20. Bug

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sabrina baru sampai ke rumah, sekarang pukul 23.10 WIB. Saat mobilnya masuk pekarangan, lampu di dalam rumah masih menyala. Biasanya Rossa sudah mulai mematikan lampu ruang tamu.
Sabrina sudah menyiapkan alasan jika Rossa bertanya kenapa ia pulang larut malam.

Begitu masuk dan melangkahkan kaki memasuki ruangan tamu, Sabrina terkejut. Ia mendapati Mahen sedang duduk di sofanya.

"Kamu dari mana aja, Na? Jam segini baru pulang?" Mahen berdiri menghampiri Sabrina dengan air muka cemas yang kentara.

"A-aku dari ... kafe dekat sini." Sabrina lantas langsung menggeleng. Ia sedikit syok ditanya seperti itu oleh Mahen.
Tunggu!
Mahen?

Kenapa dia bisa ada di sini?

"Kamu kenapa di sini?" Akhirnya pertanyaan di kepalanya terlontar.

"Aku khawatir. Tiga hari, chat dan telepon aku enggak kamu jawab. Aku ke toko, kamu selalu keluar."

"A-aku ... tunggu! Kamu enggak seharusnya ke sini. Ini sudah malam. Ibuku di mana?" Sabrina masih memproses semua kejadian saat ini.

"Aku sudah ijin sama ibu kamu untuk bicara berdua sama kamu," jelas Mahen.

"Mau bicara apa?"

"Kita bicara di luar aja." Mahen langsung keluar dari rumah Sabrina. Sabrina mengekorinya.

Mahen langsung duduk di kursi teras depan, begitu juga dengan Sabrina.

"Kamu menghindari aku." Itu bukan kalimat pertanyaan. Mahen menatap Sabrina dengan tegas.

Sabrina langsung mengalihkan kedua matanya ke arah lain. Ia tidak sanggup menghadapi tatapan Mahen yang begitu lugas.

"Terus, kenapa? Seharusnya begini, kan?" tanya Sabrina yang kini melihat ke Mahen. Ia ingin memastikan sendiri.

"Kenapa?" tanya Mahen.

"Seharusnya begini. Aku enggak mau kamu kasihani, berpura-pura peduli dan memberikan aku harapan kosong."

"Kamu bicara apa?" Mahen tampak tidak mengerti.

"Kamu tahu, kan kalau aku masih sayang sama kamu? Lalu kamu manfaatkan itu, kamu pura-pura peduli hanya supaya aku enggak sakit hati kalau kamu ternyata berhubungan sama wanita lain."

"Sabrina, aku enggak ngerti apa yang kamu bicarakan."

"Ya ampuun! Kenapa aku bisa suka sama kamu, sih? Kamu emang enggak peka!" Sabrina kesal sendiri melihat Mahen.

"Aku tahu kamu masih sayang sama aku, Na."

Sabrina menatap Mahen dengan lekat. Pria di depannya begitu tampan dengan kacamata bacanya yang belum ia lepas sejak tadi.

"Tapi kamu enggak bilang, kalau kamu maunya sama Sasa." Sabrina berkata dengan lemah.

"Sasa?"

"Dia bilang, kalian sedang penjajakan menuju balikan. Dia juga bilang, kalau kamu selalu bilang ke dia kalau kita tempo hari jalan dan nonton berdua."

Mahen kemudian memeluk Sabrina, sengaja agar wanita itu berhenti bicara. Ia sudah pusing menebak-nebak isi pikiran Sabrina selama tiga hari ini.

Tidak ada suara, sepi. Sabrina bahkan lupa untuk bernapas. Ia terkejut Mahen langsung memeluknya. Tangan Sabrina tidak membalas pelukan Mahen. Ia masih bingung.

"Bicara yang jelas, Na. Aku bukan dukun yang bisa nebak isi hati dan pikiran kamu. Aku cuma seorang programmar. Jangan pakai kode. Kecuali kode program, pasti aku paham." Mahen melepaskan pelukannya.

Ia menatap wanita cantik di depannya, walau wajahnya tampak lelah. Wajah yang selalu berada di ingatan teratasnya.

"Kenapa bawa-bawa Sasa lagi?" Mahen penasaran. Rasanya, masalah Sasa ini tidak selesai-selesai.

"Tiga hari yang lalu Sasa datang ke toko. Dia bilang habis makan di Grand Hyatt sama kamu. Candle Light dinner alias makan malam romantis cuma berdua." Sabrina menunjukkan dua jarinya, menekankan kata 'berdua'.

"Aku memang ke Grand Hyatt, tapi bukan untuk makan malam romantis berdua dengan Sasa. Ini." Mahen mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan beberapa foto di sana.

Di sana, ada Sasa juga tetapi ada dua orang lagi, pria dan wanita.

"Ibram, sepupu aku. Ini Nina, kebetulan, rekan kerja Sasa. Mereka dijodohkan oleh kedua keluarga kami. Aku mengantar Ibram dan Sasa mengantar Nina. Kami makan malam ber-empat." Mahen menjelaskan seraya menunjukkan foto-foto lainnya yang memang foto ber-empat. Di ponsel Mahen, tidak ada foto berdua dengan Sasa.

"Tapi ... Sasa menunjukkan foto kalian berdua."

"Na, kamu tahu bug dalam komputer?"

Sabrina mengangguk.

"Bug adalah masalah yang terjadi dalam kode pemrograman, dan ini membuat sistem tidak bekerja seperti seharusnya dan harus segera diperbaiki." Mahen berhenti sejenak, menatap Sabrina lekat.

"Sasa itu adalah bug bagi hubungan kita. Aku sama Sasa, enggak ada hubungan apa pun kecuali kami hanya sebatas mantan. Aku enggak punya perasaan istimewa lagi ke dia. Perasaan istimewa ini, cuma buat kamu, Na."
Mahen memegang kedua pundak Sabrina. Tatapan Mahen begitu sungguh-sungguh, ia berharap Sabrina bisa mengerti kalimatnya. Ia bukanlah pria yang mudah berkomunikasi.

"Na, aku kangen banget sama kamu," sambungnya.

"Aku ... juga." Sabrina menunduk malu.

Bahkan ia sangat-sangat rindu pada pria di depannya. Kenapa harus serumit ini hubungan ia dan Mahen?
Padahal, sederhana. Ia hanya harus bertanya langsung saja pada Mahen. Pria itu bahkan tidak mengerti kode-kode asmara.
Sabrina kenapa bisa melupakan hal itu?

"Mahen ... kita balikan, yuk?" Sabrina menatap berani pada Mahen setelah ia mendongak.

Mahen mengangguk dengan senyum lebar.

"Na, aku bukan orang yang mudah berkata-kata manis penuh cinta. Mungkin aku membosankan untuk kamu. Tapi, aku serius menjalani hubungan ini sama kamu." Mahen menatap lekat pada manik cokelat milik Sabrina.

"Enggak. Cukup menjadi diri kamu saja, aku enggak mau nuntut apa pun sama kamu."

Kemudian tanpa ragu, Mahen memiringkan kepalanya dan tangannya yang sudah berada di pinggul Sabrina, semakin menarik tubuh Sabrina agar lebih dekat dengannya.

Hingga tak ada jarak diantara mereka, hidung Mahen sudah mengenai hidung Sabrina. Kemudian bibir Mahen berada di bibir Sabrina. Mencecapnya lembut, penuh kerinduan. Kedua tangan Sabrina naik dan mengalungkan leher pria itu, hingga membuat Mahen semakin menunduk dan memperdalam ciumannya.

"Ehem ..." Suara deheman yang begitu Sabrina kenal tiba-tiba mengganggu mereka. Mahen menjauhkan diri dari Sabrina.
Dengan wajah memerah, Mahen menggaruk belakang kepalanya. Ia tersenyum kikuk berhadapan dengan Rossa.

"Kalau sudah balikan, berarti urusannya sudah selesai. Mahen, kamu bisa pulang sekarang." Rossa melihat pasangan di depannya dengan jahil.

"Na, aku pulang dulu, ya. Ibu, makasih buat hari ini," ia berpamitan pada Sabrina dan Rossa.

Sabrina mengangguk dan Rossa kembali masuk ke dalam rumah. Sabrina menunggu Mahen menghilang dari pandangannya. Punggungnya yang tegap, terlihat begitu hangat di mata Sabrina.

Mahen memarkir mobilnya tak jauh dari sini, ia sengaja tidak memarkir mobilnya di rumah Sabrina. Ia takut Sabrina menghindar lagi.

Sabrina tersenyum ketika mengingat tadi, ia tahu memang Mahen bukanlah pria yang mudah berkata penuh cinta nan puitis. Namun, itu adalah kelebihan Mahen. Pria itu lebih memilih menunjukkannya dengan tindakan.

Ya, Mahen itu manis, kok.

🌹🌹🌹

Terima kasih buat pembaca yang suka dengan Mahen dan Sabrina ❤️. Sehat selalu buat kalian 💐.

Salam hangat,
Mahen & Sabrina

-THE END-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro