19. Menyibukkan Diri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga hari berlalu semenjak Sasa datang ke The Bloom Room dan memberitahu hubungannya dengan Mahen. Semenjak itu pula Sabrina jadi jarang berada di toko. Setiap menjelang makan siang dan jam pulang kantor, Sabrina pasti akan pergi. Ke tempat mana saja secara acak sesuai pilihan hatinya demi menghindari Mahen yang mungkin saja datang.

Sabrina bangkit dari ranjang dengan malas-malasan. Rencananya, hari ini dia akan pergi menemui salah satu calon pegawai baru yang akan direkrut. Sekaligus mencari hiburan agar tidak terus kepikiran Mahen dan Sasa.

Masih dengan rambutnya yang berantakan, Sabrina turun ke lantai bawah. Dilihatnya Rossa sedang menata sarapan di atas meja.

"Kamu hari ini jadi pergi?" tanya Rossa. Mendengar suara langkah kaki sang putri.

"Jadi. Udah janjian sama yang mau diinterview nanti siang," balas Sabrina. Mencomot sepotong apel yang sudah dikupas dari piring.

"Makan nasi dulu, Bri. Itu apelnya buat pencuci mulut," tegur Rossa.

"Aku sarapannya nanti aja habis mandi. Oh, ya! Stok sampoku masih ada enggak? Yang di atas habis, aku lupa beli."

"Ada di lemari." Rossa menunjuk ke arah lemari yang berisi persedian peralatan pribadi.

Sabrina beralih menuju lemari dan menemukan sebotol sampo berwarna merah yang biasa dipakainya di sana. Tangannya yang hendak mengambil benda tersebut berhenti seiring pertanyaan yang muncul dari Rossa.

"Mahen, kok enggak pernah kelihatan lagi?"

Bergeming selama beberapa saat, Sabrina memaksa ekspresi wajahnya agar terlihat biasa saja.

"Aku mandi dulu ya, Bu. Udah kesiangan, nih!"

Sabrina berlari ke kamarnya. Mencegah Rossa untuk bertanya lebih jauh. Entah sampai kapan akan seperti ini, yang jelas mendengar pertanyaan tentang Mahen dari orang terdekat hanya membuat Sabrina semakin sakit.

Sabrina melewatkan sarapan. Seusai mandi, dia langsung berpamitan pada Rossa dan masuk ke dalam mobil. Sekali lagi tanpa membiarkan Rossa berbicara banyak. Setelah itu berkendara dalam kecepatan sedang menuju salah satu kafe tidak jauh dari rumah.

Kafe Juminten namanya. Mengusung konsep jadul dengan bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu jati. Terlihat nyaman dan membuat pengunjung betah berlama-lama. Setidaknya, itu kesan yang bisa Sabrina tangkap.

Begitu melangkahkan kaki ke dalam kafe, mata Sabrina langsung menangkap sosok gadis yang mirip di foto yang digunakan saat mendaftar. Terlihat masih muda dan yang paling penting tidak berdandan heboh seperti mau pergi dangdutan. Duduk di salah satu meja yang berisi dua kursi berhadapan.

"Rena, ya?" sapa Sabrina. Menyerukan nama gadis tersebut.

Gadis yang dipanggil segera bangkit dari duduknya. Membungkuk sopan sembari tersenyum tipis.

"Iya, Mbak. Anda Mbak Sabrina?"

Sabrina mengibaskan tangan sekilas. "Jangan terlalu formal begitu. Kamu cuma mau kerja di toko bunga, bukan di perusahaan besar," balas Sabrina. Menampilkan senyum ramah yang membuat Rena turut mengubah raut wajahnya dari tegang menjadi santai.

"Udah pesan?" tanya Sabrina sembari membuka buku menu. Meskipun kafe tersebut dekat dengan rumahnya, tetapi Sabrina hanya pernah beberapa kali datang. Itu pun saat masih bersekolah dan diajak Rossa. Belakangan tempat makannya tidak jauh-jauh dari sekitar The Bloom Room, kantor Lani, atau kantor Mahen.

"Belum, Mbak."

"Kamu mau pesan apa? Biar nanti saya pesanin sekalian."

Sabrina harap, dia cocok dengan Rena agar tidak keluar terlalu banyak uang untuk menraktir setiap calon pegawai baru yang akan direkrutnya.

Rena cukup tahu diri untuk memesan makanan yang tergolong murah. Hanya nasi goreng original dan juga es teh manis. Sedangkan Sabrina memilih nasi ayam kalasan dan juga minuman yang sama.

"Mau makan dulu atau interview dulu?"

"Senyamannya Mbak Sabrina saja."

Sabrina mengambil ponselnya, berniat untuk melihat jam dan mengira-ngira berapa waktu yang dibutuhkan untuk melakukan interview. Namun, siapa sangka yang dia dapati adalah pesan baru dari Mahen. Lelaki itu memang kekeh menghubungi hampir setiap saat meskipun tidak satu pun pesannya pernah Sabrina balas.

"Makan dulu, deh kalau gitu. Saya juga udah lapar," ujar Sabrina. Kembali mengabaikan pesan Mahen dan menyimpan ponsel ke atas meja dalam posisi terbalik.

Pesanan datang lebih cepat dari yang Sabrina kira. Jika biasanya dia harus menunggu lebih dari seperempat jam untuk satu menu, kali ini tidak sampai sepuluh menit semua sudah tersedia. Sabrina diam-diam memuji pelayanan kafe yang sat-set.

"Mari makan, Mbak." Rena mengangguk sopan. Mulai menyendok bagiannya dan makan nyaris tanpa suara.

Sejauh ini, Sabrina belum melihat sesuatu yang tidak disuka dari calon karyawannya. Sebuah hal yang bagus mengingat Sabrina malas membayangkan harus melakukan interview berkali-kali dengan orang yang beraneka ragam. Jika cocok dengan Rena, maka Sabrina hanya perlu mencari satu lagi pria untuk menjadi partner Agus.

Sesi interview berjalan dengan lancar. Rena mampu menjawab lugas setiap pertanyaan yang Sabrina ajukan. Gadis itu baru lulus SMA dua tahun lalu dan baru sekali bekerja di toko kelontong sebelumnya. Alasannya keluar dari pekerjaan pun bisa Sabrina pahami yaitu karena berada di kota sebelah. Lelah jika setiap hari harus pulang pergi menempuh jarak nyaris ratusan kilo.

"Terima kasih ya, Rena. Saya puas banget sama jawaban kamu. Besok kamu bisa mulai bekerja, apa mau hari ini? Kebetulan saya mau ke toko, biar kamu sekalian lihat situasinya kayak gimana."

Rena tampak berpikir sebentar. Mungkin mengingat setelah ini ada acara lagi atau tidak. Baru sejurus kemudian dia mengangguk.

"Bisa, Mbak."

"Kamu ke sini naik apa?"

"Naik angkot, Mbak." Rena menjawab kikuk. Takut Sabrina keberatan jika dia tidak membawa sepeda motor.

"Kalau kita bareng aja," tukas Sabrina enteng. Bukan masalah ada sepeda motor atau tidak, toh pekerjaannya bukan di bagian pengantaran.

Rena menurut dan mengekori Sabrina menuju tempat mobilnya menunggu. Sepanjang perjalanan, Sabrina lebih banyak menceritakan kegiatan di tokonya. Memberi gambaran pada Rena tentang apa saja yang harus dikerjakan. Pun Rena yang lebih banyak mengangguk paham. Mendengarkan dengan cermat penuturan dari bos barunya.

Perjalanan menjadi tidak terasa hingga mereka tiba di toko. Tiwi menatap penuh tanya pada Rena yang membalas canggung.

"Agus mana, Wi? Saya mau kenalin pegawai baru ke kalian."

Tiwi segera berlalu dan memanggil Agus yang saat itu berada di belakang. Menyiapkan pesanan pelanggan yang sebentar lagi akan dibawa.

Tidak sampai lima menit, keduanya sudah kembali ke hadapan Sabrina.

"Siapa ini, Mbak?" tanya Agus. Sepasang matanya meneliti Rena dari atas sampai bawah secara kilat. Terlihat manis dan sopan.

"Namanya Rena. Partner kerja kalian yang baru. Seharusnya dia kerja mulai besok, tapi sekarang dia mau lihat-lihat dulu. Kamu ajarin dia ya, Wi. Saya mau ke dalam dulu."

"Siap, Mbak. Serahkan semuanya sama Tiwi."

Sabrina dapat mendengar ketiga pegawainya bercakap-cakap sebelum masuk ke dalam ruangan pribadi.

Sabrina mengempaskan tubuhnya ke kursi. Mengecek pembukuan toko sekaligus mencatat pesanan yang masuk ke ponselnya untuk kemudian diserahkan pada Agus dan Tiwi -sekarang ditambah Rena-. Keberadaan Sabrina yang angin-anginan, untungnya tidak memberikan dampak besar pada kedua pegawainya. Semua tetap berjalan lancar dan ada dalam kendali.

Ponsel yang terus bergetar di atas meja mengusik perhatian Sabrina. Bukan dari Mahen, melainkan Lani.

Sabrina meminta maaf dalam hati. Memang setelah sambungan telepon mereka ketika di mobil beberapa hari lalu, Sabrina sengaja menghindar.

Bukannya apa-apa, dia hanya sedang membutuhkan ruang untuk diri sendiri. Lagipula, Sabrina yakin jika saran yang sempat Lani singgung kala itu pastilah tidak jauh-jauh dari tetap mempertahankan Mahen. Sayang membuat buruan lepas begitu saja, katanya.

Sabrina menghela napas lelah. Menekan punggungnya pada sandaran kursi yang empuk.

Gawat! Sebentar lagi waktunya makan siang.

Sabrina segera memasukkan ponselnya dalam tas dan terburu-buru keluar. Tiwi dan Rena yang kala itu sedang berbicara mengenai cara pembuatan buket menoleh serempak.

"Mau pergi lagi, Mbak?" tanya Tiwi. Mengetahui pergerakan grusa-grusu Sabrina dan jam berapa sekarang.

"Iya." Lalu perhatian Sabrina beralih pada Rena. "Kalau saya tinggal dulu enggak apa-apa? Misal pembahasannya udah selesai kamu bisa langsung pulang."

"Mulai kerja dari sekarang juga enggak apa-apa, Mbak. Udah terlanjur sampai sini juga," jawab Rini tanpa ragu.

"Ya udah kalau gitu saya pergi dulu, ya?"

"Eh, Mbak Sabrina!"

Panggilan dari Tiwi menghentikan Sabrina yang saat itu sudah hendak mencapai pintu. Berbalik dan menyorot Tiwi penuh tanya.

"Itu ...." Tiwi terlihat ragu sesaat melihat bagaimana ekspresi wajah Sabrina sekarang.

"Ada masalah?" tanya Sabrina perhatian. Mengetahui Tiwi yang menggerak-gerakkan kakinya gelisah.

"Kemarin Mas Mahen ke sini lagi."

Sabrina mengembuskan napas gusar. Kapan lelaki itu akan lelah dan berhenti mencarinya? Belum cukupkah semua yang sudah Mahen lakukan dengan menyakiti Sabrina? Seharusnya, dia kembali saja pada Sasa dan Sabrina yakin akan semakin mudah melupakan. Tidak harus terus bermain kucing-kucingan seperti sekarang.

"Terus kamu bilang apa?"

"Mbak lagi ada pelatihan merangkai bunga lanjutan sesuai yang pernah Mbak Sabrina kasih tahu," cicit Tiwi. Sejujurnya, dia tidak enak berbohong dengan Mahen, lelaki tampan dengan sejuta pesona misterius yang dimilikinya.

"Bagus. Pertahankan alasanmu itu kalau dia ke sini kalau kamu masih mau bekerja di The Bloom Room."

Rena yang mendengar semuanya hanya bisa melongo. Tidak paham mengenai apa yang terjadi hingga Tiwi sampai diancam begitu. Namun, batinnya mengantakan jika sesuatu itu adalah hal yang pelik dan bukan ranahnya sebagai karyawan baru untuk ikut campur.

"Ren, kamu juga harus bilang begitu kalau ada Mahen datang."

"Tapi, saya enggak tahu Mahen itu siapa, Mbak," jawab Rena kebingungan.

"Tanya aja Tiwi atau Agus. Pokoknya jangan bilang apa pun tentang keberadaan saya."

"Baik, Mbak."

Sabrina mengacungkan kedua jempolnya. Jika sedari awal Tiwi tidak diancam akan dipecat, gadis itu pasti dengan sukarela akan bercerita panjang lebar mengenai Sabrina. Meskipun tahu hal tersebut tidak baik, karena pada kenyataannya Sabrina masih sangat membutuhkan tenaga Tiwi, tidak ada lagi hal yang bisa dia lakukan.

Semoga para karyawannya tetap bisa diajak bekerjasama entah untuk waktu berapa lama.

🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro