3. Perjanjian.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah mengunci pintu rumah, aku kembali ke rumah makan Airi. Peristiwa yang tidak biasa itu membuat penduduk semakin berhati-hati.

"Kage semakin menggila. Kukira dia hanya membunuh pada malam hari." Paman Krugg mengernyitkan dahinya. Kekhawatiran yang begitu jelas terlihat di antara Paman Krugg dan Paman Felix yang sedang duduk makan siang saat itu.

Rumah makan Airi menjadi tempat perbincangan hangat soal kejadian tadi. Aku yang sedang mengelap meja hanya mendengar samar-samar obrolan mereka. Aku mendekat ke arah Paman Krugg dan bertanya, "Apakah ada surat yang ditinggalkan oleh Kage?"

"Anehnya. Tidak ada," jawab Paman Krugg cemas.

"Apakah seluruh warga desa harus diajarkan ilmu bela diri?" tanya Paman Felix.

Paman Felix adalah salah satu atasan Paman Krugg. Leherku sakit jika berbicara dengan Paman Felix terlalu lama saat dalam keadaan berdiri. Tingginya bukan main. Aku tidak tahu sudah berapa kali kepalanya terkena pintu. Aku mengenal Paman Felix saat dia menangani kasus orang tuaku lima tahun lalu. Sangat cekatan, teliti, dan kuat.

"Tapi tidak mungkin dengan jumlah warga yang sebanyak ini," sahut Paman Krugg.

Aku masih berdiri menatap serius perbincangan Paman Krugg dan Paman Felix.

"Hikari! Kau bisa istirahat sekarang!" teriak Nyonya Airi.

"Baik Nyonya, terima kasih," jawabku.

"Paman apa aku boleh duduk dan mendengar perbincangan kalian?" pintaku penuh harap.

"Ya, kupikir tidak masalah jika kau tahu," ucap Paman Krugg.

"Terima kasih Paman."

Aku duduk tepat di sebelah paman Krugg, memperhatikan perbincangan mereka dengan serius.

"Haruskah membuka anggota baru untuk kepolisian? Kupikir Kage tetap akan menang walaupun melawan sepuluh prajurit bahkan lebih hanya dalam beberapa menit saja," sahut Paman Felix serius.

"Apa yang dikatakan Anna pelayan Aoi Daichi?"

"Anna sekarang mungkin sedang diinterogasi, aku belum mendapat laporan soal itu. Aku tak menyangka ada yang membenci Daichi."

"Bermuka dua kah? Banyak sekali yang seperti itu."

"Hm, apa benar tidak ada satu pesanpun yang ditinggalkan Kage?" tanyaku tiba-tiba.

Paman Krugg dan Paman Felix menatapku.

"Tidak ada sama sekali. Biasanya ada kertas yang ia selipkan di samping tubuh mayat," jawab Paman Krugg heran.

"Aneh," ucapku tak percaya, "Kage bukan tipe pembunuh seperti itu," sambungku.

"Mungkin ada ... apa bukan di kertas?" pikir Paman Felix.

"Kalau bukan di kertas lalu di mana kira-kira? Di lantai? Tembok? Baju? Atau jangan-jangan ...."

"Ya sepertinya," sahut Paman Felix seolah-olah mengetahui apa yang akan dikatakan Paman Krugg selanjutnya.

"Di kulit?" celetukku.

"Ya. Kita harus mengeceknya," jawab Paman Felix.

Paman Felix meminum sisa minuman yang belum habis, kemudian berdiri dan pergi meninggalkan rumah makan tanpa mengucap sepatah katapun. Melihat Paman Felix yang sudah berjalan meninggalkan rumah makan, Paman Krugg segera berjalan mengikuti dan mengucapkan sampai jumpa padaku. Aku hanya duduk diam termenung. Memandang tamu lain yang datang makan dan minum dengan lahap.

"Bahkan masih ada yang menjual senjata dan meminum alkohol, huft. Sangat melelahkan. Kenapa sampah seperti mereka belum mati juga?" gumamku kesal.

Nyonya Airi memberitahukan kembali waktu istirahatku sudah selesai. Aku bekerja seperti biasanya. Mengelap meja sambil menahan rasa kesal karena mereka sudah tidak takut lagi pada Kage.

Waktu menunjukan jam tujuh malam.

"Kenapa dia belum datang?" gumamku.

Sebentar lagi jam delapan dan penduduk sudah harus tidur. Aku duduk diam sambil menunggu di rumah makan Airi sendirian.

Ting ting

Suara bel berbunyi. Aku menatap cepat siapa yang datang.

"Kau menungguku, ya?" ucap Kiarra santai.

"Ya. Cepat selesaikan."

"Jangan terburu-buru Hikari. Kage juga tidak akan membunuhmu, kau kan bersahabat denganya. Apa yang kau takutkan gadis polos yang sebenarnya sangat keji?"

"Keji? Haha."

"Ya," ucapnya sambil tersenyum culas, "berhentilah bersikap polos di depanku!" sambungnya dengan sedikit penekanan.

"Kau ingin mencari rekan kerja atau musuh?"

"Keduanya. Sudah lama aku tidak membunuh orang."

Aku mengabaikan perkataannya. Bertanya berapa upah yang akan dia berikan padaku.

"5.000 Gorudo. Lumayan bukan?" ucapnya dengan cengiran kecil.

"Ya, lebih besar dari gajiku. Kau ingin aku melakukan apa?"

"Cari tau tentang Yuta, anggota kepolisian di divisi elit."

"Kepolisian?"

"Ya. Kenapa? Menyerah?"

"Tidak. Apa yang harusku cari tahu?"

"Masa lalunya."

"Kenapa?"

"Karena aku harus memastikan, apakah dia orang yang telah membunuh orang tuaku atau bukan."

Kierra menunduk, walaupun tidak menangis, aku tahu kalau sekarang dia sedang sedih.

"Yap, itu saja tugasmu," ucapnya sambil berdiri.

"Itu saja? Baiklah."

"Jangan sampai ketahuan, gadis polos yang keji." Dia berucap sambil melambaikan tangannya dan berjalan keluar dari rumah makan.

Aku mengunci pintu rumah makan Airi, setelah pintu dan jendela tertutup rapat, aku berjalan pulang ke rumah. Memikirkan apa yang dikatakan Kiarra barusan.

Esoknya.

Seperti biasa aku ke rumah makan untuk kerja. Belum menjelang makan siang, rumah makan ini sudah sangat ramai. Aku, Nyonya Airi dan pekerja lainnya sampai kewalahan. Tidak ada istirahat sedikit pun, pesanan terus datang.

Hari ini tidak seperti biasanya, paman Krugg tidak datang untuk makan padahal sudah jam makan siang. Aku membatin, 'apakah begitu berat kasus yang kali ini? Padahal sudah ada jawabannya di tubuh korban.' Konsentrasiku sedikit terbagi akibat mengingat hal tadi malam.

'Hanya demi 5.000 Gorudo, kau pasti sudah gila Hikari!' batinku tak percaya.

'Aku akan memata-matai seorang polisi di divisi elit. Hikari, tidak mungkin kau bisa dengan mudah mendapat informasi, jangankan mendapat informasi, berbicara dengannya saja sepertinya mustahil. Tidak mungkin demi misi ini aku harus menjadi pelayan di kantor polisi,' batinku.

Aku memegang kepalaku, menampar pelan pipiku, mencoba untuk tidak memikirkan hal itu dan fokus pada pekerjaan yang sekarang. Dan hasilnya sama saja, otakku terus berpikir soal misi itu, aku menampar pipiku dengan sedikit lebih keras, hingga membuat pipiku yang semula putih pucat berubah agak kemerah-merahan. Selang beberapa menit misi itu selalu saja terpikir di benakku.

Aku pergi ke dapur, mendekatkan diri di tembok dan mencatuk kepalaku ke tembok. Keseimbanganku sedikit terganggu namun tetap saja aku terus memikirkan misi itu. Aku menyerah dengan keinginan pikiranku yang tertarik akan misi itu.

Ting ting

"Selamat datang, Tuan," sapaku sambil membungkuk.

"Hikari, pesanan seperti biasanya."

"Ah, baik Paman Krugg."

Paman Krugg yang biasanya selalu melukis senyum di wajahnya, berbeda dengan hari ini. Ekspresi Paman Krugg datar dan perasaan cemas yang begitu besar nampak jelas di wajahnya.

Aku membawa pesanan kepada Paman Krugg, duduk tepat di depan paman dan bertanya apa yang terjadi.

"Pesan di tubuh korban yang ditulis Kage di perut, tangan kanan dan kirinya Daichi, Hikari. Membuat Paman sangat khawatir," jawab Paman Krugg cemas.

"Aoi Daichi menggunakan baju tertutup? Dan apa pesannya?" tanyaku penasaran.

"Iya, baju tidur berlengan panjang dengan kain tebal."

Paman Krugg mengambil sesuatu di dalam kantung baju dinas yang ia gunakan, secarik kertas kecil yang dilipat-lipat, lalu Paman Krugg membacakan isi kertas itu padaku.

"Sepertinya penduduk di desa ini akan sangat berkurang. Mungkin hanya sepuluh orang yang akan hidup. Padahal sudahku beri peringatan, jangan membuat orang lain membencimu. Aku muak sekarang! Sepertinya mereka sudah tidak takut lagi padaku. Akan kutunjukkan kekejamanku, yang bahkan mendengarnya saja membuat kalian kesakitan. Tapi ... jika desa ini hidup harmonis seperti sebelum aku pergi dan sering membunuh. Akan ku ampuni. Kage kalian yang tercinta," ucap Paman Krugg sambil mengelap butir keringat yang keluar dari kulitnya.



T̶o̶ b̶e̶ c̶o̶n̶t̶i̶n̶u̶e̶



Vote:) gratis kok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro