Part 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Deru suara hujan mengusik ketenangan Sonya. Air seolah ditumpahkan dari langit membanjiri dataran Depok. Wanita itu melirik kembali arloji dan menghela napas. Hampir dua jam kesabarannya benar-benar diuji.

Di puncak kekesalannya, netra cokelat gelap itu akhirnya menemukan bayangan tiga sosok berlari kencang menerobos derasnya hujan. Melihat mereka yang tergopoh-gopoh melintasi area parkir, tak urung bibir Sonya melengkung senyum.

"Sonya ... Sorry, kita telat banget, ya?" Renata dan Nadine berseru keras dengan kompak begitu mereka tiba di hadapan Sonya.

Yang dilapori menahan tawa geli. Kekesalannya luruh seketika melihat rambut yang lembab dan beberapa bagian baju yang basah. Pengorbanan sahabat-sahabatnya menerjang hujan patut diapresiasi.

"Molor dua jam bukan telat lagi namanya. Tapi sudah ganti jam,” sindir Sonya.

"Sorry .... Kita tadi nungguin Nadine, nih. Lama banget turun dari apartemen," adu Renata.

Nadine, sang tersangka jam karet, mendelik kesal. Gadis berambut tanggung itu balas melotot jengkel. Sonya mendesah panjang. Dalam hati merutuki nasibnya yang sial. Karma macam apa yang diterimanya hingga harus memiliki sahabat semenyebalkan mereka itu? Sudah tahu dirinya paling anti jam karet, tapi Nadine dan Renata  terus menguji kesabarannya.  
                                             
"Udah ... Udah ... Kalian pesan makanan sana. Gue kelaparan, nih." Sonya mengalah. Percuma marah pada mereka. Sadar nggak energi habis iya.

"Lah, elo belum pesen makan, Son?" Theo keheranan.

"Belum, gue kan, setia kawan sama elo bertiga." Sonya menjawab. Dia melambai pada pelayan meminta daftar menu.

"Si Aryan mana, Nad?" tanya Sonya di tengah aktivitasnya memilih menu makan siang. Aryan adalah suami Nadine yang juga koleganya. Mereka baru saja menikah dan terhitung masih pengantin baru.

"Aryan ada meeting sama supplier keramik di Bekasi. Dia nitip salam ke elo, minta maaf nggak bisa ikut datang ke sini."

Sonya mengangguk. Dia memesan menu yang sama untuk mereka berempat demi efisiensi waktu. Sembari menunggu pesanan datang, Nadine mengamati interior kafe tempat pertemuan mereka hari itu. Tempat nongkrong berkonsep kafe buku itu terletak tak jauh dari Universitas Indonesia tempat Sonya mengajar. Puluhan judul buku tertata rapi di rak-rak yang menutup hampir seluruh sisi dinding. Para pengunjung bebas membaca sambil menyantap hidangan favorit. Sungguh suasana itu membuat Nadine terintimidasi.

"Elo kenapa, Nad?" Sonya heran melihat Nadine yang ceriwis mendadak jadi pendiam.

"Kenapa elo ngajak ketemuan di sini, sih?" bisik Nadine.

"Kenapa memangnya?"

"Gue alergi buku, tahu!"

"Hahaha ... ini anak masih belum berubah juga. Woi, elo udah jadi istri CEO jenius, Nad. Upgrade dikit dong, isi otak elo." Theo terbahak keras. Mengagetkan tiga makhluk cantik yang tengah bengong.

"Hei ... Memang gue keliatan segoblok itu apa?" Nadine protes.

"Emang iya elo keliatan goblok,” ledek Theo, “Aryan liat apa sih, dari elo sampai jatuh cinta kayak gitu?"

Sedetik kemudian jerit kesakitan keluar dari bibir lelaki itu. Seiring tangan Nadine yang menjitak kepalanya keras-keras.

"Aduh, Nad, tangan elo makin sadis gitu sama gue? Sakit, tahu!"

"Biarin sakit, biar elo juga ikut goblok kayak gue karena kepala elo gue getok."

Sonya tersenyum simpul melihat keakraban mereka. Keakraban yang sebentar lagi akan ditinggalkannya. Wanita itu menghela napas. Keharuan membanjiri hatinya.

Guys, ada yang mau gue omongin sama kalian bertiga,” kata Sonya tak lama setelah pesanan mereka datang.

“Kayaknya serius, nih?” komentar Renata.

Sonya mengangguk, “Gue lolos tes dosen tetap fakultas dan harus kuliah ke Jepang sebagai salah satu syaratnya.”

Tiga mulut yang sedang menyesap minuman sontak menyemburkan isinya. Sonya menatap jijik pada mereka bertiga.

“Elo beneran jadi ke Jepang?”

“Berapa lama?”

“Di kampus mana, Son?”

Tiga pertanyaan bersamaan. Sonya tersenyum geli. Trio bersahabat yang sudah jadi pendukung terbesarnya saat mendaftar sebagai dosen tetap kampus. Serangkaian tes selama tiga minggu, tak seharipun mereka meninggalkannya. Jadi sudah sepantasnya mereka mendapat kehormatan menjadi pihak pertama yang mendengar kabar kelulusan tesnya.

“Tanggal 18 gue berangkat. Rencana kuliah selama enam bulan di sana. Dan ...,” Sonya menarik napas panjang. Sedikit gugup menyampaikan tempat kuliahnya, “... Gue akan pergi ke Waseda.”

Hening. Tiga orang itu melongo bersamaan. Theo yang memecah keheningan pertama kali, “Waseda bukannya universitas tempat Jer kuliah?”

Sonya mengangguk. Tangannya gemetar mengaduk minuman.

“Tanggal 18 bukannya kurang dari seminggu lagi?” Nadine menghitung.

Sekali lagi Sonya mengangguk.

Theo berkata hati-hati, "Berarti elo bakal satu kampus sama Jer?"

"Sepertinya elo memang ditakdirkan berjodoh sama dia, deh," Nadine nyeletuk yang langsung mendapat pelototan dua sahabatnya.

"Apa? Kenapa? Gue ngomong yang sebenarnya, kan? Mau sekeras apapun Sonya menghindar kalau takdir bilang dia harus sama Jer, dia nggak bisa ngelak, kan? Ini saja sudah jadi bukti nyata. Tuhan malah kasih waktu enam bulan penuh Sonya sama Jer ketemuan tiap hari. Setelah mereka saling diam-diaman beberapa minggu ini.”

Renata dan Theo mengamini ucapan Nadine. Mereka bertiga adalah saksi hidup bagaimana perasaan Sonya berkembang pesat pada Jeremy.

"Elo sudah bilang ke Jer soal ini?" tanya Renata hati-hati.

Sonya menggeleng, "Belum. Baru kalian bertiga yang tahu. Tadi dari kampus gue langsung ke sini, kan?"

“Elo bakal beritahu dia?"

Sonya mengedikkan bahu, "Gue belum tahu. Gue masih bingung dengan perasaan gue sendiri."

Mereka berempat terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Elo bakal tinggal di mana selama di Jepang?"

"Gue nggak ingat alamatnya. Tapi nggak jauh-jauh dari Waseda lah.”

"Apa yang perlu kita bantu untuk persiapan elo ke Jepang, Son?" Nadine menawarkan bantuan.

Kali ini Sonya menjawab dengan seulas senyum manis, "Temenin gue belanja, yuk? Perbekalan gue masih kurang banyak, nih."

Malam sudah larut tapi Sonya tak mampu memejamkan mata. Tangannya menggenggam gawai. Layarnya menampilkan sederet pesan yang siap dikirim pada seseorang. Subyek yang telah menjadi sahabat, mahasiswa, dan lelaki yang perlahan mengisi ruang di hatinya.

Jeremy Leonard Arthawijaya. Sejak kepergian lelaki itu ke Jepang, komunikasi mereka jadi tersendat, bahkan nyaris putus. Sonya dengan sikap pemalunya dan Jeremy dengan sikap pendiamnya membuat hubungan persahabatan mereka tak bisa melewati batas.

Sekali lagi dibacanya pesan surel yang terpampang di layar gawai. Sebuah pemberitahuan bahwa dia akan bertolak ke Jepang siap dikirim ke alamat surel Jeremy. Sonya menimbang cukup lama sebelum akhirnya mengirim surel itu. Hatinya berdebar menunggu notifikasi.

Apa kabar, Jer? Long time no see. Minggu depan gue bakal nyusul elo ke Jepang. Gue harap kita bisa ketemu di sana.

Pesan terkirim!

Bandara Soekarno Hatta
18.00 waktu Jakarta

Enam orang berdiri mengelilingi Sonya di gerbang keberangkatan. Wanita itu sudah rapi dengan setelan celana panjang kulit dan mantel hangat dari wol. Seluruh koper sudah masuk bagasi. Yang tertinggal hanya tas kecil yang akan ditenteng Sonya ke kabin pesawat.

Para pengantarnya lumayan banyak. Ada Papa Doni dan Mama Amelia, orang tua Jeremy yang sudah sangat akrab dengannya. Mereka datang menggantikan Ayah dan Bunda Sonya yang tak bisa meninggalkan Surabaya. Juga ada Aryan dan Nadine, serta Theo dan Renata. Sonya memeluk mereka satu per satu.

"Jaga diri baik-baik di sana ya, Nak?" pinta Mama Amelia.

Sonya mengangguk. Papa Doni memberikan wejangan singkat seputar perkuliahan di Jepang. Aryan dan Nadine berjanji akan mengunjungi Sonya tahun baru nanti. Renata dan Theo juga menjanjikan hal yang sama. Mereka berpelukan sekali lagi sebelum Sonya masuk ke ruang tunggu bandara.

Akomodasi yang didapatnya dari pihak kampus adalah penerbangan kelas ekonomi. Tapi Aryan dengan murah hati telah meng-upgrade kursinya ke kelas bisnis. Sonya merasa sangat beruntung telah berkenalan dengan milyuner sebaik hati Aryan.

Sementara Nadine juga tak kalah baiknya dengan membuatkan camilan sebagai teman penerbangan. Sejak dulu Sonya sudah curiga jika bakat gadis itu sebenarnya di bidang kuliner, bukan di bidang politik sesuai jurusan kuliahnya. Nadine selalu sukses memanjakan lidahnya dengan aneka menu masakan yang luar biasa lezat.

Di kursi ruang tunggu, Sonya membuka kotak bekal pemberian Nadine. Senyumnya terkembang demi melihat tumpukan chicken fajitas sarat lemak.

"Ya ampun Nad, elo niat banget gemukin badan gue," kekeh Sonya.

Wanita itu merasa takjub dengan porsi makanan yang sudah setara menu makan malam. Saat itulah pandangnya bertemu dengan sepasang kekasih yang tengah bercengkerama mesra di sudut ruang tunggu. Sonya teringat Jeremy. Sampai hari itu surel yang dia kirim belum juga mendapat balasan.

"Sialan elo, Jer," maki Sonya lirih.

"Sebegitu sibuknya elo sampe nggak bisa balas email gue?" Sonya bertanya dalam hati.

"Elo lihat saja, di Jepang nanti gue bakal hantuin elo lagi," janji Sonya lagi-lagi dalam hati.

Cukup lama dia melamun. Sampai suara panggilan untuk penerbangannya terdengar. Bergegas gadis itu bangkit. Langkahnya mantap menjemput impian di Negeri Sakura.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Masih pengenalan tokoh, nih. Cast Sonya adalah aktris cantik Chelsea Islan. Maafin daku ya readers, daku memang ngefans sama Chelsea Islan. Menurut aku, CI tuh cantik, smart, dan berkepribadian menarik *jiah-author-perlu-ditabok-bantal-nih-sok-kenal-ma-CI

Anyway, menurut aku si CI memang tokoh yang pas untuk menggambarkan Sonya. Sonya tuh kan dosen muda yang cantik dan smart. Tambahan lagi Sonya bakalan punya sisi rapuh yang bakal muncul dalam part-part ke depan.

Readers jangan bosan-bosan tinggalkan jejak ya. Jejak readers sangat berarti untukku. Entah sekedar vote atau comment bakal jadi penyemangat aku untuk nerusin cerita ini. Karena tanpa readers apalah aku ini.

So happy reading readers. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro