4. Masalah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ketika hawa berubah menjadi dingin, dan saat bulu kudukmu meremang, itu berarti aku berada di dekatmu." -Kage.

*

Aku tertegun dan bertanya, "Lalu apa yang dikatakan Anna?"

"Anna? Dia bilang dia tidak melihat saat Kage mengukir pesannya di tubuh Daichi. Karena ketakutan jadi dia hanya berteriak dan menutup matanya."

"Reaksi yang sangat wajar."

"Kau benar, sepertinya Kage memiliki dua senjata, senjata yang Anna lihat hanyalah sabit besar dengan ujung tajam. Benar-benar sama tinggi dengannya. Dia menceritakan semua hal keji yang dilakukan Aoi Daichi kepada polisi. Dia juga bilang bahwa dia yang membayar Kage untuk membunuhnya."

"Begitu ya."

Aku diam sejenak, mencoba memikiran sesuatu.

"Apa yang akan dilakukan pihak polisi saat mengetahui salah satu pelakunya  membayar Kage untuk membunuh?"

Entah kenapa, mata Paman Krugg terbelalak. Dia tak menduga aku akan bertanya hal seperti itu. Jelas saja itu bukan suatu hal yang mengejutkan. Tapi ... antagonis yang dikenal di sini adalah Kage.

"Jika dia tidak meminta Kage untuk membunuh, maka Aoi Daichi masih bernapas sekarang." Aku menatap Paman Krugg heran. Memerhatikan matanya dengan teliti.

"Jadi ... siapa pembunuhnya?" Pertanyaan itu aku lontarkan dan membuat Paman Krugg terdiam.

Paman Krugg menundukkan wajahnya.

"Mereka berdua sama-sama pembunuh. Anna akan kami urus lebih lanjut."

"Itu bagus."

Aku melempar senyum. Paman Krugg masih saja khawatir.

"Hikari," panggil paman Krugg dengan nada sendu.

"Kenapa, Paman?"

"Apa ada orang yang kau benci?"

"Ya, ada. Tapi tenang saja, aku tidak akan menyuruh Kage, lagian aku tidak punya uang sebanyak itu untuk membayarnya."

"Baiklah."

Aku berdiri dan melanjutkan perkerjaanku. Tak jarang pula ada pengungjung yang bersikap semaunya. Mereka seperti tidak belajar tata krama. Akhir-akhir ini aku susah mengontrol emosi, entah apa sebabnya. Suara lonceng pintu terdengar kasar. Kami semua menatap dengan cepat ke arah pintu. Siapa yang sudah membuka pintu sekasar itu?

Para polisi masuk dan berjejer dengan rapi, meletakan tagan mereka di belakang, salah saatu dari mereka menggunakan topi dengan warna yang berbeda. Itu Paman Felix. Yah, dia orang yang sangat dihormati. Aku menatap mereka heran, ada hal apa sehingga membuat mereka datang ke sini.

Paman Felix berjalan pelan, pandangannya lurus, dan badannya tegak. Sangat berwibawa. Paman Felix datang menghampiriku. "Hikari, ikut saya sekarang ke kantor polisi." Suara berat yang menjadi ciri khasnya terdengar kasar di telingaku.

"Eh? Ada apa, Paman? Oh! Maksudku, kepala kepolisian." Aku menunduk malu.

"Ada yang ingin saya bicarakan.  Hal yang sangat penting, hal yang dapat mengungkapkan kebenaran pembunuh tak tahu malu itu."

Aku merasa terbebani, keringat dingin sedikit terlihat di wajahku. Aku tidak ingin masuk penjara. Apa Kierra memberitahukannya pada pihak polisi? Jika begitu, dia sudah melanggar janji!

Dengan perasaan tak tenang, aku berjalan mengikuti para polisi. Paman Felix tak tersenyum sedikitpun.

***

Ruangan remang-remang, membuatku gugup. Aku menelan ludah. bersiap mendengar apa yang diucapkan Paman Felix.

"Hikari, apa kau tahu kesalahanmu?"

"Tidak, Paman," jawabku sedikit ragu.

Aku menunduk, mataku tak kuat menatap wajah Paman Felix.

"Ada surat datang tadi pagi. Kau berteman dengan Kage?" Mata Paman Felix semakin tajam.

Aku menelan ludah. Kierra penipu itu telah membodohiku. Sial!

"Kenapa kau diam saja? Apa yang kukatakan tadi itu benar?"

"Tentu saja tidak, Paman. Mana mungkin Kage punya teman," jawabku cepat.

Aku menatap cemas. "Kalau boleh tahu, siapa yang mengirim surat itu, Paman?"

"Entahlah. Surat itu berwarna hitam, ditulis dengan tinta putih tebal, dan di akhir surat terdapat tanda σ," jelas Paman Felix.

Aku terheran. Kierra bukan tipe seperti itu. Apa yang mengirimkannya  juga seorang pembunuh bayaran?

"Tulisan itu sangat asing, tapi, tanda yang terletak di bagian bawah sangat tidak asing. Apa kau tahu, Hikari?"

Paman Felix menatapku heran, dia menyipitkan matanya. "Kenapa kau kaget?"

"Hikari, apa kau baik-baik saja?"

"Eh?"

"Kenapa kau terlihat sangat kaget?"

"Eng, tidak kok Paman."

"Jelas terlihat di wajahmu. Apa kau mengetahui sesuatu?"

"Tidak, Paman. Aku tidak mengetahui apa-apa."

Paman Felix menatapku lama.

"Baiklah." Ucapannya membuat hatiku lega.

Aku menarik napas panjang, menunggu pertanyaan apa lagi yang akan dilontarkan Paman Felix.

"Hikari ...." Paman Felix memanggilku sedih, aku tak tahu hal apa yang membuatnya seperti itu.

"Tak bisakah kau memaafkan kami?"

"He?" Aku terheran. "Apa maksudmu, Paman?"

"Ak-"

Ucapan Paman Felix terpotong akibat salah seorang petugas memanggilnya.

"Lapor, Kage mengirimkan surat."

"Kapan?"

"Baru saja, Pak," jawab petugas itu tegas.

Paman Felix melirikku, aku hanya duduk diam terheran.

"Apa isi suratnya?"

"Malam ini, dia akan berada di Senta town."

"Membunuh di pusat kota? Apa dia sedang bercanda?" Paman Felix terlihat kesal.

Butuh waktu tiga jam untuk sampai ke pusat kota. Aku belum pernah pergi ke kota, jadi aku tidak tahu bagaimana kepribadian orang-orang di sana.

"Dia akan bertemu dengan Masuku di sana. Duel?"

"Entahlah, Pak. Tapi, jika mereka berdua berduel, itu akan menguntungkan pihak kepolisian."

"Kalau mereka bekerja sama?" celetukku membuat ekspresi mereka kesal.

"Doakan saja hal itu tidak akan pernah terjadi." Paman Felix berucap datar.

Dia menatapku, kemudian berdiri. "Kau bisa pulang sekarang."

Aku mengangguk, berjalan pelan ke luar. Di perjalanan aku terpikir, apa yang akan dikatakan Paman Felix tadi?



T̶o̶ b̶e̶ c̶o̶n̶t̶i̶n̶u̶e̶





Vote(: gratis kok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro