengkak. Buruk sekali.

Sabrina merasa beruntung karena ketika masuk ke dalam rumah Rossa tidak terlihat, pun tidak ingin mencari. Takut ibunya tahu dan bertanya macam-macam. Jujur saja, Sabrina merasa lelah dan tidak ingin diinterogasi.

Sabrina berjalan cepat menuju kamar, sengaja tidak menimbulkan suara agar Rossa tidak mendengar kedatangannya. Begitu mencapai pintu kamar, Sabrina segera masuk dan memutar kunci.

Melempar tas secara asal, Sabrina meneruskan langkahnya menuju kamar mandi. Menangis sembari membasahi diri di bawah pancuran. Dengan begitu, air matanya tidak akan terlihat.

Setelah puas membasahi diri, Sabrina pun keluar dari kamar mandi. Mengganti handuk yang melilit tubuh dengan piyama abstrak dari dalam lemari.

Seraya mengeringkan rambut menggunakan hairdryer, Sabrina mengambil ponselnya dari dalam tas. Banyak notifikasi yang masuk begitu layar menyala.

Lima pesan dan tiga panggilan tidak terjawab. Semuanya dari Mahen.

Sabrina membuka kolom pesan antara dirinya dan Mahen dan membaca sederet kalimat yang tertera.

Na, kamu udah tidur? Tadi aku ke toko, kata Tiwi kamu udah pulang.

Sabrina tidak bisa merasa lebih lega. Untung tadi dia langsung pulang. Kalau tidak, mungkin mereka akan bertemu dalam keadaan Sabrina yang tengah menangis.

Sungguh memalukan. Sabrina tidak ingin dikasihani, apa pun yang terjadi.

Tidak berminat untuk membalas pesan dari Mahen, Sabrina menyimpan ponselnya ke atas meja. Melanjutkan aktivitas mengeringkan rambut dan sesekali menyedot ingus.

Mahen sudah membuat hidupnya kacau. Baik ketika masih berpacaran hingga sekarang sudah menjadi mantan pun masalahnya tetap sama. Mahen tidak pernah dengan tegas menolak setiap gadis yang mendekat.

Apalagi Sasa. Gadis tidak tahu diri itu terus saja menempel seperti benalu. Menjadi yang paling gigih membuat mereka berpisah hingga keadaan menjadi seperti sekarang.

"Gue memang harus lupain Mahen. Enggak bisa kalau gini terus," gumam Sabrina. Menyimpan hair dryer ke dalam laci lalu merebahkan diri di ranjang.

Cukup sudah dia berjuang.

Cukup sudah Mahen berbohong.

Mungkin mereka tidak ditakdirkan satu sama lain.

Mungkin ... misi balikan memang tidak seharusnya ada.

Sabrina terus membiarkan otaknya riuh hingga akhirnya lelah dan terlelap.
Untuk malam ini saja, Sabrina dengan suka hati membiarkan Mahen menghilang dari benaknya.

🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro