Part 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayumi tak main-main. Jumat pagi dia sudah siap di apato Jeremy. Lelaki itu kaget bukan main saat menerima telepon pagi-pagi buta. Jam di dinding bahkan masih menunjukkan pukul empat subuh dan matahari belum juga terbit.

"Moshi ... Moshi ... Jeremy-kun cepatlah turun! Aku sudah menunggu di bawah.” Suara merdu menyapa gendang telinganya di pagi musim gugur yang dingin.

Jeremy menguap. Susah payah membuka mata yang lengket. Keluhan panjang langsung terdengar begitu melihat jam dinding.

"Astaga, jam berapa sekarang, Ayumi?! Kau mengganggu tidurku!" Jeremy kesal.

“Maafkan aku, Jeremy-kun. Tapi kita tak boleh terlambat ke bandara.” Ayumi bersikeras.

"Bandara? Kenapa aku harus pergi ke bandara?" Jeremy bingung.

"Bukankah Jeremy-kun sudah berjanji akan pergi ke Hokkaido bersamaku hari ini?"

Jeremy memaki dalam hati, “Brengsek, aku lupa!”

“Oke, tunggu sebentar!” Dia mematikan telepon dan menyambar tas ransel. Tak banyak barang dibawa. Jeremy bisa membeli kekurangan perlengkapan di Sapporo nanti.

Di lobi sudah menunggu Ayumi. Gadis itu  terlihat cantik dengan balutan mantel panjang dan celana ketat. Rambut sepunggungnya digerai tanpa aksesoris apapun memberi kesan manis pada penampilannya.

Namun Jeremy tak terpesona pada kecantikan gadis itu. Fokusnya sudah terkunci rapat pada sesosok nama yang hampir setahun ini terukir di hatinya.

"Aku benar-benar minta maaf, Ayumi. Aku lupa sudah berjanji padamu untuk pergi ke Hokkaido." Jeremy membungkukkan tubuh dalam-dalam.

“Tak apa-apa. Yang penting kau bisa pergi bersamaku,” kata Ayumi riang.
Gadis itu menyeret lengan Jeremy. Wajahnya bersemu merah penuh cinta. Binar di matanya gemerlap, selaras dengan langkah kakinya yang ceria.

Di dalam taksi yang membawa mereka ke bandara, Ayumi terus mencuri pandang pada Jeremy. Lelaki itu memang terlampau tampan. Kulitnya putih bersih, rambutnya bak langit malam tanpa bintang, hidungnya yang tinggi dan mancung menambah sempurna siluet tampan itu.

Dan mata itu ... Astaga, Ayumi benar-benar ingin tenggelam dalam gelapnya netra Jeremy. Terkadang menyorot lembut namun lebih sering menatap tajam, karakteristik mata Jeremy seolah menyegel cinta Ayumi padanya.

Tak banyak percakapan terjadi di antara mereka. Jeremy hanya menjawab sepotong-sepotong pertanyaan Ayumi, tak berniat membuka percakapan. Perhatiannya justru terpusat pada layar gawai. Keningnya berkerut dalam. Jantungnya berdebar keras.

Apa kabar, Jer? Long time no see. Minggu depan gue bakal nyusul elo ke Jepang. Gue harap kita bisa ketemu di sana.

Jeremy terpekur. Dibacanya tanggal pengiriman surel dan terkejut setengah mati. Surel dari Sonya sudah terkirim sejak lima hari yang lalu. Lelaki itu menelan gusar. Dia terlalu sibuk dengan tugas kuliah hingga lupa  mengecek surel.

Secepat kilat dibalasnya surel itu. Berharap sepenuh hati Sonya akan segera membacanya. Hingga taksi hampir tiba di bandara belum ada tanda wanita itu membalas surelnya. Setengah putus asa akhirnya Jeremy mengirim pesan via WhatsApp. Suatu hal yang sudah berbulan-bulan tak dia lakukan pada Sonya.

Hai Son, sorry gue baru baca email elo. Lagian kenapa nggak wa saja, sih? Rencana nyampek Jepang kapan? Gue jemput, ya?

Centang satu. Gawai wanita itu tak aktif. Lima menit berlalu dan pesannya masih juga belum terbaca.

"Jeremy-kun, ada apa?" Ayumi tak tahan lagi. Beberapa kali dia memergoki Jeremy memandangi gawai dengan ekspresi gelisah.

"Tidak apa-apa." Jeremy tersenyum tak sampai ke mata, "Eh, yuk turun? Sudah sampai bandara, nih."

Ayumi kecewa. Lelaki yang dicintainya terlihat jelas mengalihkan pembicaraan. Tapi dia tak dapat berbuat apapun. Mereka sudah tiba di Bandara Haneda dan waktu terus berjalan.

"Berapa lama kau akan tinggal di Hokkaido, Ayumi?" Jeremy terheran-heran melihat dua koper besar yang dibawa gadis itu. Belum ditambah sebuah tas tenteng bermerk mahal yang melingkar di tangan Ayumi. Kontras dengan bawaannya yang hanya sebuah ransel saja.

"Di Hokkaido nanti akan ada pembukaan restoran baru Otou-san. Aku harus mempersiapkan diri semaksimal mungkin,” jelas Ayumi.

Jeremy tahu restoran apa yang dimaksud Ayumi. Keluarga gadis itu adalah pemilik Fire Sushi Bar yang terkenal. Restoran sushi kelas atas yang menjadi langganan pesohor Negeri Matahari Terbit. Setahu Jeremy restoran itu tidak membuka cabang di daerah lain. Berarti pembukaan restoran baru di Hokkaido adalah cabang pertama Fire Sushi Bar.

"Buka cabang baru?" Jeremy menegaskan.

Ayumi mengangguk, “Otou-san memutuskan sekarang waktu yang tepat untuk ekspansi pasar.”

“Kenapa Hokkaido?” tanya Jeremy lagi sambil membantu Ayumi mendorong troli.

“Musim dingin di Sapporo sangat ramai. Tak sedikit turis asing yang datang ke sana. Otou-san  berharap bisa meraup untung dari pariwisata Hokkaido.”

Jeremy manggut-manggut. Itulah terakhir kali mereka berbincang karena selama di pesawat Jeremy pilih meneruskan tidur alih-alih bicara.

Bandara Chitose sudah ramai orang di jam delapan pagi. Staf khusus keluarga Kitajima sudah menanti kedatangan sang putri dan temannya. Dari bandara mereka bertolak ke penginapan keluarga di Sapporo menggunakan mobil. Di sana penyambutan yang elegan telah menanti.

Di situlah Jeremy tahu bahwa Keluarga Kitajima bukan keluarga biasa. Pembukaan restoran baru di Sapporo ternyata juga meliputi pembukaan penginapan tradisional yang sangat megah. Dia tahu butuh modal besar untuk membuat ryokan (1) yang dilengkapi onsen (2) berukuran cukup besar seperti itu.

Setiba di kamar Jeremy sudah tak sabar ingin memasukkan kaki ke hori gotatsu. (3) Tubuhnya yang berdarah tropis tulen butuh adaptasi luar biasa besar dengan iklim dingin negara empat musim. Namun harapan Jeremy hanya tinggal harapan saat terdengar suara ketukan pintu. Dia bengong saat membuka pintu.

Tiga wanita muda dalam balutan yukata berdiri di hadapannya. Masing-masing memegang sebuah nampan besar bertutup.

"Sumimasen, to moshimasu Kimura Reiko. (4) Saya diminta Ayumi-san mengantar sarapan ke kamar Anda." Salah seorang memperkenalkan diri.

Tiga wanita itu serentak masuk kamar dan meletakkan nampan di atas kotatsu. Jeremy makin bengong melihat makanan yang melimpah ruah.

"Maaf tapi saya tak bisa menghabiskan makanan sebanyak ini.”

"Nona Kitajima akan bergabung dengan Anda. Beliau sebentar lagi tiba." Reiko membungkukkan tubuh.

Kekagetan Jeremy bertambah saat Ayumi tiba-tiba muncul di kamarnya. Wajah cantiknya tampak segar dengan polesan make up tipis. Tubuh langsingnya berbalut yukata putih bercorak burung bangau.

"Ayumi, maafkan aku, tapi bisakah kita sarapan di luar saja?" bujuk Jeremy.

Ayumi menggelengkan kepala cepat, "Tidak! Di luar sangat banyak tamu. Kita tak akan mendapat privasi jika makan di restoran,” tolak Ayumi sambil mengusir pelayan ryokan.

Jeremy memijat pangkal hidung. Bingung dengan sikap Ayumi yang dinilainya jadi agresif. Berduaan di dalam kamar meski hanya untuk makan bersama tak bisa dia tolerir. Bukan karena lelaki itu seorang yang konvensional. Dia hanya tak suka dengan sikap Ayumi yang mencoba intim. Pun kehadiran gadis itu di sampingnya selalu membuat Jeremy tak nyaman.

Ayumi seolah menutup mata pada keengganan Jeremy, terus berceloteh riang. Mengomentari menu sarapan lezat hasil olahan juru masak ryokan hingga produksi kepiting asli Sapporo yang kelezatannya sudah terkenal seantero Jepang. Sementara lelaki itu harus menahan diri sebagai bentuk sopan-santun tamu kepada tuan rumahnya.

Namun, insting Jeremy terusik. Dia merasakan gadis cantik itu tengah menyembunyikan sesuatu. Kali itu Jeremy memutuskan untuk bersikap tegas.

"Katakan padaku sejujurnya Ayumi, apa tujuan kita datang ke Hokkaido?"

Tangan Ayumi yang memegang sumpit sedikit bergetar. Getaran yang sangat halus tapi mata jeli Jeremy mampu melihatnya.

"Kita akan menghadiri pembukaan restoran baru Otou-san,  Jeremy-kun,”   jawab Ayumi.

Jeremy menatap tajam. Gadis itu masih memasang mimik riang. Tapi ada gurat kegelisahan di netra beningnya. Lelaki itu menghela napas. Sepertinya tak ada gunanya dia mendesak Ayumi. Teman kuliahnya itu pasti tak mau mengakui. Dia akan mencari cara lain untuk menuntaskan kegelisahannya akan sikap ganjil Ayumi.

"Jeremy-kun, apa kau punya kekasih?" Ayumi membelokkan percakapan.

Sumpit Jeremy tergantung di udara. Tertegun mendengar pertanyaan Ayumi. Alih-alih menjawab, Jeremy malah balik bertanya pada gadis cantik di depannya.

"Kenapa kau menanyakan itu?"

"Maafkan aku, Jeremy-kun. Aku ingin minta tolong sesuatu. Tapi ini berkaitan dengan kekasih Jeremy-kun."

Perasaan Jeremy kembali tak nyaman. Dia menolak menatap Ayumi dan malah memfokuskan pandangan pada makanannya. Otak cerdas Jeremy sudah dapat menerka ke mana arah pembicaraan ini.

"Jeremy-kun?"

"Katakan saja, jika aku bisa membantu akan kubantu."

Hati Ayumi berdenyut perih mendengar tanggapan datar Jeremy. Dia tak percaya jika pesonanya sebagai seorang gadis Jepang yang cantik tak mampu meluluhkan hati lelaki Indonesia itu.

"Maukah Jeremy-kun berpura-pura jadi kekasihku? Hanya untuk akhir pekan ini saja?"

Jeremy meletakkan sumpit. Matanya bersirobok pandang dengan netra cokelat Ayumi.

"Aku sudah menduga inilah tujuanmu mengajakku datang ke Hokkaido,” gumam Jeremy pelan.

Wajah Ayumi memerah malu. Tak menyangka lelaki itu sudah tahu motif pendekatannya.

“Tapi aku tak bisa melakukannya, Ayumi. Maaf ....”

Ayumi kaget. Tak menyangka Jeremy akan menolak permintaannya, "Jeremy-kun..."

"Tolong dengarkan aku dulu," sela Jeremy, "Orang tuamu pasti sangat berharap pada kekasih yang akan diperkenalkan putrinya hari ini. Aku tak akan sanggup membohongi mereka, apalagi jika ada beban kewajiban besar yang harus kupikul jika aku bersedia menjadi kekasihmu."

Mata Ayumi berkaca-kaca. Denyutan di hatinya kian parah. Jeremy ternyata benar-benar hanya menganggapnya seorang teman. Tidak lebih. Kenyataan yang membuat Ayumi merasa sangat kecewa.

"Aku tak tahu ada masalah apa antara kau dengan orang tuamu, hingga harus meminta seseorang berpura-pura menjadi kekasihmu. Aku minta maaf, kali ini aku benar-benar tak bisa menolong."

"Apa karena ada wanita lain?" cecar Ayumi.

Jeremy tersentak kaget, "Apa?"

Sebutir air mata lolos dari netra Ayumi, "Kau tahu aku sangat mencintaimu, kan? Aku rela melakukan apapun demi Jeremy-kun. Kumohon, jadilah kekasihku hanya untuk sekali ini saja."

Jeremy terperangah. Tak menyangka jika Ayumi menyimpan perasaan khusus padanya. Selama ini dia hanya menganggap Ayumi sebagai teman kuliah saja. Tidak lebih. Bahkan Jeremy berusaha menjaga jarak dengan gadis cantik itu demi menghindari kesalah pahaman.

"Ayumi, jangan begini. Aku ... Aku tak bisa ...."

Ucapan Jeremy tak pernah terselesaikan karena Ayumi segera melesat keluar kamar. Meninggalkan lelaki itu termangu seorang diri. Jeremy tak berusaha mengejar. Pikirannya berkecamuk oleh pengakuan cinta Ayumi hingga terlambat menyadari denting pesan masuk di gawai.

Sonya berangkat petang ini dari Indonesia. Besok pagi sekitar jam tujuh waktu Jepang pesawatnya landing di Narita. Sono gih, jemput dia!

Dibacanya sekali lagi pesan dari Theo. Kecamuk pikiran dengan cepat berganti buncah kebahagiaan. Senyumnya lebar. Tergesa Jeremy mengetik terima kasih untuk Theo. Lantas membuka laman pemesanan tiket daring. Jemarinya cepat menggulir layar, mencari jadwal penerbangan ke Tokyo. Selang tak lama dia memaki keras setelah melihat seluruh tiket penerbangan ke Tokyo habis untuk hari itu.

“Sial!” umpatnya pelan, “Gimana gue bisa jemput Sonya kalau gue nggak balik sekarang?"

Sekali lagi Jeremy menggulir layar gawai. Tujuannya mencari transportasi alternatif lain. Semenit kemudian bibirnya tersenyum lebar.

Gotcha!” serunya gembira.

"Jeremy-kun bodoh!"

Gadis itu mengumpat kesal. Jemarinya mengusap keras air mata yang mengalir.

“Kenapa dia tidak mengejarku? Apa dia tak tahu aku sangat malu sudah menyatakan cinta lebih dulu?” Ayumi terisak pelan. Dua kali ditolak oleh lelaki pujaan hati dalam tempo kurang dari sepuluh menit benar-benar menjatuhkan mentalnya.

“Ya Tuhan, kenapa aku seceroboh itu memintanya jadi kekasihku?” Ayumi memukul kepalanya keras. Pipinya merona hebat. Rasa malu kembali menerjang. Masih tak habis pikir kenapa dia bisa bertindak sebodoh itu hanya karena diburu perasaan.

Saat itu telinganya menangkap suara seseorang. Tergesa Ayumi menyeka air mata. Dari balik semak dia mengintip sang pemilik suara.

“Ooka-san?” Ayumi kaget.

“Sudah aku duga kau pasti bersembunyi di sini.” Naomi tersenyum.

Dia turut duduk di samping sang putri. Tempat itu memang cocok sebagai persembunyian. Dikelilingi semak tinggi yang terpangkas rapi, tak ada yang mengira jika seorang gadis cantik tengah duduk seorang diri.

“Ada apa Ooka-san mencariku?”

Naomi mengelus kepala putrinya, “Apa tidak boleh seorang ibu mencari anaknya?”

Ayumi  menunduk. Naomi melanjutkan ucapannya, “Kata pelayan kau tiba di sini dengan seorang laki-laki. Apakah dia kekasihmu, Ayumi-chan?”

Ayumi tertegun. Seharusnya saat itu dia tinggal menganggukkan kepala. Tapi penolakan Jeremy mengacaukan seluruh rencana Ayumi. Gadis itu terdiam cukup lama sebelum mengambil sebuah keputusan.

“Ya, Ooka-san, dia kekasihku,” jawab Ayumi mantap.

Naomi mengelus pipi putrinya, “Lalu kenapa kau menangis, Sayang?”

“Aku ... Aku tidak menangis,” elak Ayumi.

“Seorang ibu tak bisa dibohongi,” kata Naomi, “Setiap pasangan juga pasti melalui lika-liku hubungan yang rumit. Pertengkaran akan menguatkan suatu hubungan.”

Ayumi melongo, “Apa?”

“Jika sudah selesai bertengkar, cepat temui kekasihmu. Undang dia makan malam bersama kita.”

Gadis itu mengusap muka. Antara bersyukur karena sang ibu tak tahu mengapa dia menangis. Di satu sisi juga bersedih karena terpaksa membohongi wanita yang sangat Ayumi cintai.

“Ooka-san, kalau begitu aku ke tempat Jeremy-kun dulu.” Ayumi bangkit. Tanpa menunggu persetujuan sang ibu segera pergi ke kamar Jeremy. Dia tak akan menyerah mendapatkan cinta lelaki itu.

Keputusan sudah diambil. Resiko harus diterima. Itulah yang terpaksa dijalani Ayumi. Dia hanya bisa tergugu sedih saat menyadari kamar lelaki itu sudah kosong. Seluruh barang Jeremy tak ada di tempatnya, pertanda sang empunya barang sudah pergi. Diremasnya surat pendek yang diberikan pelayan ryokan. Sepucuk surat dari Jeremy untuknya.

Dear Ayumi...
Maaf aku tak sempat berpamitan. Aku harus segera kembali ke Shinjuku untuk menjemput sahabatku. Sampaikan permintaan maafku pada kedua orang tuamu karena tak dapat menghadiri pesta pembukaan restoran.

Jeremy

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

(1) Ryokan adalah penginapan dengan fasilitas dan bangunan berarsitektur Jepang. Ciri khas dari Ryokan adalah interior tradisional dan lantai menggunakan tatami (lantai tikar khas Jepang)

(2) Kolam air panas

(3) Hori gotatsu adalah pemanas yang berbentuk lubang di lantai, dengan tempat untuk menyalakan api di tengahnya dan di atas lubang tersebut diletakkan kotatsu (penghangat berbentuk meja pendek)

(4) "Permisi, nama saya Reiko Kimura."
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hai ketemu lagi di Part 4. Konfliknya masih belum terasa yak? Tenang, bakalan semi melodrama tuk beberapa part ke depan.

Please readers ditunggu voment-nya. Semoga suka dengan novelku ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro