Part 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jeremy membaca ulang surel yang masuk ke gawai. Matanya nyaris melekat ke layar, benar-benar tak percaya dengan isi pesan yang masuk. Begitu fokusnya ke perangkat komunikasi canggih itu hingga dia tak sadar kekasihnya bergerak mendekat.

"Pesan dari siapa, Jer?" Sonya melongok dari balik bahu.

Jeremy meloncat kaget. Secepat kilat memasukkan gawai ke saku. Dia tersenyum manis pada Sonya dan mencium pipi gadisnya lembut.

“Teman kuliah, dia memintaku menjemputnya besok di stasiun."

Sonya manggut-manggut. Jeremy menghembuskan napas lega. Untung Sonya tak membaca pesan dari Ayumi. Kehadiran kekasihnya membuat lelaki itu benar-benar lupa akan Ayumi. Dan besok, gadis itu memintanya menjemput di stasiun.

Jeremy memutuskan mengabaikan sejenak permintaan Ayumi. Dia kembali fokus pada Sonya yang masih sibuk dengan laptop dan berbagai buku. Hari itu kuliah Jeremy libur dan dia memutuskan menyambangi kekasihnya di apato.

“Sibuk apa, Sayang?”

“Esai pengembangan ekonomi lokal. Aku ingin mengambil Raja Ampat sebagai contoh tapi nara sumberku menghilang,” keluh Sonya.

“Aku punya kenalan di sana. Mau kuhubungkan?”

“Benarkah?” Mata Sonya berbinar, “Terima kasih, Jer!” Wanita itu memeluk lelakinya erat-erat.

Jeremy menyeringai, "Hanya pelukan?"

Wajah Sonya memerah. Secepat kilat dia mendaratkan ciuman ke pipi putih Jeremy.

"Hanya pipi?" goda Jeremy. Dia mendekat. Menikmati bagaimana mata Sonya mengerjap cepat. Semakin dekat hingga nyaris tak berjarak. Dan ....

“Aduh, Sonya?!” Jeremy mengusap dahinya yang mendapat pukulan keras penggaris.

“Mimpi sana, Tuan Mesum!” gerutu Sonya.

“Sadis kau! Sama pacar sendiri juga.” Jeremy manyun.

“Daripada kau menggangguku, lebih baik buat makan malam sana!” usir Sonya.

Jeremy berat hati turun dari ranjang. Sonya benar. Lebih baik dia tak mengganggu kekasihnya. Wanita itu membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi. Beda dengan Jeremy yang menempuh program sarjana, Sonya memerlukan kerja lebih keras untuk program magisternya. Materi yang lebih banyak dan lebih sulit memaksa wanita itu tak bisa banyak bersantai.

Jeremy membuka kulkas dan mengeluarkan bahan pangan. Roti lapis isi salmon akan disiapkannya untuk sang kekasih. Dia baru membersihkan ikan saat gawainya kembali berbunyi. Surel lagi dari Ayumi. Ragu sejenak menghampiri Jeremy sebelum dia membuka pesan itu.

Foto Ayumi berbalut kimono cantik. Corak bangaunya cukup mencolok. Ada pesan tersemat di bawah foto.


Jeremy-kun, ayo kita berkencan!


Jeremy nyaris mengiris tangannya. Buru-buru diletakkannya pisau dan menutup layar gawai. Ingin rasanya dia loncat ke hadapan Ayumi dan mengocok isi otaknya agar gadis itu paham penolakan.

Tiba-tiba Jeremy merasakan sepasang lengan langsing memeluk pinggangnya. Suara lembut Sonya kemudian menyapa, “Masak apa, Jer?”

Lelaki itu berpaling cepat menarik kekasihnya masuk ke pelukan, “Aku ingin memasakmu ....”

“Sejak kapan kamu jadi kanibal?” Sonya terkekeh geli.

“... Lalu memakanmu.” Jeremy tak menggubris pertanyaan Sonya, “Dimulai dari bibir dulu.” Lalu lelaki itu mencium lembut bibir Sonya.

Wanita itu tergelak. Dia meronta membebaskan diri dari pelukan Jeremy, “Dasar mesum!”

“Tapi kau suka, kan?” goda Jeremy.

“Hah, maumu!” Sonya mendorong Jeremy menepi, “Minggir, biar aku saja yang masak!”

Jeremy patuh. Membiarkan wanitanya mengambil alih. Sementara otaknya sibuk berpikir, merencanakan penolakan macam apa lagi yang harus dilakukannya pada Ayumi. Mengingat gadis itu bukannya menjauh, malah justru kian gencar mendekat.


Ayumi tolah-toleh. Matanya mengawasi dengan teliti setiap orang yang lalu-lalang di sekitar, fokusnya mencari sosok jangkung berwajah blasteran Inggris.

"Apa Jeremy-kun lupa menjemputku? Bodoh, seharusnya aku kirim pesan ke dia jika aku sudah sampai sekarang."

Ayumi menggetok jidat. Buru-buru dia mengirim pesan pada Jeremy, memberi tahu posisinya. Stasiun Shinjuku adalah stasiun tersibuk dan terpadat di Jepang. Akan sangat sulit menemukan seseorang di antara ribuan orang yang berjubel.

"Ayumi-chan?"

Seseorang menepuk bahunya pelan. Ayumi refleks menoleh dan senyumnya seketika menghilang.

“Nozomi-kun?” Ayumi menyapa teman sekampusnya, “Kenapa kau ada di sini?”

Nozomi tersipu malu, “Aish ... Sudah kuduga kau pasti tak suka jika aku yang datang. Tapi Jeremy-kun memaksa.”

Perasaan Ayumi tak enak, “Jeremy-kun memaksa?”

"Itu ... Jeremy-kun memintaku menemaninya. Katanya dia akan menjemputmu dan tak ingin sendirian berjalan kaki," jawab Nozomi.

Mata Ayumi terbelalak. Alasan macam apa itu? Kenapa juga Jeremy harus tak mau jalan kaki sendirian?

Seolah mengerti kesuraman aura Ayumi, Nozomi buru-buru menambahkan, "Jika Ayumi-chan tidak suka, aku bisa pulang sekarang dan membiarkanmu berdua dengan Jeremy."

Alis Ayumi terangkat. Seulas senyum terbit mendengar tawaran Nozomi.

"Benarkah?" Ayumi girang, "Bagus kalau begitu, Nozomi-kun bisa pulang sekarang dan tak perlu repot-repot mengantarku."

Wajah Nozomi terluka. Dia sungguh senang diminta Jeremy menjemput Ayumi, karena diam-diam lelaki itu mengagumi sosok Ayumi yang cantik. Tapi penolakan gadis itu padanya, membuat Nozomi kecewa.

Dia tahu gadis itu tergila-gila pada Jeremy. Bahkan seluruh fakultas juga sudah mengetahui obsesi Ayumi pada Jeremy. Pasti Ayumi ingin berduaan saja dengan lelaki tampan asal Indonesia itu. Namun, Jeremy memintanya untuk menemani dengan sebuah alasan yang tak bisa Nozomi tolak.

Nozomi menyukai gadis itu sangat lama. Dan Jeremy memberinya kesempatan untuk mendekati Ayumi. Entah dari mana lelaki itu tahu perasaannya pada model cantik yang cukup tenar seantero Jepang. Yang jelas, tawaran dari Jeremy sangat sayang untuk ditolak.

"Baiklah kalau begitu, aku pergi sekarang. Kau tak apa-apa menunggu Jeremy-kun sendiri?”

Nozomi hendak beranjak pergi saat tangan kokoh Jeremy menahannya, "Mau ke mana, Nozomi?"

Nozomi kaget, bingung harus menjawab apa. Di sampingnya Ayumi mencebik kesal. Membuat Nozomi makin merasa tak enak.

"Itu ...." Nozomi bingung.

"Kubelikan kau soda, maaf aku tak bisa menemukan minuman beralkohol lainnya.” Jeremy mengulurkan sekaleng minuman bersoda pada Nozomi. Dia juga memberikan sekaleng pada Ayumi.

"Terima kasih, Jeremy-kun,” ucap Ayumi sambil membelai lembut tangan Jeremy.

Jeremy hanya menganggukkan kepala tanpa tersirat ekspresi apapun di wajahnya. Diliriknya bawaan Ayumi yang tak banyak.

Mengerti arah pandangan Jeremy, gadis itu segera menjelaskan.

"Aku sudah mengirimkan koper-koperku via kurir. Koperku sangat banyak, tak mungkin, kan, aku membawanya sendiri?"

Jeremy mengedikkan bahu acuh tak acuh. Dia tak merespon penjelasan Ayumi.

"Baiklah, sepertinya tak ada yang harus ditunggu lagi. Ayo, pulang!” Jeremy beranjak pergi.

"Nozomi-kun, bukankah kau tadi berkata padaku jika ada janji dengan seseorang?" celetuk Ayumi tiba-tiba.

Dahi Jeremy berkerut. Matanya tajam menatap Nozomi yang salah tingkah. Begitu tajam hingga Nozomi langsung merinding dibuatnya.

"Kukira Nozomi sudah membatalkan janjinya," kata Jeremy dingin.

"Oh, benarkah? Sepertinya Nozomi-kun tidak jadi membatalkan janjinya," kilah Ayumi.

Diberinya kode dengan pandangan mata pada Nozomi. Tapi lelaki itu hanya meringis ketakutan. Dia lebih memilih dimusuhi Ayumi ketimbang Jeremy. Bagi Nozomi – dan hampir semua orang di kelas – Jeremy adalah aset berharga. Otaknya cerdas dan ramah. Dia juga tak sungkan memberi pertolongan pada siapapun. Semua suka dan sayang pada lelaki itu.

"Itu ... Aku ... Aku sudah membatalkan janjiku, Ayumi-chan," cetus Nozomi.

Ayumi melotot marah yang dibalas Nozomi dengan seringai kikuk. Astaga, ada apa sih, dengan dua orang itu? Kenapa dirinya harus menjadi tameng Jeremy? Nozomi sibuk bertanya dalam hati.

"Nah, sepertinya sudah tak ada masalah lagi. Ayo, pulang?"

Tanpa menunggu jawaban, Jeremy ngeloyor pergi meninggalkan Ayumi dan Nozomi. Di belakangnya Nozomi mengekor sambil menunduk pasrah, sementara Ayumi menghentakkan kaki kesal. Dia benar-benar marah karena Nozomi telah mengacaukan rencananya.

Musim gugur bertambah dingin, pertanda salju akan turun tak lama lagi. Jeremy, Nozomi, dan Ayumi berjalan menyusuri pedestrian Shinjuku yang sangat ramai. Kebanyakan pakaian para pejalan kaki berwarna dominan gelap, menciptakan lautan kelabu yang bergerak cepat.

Nozomi berceloteh sepanjang jalan. Dia mengomentari beberapa toko pakaian yang sudah mulai memajang koleksi musim dingin mereka. Lelaki itu memang lebih suka musim panas dibanding musim dingin. Musim panas karena dia suka pantai dan bikini. Sementara musim dingin membuat banyak kulit harus ditutup rapat-rapat hingga tak memungkinkannya menikmati pemandangan tubuh seksi berbikini.

Nozomi mengatakannya tanpa rikuh, tak peduli jika di sebelahnya ada Ayumi. Jeremy hanya nyengir lebar mendengar celetukan sembrono lelaki itu. Benaknya sudah membayangkan bagaimana bentuk tubuh Sonya jika memakai bikini.
Bayangan yang muncul membuat Jeremy gugup. Bagian tubuhnya yang sensitif langsung mengeras seketika. Diam-diam dia mengutuk Nozomi yang mulai membuka topik tentang musim panas. Bikini dan Sonya benar-benar kombinasi yang buruk untuk kestabilan tubuhnya.

"Jeremy-kun, Nozomi-kun, kita mampir makan dulu? Aku sangat lapar,” pinta Ayumi.

Jeremy kembali tersadar akan keberadaan Ayumi yang sedari tadi berjalan di belakangnya.

"Boleh, aku juga sudah lapar. Kau juga lapar, kan, Jeremy-kun?"

Jeremy mengedikkan bahu. Dia mengikuti Ayumi dan Nozomi masuk ke sebuah kedai ramen. Siang menjelang sore itu kedai tak banyak dipenuhi orang. Mereka duduk di meja paling sudut menunggu pesanan datang.

"Bagaimana kabarmu, Jeremy-kun?" Ayumi bertanya ceria. Senyuman terus terpasang di wajah cantiknya.

Diam-diam Nozomi melirik iri. Sungguh, dia rela menukar apapun yang dimilikinya agar bisa menjadi Jeremy, digila-gilai oleh Ayumi-chan yang sangat dikaguminya. Sampai sekarang Nozomi tak mengerti juga kenapa lelaki itu terus menolak gadis sesempurna Ayumi Kitajima.

"Baik," jawab Jeremy singkat.

"Otou-san dan Ooka-san menanyakan kabarmu. Mereka ingin mengundangmu makan malam bersama setelah mereka tiba di Shinjuku nanti."

Nozomi tolah-toleh bingung. Sapporo? Otou-san? Ooka-san? Lelaki lucu itu langsung menyeringai paham setelah menghubungkan ketiga kata kunci itu. Sepertinya Jeremy sudah selangkah lebih maju karena berhasil menemui orang tua Ayumi, pikir Nozomi.

"Jadi, sudah cukup jauh hubungan kalian, eh?" goda Nozomi.

Ayumi tersipu-sipu. Nozomi tertawa melihat ekspresi menggemaskan gadis itu. Sementara Jeremy melengos kesal.

"Kau salah sangka. Aku dan Ayumi hanya ..." 

"Aku dan Jeremy-kun akan bertunangan!" Ayumi memotong cepat ucapan Jeremy.

Dua lelaki sontak melotot kaget. Namun, untuk dua alasan yang berbeda. Nozomi kaget karena tak mengira jika hubungan Ayumi dan Jeremy sudah sedekat itu hingga taraf pertunangan. Sementara Jeremy kaget karena Ayumi berbohong.

"Benarkah itu?" Nozomi mengulurkan tangan pada Ayumi mengajak bersalaman, "Omedetou (1), Ayumi-chan."

Ayumi menganggukkan kepala senang. Jeremy ternganga.

"Apa yang kau katakan tadi?" desis Jeremy marah.

Ayumi dan Nozomi serentak menoleh ke Jeremy. Mereka tertegun. Sepasang mata elang itu nampak berkobar penuh kemarahan. Ekspresi wajahnya sangat dingin, bahkan Nozomi pun tahu jika suasana hati Jeremy teramat sangat buruk saat itu.

Diam-diam Ayumi pun mengkeret ketakutan. Apakah tindakannya kali itu sudah kelewatan? Ia buru-buru menepis dugaannya. Sudah kepalang basah, dia rela melakukan apapun selama bisa membuat Jeremy terus berada di dekatnya. Lagipula, suatu hari nanti mereka pasti akan bertunangan. Tak ada salahnya mempercepat klaim itu.

"Jeremy-kun, jangan bermuka masam begitu, ini berita bahagia, kan?" Nozomi membujuk temannya. Firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu yang buruk jika Jeremy terus bersikap sedingin es kutub utara.

"Jelaskan, Ayumi Kitajima!" Suara Jeremy sangat lirih, nyaris serupa bisikan. Namun, dua orang yang duduk di depannya bisa mendengar sangat jelas setiap kata yang diucapkan bibir lelaki itu.

Suasana di meja langsung membeku. Nozomi mengerutkan dahi dalam-dalam melihat reaksi temannya yang tak terlihat senang sama sekali dengan pertunangannya. Sementara Ayumi dilihatnya tampak ketakutan. Wajah cantik itu sedikit memucat, bahkan Nozomi yakin melihat getar halus di jari lentik Ayumi.

"Jeremy-kun ..."

"Jelaskan!"

"Itu ... Otou-san dan Ooka-san ...."

"Jangan pernah menggunakan mereka sebagai alasanmu, Ayumi.” Mata Jeremy berkilat tak suka.

Ayumi nyaris menangis mendengar suara dingin Jeremy, "Aku tidak menggunakan mereka sebagai alasan, Jeremy-kun. Otou-san memang ingin bertemu denganmu. Dan beliau ...."

"Menginginkan aku sebagai menantu mereka.” Jeremy menyelesaikan kalimat Ayumi.

Ayumi mengangguk pelan. Jeremy mendengus, entah apa yang sedang dirasakannya, namun lelaki itu ingin sekali meninju seseorang untuk melampiaskan emosinya yang meluap. Delusi Ayumi sudah masuk taraf membahayakan.

"Aku akan mengatakan pada Ayahmu jika kita tidak memiliki hubungan apa-apa," Jeremy memutuskan.

Nozomi terbelalak. Ayumi terperanjat.

"Jangan, Jeremy-kun!" Ayumi memekik ketakutan, "Jangan kau katakan apapun pada Otou-san. Aku takut jika Otou-san jatuh sakit lagi mendengar hal ini."

Jeremy mendecih marah, "Dan kau mengorbankan aku, demi kesembuhan orang tuamu? Lalu bagaimana dengan diriku? Apa kau memikirkan perasaanku juga?"

Kondisi yang kontradiktif. Berkebalikan dengan praduga Ayumi, lelaki itu benar-benar marah. Emosinya yang memuncak pertanda sikap Ayumi sudah kelewatan. Gadis itu tahu dia bersalah tapi dia juga tak ingin melepaskan Jeremy. Meski harus dibenci oleh lelaki itu, Ayumi rela. Dia sudah memantapkan hati sejak berangkat dari Sapporo.

Jeremy bangkit. Dia menatap tajam sepasang manik mata Ayumi, "Alasanku dulu menolak dirimu adalah ...,” Jeremy menarik napas panjang, "... Aku sudah memiliki wanita yang kucintai, Ayumi. Sejak aku berada di Indonesia, sampai aku berada di Jepang sekarang, dan sampai esok entah aku berada di mana, aku akan terus dan tetap mencintainya."

Ayumi tertegun. Lugas dan jelas, itulah yang dia dengar dari bibir Jeremy. Mata Ayumi memanas. Pandangannya dengan cepat mengabur. Gadis cantik itu menggigit bibir kuat-kuat, menahan air mata yang mendesak ingin keluar.

"Sekarang aku ingin hidup bahagia dengan wanita itu. Kami sudah bersama. Kuharap kau tak menggangguku lagi, Ayumi. Permisi."

Jeremy beranjak keluar kedai tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Meninggalkan Ayumi dan Nozomi berdua saja.

Air mata Ayumi mengalir deras setelah kepergian Jeremy. Di sampingnya Nozomi kebingungan. Dia sama sekali tak paham dengan apa yang sudah terjadi. Bukankah berita pertunangan adalah berita yang membahagiakan? Tapi kenapa dua temannya itu justru terlihat marah dan saling tersiksa?

"Ayumi-chan?" Nozomi mengusap pelan bahu Ayumi.

"Aku hanya ingin bersama dengannya, apa itu salah?" Lirih suara Ayumi.

Nozomi terdiam. Dia tak tahu harus menjawab bagaimana.

"Aku memintanya menjadi kekasih pura-puraku. Awalnya demi Otou-san tapi dia langsung menolaknya dan pergi meninggalkanku. Sekarang aku jadi serakah, ingin memilikinya demi diriku sendiri. Apakah itu juga salah?"

Nozomi terperanjat kaget, tak mengira akan mendapat cerita mencengangkan dari Ayumi. Gadis itu masih terisak-isak. Mereka berdua tak saling bicara. Membiarkan ramen pesanan mendingin tanpa tersentuh.

----------------------------------------------------------

(1) Omedetou adalah ucapan selamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro