Part 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayumi tersenyum puas membaca artikel di sebuah portal gaya hidup. Tajuk utamanya jelas. Pertunangan Ayumi Kitajima dengan sang kekasih dari Zamrud Khatulistiwa. Dilengkapi foto-foto dirinya bersama Jeremy yang - tentu saja - sudah melalui proses editing tingkat tinggi.

“Kamu serius melakukan ini, Ayumi-chan?” Nozomi tertegun membaca artikel lain tentang pertunangan dua temannya itu.

“Tentu saja. Kenapa tidak?”

Nozomi tercekat, “Kau tahu ... Jeremy-kun pasti tidak suka hal ini. Bukankah tempo hari dia sangat gamblang menolak dirimu?”

Ayumi mengedikkan bahu acuh tak acuh, “Ini cara tercepat mendapatkan Jeremy-kun. Dan Nozomi-kun ....” Gadis itu menatap serius lawan bicaranya, “... Aku bukan orang yang gampang menyerah.”

“Tapi ini malah akan menimbulkan masalah baru, Ayumi-chan,” nasehat Nozomi, “Bukankah tindakanmu kali ini malah berpotensi membuat Jeremy-kun membencimu?”

Ayumi terdiam. Ucapan rekan sekelasnya itu ada benarnya. Sejak pertemuan terakhir di stasiun tempo hari, Jeremy terus menghindarinya. Bahkan sudah tiga hari Ayumi tak bisa menemukan keberadaan Jeremy. Lelaki itu seolah lenyap ditelan bumi. Dia sudah mencari hingga apato lelaki itu, tapi menurut petugas keamanan Jeremy sudah beberapa hari tak pulang.

Sementara Otou-san mulai menuntut segera diadakan pertunangan karena kondisi kesehatan yang makin memburuk. Penyakit jantungnya belakangan makin sering kambuh. Ayumi terus memutar otak. Bagaimana cara memancing Jeremy keluar sekaligus mendapatkan lelaki itu.

Cukup mudah baginya merancang skenario penjebakan. Dia terpaksa berbohong pada ayahnya dan mengadakan wawancara sepihak dengan media massa. Mengumumkan pertunangannya dengan Jeremy melalui tanpa meminta persetujuan lelaki itu.

Hanya Nozomi yang menentang tindakan gadis itu. Dia berkali-kali menemani Ayumi mencari Jeremy dan tahu persis bagaimana cinta gadis itu pada lelaki asal Indonesia itu. Namun, sebesar apapun cinta Ayumi pada Jeremy, dia tak bisa membenarkan ide penjebakan itu.

"Pikirkan kembali keputusan untuk mengumumkan pertunangan ini, Ayumi-chan.” Nozomi masih membujuk.

Hanya gelengan kepala yang didapat Nozomi. Ayumi malah sengaja memancing pertanyaan retoris, “Lalu aku harus bagaimana, Nozomi-kun?”

"Lepaskan dia, beritahu yang sebenarnya pada orang tuamu."

"Aku tidak bisa!" Ayumi menolak, "Aku sangat mencintainya. Bagaimana aku bisa merelakan dia pergi jika kesempatan untuk mendapatkannya ada di depan mataku?"

Nozomi tertegun. Percakapan ini sia-sia saja. Ayumi tak akan menyerah pada Jeremy.

"Jangan serakah!" Nozomi berkata lirih.

Ayumi menoleh cepat, "Kau tak tahu bagaimana perasaanku. Kau tak..."

"Aku tahu!" potong Nozomi cepat, "Aku tahu bagaimana rasanya mencintai orang yang tidak balas mencintaiku. Aku tahu rasanya cinta yang bertepuk sebelah tangan," ujar Nozomi tenang.

"Kenapa kau tidak mengejarnya?" Ayumi protes.

"Karena bagiku kebahagiaannya lebih penting dibanding perasaanku." Nozomi tersenyum tipis. Dia memandang langit yang kelabu. Udara sudah cukup dingin. Sesuai dengan suasana hatinya yang nyaris beku karena ulah Ayumi.

"Kau bodoh!" cela Ayumi.

"Mungkin." Lelaki itu setuju, "Tapi saat aku merelakan dia mencintai orang lain, hatiku justru damai. Karena aku yakin, dia bisa berbahagia dengan lelaki pilihannya."

"Bakka!" (1) Ayumi mencibir.

Nozomi tertawa. Dia menggenggam lembut jemari Ayumi. Anehnya, gadis itu tak menolak sama sekali genggaman Nozomi.

"Kau tahu, Ayumi-chan, bahwa kebahagiaan itu menular? Kita memberikan kebahagiaan pada orang lain, skala kebahagiaan kita justru akan makin bertambah, bukan berkurang."

"Tapi kau menderita," sangkal Ayumi.

Nozomi tak menjawab. Gadis itu tak akan mengerti penjelasannya selama egonya masih terlalu tinggi untuk melepaskan Jeremy.

“Ayo kembali ke kelas! Mungkin Jeremy-kun sudah ada di sana.”

Nozomi bangkit. Genggaman tangan mereka terlepas. Lelaki itu termangu. Ada yang terasa hilang dari tangannya. Tapi dia tak boleh serakah. Hati Ayumi masih berpaling ke orang lain. Dia harus bersabar hingga gadis itu sudi membuka diri untuknya.

Jeremy frustasi. Berita pertunangannya menyebar cepat bak air bah. Semua orang di kelas memberinya selamat lewat grup percakapan karena dia masih enggan muncul di kampus. Hingga Nozomi menemukannya dan menyeretnya ke rooftop.

“Kupikir itu hanya gertakan saja,” gumam Jeremy jengkel, “Aku bertemu orang tuanya dua jam penuh. Dan selama itu Ayumi selalu berhasil mencegahku mengatakan yang sebenarnya dengan berbagai alasan.”

"Aku tak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan pada Ayumi," keluh Jeremy, "Dia sangat keras kepala. Tak kusangka dia sampai senekat itu. Kami akan menikah tahun depan. Dasar gadis sinting!”

Dua lelaki itu menghembuskan napas panjang. Nozomi turut berpikir keras bagaimana membantu sang sahabat. Dia juga merasa tindakan Ayumi sudah kelewatan. Mengakui berpacaran masih wajar, tapi jika sudah memberi kebohongan publik tentang pernikahan itu sudah tak bisa ditoleransi.

"Sonya tak boleh tahu hal ini,” gumam Jeremy khawatir. Dia tiba-tiba berdiri, “Dia tak boleh tahu dari orang lain. Aku harus menjelaskan padanya.”

Jeremy melesat turun rooftop. Nozomi berteriak heran, “Hei, mau ke mana?”

“Ke tempat Sonya!”

Sementara di tempat lain, Sonya tengah terpaku membaca artikel sebuah majalah. Wajah cantiknya perlahan memucat. Nanar matanya menatap sebaris nama yang tertera di artikel.

"Ayumi Kitajima dengan ... Jeremy Leonard Arthawijaya?" Sonya mengeja nama itu sangat perlahan.

Di sampingnya Clary mengelus-elus lengan Sonya memberikan dukungan. Dia yang telah memberikan majalah itu pada sahabatnya karena sangat terkejut dengan tajuk utama artikel.

Clary pikir hubungan Sonya dan Jeremy sedang renggang. Apalagi sekarang Sonya tampak dekat dengan Akira Matsumoto, dosen muda yang sedang naik daun di Waseda Gakuen. Karena itu, saat berita pertunangan terbit Clary tanpa pikir panjang mengabarkan pada Sonya.

Namun, Clary mendadak ragu jika hubungan sahabatnya itu sedang bermasalah. Reaksi Sonya sekarang yang hampir seperti orang sekarat meyakinkan wanita itu bahwa sebenarnya Sonya baik-baik saja dengan Jeremy. Lantas, apa maksud berita itu?

"Sonya, mau ke mana, kau?" Clary kaget melihat Sonya menyambar tasnya.

"Ke tempat Jeremy!"

"Tapi, kuliah kita..."

"Aku bolos!"

Clary bengong melihat Sonya terbirit-birit keluar kelas. Jack yang baru datang melirik kepergian Sonya dengan ekspresi bingung.

"Kenapa dia?" tanya Jack.

Clary memberikan majalah yang berisi artikel pertunangan Ayumi Kitajima dan Jeremy Leonard Arthawijaya.

"Astaga, ini Jeremy kekasih Sonya, kan?"

Meski wajah lelaki itu diburamkan, Jack tahu persis itu adalah potret Jeremy yang dikenalnya selama ini. Clary mengangguk sedih .

"Kasihan Sonya," komentar Jack prihatin.

Sonya berjalan gontai menaiki tangga menuju apatonya. Dia sangat kelelahan. Tubuhnya sudah lemas tak bertenaga, apalagi sejak pagi belum secuil pun makanan masuk perut. Seharian dia mencari Jeremy di kampus. Tapi lelaki itu tak tampak batang hidungnya di manapun. Gawainya pun tak aktif. Bahkan dia tak bisa masuk ke apato Jeremy karena blokade wartawan di depan gedung.

"Aku merindukanmu ...,” bisiknya sendu.

Sonya keluar lift dengan gontai. Pikirannya begitu terpusat pada Jeremy hingga tak menyadari sesosok tubuh duduk meringkuk depan pintu apato. Jantung Sonya berdegup kencang. Bagai keajaiban kakinya yang serasa lemas bak agar-agar, mendadak bertenaga dan langsung berderap mendekati sosok itu. Napasnya tersengal-sengal. Seulas senyum bahagia tersungging di wajah cantiknya. Dia menarik sosok lelaki itu berdiri dan terisak di dadanya. Jiwa Sonya terasa sangat lelah.

"Ssst ... jangan menangis!” Jeremy mengelus kepala Sonya penuh kasih, "Aku mencarimu ke mana-mana seharian ini."

Sonya mendongak. Matanya berkilau oleh air mata membuat Jeremy tak tega. Dia mengecup sepasang mata itu, menenteramkan hati sang kekasih.

"Aku juga mencarimu," bisik Sonya.

Mata Jeremy membulat. Tawa renyah lolos dari mulut, "Sepertinya kita saling mencari dan bersimpangan jalan."

Sonya tersenyum. Dia membenamkan diri lagi pada dada bidang Jeremy, "Jangan pergi!"

"Tidak akan!"

Lelaki itu mencubit dagu Sonya, “Mana kuncimu? Malam ini aku tidur tempatmu. Apatoku penuh orang, jadi tak nyaman.”

“Kau bisa jadi artis dadakan,” sindir wanita itu. Dia mulai senewen. Sedih, marah, cemburu campuraduk di hati.

Yang disindir tertawa keras. Lega karena prospek kekasihnya mau mendengar penjelasannya. Tangannya tengadah, “Kunci?”

Sonya melempar kunci apato yang ditangkap Jeremy sigap, “Tolong belikan aku pisau cukur, ya?”

“Dasar tak modal!” sungut Sonya. Tapi tak urung dia turun juga ke konbini membeli perlengkapan menginap.

Malam itu mereka duduk berdua di atas ranjang. Berpelukan menatap pemandangan malam hari Shinjuku. Gemerlap hujan cahaya sedikit meringankan dua hati yang tengah dilanda gelisah.

“Aku tak akan pernah bertunangan dengan Ayumi,” jelas Jeremy, “Artikel di koran dan majalah, itu semua ulah konyol Ayumi. Dia public figure, pergerakan dia akan selalu mendapat sorotan orang.”

Sonya menghela napas panjang? Jemarinya bertautan dengan jemari Jeremy. Wanita itu menyandarkan kepala ke bahu sang kekasih, “Kau lebih lama tinggal di sini daripada aku. Mungkin kalian bahkan pernah berkencan sebelum aku datang. Mungkin juga aku adalah orang ketiga dalam hubungan kalian.”

“Astaga Sayang, itu tidak benar!” sentak Jeremy kesal, “Aku sama sekali tak ada hubungan apapun dengan gadis itu. Kami hanya berteman. Tidak lebih.”

“Aku percaya,” cetus Sonya. Menikmati wajah tegang kekasihnya. Dia tak tak bisa menahan tawa, “Kena kau, Jer!”

“Sialan! Itu nggak lucu, tahu!” kesal Jeremy.

Sonya menahan tawa, “Ceritakan tentang Ayumi.”

Lalu meluncurlah cerita dari mulut Jeremy. Tentang hubungannya dengan Ayumi, kepergian ke Sapporo yang berbuah salah paham, dan kegigihan Ayumi yang terus mendekatinya. Sonya mendengarkan dalam diam seluruh cerita Jeremy.

“Dia gadis yang aneh sekali ...,” gumam Sonya, “... Obsesinya padamu sudah tak sehat.”

“Aku tahu.”

“Kau harus menghindarinya.”

“Oke!”

“Jadi, sekarang semua sudah jelas. Kita bisa pikirkan solusi untuk masalahmu ini.”

"Menikahlah denganku."

Sonya mencubit bibir. Itu sebuah gagasan yang tak buruk. Pernikahan dengan wanita lain adalah solusi instan untuk menghentikan rencana Ayumi. Tapi sejak kapan sebuah gagasan berubah jadi kenyataan?

Tubuh Sonya kaku saat Jeremy tiba-tiba meraih tangannya dan menyelipkan sebentuk cincin berlian yang sangat cantik. Wanita itu berpaling tak percaya. Bibir Jeremy melengkung penuh kepuasan.

“Lusa kita menikah!”

“APA?!”

“Elo udah gila ya, Jer?” Sonya menggetok kepala kekasihnya. Namun, matanya terus tertuju ke kilau berlian di jari manis.

“Kok, balik elo-gue lagi, Sayang?”

“Biarin! Elo ketularan sinting si Ayumi! Nikah besok? Gila elo, Jer!” Sonya bersungut-sungut.

Jeremy terbahak. Lengannya melingkari tubuh ramping Sonya, menariknya ke pelukan. Dikecupnya dahi wanita itu, “Aku nggak gila. Sudah lama aku merencanakan ini. Sebenarnya aku ingin melamarmu dengan pantas. Dinner mewah, booking pemain biola, kasih cincin yang gede, berlutut di hadapan selusin orang, kalau bisa sih, lokasinya di Menara Eiffel tapi mahal biayanya, Sayang.”

“Lebay!” Sonya tertawa. Disusutnya air mata yang menetes. Jempolnya mengusap cincin yang melingkari jari manis, “Ini sudah cukup banget, Jer.”

“Berarti kau terima lamaranku?” Jeremy harap-harap cemas.

Sonya melempar pandangan, “Bagaimana dengan Ayumi?”

“Dia harus terima kenyataan. Aku dan dia tak bisa bersatu.”

“Terus kita bisa bersatu, gitu?” Sonya mengerling dengan senyum yang tak lepas dari bibir.

“SONYA?!” Jeremy gemas.

“Iya Jer Sayang?” Wanita itu menggoda, “Kita menikah tapi nggak lusa juga kali.”

“Pokoknya harus lusa!”

“Jer ... Ih ... Seriusan dikit, dong! Mana mungkin nyiapin pernikahan cuma dua hari? Ijin pernikahannya gimana? Terus orang tua kita gimana? Kita belum kasih kabar ke mereka, loh?” Sonya berusaha jadi orang yang waras.

Jeremy tersenyum tipis. Hanya itu jawabannya untuk seluruh pertanyaan Sonya.

Wartawan masih terus mengepung apato Jeremy. Di kampus pun Ayumi juga tak tenang belajar karena sang tunangan palsu masih belum menampakkan batang hidung.

Tak hanya Jeremy saja yang menghilang. Sonya juga tak terlihat sama sekali di kampus maupun di apato. Dua orang itu menghilang dari peredaran Waseda secara bersamaan. Selain Jack dan Clary, hanya Nozomi yang tahu di mana keberadaan mereka. Karena saat itu, Nozomi berada tepat seruangan dengan Jeremy.

“Kau gila!” Nozomi geleng-geleng kepala. Tak percaya pada undangan yang dikirim Jeremy lewat surel. Dipelototinya sang sahabat yang tengah mematut diri depan cermin.

Seulas senyum terpatri di wajah Jeremy. Dia merapikan kemeja putih dan memasang manset lengan. Di sebelahnya Theo dan Aryan turut membantu dengan menyiapkan jas dan boutonniere.

“Dia gila, bodoh, dan sinting,” komentar Theo.

Pagi itu Jeremy mengundang Nozomi datang ke pernikahannya. Nozomi, yang masih terkaget-kaget dengan undangan Jeremy, makin dibuat kaget saat melihat persiapan pernikahan yang sudah matang. Kapan Jeremy menyiapkan semuanya?

Seolah mengerti kebingungan Nozomi, lelaki tampan itu menjelaskan, “Aku pernah menghadiri pameran pernikahan dan entah bagaimana aku seolah mendapat ilham untuk ....”

“Ilham?” sindir Aryan.

“Sstt ... Diam, kau!” perintah Jeremy yang terganggu dengan interupsi sahabatnya, “Yang membuat aku menyimpan nomor salah satu vendor wedding organizer. Mereka memang mengiklankan mampu menyiapkan pesta pernikahan dalam tempo yang sangat singkat.”

“Tapi tak sesingkat ini juga kali,” omel Theo.

Jeremy memasang wajah malaikat. Jangankan Theo, Shizuka sang perencana pernikahan saja sampai terbengong lama sebelum memastikan telinganya tak salah dengar. Perusahaannya memang piawai mengadakan pesta pernikahan dalam waktu singkat. Tapi menyiapkan pesta hanya dalam waktu dua hari, dengan sembilan puluh persen tamu masih berada di luar negeri baru kali itu dilakukan Shizuka. Imbasnya tentu pada biaya khusus yang Shizuka bebankan ke tagihan Jeremy.

Hasilnya tak mengecewakan. Kedua orang tua mempelai bisa segera diterbangkan ke Tokyo. Juga empat sahabat mereka sekaligus segelintir kolega Jeremy dan Sonya yang dipilih sangat ketat. Satu-satunya relasi Jeremy di Jepang yang lolos seleksi acara pernikahan itu hanya Nozomi. Sementara untuk rekan pengantin wanita cukup Jack dan Clary.

Saat Theo dan Aryan sedang lengah, Nozomi berbisik pelan ke telinga Jeremy, “Jadi ini rencanamu menghentikan Ayumi?”

Lelaki itu mengedikkan bahu, “Asal kau tahu, dia tak akan semudah itu menyerah. Tapi, untuk pertanyaanmu aku menjawab ya.”

Nozomi menghela napas. Membayangkan akan terjadi perang macam apa antara Ayumi dan Sonya dalam memperebutkan Jeremy. Lelaki itu merinding ngeri. Pasti skala kerusakan mentalnya akan luar biasa.


Pukul sembilan pagi itu Sonya resmi menjadi Nyonya Arthawijaya. Menyandang status baru membuat wanita itu terus tersenyum tanpa henti. Euforia kebahagiaan menyelimuti hingga menjelang waktu resepsi di sore hari. Shizuka, sang perencana pernikahan, sudah mempersiapkan restoran kecil nan hangat untuk menjamu para tamu undangan.

"Cieeee ... Yang lagi nervous." Nadine dan Renata kompak meledek Sonya.

Wajah Sonya bersemu memerah, "Apaan, sih, kalian?" Dia mengibaskan tangan dengan gerakan seolah mengusir. Diamatinya bayangan di cermin. Memastikan gaun resepsi masih terlihat sempurna.

"Gue beneran nggak nyangka Jer akhirnya berani nikahin elo," desah Nadine.

"Iya, gue juga kaget banget saat Theo bilang kalian bakal nikah." Renata setuju, “Apalagi dadakan banget acaranya. Gila ya, tuh, cowok. Nggak nyangka ternyata udah prepare nikahin elo sampai sebegininya.”

Sonya dialiri gelombang kebahagiaan. Pujian dari sahabatnya sangat berarti.

"Gue seneng banget dengar elo dan Jer akhirnya menikah. Awalnya gue pesimis Jer bakal jadian sama elo, eh, sekarang dia malah jadi suami elo." Nadine cekikikan.

Sonya meninju pelan lengan Nadine, "Apaan maksud elo pesimis gitu?"

"Ya iyalah gimana gue nggak pesimis. Jer pasif banget ke elo, padahal kita semua tahu banget kalo dia sebenarnya jatuh cinta setengah mati sama elo," imbuh Nadine.

"Emang udah takdir elo, Son, malah bisa dapetin Jer setelah meninggalkan Indonesia." Renata nyengir lebar.

Sonya mengibaskan rambut. Dia melempar pandang pada dua sahabat yang hari itu menjadi pendamping pengantin. Mereka benar-benar mendukungnya dengan total. Bahkan Sonya yakin, namanya dan nama Jeremy selalu termaktub dalam doa-doa mereka.

"Ya, gue juga nggak percaya. Gue bahkan sudah nyerah padanya. Tapi di sini, gue malah bisa bersama dengan Jer." Sonya tersenyum, "Terima kasih buat elo berdua, sudah nemenin dan bantu gue."

“Udahan dong, mellow-nya. Maskara gue bisa luntur nih, kena air mata,” protes Renata.

“Yuk, keluar? Masak pengantin pria dibiarin sendiri doang di meja.” Nadine mencolek lengan Sonya yang malam itu tertutup gaun sutra panjang.

Sonya tertawa. Bertiga mereka keluar dari ruang ganti. Shizuka segera memberi komando lewat bluetooth headset-nya setelah memastikan tiga wanita cantik itu siap memasuki ruang resepsi.

“Anda sangat cantik, Nyonya,” puji Shizuka. Membuat Sonya tersipu malu. Wanita itu merapikan rambut Sonya yang dihiasi jepit mutiara cantik, hadiah khusus pemberian Nadine. Serasi dipasangkan dengan gaun putihnya yang tertutup hingga mata kaki.

“Sudah siap berpesta, Ladies?” Shizuka mengedipkan mata.

Sonya, Nadine, dan Renata saling bertukar pandang. Untuk kemudian melempar senyum, “Tentu saja, Shizuka. Beri kami pesta terhebat malam ini!”

Malam itu terlalu indah untuk dilupakan. Shizuka membuktikan bahwa dia adalah perancang pesta yang handal. Sengaja memilih restoran yang kecil untuk menciptakan aura keintiman dan kehangatan, Shizuka dan krunya berhasil menyulap dekorasi tradisional menjadi tema rustic nan indah. Warna cokelat, merah, dan oranye bertebaran di mana-mana. Serasi dengan suasana musim gugur yang sejuk. Bahkan Shizuka berhasil membawa panggung dansa mini untuk kedua mempelai.

Dan itulah yang dilakukan oleh Jeremy dan Sonya. Mereka saling berpelukan, menari pelan mengikuti irama lagu. Mata yang saling bertatapan menyiratkan berjuta cinta yang tak bisa disembunyikan. Kebahagiaan seolah memberkati mereka. Canda dan tawa, berbaur harmonis dengan obrolan ringan yang mengalir santai. Hingga waktu menunjukkan tengah malam, baru satu per satu tamu meninggalkan restoran.

Tinggal Jeremy dan Sonya berdua menanti taksi jemputan. Aryan sudah menawarkan mobil untuk mengantar mereka hingga apato tapi pasangan itu tegas menolak. Mereka ingin melakukan kencan yang membumi pasca menikah tanpa harus direpotkan dengan acara menyetir dan mencari tempat parkir.

“Aku tak percaya hari ini berjalan sangat lancar,” gumam Sonya. Dia menggosok-gosok tangan mengusir hawa dingin. Mantel bulu tebal yang dikenakannya masih belum cukup memberi kehangatan.

“Dingin?” tanya Jeremy.

Sonya mengangguk. Jeremy tiba-tiba menariknya dan membenamkan tubuh itu ke pelukan. Menyelimuti istrinya dengan mantel yang dikenakannya. Pipi wanita itu memerah malu. Tapi lengannya dengan cepat melingkari pinggang berotot Jeremy.

“Enak?”

Sonya mengangguk tanpa suara. Jeremy yang sekepala lebih tinggi menyandarkan dagu di puncak kepala istrinya. Mereka berpelukan seperti itu beberapa saat sebelum getaran gawai di saku Jeremy mengganggu.

“Ada yang telepon, Jer,” kata Sonya.

“Biarkan saja!” Jeremy masih asyik memeluk istri barunya.

Namun gawai Jeremy sama keras kepalanya dengan sang pemilik. Benda kecil itu terus bergetar tanpa henti hingga membuat Sonya risih.

"Jer, angkat dulu, siapa tahu penting?" Sonya mendongak.

Jeremy mengumpat kesal. Sonya tertawa geli. Cepat-cepat lelaki itu mengeluarkan gawainya.

"Halo?!" Tanpa melihat caller ID sang penelepon, Jeremy langsung mengangkat panggilan.

Wajah Jeremy langsung berubah. Kernyitan dalam muncul di dahinya. Bibirnya mengatup rapat. Bahkan otot rahangnya mulai berkedut menandakan lelaki itu sedang dalam suasana hati kesal parah.

"Jangan pernah ke sana!" desis Jeremy pada seseorang yang menelepon.

Sonya memperhatikan ekspresi muka Jeremy yang berubah suram. Ditunggunya lelaki itu selesai menelepon sebelum bertanya, "Siapa, Sayang?"

"Ayumi," jawabnya pendek.

Bola mata Sonya membesar. Ayumi? Mengapa dia menelepon Jeremy?

Seolah mengerti pertanyaan yang ada di benak Sonya, Jeremy langsung menjawab lugas.

"Ayumi dan orang tuanya sedang dalam perjalanan ke apato-ku. Mereka ingin bertemu denganku."

Sonya membeku. Tangannya tanpa sadar mencengkeram lengan Jeremy kuat-kuat. Sudah waktunya untuk mengungkap kebenaran yang tak akan bisa disangkal Ayumi.

-----------------------------------------------------------

(1) Bakka adalah salah satu kata umpatan dalam Bahasa Jepang.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro